Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sukiman
"Pemanas air surya termosifon adalah salah satu bentuk konversi energi surya. Salah satu komponen yang menunjang dari pemanas air tersebut adalah solar kolektor. Sekarang ini, tembaga merupakan bahan solar kolektor yang banyak dipakai karena memiliki konduktivitas termal yang besar namun mempunyai berat jenis yang cukup berat. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan alternatif bahan solar kolektor yang mempunyai berat jenis yang ringan tetapi mempunyai konduktivitas termal yang baik, salah satunya bahan plastik EN150SP sedang dikembangkan untuk bahan solar kolektor karena mempunyai berat jenis yang sangat ringan tetapi diperkirakan mempunyai konduktivitas termal yang baik. Penelitian yang dilakukan diantaranya menentukan koefisien gesek pada saluran plastik EN150SP bergeometri bujur sangkar 10 mm X 10 mm pada aliran turbulen dengan rentang bilangan Reynolds tertentu yang mempunyai kaitan dan mempengaruhi laju aliran fluida dalam saluran. Penelitian ini menggunakan alat uji menggunakan variasi bilangan Reynolds untuk menghitung penurunan tekanan, debit air, yang digunakan untuk mendapatkan kecepatan sepanjang saluran solar kolektor dan koefisien gesek. Hasil yang didapat dari penelitian adalah besar koefisien gesek adalah diantara 0,032 sampai 0,048 pada rentang 4 x 103 < Re < 8 x 103.

Thermosiphon solar water heater is one of the solar energy conversions. Solar collector is one of the component that support it. Recenly, cooper is the most used for solar collector material because of its high thermal conductivity but has high enough density. The aims of this research is to find alternative of the solar collector material that has low density but has good thermal conductivity. The EN150SP is one of a plastic material which is been developed for solar collector material because of its very low density and predicted it has good thermal conductivity. The research will determine the friction coefficient of the 10 mm X 10 mm EN150SP plastic square channel in the turbulence flow with the Reynolds number related and to have influence on velocity fluids flow in the channel. This research uses testing equipment by variety of Reynolds number to measure pressure drop, capacity and determine velocity along a solar collector channel and a friction coefficient. Results show that at range 4 x 103 < Re < 8 x 103 the value of friction coefficient are between 0,032 till 0,048."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
S37567
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukiman
"Pelat bipolar merupakan komponen penting pada Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell (PEMFC) yang berfungsi mendistribusikan bahan bakar gas (H2 dan O2) dan mengalirkan arus listrik antar sel tunggal. Pelat bipolar berkontribusi terhadap peningkatan berat, volum, dan biaya PEMFC, sehingga dibutuhkan material penyusun pelat bipolar yang mampu mereduksi densitas dan biaya PEMFC, salah satunya adalah karbon-karbon komposit. Pelat bipolar karbon-karbon komposit untuk PEMFC dibuat dengan metode compression moulding pada temperatur 70_C selama 4 jam dengan tekanan 45 MPa. Grafit EAF (Electric Arc Furnace) sebagai matriks dari komposit ditambahkan carbon black sebagai filler dan resin epoksi sebagai binder. Carbon black dibuat dengan proses pirolisis melalui pemanasan pada temperatur 600°C selama 10 jam dalam kondisi gas inert (nitrogen) dengan bahan baku serabut kelapa. Pembuatan komposit dilakukan dengan campuran 20% resin epoksi dan 80% karbon (grafit EAF dan carbon black). Ukuran partikel grafit EAF 53 µ. Variasi ukuran partikel 10% carbon black sebesar 44 µ dan 37 µ dengan rasio 100%:0%; 90%:10%; 80%:20%; dan 70%:30% dari 80% karbon. Sifat mekanis dan listrik pelat bipolar diuji melalui pengujian densitas (ASTM D792), porositas (ASTM C20), fleksural (ASTM D790), dan konduktivitas (ASTM B193). Peningkatan kadar partikel berukuran 37 µ menunjukkan pengaruh terhadap kenaikan porositas, penurunan kekuatan fleksural dan konduktivitas listrik. Perolehan nilai porositas terendah senilai 0,85% (rasio 100%:0%), kekuatan fleksural tertinggi senilai 19,06 MPa (rasio 100%:0%), dan konduktivitas listrik tertinggi senilai 152,7 x 10-3 S/cm (rasio 90%:10%). Hasil terbaik ditunjukkan oleh pelat bipolar dengan variasi ukuran partikel carbon black 44 µ dan 37 µ dengan rasio 90%:10% menghasilkan densitas 1,69 gr/cm3, porositas 1,08%, kekuatan fleksural 18,10 Mpa, dan konduktivitas 152,7 x 10-3 S/cm.

