Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syamsu Rizal
Abstrak :
Penetapan 26 dari sekitar 300 Daerah Tingkat II sebagai Percontohan Otonomi Daerah merupakan tahapan awal dari serangkaian tahapan dalam melaksanakan Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada Daerah Tingkat II di Indonesia. Namun, karena pertimbangan tertentu, tidak semua Daerah Tingkat II dapat melaksanakannya. Dengan demikian, Daerah-daerah Tingkat II di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu: yang sudah dan yang belum melaksanakan oonomi daerah. Perbedaan Daerah Tingkat II dalam melaksanakan oonomi daerah tersebut akan berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas Camat sebagai bawahan langsung dari Bupati kepala Daerah Tingkat II. Oleh karena itu, bobot tugas Camat akan berbeda. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan bobot tugas Camat secara empires pada Daerah Tingkat II yang belum dan sudah melaksanakan otonomi daerah, dalam hal ini Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. Penelitian dilakukan tidak hanya melalui studi kepustakaan, tetapi juga melalui studi lapangan. Hal ini dimaksudkan untuk memahami perbedaan bobot tugas Camat yang sesungguhnya terjadi di Daerah Tingkat II yang belum dan sudah melaksanakan otonomi daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan bobot tugas Camat di kedua Daerah Tingkat II signifikan, khususnya dalam hal pelaksanaan asas desentralisasi. Bobot tugas desentralisasi Camat di Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung lebih banyak dibandingkan dengan bobot tugas Camat di Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung. Berkenaan dengan pelaksanakan asas dekonsentrasi, bobot tugas Camat relatif sama, sekalipun volume dan jenis kegiatannya agak berbeda. Namun, pertambahan urusan di tingkat kecamatan tidak diimbangi oleh perubahan kelembagaan, personil, perlengkapan, dan pembiayaan yang diperlukan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bobot tugas Camat di Daerah Tingkat II yang telah melaksanakan otonomi daerah lebih besar daripada bobot tugas Camat di Daerah Tingkat II yang belum melaksanakan otonomi daerah. Oleh karena itu, untuk mengimbangi pertambahan bobot tugas tersebut, perlu perubahan dalam kelembagaan, personil, perlengkapan, dan pembiayaan di tingkat Kecamatan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsu Rizal
Abstrak :
Sebagaimana diketahui bahwa peranan industri manufaktur sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia,baru menunjukkan hasilnya menjelang berakhirnya PELITA III. Namun demikian, karena struktur produksi manufaktur saat itu sangat rentan terhadap external shock, maka kontribusinya bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi cenderung menurun. Kemudian pada saat memasuki PELITA IV, sejalan dengan diimplementasikannya kebijaksanaan deregulasi. (reformasi) ekonomi, laju pertumbuhan sektor industri manufaktur meningkat pesat dan share-nya dalam GDP juga semakin membesar. Menjelang berakhirnya PELITA V, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dibela ekspor sempat terganggu, dengan melemahnya ekspor komoditi non migas andalan. Banyak faktor yang menyebabkan merosotnya ekspor komoditi tersebut, salah satunya adalah tingkat daya saing, yang dimanifestasikan dalam ukuran efisiensi produktif. Oleh karena itu, penyelidikan dalam thesis ini mencoba untuk menganalisis perubahan kinerja spesifik (efisiensi produktif) industri manufaktur sehubungan dengan diimplementasikannya kebijaksanaan deregulasi selama periode tahun 1984-94, dan agar dapat dibandingkan dengan keadaan selama periode pra deregulasi, maka rentang analisisnya dipilih dari tahun 1981-94. Penelitian empiris yang khusus memfokuskan pengaruh deregulasi terhadap kinerja spesifik industri manufaktur Indonesia, belum banyak dilakukan, diantaranya yang paling menonjol adalah penelitian Miranda S. Goeltom (1992}. Salah satu hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa reformasi ekonomi berdampak positif terhadap kinerja spesifik perusahaan manufaktur, baik perusahaan