Search Result  ::  Save as CSV :: Back

Search Result

Found 2 Document(s) match with the query
cover
Tarigan, Ingan Ukur
"Kekurangan Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia yang perlu ditanggulangi. Unicef (1997) menyatakan diperkirakan masih sekitar 6.7 juta anak balita yang menderita KEP total dan sekitar 7 juta anak yang menderita anemi gizi.
Berbagai hasil penelitian di Indonesia dan secara nasional menunjukkan bahwa prevalensi gangguan gizi (termasuk gangguan gizi ringan, sedang, dan berat) pada anak, berdasarkan BB/U < -2 SD baku WHO-NCHS, adalah sekitar 40% pada umur 6-11 bulan, dan sekitar 60% pada umur 12-36 bulan. Berdasarkan SKRT tahun 1995 terlihat bahwa prevalensi gizi kurang dan gizi buruk (baku WHO-NCHS) di Jawa Tengah mencapai 10-15%. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil Susenas 1995 untuk Jawa Tengah yaitu 10.1%.
Hasil analisis ulang data antropometri Susenas 1989 s/d 1999 yang bertujuan untuk melihat status gizi balita di Indonesia sebelum dan sesudah krisis, dimana hasil tersebut menunjukkan bahwa pada saat krisis prevalensi gizi buruk pada anak usia 6-17 bulan alau 6-23 bulan terutama yang tinggal di desa lebih tinggi dibandingkan dengan daerah kota.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan status gizi anak umur 6-36 bulan dan faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi tersebut sebelum dan saat krisis ekonomi di Jawa Tengah. Disain penelitian adalah comparative cross sectional dimana dua set data cross sectional dibandingkan yaitu sebelum krisis (1995) dan saat krisis (1998). Sampel penelitian adalah anak usia 6-36 bulan, dimana jumlah sampel sebelum krisis (4417 sampel) dan pada saat krisis (5267 sampel).
Hasil yang diperoleh adalah pada saat analisis univariat menunjukkan bahwa hanya kelompok 18-36 bulan yang terlihat perbedaan mencolok (meningkat) pada saat krisis dibandingkan dengan sebelum krisis. Sehingga kelompok umur I8--36 bulan yang dianalisis lebih lanjut. Hasil analisis multivariat sebelum krisis menunjukkan bahwa hanya 4 variabel faktor risiko yang mempunyai hubungan bermakna dengan status gizi anak 18-36 bulan, yaitu status ASI (OR= 0.78), pendidikan ibu rendah (OR= 1.48), sumber air minum (OR= 1.52), dan status diare (OR= 2.10). Sementara pada saat krisis variabel yang berhubungan bermakna dengan status gizi adalah tempat BAB (OR= 1.61), status diare (OR= 1.95), status ISPA (OR= 1.43), pendidikan ayah sedang (OR 1.29), pendidikan ayah rendah (OR=2.20), status ASI (OR= 0.71), dan terjadi interaksi antara pendidikan ayah rendah dengan tempat BAB.
Berdasarkan hasil tersebut disarankan perlu penelitian yang lebih mendalam khususnya kelompok batita, apakah benar kelompok umur 18-36 bulan yang terkena dampak krisis ekonomi sehingga intervensi yang akan dilakukan tepat kepada sasaran. Selanjutnya perlu dilakukan revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan & Gizi (SKPG) agar dapat mendeteksi lebih awal dan meledaknya gizi buruk pada saat krisis dapat dicegah, penyuluhan, perbaikan suplai air bersih, pengelolaan sanitasi lingkungan.

Nutritional Status Figure of Children aged 6-36 Months Before and During Economic Crisis and Related to Nutritional Status in Central JavaEnergy and protein malnutrition persists as one of main nutritional problems in Indonesia. Unicef (1997) estimated around 6.7 millions of children still suffering from total energy and protein malnutrition and 7 millions of children from nutritional iron deficiency.
Results from studies in Indonesia showed children malnutrition prevalence (including mild, moderate and severe status) based on standard weight for age (BB/U < - 2 SD) WHO-NCHS, were around 40% for 6-11 months, and 60% for 12-36 months. National household health survey (SKRT) 1995 revealed malnutrition prevalence of mild and severe level (WHO-NCHS standard) in Central Java was 10-15%. This result was not different from Susenas data 1995 in Central Java 10.1 %.