Bipolar plates are key component of Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell (PEMFC) that is used to distribute fuel gas (H2 and O2) and to conduct electrical current between single cells. Bipolar plates contribute in increasing weight, volume, and cost of PEMFC, therefore, it needs bipolar plate constituent materials that can reduce PEMFC density and cost, one of those materials is carbon-carbon composite. Carbon-carbon composite bipolar plate for a PEMFC has been fabricated by compression moulding method at temperature 700C for 4 hours with pressure 45 MPa. EAF (Electric Arc Furnace) graphite as matrix of composite added with carbon black as filler and epoxy resin as binder. Carbon black has been prepared with pyrolysis process by heating at 600_C for 10 hours under inert gasses (nitrogen) condition with coconut fibers as the raw material. Fabrication of composites made with mixture of epoxy resin 20% and carbon 80% (EAF graphite and carbon black). EAF graphite particle size is 53 µ. Particle size variation of carbon black 10 % as big as 44 µ and 37 µ with ratio 100%: 0%; 90%: 10%; 80% : 20%; and 70%: 30% from carbon 80%. Mechanical and electrical properties were tested by density (ASTM D792), porosity (ASTM C20), flexural (ASTM D790), and conductivity (ASTM B193) testing. Increasing particle content with size 37 µ shows the effect of increasing porosity, decreasing flexural strength and electrical conductivity. The lowest porosity obtain was 0,85% (ratio 100%:0%), the highest flexural strength obtained was 19,06 MPa (ratio 100%:0%), and the highest electrical conductivity obtained was 152,7 x 10-3 S/cm (ratio 90%:10%). The best result showed by bipolar plate with particle size variation of carbon black 44 µ and 37 µ with ratio 90%: 10% resulted density 1,69 gr/cm3, porosity 1,08%, flexural strength 18,10 Mpa, and conductivity 152,7 x 10-3 S/cm."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S51623
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Husnaniah B. Sukiman
"Katarak merupakan penyebab utama kebutaan terutama di negara berkembang. Di Indonesia dari hasil survei morbiditas Departemen Kesehatan tahun 1982, didapatkan angka kebutaan pada kedua mata sebanyak 1,2%, dimana 0,76% disebabkan oleh katarak, 0,13% kekeruhan kornea, 0,10% glaukoma, 0,06% refraksi, 0,03% retina dan 0,02% kekurangan giz (1). Dari kenyataan ini dapat dimengerti mengapa hampir setiap dokter mata lebih sering melakukan bedah katarak dibandingkan dengan bedah mata lainnya.(2)
Penderita katarak datang kepada dokter mata bukan dengan maksud untuk mengangkat kataraknya melainkan dengan tujuan untuk dapat melihat lagi. Hal ini membuat dokter mata berkewajiban untuk lebih menyempurnakan prosedur operasinya dalam mengurangi risiko komplikasi (2).