kecil, konglomerat, maupun perusahaan berorientasi ekspor. Sementara penelitiannya Rinaldi (1994) mengungkapkan bahwa reformasi ekonomi berpengaruh terhadap kinerja spesifik industri manufaktur Indonesia. Sedangkan penelitian empiris lainnya hanya menganalisis hasil estimasi efisiensi teknis industri manufaktur Indonesia, sebagaimana dilakukan Pitt and Lee (1982} den Hill and Kalirajan (1991). Meskipun beberapa penyelidikan terdahulu menunjukkan adanya pengaruh positif reformasi ekonomi terhadap perbaikan efisiensi teknis, tetapi belum diungkapkan pola perubahan efisiensi produktif industri manufaktur Indonesia selama diimplementasikannya kebijaksanaan dereguiasi. Untuk itu, penyelidikan dalam thesis ini akan menganalisis hal tersebut, dengan cara mendekomposisi efisiensi produktif menjasi efisiensi teknis, alokatif, dan skala, sebagaimana telah dilakukan Yong and Kalirajan (1995) dalam menyelidiki pola perubahan efisiensi produktif industri besi dan baja China, tetapi dalam thesis ini akan digunakan data panel. Ada dua pendekatan untuk mengestimasi efisiensi produktif, pertama menggunakan panel data analysis dengan composed error model, dimana disturbance error didekomposisi menjadi tiga variat unobservable, sebagaimana dilakukan Miranda S. Goeltom (1992), Cornwell, Schmidt, and Sickles (1990), Hsiao (1986), Schmidt and Sickles (1984), dan Hausman and Taylor (1981). Kedua, menggunakan stochastic frontier model, dalam hal ini distrurbance error didekomposisi menjadi one-sided error yang menampung firm-specific effects dan two-sided error yang menampung random noise. Aplikasi model stochastic frontier tersebut dalam estimasi efisiensi produktif telah berkembang luas, sejak pertama kali Farrel (1957) mengusulkannya. Dalam thesis ini, untuk mengestimasi efisiensi produktif diaplikasikan model stochastic frontier production function, dengan one-sided error diasumsikan berdistribusi half-normal (Aigner et al, 1977; Stevenson, 1980; Pitt and Lee, 1981, Jondrow et al, 1982, Kalirajan and Tse, 1989; Hill and Kalirajan, 1991; Yong and Kalirajan, 1995), dan berdistribusi eksponensial (Meeusen. and van den Smack, 1977; Aigner et al, 1977; Jondrow et al, 1982). Sedangfungsi praduksinya merupakan fungsi produksi translog dan Cobb-Douglas, dengan variabel tidak babas gross value added dan variabel bebas terdiri dari input modal kerja, modal investasi, dan jumlah tenaga kerja. Karena data yang dianalisis merupakan data panel, maka efisiensi teknis diestimasi dengan menggunakan formulasi sebagaimana diusulkan Battese and Coelli (1988), Kalirajan and Tse (1989), Hill and Kalirajan (1991) dan Yong and Kalirajan (1995), sedangkan estimasi efisiensi alokatif dan skala menggunakan formulasi yang diusulkan Khumbakar et al (1989) den Yong and Kalirajan (1995). Proses estimasi diawali dengan analisis data panel untuk mengestimasi parameter fungsi produksi translog, yang menunjukkan bahwa fixed effect model signifikan. Karena nilai estimasi koefisien model empiris fungsi produksi tersebut hampir semuanya negatif, maka pengujian model estimasi selanjutnya gagal, sehingga model estimasi empiris fungsi produksi translog didrop. Kemudian analiais data panel dilanjutkan dengan mengestimasi parameter fungsi produksi Cobb-Douglas, yang hasilnya menunjukkan bahwa fixed effect model signifikan. Melalui pengujian kesamaan elastisitas produksi dan restrikai CBTS, diperoleh hasil bahwa model empiric fungsi produksi Cobb-Douglas signifikan memiliki elastisitas sama dengan satu, dan nilai estimasi elastisitas pada periode pra deregulasi dan periode deregulasi berbeda signifikan. Sedangkan perubahan elastisitas produksi selama periode deregulasi, untuk input modal kerja dan modal investasi menunjukkan pola semakin meningkat, sedangkan input tenaga kerja semakin menurun. Oleh karena asumsi elastisitas sama dengan satu terpenuhi, maka estimasi parameter model stochastic frontier fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dilakukan. Dalam hal ini, motode MLE digunakan untuk mengestimasi parameter model stochastic frontier tersebut, yang nilai estimasinya merupakan