Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Munawarah
"Penelitian ini mengenai geografi dialek Madura yang digunakan di Pulau Madura dan di daerah "Tapal Kuda" di wilayah Jawa Timur. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan daerah pakai serta daerah sebar variasi-variasi kebahasaan pada bahasa Madura di Jawa Timur serta menganalisis sejauh mana bahasa Madura di daerah "Tapal Kuda" itu mempunyai kesamaan atau kemiripan bentuk dengan bahasa Madura di Pulau Madura. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menentukan berapa dialek bahasa Madura baik yang ada di Pulau Madura maupun di daerah "Tapal Kuda", serta dialek mana yang mempunyai daerah sebar paling luas.
Penelitian ini menetapkan sepuluh kabupaten atau kotamadya untuk dijadikan titik pengamatan. Empat titik pengamatan di Pulau Madura, yaitu Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan; serta enam titik pengamatan di "Tapal Kuda" Jawa Timur, yaitu Probolinggo, Situbondo, Banyuwangi, Jember, Lumajang, dan Bondowoso. Metode penentuan dialek menggunakan penghitungan dialektometri leksikal dan dialektometri fonetis.
Dari hasil penghitungan dialektometri leksikal di Pulau Madura hanya ditemukan perbedaan sub-dialek antara Pamekasan dan Bangkalan, sedangkan di daerah "Tapal Kuda" di Jawa Timur ditemukan perbedaan dialek antara Situbondo dan Jember. Adapun dari penghitungan dialektometri fonetis ditemukan empat dialek bahasa Madura yang terdapat di Pulau Madura dan di daerah "Tapal Kuda" di Jawa Timur. Dialek 1 digunakan di Sumenep dan Situbondo, dialek 2 digunakan di Pamekasan, Sampang, Probolinggo, Jember, dan Bondowoso, dialek 3 digunakan di Bangkalan, serta dialek 4 digunakan di Banyuwangi dan Lumajang. Jadi dialek 2 merupakan dialek yang mempunyai daerah sebar paling luas.

This research discusses the dialect geography of Madurese used both in Madura Island and the "Tapal Kuda" region of East Java. The aims of this research are to describe the dialect regions and the dialect spread regions of Madurese, and to analyze the degree of similarities and resemblance found in the "Tapal Kuda" region Madurese used in Madura Island. Besides, this research also aims at determining how many dialects of Madurese used both in Madura Island and the "Tapal Kuda" region, and to observe which Madurese dialect is the most widely spread as well.
In the research methodology, ten regencies or cities become the observation points. In Madura Island four observation points are Sumenep, Pamekasan, Sampang and Bangkalan; whereas, in the "Tapal Kuda" region six observation points are Probolinggo, Situbondo, Banyuwangi, Jember, Lumajang and Bondowoso. Both lexical and phonetic dialectometry are then used as the tools to determine the dialects.
As the result of lexical dialectometry, in Madura Island, the difference of subdialects is only found between Pamekasan and Bangkalan, while in the "Tapal Kuda" region the difference of dialect is only found between Situbondo and Jember. On other hand, as the result of phonetic dialectometry, this research finds four dialects of Madurese used both in Madura Island and the "Tapal Kuda" region. Dialect 1 is used in Sumenep and Situbondo. Dialect 2 is used in Pamekasan, Sampang, Probolinggo, Jember and Bondowoso. Dialect 3 is used in Bangkalan. Dialek 4 is used in Banyuwangi and Lumajang. Therefore, based on the finding of phonetic dialectometry, dialect 2 is the most widely spread dialect of Madurese.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
T19505
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Munawarah
"Penelitian mengenai pemertahanan bahasa daerah Madura telah dilakukan di Jakarta. Tujuannya untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa Madura di luar wilayah pemakaian bahasa Madura (Jakarta). Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara berstruktur dengan menggunakan daftar tanyaan sebagai pedoman wawancara. Wawancara dikenakan kepada 27 keluarga (51 responden) yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Sumenep Madura di Jakarta.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Data dianalisis secara kuantitatif. Analisis meliputi frekuensi pemakaian bahsa dan juga melihat hubungan antara pemakaian bahasa dengan faktor-faktor di luar bahasa.