Salah satu komplikasi yang paling ditakuti adalah endoftalmitis pasca bedah. Meskipun dengan diagnosis yang cepat serta pengobatan yang agresif, mata yang telah terinfeksi ini sukar kembali normal.(3,4)
Berbagai sumber infeksi dapat mencemari isi bola mata sewaktu dilakukan bedah katarak, salah satunya adalah flora normal dari jaringan mata penderita sendiri.(3,5,6,7) Locatcher-Khorazo, Seegal, Goodner (dikutip oleh Forster) dan Indrakesuma di Bagian Mata FKUI/RSCM, mendapatkan bahwa Stafilokokus epidermidis merupakan flora normal yang terbanyak terdapat pada jaringan mata penderita pra bedah katarak, disamping Stafilokokus aureus.(5,8)
Forster dan Valenton menemukan Stafilokokus epidermidis dari isolasi kuman sebagai penyebab endoftalmitis pasca bedah katarak, sedangkan Allen menemukan Stafilokokus aureus disamping Pseudomonas aeruginosa dan miselaneus.(5,9,10)
Dari keadaan tersebut diatas jelas tergambar bahwa flora normal pada jaringan mata penderita dapat mencemari isi bola mata sewaktu dilakukan bedah katarak. Dikatakan bahwa penggunaan antibiotika topikal pra bedah katarak .masih merupakan kontroversi. Hal ini karena efek toksis, resistensi kuman dan reaksi alergi, terutama bila antibiotika tersebut nantinya juga dipakai secara sistemik.(11, 12)
Pemakaian povidon yodium sebagai antiseptik topikal merupakan pilihan lain untuk mencegah pertumbuhan kuman pra bedah katarak. Selain harganya yang cukup murah, yodium yang dilepas akan bekerja sebagai bakterisid berspektrum luas yang membunuh semua bakteri dalam waktu kurang dari satu menit, kecuali yang berbentuk spora akan lebih lambat dipengaruhi. Belum pernah dilaporkan adanya resistensi kuman terhadap povidon yodium, disamping itu penggunaannya tidak menyebabkan toksik terhadap kornea dan konjungtiva.(13,14,15,18)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nofid Rizal Sukiman
"Semakin meningkatnya kepedulian masyarakat akan pencemaran lingkungan, akhirnya memicu perkembangan teknologi-teknologi yang dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Beberapa Iimbah yang menjadi sorotan masyarakat antara lain adalah limbah logam berat serta limbah organik. Proses fotokatalitik merupakan salah satu alternatif untuk pengolahan limbah logam berat dan lirnbah organik secara simultan. Oleh karenanya perlu dilakukan penelitian sejauh mana proses simullan dapat berjalan dengan kondisi operasi seperti pH larulan dan konsentrasi awal masing-masing Iimbah.
Percobaan yang dilakukan meliputi pengolahan limbah Cr(V1), I-Ig(II) dan fenol yang dilakukan dengan menggunakau fotokatalis T102 Degussa P25 dalam benluk Elm dengan menggunakan reaktor silinder berputar. Parameter yang diuji meliputi pH larutan dan konsentrasi awal larutan.
Hasil dari percobaan unluk sistem tunggal didapat konversi akhir umuk Cr(Vl) 40 ppm scbesar 75 % sctelah 8 jam reaksi pada pH larutan 2, konversi akhir fenol 40 ppm scbesar 98,6 % selelah 9 jam reaksi pada pH larutan 7, sedangkan konversi akhir Hg(I1) 40 ppm sebesar 73 % setelah 5 jam reaksi pada pl-I larutan 7.