hasil iterasi dari pendekatan Davidon-Fletcher-Powell dengan starting value ODS estimates bersangkutan. Hasil estimasi parameter model stochastic frontier tersebut menunjukkan bahwa selama periode pra deregulasi, komponen error yang dipengaruhi faktor internal secara signifikan lebih besar daripada komponen error yang barsifat acak, sedangkan selama periode deregulasi secara tidak signifikan komponen error yang bersifat acak lebih basar daripada yang dipengaruhi faktor internal. Sehingga, variasi perbedaan gross value added aktual dengan potensialnya, selama periode pra deregulasi, dipengaruhi efisiensi produktif, sedangkan selama periode deregulasi tidak demikian. Dalam arti, kebijaksanaan deregulasi yang diimplementasikan dapat meningkatkan kinerja spesifik industri manufaktur dengan pola yang konsisten dan kontinu. Berdasarkan hasil estimasi parameter model stochastic frontier tersebut, selanjutnya diestimasi ukuran efisiensi produktifnya. Selama periode pra deregulasi, rata-rata efisiensi teknis industri manufaktur berkisar antara 61.78% dan 63.72%, yang pada periode deregulasi meningkat menjadi berkisar antara 81.61% dan 83.02%. Rata-rata efisiensi alokatif untuk kedua periode tersebut, menunjukkan bahwa input modal kerja maupun investasi under-utilized dibandingkan input tenaga kerja. Namun demikian, selama periode deregulasi, rata-rata efisiensi alokatif tenaga kerja dan modal kerja meningkat sebesar 53%, dan rata-rata efisiensi alokatif tenaga kerja dan modal investasi meningkat sebesar 50% dibanding periode pra deregalasi. Sedangkan rata-rata efisiensi skala untuk kedua periode tersebut menunjukkan nilai negatif, yang berarti perusahaan (kelompok) industri dalam menetapkan harga outputnya cenderung melebihi biaya marjinalnya, sehingga cenderung berproduksi lebih rendah dari skala produksi optimumnya. Dalam hal ini, bisa disimpulkan bahwa. kebijaksanann deregulasi dapat meningkatkan efisiensi produktif secara teknis dan alokatif, tetapi tidak secara skala. Dengan kata lain, kebijaksanaan deregulasi yang telah diimplementasiken hanya berpengaruh terhadap mekanisme pasar faktor dan pasar uang semata-mata, tetapi tidak berpengaruh terhadap mekanisme pasar barang. Oleh karena itu, selama periode deregulasi, perubahan efisiensi teknis maupun alokatif menunjukkan pola yang semakin meningkat secara konsisten dan kontinu, sedangkan efisiensi skala menunjukkan pola yang menurun. Kelemahan dari hasil penyelidikan dalam thesis ini terutama bersumber dari data yang dianalisis,karena data tersebut selain sangat agregatif (kelompok industri berkode ISIC tiga digit), juga mengandung random noise cukup besar yang mungkin bersumber dari kesalahan pengukurun, time-lag, peramalan, maupun konsepsualisasi, maka hasil estimasi efisiensi produktif tersebut akan berbias ke atas (up-ward bussed) juga presisinya kurang baik. Agar diperoleh hasil estimasi yang memiliki presisi dan akurasi lebih baik, maka perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut dengan menggunakan data hingga firm-level, den juga agar diperoleh mutu hasil estimasi efisiensi alokatif dan skala yang lebih baik perlu digunakan shadow price untuk input faktor maupun output. Dalam hal ini, shadow price bisa diambil dari harga impor atau international price input faktor maupun output bersangkutan.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsu Rizal
Abstrak :
ABSTRAK
Studi ini meneliti pengaruh faktor-faktor budaya perusahaan dan iklim organisasi terhadap kepuasan kerja karyawan di PAM JAYA. Landasari teoritis yang dipergunakan bertolak dari asumsi Dotter dan Hesket bahwa variabel penting yang mempengaruhi kemajuan dan produktivitas perusahaan bukan hanya pada faktor manajemen, fungsi-fungsi penyelesaian tugas atau struktur organisasi, tetapi juga pada aspek kultural.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Metode pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) Cara : Pertama, pengumpulan data primer melalui penyebaran angket berstruktur terhadap sejumlah sampel karyawan PAM JAYA yang ditarik secara stratified random sampling propotional.

