Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Widodo
Abstrak :
Dinas Kesehatan Lampung Utara dalam penjabaran tujuan pembangunan kesehatan telah menerapkan suatu kebijakan unit swadana di Puskesmas Bukit Kemuning dengan tujuan memberikan keleluasan Puskesmas dalam mengelola pendapatan fungsionalnya untuk meningkatkan mutu pelayanannya. Selanjutnya untuk menentukan kebijakan lebih lanjut Puskesmas unit swadana yang sudah di uji cobakan di Puskesmas Bukit Kemuning selama 3 tahun ini perlu dievaluasi. Berkaitan itu dilakukan penelitian yang bertujuan mendapatkan informasi mengenai pengelolaan sumber daya manusia dan sumber daya keuangan sebelum dan sesudah diterapkannya kebijakan unit swadana di Puskesmas Bukit Kemuning Kabupaten Lampung Utara tahun 2002 dengan pendekatan input ,proses dan out put. Penelitian ini adalah studi kasus dengan disain potong lintang di Puskesmas Bukit Kemuning Kabupaten Lampung Utara. Data diperoleh dari wawancara, dan observasi, dan penelusuran data sekunder. Wawancara mendalam dilakukan pada 12 informan yang terlibat dan memahami proses keswadanaan, tidak melibatkan pengguna Puskesmas. Hasil Penelitian menunjukkan dalam hal pengelolaan sumber daya manusia sesudah swadana dengan adanya kebijakan untuk dapat menggunakan pendapatan fungsional untuk menunjang pengelolaan sumber daya manusia menyebabkan telah diberikannya insentif sebagai sistem reward, dilakukannya kegiatan pendidikan dan ketrampilan secara mandiri serta dilakukannya kegiatan peningkatan kedisiplinan. Hasil kegiatan ini adalah terjadinya peningkatan pendapatan karyawan dari Rp 8.974.523 (tahun 1999) sampai Rp 35.580.745 (tahun 2001), adanya kegiatan peningkatan pengetahuan karyawan yang dilaksanakan secara mandiri sebanyak 6 kali dan adanya peningkatan jumlah hari kerja dari 93,72 % ke 96,05 % dibandingkan sebelum swadana. Permasalahan yang ada adalah masa depan tenaga honorer, belum adanya konsep perhitungan insentif dan standar pelaksanaan pelatihan. Dalam hal pengelolaan keuangan menunjukkan bahwa sesudah swadana dengan adanya sumber dana dari seluruh pendapatan fungsional Puskesmas dan kebijakan mengelola semua pendapatan fungsionalnya sehingga menyebabkan penganggaran keuangan dilakukan terpadu dengan botom up system, penerimaan dari semua pelayanan dengan sistem satu pintu, penggunaan keuangan berdasarkan pedoman yang telah disahkan dan pelaporan keuangan yang dilaksanakan tiap bulan dan akhir tahun yang terdokumentasi lengkap dibandingkan sebelum swadana. Permasalahan yang ada sesudah swadana adalah administrasi yang rinci dengan tidak didukungnya penyelenggara keuangan dengan pendidikan dan pelatihan yang sesuai. Puskesmas swadana membawa manfaat terutama dalam bidang pengelolaan sumber daya manusia dan pengelolaan keuangan untuk meningkatkan pelayanan, sehingga dapat diterapkan pada Puskesmas lain yang telah memenuhi kriteria. Puskesmas swadana juga merupakan salah satu solusi mengurangi beban pemerintah daerah dalam rangka menyediakan kebutuhan dana untuk operasional Puskesmas namun harus disesuaikan dengan kondisi daerah dimana Puskesmas berada.
Financial and Human Resources Management before and after Implementation of Swadana Policy (A Case Study in Bukit Kemuning Health Center, North Lampung District, 2002)To achieve the goal of health development, the District Health Office of North Lampung has decided Bukit Kemuning Health Center to be transformed as an Swadana Health Center. The Health Center has a more flexibility in managing its revenue and uses it to improve the quality of care. Bukit Kemuning Swadana Health Center has been set up as a trial Health Center three years ago and need to be evaluated as lesson learned and further policy making. A study is conducted to obtain the information on the management of financial and human resources before and after implementation swadana policy the input, process and out-put approach. This study is a cross-sectional study. The data were obtained from in-depth interview, observation, and analysis of the secondary data. In-depth interview is conducted, 12 informants that related and understand to the process of swadana policy were interview. The result of study showed that there was improvement on management of human resources after implementation of the policy where they could use their revenue for incentive as part of the reward system. Education and training activities were also undertaken to improve staff skills. There was also improvement in discipline on staff. The employees? income has increased from Rp. 8.974.523 in 1999 to Rp. 35.580.745 in 2001, as well as the knowledge of employee and productive working days increase from 93.72% to 96.05%. However, sustainability for providing honoraria of the staff remains questionable. The employment status has not cleared yet, since there is no concept of incentive formula and standard of training for the employee. After implementation of the policy swadana unit, Bukit Kemuning Health Center managed its revenue from all source of funds. The budget is allocation process is conducted integrated leg using bottom up approach, one door policy. Monthly and annual income statements were documented regularly. However, the financial administration in detail remain a problem, it is not supported by training on financial management. After implementation of swadana Health Center, the management of financial and human resources at Bukit Kemuning Health Center has been improving. The policy might be applied to other Health Centers, as long as is the criteria could be met. District Health office could consider this policy to reduce financial burden without scarifying the community.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 10068
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jumianto Sri Widodo
Abstrak :