Untuk sistem simultan, penambahan konsentrasi fenol 20 ppm, 40 ppm, 100 ppm, dan 1000 ppm kc c1z1|z1m Iarulan Cr(\/1) 40 ppm mampu menghasilkan konversi reduksi Cr(Vl) sebesar 90,3 %, 96,S%, 87,4 %, dan 37,5 % selama 5 jam reaksi. Untuk degradasi fenul, dihasilkan konversi sebesar 89,9 %, 89,6 %, 60,2 %, dan 35 % pada penambahan konsentrasi fenol 20 ppm, 40 ppm, 100 ppm, dun 1000 ppm ke dalam larutan Cr(V1) 40 ppm selama 5 jam reaksi. Untuk reduksi Hg(1l), pada penambahan fenol 40 ppm ke dalam Iarutan 1-1g(11) mampu menghasilkan konversi reduksi sebesar 80,1 % selama 5 jam reaksi."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2004
S49456
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Evan Putra Sukiman
"Sifat mampu cor (castability) yang baik menjadi hal yang sangat penting dalam menghasilkan produk aluminium dengan ukuran ketebalan yang relatif tipis dan bentuk yang rumit. Salah satu faktor yang mempengaruhi sifat mampu cor suatu logam dalam proses pengecoran adalah fluiditas (sifat mampu alir), khususnya untuk menghindari cacat-cacat yang sering terjadi pada benda cor. Umumnya jenis cacat yang mendominasi pada proses pengecoran aluminium tuang adalah keropos shrinkage, porositas gas, dan retak panas (hot tears). Akibat permasalahan tersebut, maka dilakukanlah penelitian dengan menambahkan modifier stronsium kedalam paduan aluminium silikon (Al-7%Si dan Al-11%Si) yang bertujuan untuk mendapatkan nilai fluiditas yang baik. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mempelajari pengaruh variasi penambahan modifier stronsium (0%, 0.015%, 0.03%, dan 0.045%) terhadap morfologi struktur silikon paduan aluminium silikon (Al-7%Si dan Al-11%Si) pada temperatur tuang yang bervariasi (660_C, 680_C, 700_C, dan 720 _C) dengan menggunakan metode pengujian fluiditas vacuum suction test. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan temperatur sebesar 20_C pada paduan Al-7%Si dengan penambahan 0.03%Sr akan meningkatkan fluiditas sekitar 29.15% dan pada temperatur tuang 700_C, fluiditas dengan penambahan 0.015%Sr hingga 0.03%Sr (titik optimum) akan meningkat sekitar 13.51%. Sedangkan setiap kenaikan temperatur sebesar 20_C pada paduan Al-11%Si dengan penambahan 0.045%Sr akan meningkatkan fluiditas sekitar 8.9% dan pada temperatur tuang 680 _C, fluiditas dengan penambahan 0.03%Sr hingga 0.045%Sr (titik optimum) akan meningkat sekitar 23.13%. Penambahan 0.03%Sr pada paduan Al-7%Si akan menghasilkan struktur silikon yang lebih bulat dan tersebar merata. Hal yang sama terjadi pada paduan Al-11%Si dengan penambahan 0.045%Sr.

Good castability become a very important matter to produce aluminum product with relatively thin size and complicated shape. One of the factor that affect the castability of a metal in the casting process is fluidity, especially to avoid defects that often to be occured in the casting product. Kinds of defect which commonly dominate in the casting process of cast aluminum are shrinkage, gas porosity, and hot tears. Consequence of those problems, a research has been done by adding the strontium modifier into aluminum-silicon alloy (Al-7%Si and Al-11%Si) to obtain good fluidity. This research specifically headed for learning the effect of addition strontium modifier (0%, 0.015%, 0.03%, and 0.045%) to change the morphology of the silicon structure of aluminum silicon alloy (Al-7%Si and Al-11%Si) with the variation of cast temperature (660_C, 680_C, 700_C, and 720 _C) by using the vacuum suction test method. Result of this research indicate that for every rise of temperature about 20_C for Al-7%Si alloy with the addition of 0.03%Sr will improve the fluidity about 29.15% and at cast temperature of 700_C, the fluidity with addition of 0.015%Sr to 0.03%Sr (optimum point) will improve about 13.51%. Meanwhile for every rise of temperature about 20oC for Al-11%Si alloy with the addition of 0.045%Sr will improve the fluidity about 8.9% and at cast temperature of 680_C, the fluidity with addition of 0.03%Sr to 0.045%Sr (optimum point) will improve about 23.13%. Addition of 0.03%Sr for Al-7%Si alloy will exhibit fine, fibrous, and spread evenly of the silicon structure. A similar condition happen for Al-11%Si with the addition of 0.045%Sr."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2007
S41773
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library