Kedua, pengumpulan data sekunder berupa laporan keuangan, serta data lainnya yang relevan serta wawancara mendalam terhadap responden kunci khususnya untuk menanyakan berbagai hal yang berkaitan dengan kondisi perusahaan.

Dari hasil analisis diskriminan, terdapat 5 (lima) variabel yang mempunyai kontribusi dan pengaruh yang cukup signfikan terhadap kepuasan kerja yaitu : pemahaman yang rendah tentang sistem kerja dan jenjang karier, ioyalitas yang tinggi dari karyawan terhadap perusahaan, pemahaman yang tinggi akan pentingnya prestasi dan kerja keras, pemahaman yang tinggi dari karyawan tentang nilai dan norma yang dijunjung tinggi oleh perusahaan dan pemahaman yang rendah dari karyawan mengenai filosofi perusahaan. Ini berarti, kelompok karyawan yang tinggi kepuasan kerjanya, disatu pihak mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap perusahaan, mempunyai pemahaman yang cukup tinggi akan pentingnya prestasi dan kerja keras serta mempunyai pemahaman yang tinggi terhadap nilai--nilai dan norma-norma yang dijunjung tinggi oleh perusahaan. Di lain pihak, mereka yang merasa puas ini ternyata mempunyai pemahaman yang rendah baik terhadap sistem kerja dan jenjang Miler ataupun terhadap filosofi perusahaan. Dari gambaran di atas dapat dikatakan bahwa filosofi perusahaan serta sistem kerja dan jenjang karier belum tersosialisasikan atau belum jelas.

Daftar Pustaka : 35 buku + 2 artikel + 8 peraturan + 2 lain-lain.
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsu Rizal
Abstrak :
Kerjasama antara negara baik dalam lingkup bilateral, regional dan multilateral sangat dibutuhkan oleh suatu negara, dimana suatu negara tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya interaksi dengan negara lainnya baik dalam sektor ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri ASEAN (Asosiation South East Asia Nation) yang mayoritas ruang lingkupnya dibidang ekonomi, politik dan sosial budaya. Organisasi ASEAN tidak bergerak di bidang pertahanan keamanan apalagi di bidang pakta pertahanan, pertahanan keamanan merupakan isu yang sensitif karena menyangkut integritas dan kedaulatan suatu negara. Politik Indonesia yang bebas aktif bertujuan untuk menciptakan keamanan di dunia, maka kerjasama pertahanan Indonesia dengan negara lain dalam bentuk kerjasama bilateral yang saling membutuhkan dan menguntungkan. Krisis moneter yang melanda Indonesia semenjak tahun 1997 sampai dengan tahun 2001 membuat Indonesia harus berjuang menggerakkan roda perekonomian bangsa yang berakibat langsung pada penghidupan masyarakat di segala strata atau tingkatan, implikasi dari krisis ekonomi ini merupakan pengaruh dari globalisasi dunia, dimana manajemen ekonomi makro Indonesia kurang begitu kokoh ditambah dan kurangnya pengawasan dari instansi yang berwenang sehingga banyak timbul KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ) yang melanda ditingkat lembaga instansi pemerintah dan non pemerintah. Beberapa kasus pelanggaran Bank yang dilakukan oleh para koruptor BLBI yang membawa uang Indonesia ke negara Singapura. Bertolak dari banyaknya para koruptor dan dana yang berasal dari Indonesia yang melarikan diri ke Singapura membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempunyai inisiatif untuk mengembalikan dana dan menghukum para koruptor yang ada di negara Singapura. Indonesia selama ini belum mempunyai perjanjian ekstradisi dengan negara Singapura maka kepentingan Indonesia di perjanjian ekstradisi sedangkan kepentingan negara Singapura di DCA (Defence Cooperation Agreement) dimana Singapura tidak mempunyai lahan latihan karena terbatasnya kondisi geografi Singapura, sehingga kerjasama pertahanan ini sangat diperlukan oleh SAF (Singapore Armed Forces) sekaligus untuk menguji alutsistanya yang jauh lebih mutakhir dan modern dari Indonesia. Perjanjian Pertahanan antara Indonesia dan Singapura telah ditandatangani pada tanggal 27 April 2007 di Tampak Siring Bali namun setelah itu banyak menuai pro dan kontra terhadap perjanjian pertahanan antara Indonesia dan Singapura karena dalam perjanjian tersebut jangka waktunya 25 tahun, wilayah latihan yang meliputi Alpha1, Alpha 2 dan Bravo cukup luas serta keterlibatan pihak ketiga yang dilibatkan oleh Singapura. Penolakan perjanjian DCA ini dari berbagai elemen masyarakat, akademisi, pengamat militer serta dari Komisi I DPRRI dengan alasan perjanjian ini merugikan Indonesia dengan beberapa