Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shannon Gabriella Pesik
"Pemberian hibah dengan objek harta bersama dalam perkawinan semestinya dilakukan melalui persetujuan antara kedua belah pihak, baik suami maupun istri. Namun dalam beberapa kasus, pemberian hibah di mana tanah merupakan objek hibah yang juga merupakan harta bersama, tidak dilakukan dengan persetujuan salah satu dari pasangan dalam hubungan suami dan isteri, sebagaimana ditemukan dalam Putusan Nomor 167/Pdt.G/2019/PN.Cbi. Oleh karena itu permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini berkaitan dengan status hibah harta bersama yang diberikan tanpa persetujuan isteri dan tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam peralihan hak atas tanah melalui pemberian hibah yang dilakukan tanpa persetujuan isteri. Penelitian hukum doktrinal ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum melalui studi kepustakaan. Data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum tersebut selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis, dapat dinyatakan bahwa status hibah atas harta bersama yang diberikan tanpa persetujuan isteri adalah dapat dibatalkan. Hibah terhadap objek harta bersama yang diberikan dengan tanpa persetujuan isteri adalah tidak sah karena melawan hukum. Pada dasarnya, hibah dapat diberikan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang terkualifikasi sebagai penerima hibah. Namun, terhadap objek harta bersama, pemberian hibah harus memiliki persetujuan dari kedua belah pihak yakni suami dan isteri. Selain itu, PPAT dalam peralihan hak atas tanah melalui pemberian hibah adalah untuk memastikan bahwa semua dokumen yang merupakan persyaratan dan ketentuan yang berlaku telah dipenuhi sebelum akta dibuat. Pembuatan akta harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memenuhi syarat-syarat dalam pembuatan akta hibah. Sebelum pembuatan akta, PPAT wajib dengan teliti mencek dokumen-dokumen yang diberikan penghadap kepadanya. Apabila, syarat subjektif dalam sebuah akta tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, maka akta tersebut dapat dibatalkan sehingga kekuatan pembuktian akta tersebut menjadi di bawah tangan. Batalnya suatu akta akan menimbulkan tanggung jawab PPAT yang membuat akta tersebut. Tanggung jawab PPAT terhadap pembatalan suatu akta hibah adalah sanksi perdata yakni batalnya akta itu sendiri dan ganti rugi terhadap kerugian yang timbul akibat akta tersebut.

Granting grants with the object of joint property in marriage should be done through the consent of both parties, both husband and wife. However, in some cases, the granting of grants where land is the object of the grant which is also joint property, is not made with the consent of one of the partners in the relationship of husband and wife, as found in Decision Number 167/Pdt.G/2019/PN.Cbi. Therefore, the issues raised in this research are related to the status of joint property grants given without the consent of the wife and the responsibility of the Land Deed Official (PPAT) in the transfer of land rights through grants made without the consent of the wife. This doctrinal legal research is conducted by collecting legal materials through literature study. Secondary data in the form of legal materials are then analyzed qualitatively. From the results of the analysis, it can be stated that the status of grants on joint property given without the consent of the wife is cancelable. Grants of joint property objects given without the consent of the wife are invalid because they are against the law. Basically, grants can be given freely to anyone who qualifies as a grantee. However, for the object of joint property, the grant must have the consent of both parties, namely the husband and wife. In addition, PPAT in the transfer of land rights through grants is to ensure that all documents that constitute the applicable requirements and conditions have been fulfilled before the deed is made. The making of the deed must comply with the applicable laws and regulations and fulfill the requirements in making the grant deed. Before making the deed, the PPAT is obliged to carefully check the documents provided by the confronter. If the subjective requirements in a deed do not match the actual facts, then the deed can be canceled so that the evidentiary power of the deed becomes under hand. The cancellation of a deed will lead to the responsibility of the PPAT who made the deed. The PPAT's responsibility for canceling a grant deed is a civil sanction, namely the cancellation of the deed itself and compensation for losses arising from the deed."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shannon Gabriella Pesik
"Penulisan skripsi ini adalah untuk meneliti tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap sengketa medis yang terjadi di rumah sakit dengan menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Nomor 625/Pdt.G/2014/PN.JKT.Brt. Penelitian ini membahas mengenai pengertian dan ruang lingkup sengketa medis, penerapan perbuatan melawan hukum dalam sengketa medis, dan pola pertanggungjawaban rumah sakit berdasarkan Undang-Undang Rumah Sakit terhadap sengketa medis yang terjadi di Rumah Sakit. Bentuk penelitian dalam penulisan menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, yang merupakan penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka atau sekunder belaka. Penelitian ini mendapatkan bahwa sengketa medis adalah suatu perkara yang dapat terjadi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya dalam rumah sakit. Pihak yang dirugikan akibiat sengketa medis sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dapat menuntut ganti rugi. Dengan adanya pembahasan dalam penelitian terhadap permasalahan yang muncul pada penulisan ini, maka penulis menyarankan agar dokter sebagai tenaga medis yang profesional mengikuti Kode Etik dan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diatur oleh pemerintah dalam menjalankan perannya. Bagi rumah sakit, dapat lebih selektif dalam menilai kompetensi dokter sebelum menangani pasien dari rumah sakit itu. Pemerintah dapat membuat peraturan mengenai parameter bagi penilaian hakim dalam memutuskan besaran ganti rugi yang berhak didapatkan oleh pasien atau para penggugat agar dapat melanjutkan hidup dengan adil.

The writing of this thesis is to examine the hospital's legal responsibility for medical disputes that occur in the hospital by analyzing the District Court Decision Number 625/Pdt.G/2014/PN.JKT.Brt. This study discusses the meaning and scope of medical disputes, the application of unlawful acts in medical disputes, and the pattern of hospital responsibility based on the Hospital Law for medical disputes that occur in hospitals. The form of research in writing uses juridical-normative research methods, which are legal research by examining library or secondary materials. This study found that a medical dispute is a case that can occur due to errors or omissions made by doctors or other health workers in hospitals. Parties who are harmed because of medical disputes in accordance with Article 1365 of the Civil Code and Article 46 of Law Number 44 of 2009 concerning Hospitals, can claim compensation. With the discussion in research on the problems that arise in this writing, the authors suggest that doctors as professional medical personnel follow the Code of Ethics and Legislation that has been regulated by the government in carrying out their roles. For hospitals, this institute can be more selective in assessing the competence of doctors before treating patients from hospitals. The government can make regulations regarding the parameters for judges' judgments in deciding the amount of compensation that patients or plaintiffs are entitled to in order to continue living fairly."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library