Reanalysis data of anthropometry from Susenas 1989 to 1999 was aimed to look for nutritional status of children before and during the crisis. The results gave information that during the crisis severe malnutrition prevalence of children 6 to 17 months or 6-23 months, especially living in rural area, was higher than of in urban area.
Objective of this study was to examine nutritional status changes of children aged 6-36 months and the factors related to nutritional status before and during economic crisis in Central Java. Design of comparative cross sectional was used in this study which compared two sets of cross sectional data, before (1995) and during crisis (1998). Total sample of children aged 6 to 36 months before the crisis was 4417 and during the crisis was 5267.
Results from univariat analysis revealed only group of children aged 18-36 months was significantly different during the crisis, if this group was compared from before the crisis. Therefore, only this age group was further then analyzed. Multivariat analysis results before the crisis showed only 4 factor variables significantly correlated to nutitional status of 18-36 months children, namely breast milk(ASI) status (OR=0.78), low mother education level (OR=1.48), water drink source (OR=1.52) and diarrhea status (OR=2.10). While during the crisis, variables correlated to nutritional status were BAB (OR=1.61), diarrhea status (OR=1.95), ISPA status (OR=1.43), moderate level education of father (OR=1.29), low level education of father (OR=2.20), breast milk (ASI) status (OR=0.71), and interaction between low level education of father and place for defecation (BAB).
Based on that result, it is needed further study especially for the group of children under three, whether the most hit by economic crisis is children aged 18-36 months. Consequently, it is needed immediate proper intervention to the target group. And then it is necessary to conduct revitalization of Early Warning System of Food and Nutrition (SKPG) in order to be able to detect early outbreak of and to prevent from severe malnutrition during the crisis. Besides it is important also to improve a cleaning water supply, health advocation, and sanitary environment management.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T9342
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Ingan Ukur
"Angka kematian perinatal di Indonesia masih merupakan masalah penting yang harus ditanggulangi. Hasil SDKI (2002 s/d 2012) menunjukkan angka kematian perinatal di Indonesia masih stagnan dan cenderung meningkat. Untuk menekan angka kematian perinatal, dibutuhkan ketersediaan pelayanan kesehatan yang berkualitas, tenaga kesehatan yang kompeten dan dekat dengan masyarakat.Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah deteksi dini komplikasi kehamilan. Alat teknologi yang sering digunakan untuk deteksi dini komplikasi kehamilan adalah USG. Adanya keterbatasan tenaga kesehatan khususnya dokter atau dokter spesialis kebidanan di daerah sulit dan terpencil, maka perlu di teliti tentang kemampuan bidan dalam deteksi dini komplikasi kehamilan dengan menggunakan alat USG, yang pada akhirnya diharapkan dapat menurunkan kematian perinatal.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kemampuan bidan yang menggunakan alat USG dalam deteksi dini komplikasi kehamilan (Plasenta Previa, Gemelli, dan Malpresentasi) dan kontribusinya dalam menurunkan kesakitan dan kematian perinatal yang cost efektif.
Desain penelitian ini adalah quasi eksperimen, yang dilaksanakan di 20 puskesmas di kabupaten Bogor, dan dua rumah sakit rujukan, yaitu RS Cibinong dan Ciawi. Pada puskesmas intervensi disediakan alat USG sementara pada puskesmas kontrol tanpa alat USG. Masing‐masing puskesmas intervensi, dua bidan terpilih dilatih menggunakan alat USG, sementara pada puskesmas kontrol tidak dilatih menggunakan alat USG.
Pelatihan dilakukan selama dua minggu dan praktek selama dua bulan sebelum penelitian, mengacu kepada kurikulum yang ada.Tahap analisis yang dilakukan adalah uji diagnostik dengan dokter spesialis kebidanan sebagai gold standar, regresi logistik, menghitung probabilitas potensi kesakitan dan kematian perinatal dan analisis efektivitas biaya.
Hasil uji diagnostik membuktikan bahwa bidan mampu melakukan deteksi dini komplikasi kehamilan dengan baik, dengan nilai sensifitas sebesar 91.67% dan spesifitas 93.94%. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa bidan yang menggunakan alat USG mempunyai kemampuan deteksi dini komplikasi kehamilan dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan bidan tanpa alat USG. Bidan dengan masa kerja < 12 tahun dalam bidang kebidanan, mempunyai kemampuan 2.27 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bidan dengan masa kerja ≥ 12 tahun. Bidan yang menggunakan alat USG dengan masa kerja di bidang kebidanan < 12 tahun mempunyai kemampuan 6.38 kali lebih tinggi dalam deteksi dini komplikasi kehamilan dibandingkan dengan bidan tanpa alat USG dengan masa kerja < 12 tahun.