alasan diantaranya terkoreksinya kedaulatan Indonesia, berpengaruh pada mata pencarian masyarakat Provinsi Kepulauan Riau serta kerusakan alam disekitar Kepulauan Anambas dan Natuna. Penolakan DCA sangat tepat karena tidak ada keuntungan yang begitu besar yang diperoleh Indonesia sedangkan kerugiannya cukup banyak seperti dijelaskan diatas, walaupun melalui perjanjian pertahanan ini bisa meningkatkan profesionalisme TNI dan alih tekhnologi. Diharapkan kerjasama pertahanan antara Indonesia dan Singapura tidak dalam kontek DCA tetapi kerjasama pertahanan antara masing-masing Angkatan Bersenjata yang selama ini sudah dilaksanakan sejak tahun 1970-an yang daerah latihannya tidak luas serta peningkatan anggaran pertahanan secara bertahap dengan tujuan untuk menjaga seluruh kedaulatan Indonesia serta dengan ditolaknya perjanjian pertahanan RI-Singapura akan memperkuat Ketahanan Nasional Indonesia karena kedaulatan tetap terjaga tanpa di masuki oleh negara lain.
A country needs cooperation in bilateral, regional or multilateral because it is very difficult for one country to exist without interaction with other countries in economy, politics, socio-culter, security and defence matters. Indonesia as one of the founding members of ASEAN (Association of South Asia Nations) whose scope of cooperation involves economic, political, and socio-culter affairs realize this. ASEAN itself is not a defence pact as it is a sensitive issue for the integrity and sovereignty of member countries. Indonesia?s politics which is free and active aims at creating security in the world. This drives Indonesia to have defence cooperation with other countries in a mutually beneficial bilateral agreement. The 1997-2001 Monetary Crises forced Indonesia to drive its economy and brought direct impact to the livelihood of Indonesians in all walks of life. The crises it self was the effect of globalization. At that time Indonesian?s macro economy was not so strong and made worse due to lack of institusional control. As a result, corruption, collusion, nepotism (popularly abbreviated as KKN) widely happened in government and non-government institutions. One of the big cases was BLBI (Liquidity Assistance of Bank of Indonesia). In this case many corruptors brought the funds to Singapore. Recognizing the fact that many corruptors and theirs funds went to Singapore, President Susilo Bambang Yudhoyono decided to regain the funds and bring the corruptors in Singapore to Indonesian court. Indonesia did not have extradition agreement with Singapore before. The initiative will be possible if Indonesia and Singapore have signed an agreement. For Singapore, the agreement should be in the contex of DCA (Defence Cooperation Agreement) in which Singapore with its limited lands needs areas in Indonesia to test their more modern and sophisticated weaponries. The Defence Agreement was signed on 27 April 2007 in Tampak Siring, Bali with pro and contra about it. Those who disagree argue that the length of cooperation which is 25 years is too long. Besides that the practice zones, Alpha 1, Apha 2 , Bravo are large and enable Singapore to invite third parties in their exercises. Rejection comes not only from commission 1 of Indonesian Parliament but also from many elements of society, academicians and military observers. They argue that this agreement has affected Indonesian sovereignty and income of people in Riau islands, let alone the natural damage around Anambas and Natuna islands. This thesis supports the rejections and argues that Indonesia does not get much out of it compared to the loss as mentioned above although the agreement can improve Indonesian Armed Forces (TNI) professionalism and technology transfer. The agreement should be in the context of defence cooperation and not in the context of DCA. This has been done since 1970s with limited areas of combat practice. The dismissal of this agreement can be seen as a way to strength Indonesian national resilience as the sovereignty can be kept intact without the interference of another country while gradually increasing the defence budget to protect all Indonesian territory and sovereignty.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T29145
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsu Rizal
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1983
S16999
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library