Kesimpulan akhir dari penelitian menunjukkan bahwa pemertahanan bahasa daerah Madura di Jakarta rata-rata sebesar 35,35%. Pemertahanan tersebut dipengaruhi oleh faktor identitas kesukubangsaan, dan hubungan kekeluargaan, selain itu juga dipengaruhi faktor usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan tempat lahir responden."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1991
S11146
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Munawarah
"Depok berbatasan langsung dengan Jakarta dan menjadi daerah penyangga untuk diarahkan sebagai kota pemukiman, pendidikan, perdagangan, dan pariwisata, Bertambahnya sarana pendidikan dan sarana umum, seperti sekolah, universitas, mal, pertokoan, dan hotel, juga memberikan dampak yang signifikan dalam hubungan komunikasi antardaerah. Struktur demografi Depok yang disertai dengan semakin banyaknya alat transportasi memungkinkan tingkat interaksi yang tinggi bahkan hingga ke pelosok. Beberapa perguruan tinggi dan hotel berbintang telah menjadikan Depok sebagai tujuan urbanisasi. Hal yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana situasi kebahasaan di Depok dengan latar belakang perkembangan Kota Depok tersebut. Penelitian ini mengungkapkan distribusi dan variasi bahasa di Depok—sebagai daerah urban—yang terjadi akibat kontak bahasa antarpenutur bahasa di kota tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang berancangan sosiodialektologi, yaitu ancangan penelitian yang menggabungkan sosiolinguistik dengan dialektologi. Data bahasa dijaring dengan menggunakan kuesioner yang berisi 235 daftar tanyaan, yang dikumpulkan dari 63 kelurahan di Depok sebagai titik pengamatan (TP) dengan menggunakan metode pupuan lapangan dengan teknik bersemuka dan perekaman, lalu dianalisis dengan menggunakan metode berkas isoglos penghitungan jarak kosakata dengan menggunakan metode dialektometri melalui teknik segitiga antardesa dan etima. Hasil temuan penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan kajian dialektologi terdapat dua bahasa yang berbeda digunakan di Depok, yaitu bahasa Betawi dan bahasa Sunda. Selain itu, ditemukan tiga daerah pakai bahasa di Depok, yaitu bahasa Sunda, bahasa Betawi Pinggiran, dan bahasa Betawi, dengan daerah pakai terluas bahasa Betawi Pinggiran. Namun, berdasarkan penghitungan dialektometri, perbedaan bahasa hanya ditemukan pada kosakata kata ganti, sapaan, dan acuan dengan hasil penghitungan dialektometri mencapai 70%, Sementara itu, pada kosakata dasar Swadesh, kosakata sistem kekerabatan, dan kosakata secara keseluruhan hanya ditemukan perbedaan dialek. Hasil penghitungan dialektometri tertinggi pada kosakata dasar Swadesh sebesar 55%. Adapun hasil penghitungan dialektometri tertinggi pada kosakata sistem kekerabatan ditemukan sebesar 48%. Sementara itu, hasil penghitungan dialektometri keseluruhan tertinggi sebesar 53%. Dengan demikian, rumusan persentase dialektometri yang diajukan Lauder, yaitu di atas 70%, tidak semuanya tercapai, padahal mereka mengaku berbahasa yang berbeda sebagai masyarakat penutur bahasa Betawi dan penutur bahasa Sunda. Dengan demikian, hal itu dapat menjadi pembuktian adanya kontak bahasa yang intens antarpenutur bahasa di Depok. Berdasarkan analisis sosiodialektologi, dapat disimpulkan bahasa Betawi Pinggiran yang secara definitif memakai kata ora sudah mulai luntur dan tidak banyak digunakan pada masyarakat Depok, namun bahasa Betawi Pinggiran yang memakai kata khas, seperti nomina umum (common noun) yang merujuk pada sebutan orang berdasarkan jenis kelamin dan usia (wadon, lanang, bocah), menempati areal pemakaian terluas di Depok. Temuan sosiodialektologi lainnya memperlihatkan adanya saling meminjam kata sapaan antara bahasa Betawi dan bahasa Sunda akibat kontak bahasa.

Depok City, bordered to the north by Jakarta, serves as its buffer and is intended to be residential, educational, commercial, and tourism areas. The increase in educational and public facilities (schools, universities, malls, shops, and hotels) in Depok also has a significant impact on its interregional communication relations. The demographic structure of Depok and the growing number of transportation modes allow high levels of interactions even to its remote areas. Also, top universities and starred hotels have made Depok an urbanization destination. This background has triggered the interest to study the linguistic situation in Depok City by considering its development. This study reveals the variations and distribution of languages in Depok emerging as the results of language contacts between speakers of the languages in this urban area. This study used the qualitative research method with a sociodialectological design, combining sociolinguistics with dialectology. Using the field survey method (with face-to-face and recording techniques), the data were collected from questionnaires containing 235 questions, distributed to 63 subdistricts as the observation points. The data were analyzed by using the isogloss bundle method to calculate the vocabulary distance by utilizing the dialectometry method, specifically the inter-village triangles and etyma technique. The findings on the dialectological study indicate that there are two languages ​​used in Depok: Betawi and Sundanese. In addition, three language-speaking areas in Depok were identified: Sundanese, Peripheral Betawi, and Betawi, in which the Peripheral Betawi language occupies the largest area of use. However, with a dialectometry calculation reaching 70%, the language differences were only found in pronouns, address terms, and references, whereas, only dialect differences were found in the Swadesh basic vocabulary, kinship system vocabulary, and overall vocabulary. The highest dialectometry calculation of the basic Swadesh vocabulary reached 55%, whereas the highest dialectometry calculation result in the kinship system vocabulary stood at 48%. Furthermore, the highest overall dialectometry calculation was 53%. Thus, the dialectometric percentage formula (>70%) proposed by Lauder (2007) is not entirely proven in Depok although the inhabitants claim to speak different languages as members of Betawi-speaking and Sundanese-speaking community. This can also prove that there have been intense language contacts between speakers of the languages in Depok. The results of the sociodialectological analyses concluded that the definitive use of the word ora by the speakers of Peripheral Betawi language has begun to fade and is not widely used in Depok; however, the Peripheral Betawi language using distinctive words, such as common nouns or address terms based on gender and age (wadon, lanang, bocah) has occupied the largest area of ​​use. Finally, another sociodialectological finding shows there is a mutual borrowing of address terms between Betawi and Sundanese due to the language contacts."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library