Apabila seluruh kasus komplikasi yang teridentifikasi melalui alat USG dirujuk secara efektif (tepat waktu dan tepat guna) maka kasus kematian perinatal yang dapat diselamatkan adalah 20,648 kasus, 2.5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bidan tanpa alat USG dimana kasus kematian perinatal yang dapat diselamatkan hanya 8,012 kasus. Hasil analisis efektivitas biaya membuktikan bahwa deteksi dini oleh bidan yang menggunakan alat USG merupakan upaya yang cost efektif.
Rekomendasi dari penelitian ini adalah pelatihan penggunaan alat USG oleh bidan, yang meliputi teori dan praktek yang cukup, dan dalam pelaksanaannya di bawah tenaga ahli, akan menunjukkan hasil yang menjanjikan. Replikasi dari penelitian ini dapat dilakukan di daerah sulit dan terpencil untuk mengetahui hasil yang lebih spesifik tentang deteksi dini komplikasi kehamilan, dan melalui pengembangan tele‐medicine yang menghubungkan bidan di daerah sulit dan terisolasi dengan dokter spesialis kebidanan di fasilitas rujukan (RS dengan PONEK 24/7), diharapkan akan dapat menurunkan angka kematian ibu dan perinatal.

Perinatal Mortality Rate in Indonesia is still an important issue that must be addressed. The 2002‐2012 IDHS results show that perinatal mortality rate in Indonesia is still stagnant and tends to increase. The availability of good quality health services, health workersbeing competent and close to communities are needed to decline the perinatal mortality rate. One of the required efforts is through early detection of pregnancy complications. The application of ultrasound device as one of advanced technologies is often used for detecting early pregnancy complications. Due to limitations on health workers such as doctors or obstetricians in difficult and remote areas, it is important to identify midwives ability for applying early detection of pregnancy complications by using ultrasound device.
This study aims to identify midwives ability of using ultrasound device for early detection of pregnancy complications (Placenta Praevia, Gemelli, and Malpresentation) and their contribution in reducing perinatal morbidity and mortality potential that are cost‐effective.
This study used a quasi‐experiment design and conducted in 20 community health centers in Bogor district, and two referral hospitals, namely Cibinong Hospital and Ciawi Hospital. Ultrasound device is provided for intervention community health centers while for control community health centers without ultrasound device.
The training on the use of ultrasound is completed for two weeks and two months for ultrasound practices before the study. The analysis phase was performed by using diagnostic test (gold standard obstetrician), logistic regression, probabilitas, and analysis of costeffectiveness.
The diagnostic test results show that midwives are able to perform well early detection of pregnancy complications, with values: sensitivity of 91.67% and a specificity of 93.94%. Results of logistic regression analysis displayed that midwives with ultrasound device for detection of pregnancy complications has the capability of early detection of pregnancy complications two times higher than midwives without ultrasound device. Midwives with a working period in obstetrics < 12 year have the capacity of early detection of pregnancy complication 2.27 times higher than midwives with a working period in obstetrics ≥ 12 year. Midwives using ultrasound device with a working period in obstetrics <12 year have the capacity of early detection of pregnancy complications 6.38 times higher than midwives without ultrasound device with a working period < 12 year. If all complications cases were identified through ultrasound device and referred effectively (timely and appropriate), perinatal death cases which can be saved was 20,648 cases, 2.5 times higher than those without ultrasound device in which perinatal death cases can only save 8,012 cases. The results of cost effectiveness analysis demonstrated that early detection made by midwife who used ultrasound device has cost effectiveness.
The recommendationof this study isthe need of training for midwives on using ultrasound device that consists of required theory and practices and during its application under expert supervision would show promising outcomes. Replication of this study can be done in remote areas for early detection pregnancy complications, and through the development of tele‐medicine that connects midwife in remote and isolated areas with obstetricians at the referral facility (district hospital with obstetric service and comprehensive neonatal emergency care 24/7), expected to reduce maternal and perinatal mortality."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
D2022
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library