Untuk mewujudkan tujuan nasional seperti yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, perlu adanya kerja keras dari seluruh bangsa Indonesia pada umumnya dan pegawai negeri sipil selaku pengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan pada khususnya. Untuk itu perlu peningkatan mutu profesionalisme kerja di kalangan pegawai negeri sipil. Di bulan April tahun 1994, tepatnya tanggal 18, Presiden Soeharto menetapkan Peraturan Pemerintah Nornor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, yang ditujukan untuk menetapkan jenjang jabatan baru di kalangan pegawai negeri sipil yaitu jabatan fungsional yang kriteria pengangkatan dan kenaikan pangkatnya didasarkan pada angka kredit. Dengan adanya jenjang jabatan baru di kalangan pegawai negeri sipil tersebut diharapkan bahwa mutu profesionalisme kerja pegawai negeri sipil akan meningkat, sehingga pegawai negeri sipil akan lebih dapat berdaya guna dan berhasil guna dalam menjalankan tugas umum pemerintahan dan pembangunan dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Metode pengumpulan data yang penulis lakukan adalah melalui observasi langsung ke Badan DIKLAT Departemen Dalam Negeri untuk mendapatkan dokumen-dokumen tertulis serta gambaran umum tentang Badan DIKLAT itu sendiri dan Widyaiswara, wawancara terhadap baik aparat pelaksana maupun Widyaiswara, dan pembuatan kuesioner untuk diisi oleh aparat pelaksana maupun Widyaiswara. Selama penelitian, penulis mendapatkan bahwa dokumen-dokumen tertulis berupa peraturan-peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 ini sudah menunjukkan kelengkapannya dan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaannya juga menunjukkan pengaruh yang cukup positif, yang berarti bahwa sikap aparat pelaksana maupun Widyaiswara sudah cukup mendukung pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini. Walaupun demikian, pemerintah harus lebih banyak lagi mengeluarkan kebijaksanaannya yang berorientasi terhadap peningkatan mutu pegawai negeri sipil yang diikuti dengan pelaksanaan yang berkesinambungan dan serius.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adityo Sri Widodo
Abstrak :
Pembatalan akta jual beli yang dibuat PPAT haruslah diputuskan oleh lembaga peradilan yang berwenang dalam menangani obyek sengketa berdasarkan kompetensi absolut dari lembaga peradilan tersebut. Namun pada kasus kepemilikan obyek bidang tanah terdapat perbedaan penafsiran hukum dalam menangani sengketa tersebut yaitu antara Peradilan Tata Usaha Negara dengan Peradilan Umum. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar memutuskan untuk membatalkan penerbitan Akta Jual Beli No. 86/JBL/Kec. Tombasian/1995 yang dibuat oleh Camat Tombasian yang bertindak sebagai PPAT karena pejabat yang bersangkutan dianggap melakukan penyalahgunaan wewenang jabatannya dan tidak jelasnya alas hak dari penjual dalam pembuatan akta jual beli tersebut sedangkan Peradilan Umum dalam penyelesaian gugatan secara perdata memutuskan bahwa dasar dari syarat sahnya peralihan hak atas tanah dalam perbuatan hukum, yaitu jual beli yang obyeknya adalah bidang tanah yang dibuat oleh para pihak didalam akta jual beli dihadapan Camat Tombasian yang dalam hal ini bertindak dalam jabatannya sebagai PPAT telah memenuhi syarat dan sah secara hukum sehingga mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang telah membuatnya. Penelitian yang dilakukan secara yuridis normatif ini memperoleh kesimpulan bahwa kewenangan dalam menangani dan memutuskan tentang keabsahan dan/ kebatalan akta jual beli tentang kepemilikan obyek bidang tanah adalah kewenangan peradilan umum/perdata. Akta jual beli bukanlah produk Keputusan Tata Usaha Negara sehingga Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang membatalkan penerbitan Akta Jual Beli No. 86/JBL/Kec. Tombasian/1995 yang dibuat Camat Tombasian yang bertindak sebagai PPAT. Kewenangan peradilan dalam menangani suatu sengketa tanah mempunyai arti yang sangat penting dalam menciptakan suatu kepastian hukum bagi penegakan dan penerapan aturan hukum yang akan dipakai dalam memutuskan sengketa kepemilikan obyek bidang tanah. ......Nullification of sale and purchase deed issued by PPAT (land conveyancer) has to be rendered by a judicial agency which has the authority to handle the dispute in accordance with the absolute competence of such judicial agency. However, in case of land ownership, there are different legal interpretations between State Administrative Court and General Court in handling the dispute. Makassar State Administrative Court decides to nullify the issuance of Sale and Purchase Deed No. 86/JBL/Kec. Tombasian/1995, which is issued by Tombasian Subdistrict Head as PPAT, due to abuse of position of power by the authority and ambiguity of the seller entitlement in the sale and purchase deed, whereas in the dispute settlement under civil laws, the General Court decides that the basis of validity of transfer of land title in the legal act, which is the sale and purchase of a land by the parties in a sale and purchase deed entered into before the Tombasian Subdistrict Head, who in this case is acting in his authority as PPAT, has complied with the provisions and is valid and binding to the parties to the deed. This normative jurisdiction study concludes that general/civil court possesses the authority in handling and deciding the validity and nullification of land sale and purchase deed. Sale and purchase deed is not a product of State Administrative Court, hence such court does not have the authority to nullify the issuance of Sale and Purchase Deed No. 86/JBL/Kec. Tombasian/1995 issued by Tombasian Subdistrict Head as PPAT. Judicial authority in handling territorial dispute is crucial in creating legal certainty for the enforcement and implementation of the laws and regulations that will be used in resolving disputes over land ownership.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T44366
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library