Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wanda Gautami
"Bayi prematur memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gagal tumbuh. Penelitian prospektif ini melibatkan subyek bayi dengan usia koreksi 0−24 bulan dengan riwayat prematur dan berat lahir rendah di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Dilakukan identifikasi status gizi dan identifikasi perlambatan pertumbuhan dan faktor risikonya, kemudian dinilai luaran pertumbuhan pada satu bulan pasca intervensi nutrisi satu bulan. Total subyek yaitu 146 bayi usia koreksi 0−24 bulan dengan riwayat prematur dan BBLR, didapatkan status gizi berupa 84,9% gizi baik, 4,1% gizi kurang, 0,7% gizi buruk, 9,2% gizi lebih, dan 0,7% obesitas; 83,6% BB normal, 11,0% BB kurang, 4,8% BB sangat kurang, dan 0,7% BB lebih; dan 69,9% perawakan normal, 21,9% perawakan pendek, dan 8,2% perawakan sangat pendek. Perlambatan pertumbuhan dijumpai pada 23,3% dengan menggunakan kriteria peningkatan berat badan (BB) di bawah persentil 15 dari peningkatan BB yang diharapkan berdasarkan WHO 2006, dengan median usia koreksi 4,2 bulan, dan pada populasi late premature. Perlambatan pertumbuhan yang disebabkan oleh kurangnya asupan nutrisi yaitu sebesar 41,1%, dan sisanya ditemukan penyebab yang mendasarinya. Faktor risiko yang terkait dengan perlambatan pertumbuhan pada bayi prematur yaitu kurangnya asupan nutrisi sesuai dengan angka kecukupan gizi, usia koreksi 3−6 bulan, dan usia gestasi yang tergolong late premature. Dibandingkan dengan kelompok yang nonadherent, kelompok yang adherent terhadap intervensi nutrisi menunjukkan perbaikan yang bermakna pada seluruh indeks antropometri, baik BB/U, BB/PB, PB/U, maupun LK/U. Sebagai simpulan, dijumpai angka perlambatan pertumbuhan yang tinggi pada populasi bayi prematur khususnya pada usia koreksi 3−6 bulan dan late premature, dengan salah satu faktor risiko yang penting diperhatikan yaitu kurangnya asupan harian. Kepatuhan yang baik terhadap intervensi nutrisi dapat memperbaiki status gizi dan pertumbuhan.
......Preterm and low birth weight (LBW) infants have a higher risk of growth failure. This prospective study involved infants with a corrected age of 0−24 months with a history of prematurity and LBW at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Identification of nutritional status and growth faltering and identification of risk factors were conducted at initial visit, then growth outcomes data was obtained at follow up visit after nutritional interventions. The nutritional status of 146 preterm and LBW infants with corrected age of 0−24 months were 84.9% well nourished, 4.1% undernourished, 0.7% severely undernourished, 9.6% overweight and 0.7% obese; 83,6% normal weight, 11,0% underweight, and 4,8% severely underweight; 69.9% normal stature, 21.9% short stature and 8,2% very short stature. Growth faltering was found in 23.3% infants using the criteria for weight increment below the 15th percentile based on WHO 2006, with median of corrected age of 4.2 months, and mostly happened in late preterm infants. Pure nutritional growth faltering was found in 41.1%, while the rest have underlying causes. Risk factors associated with growth faltering in premature infants are insufficiency of nutritional intake in accordance with recommended dietary allowance, corrected age of 3−6 months and late preterm. Compared with the nonadherent group, children who were adherent with standard behavioral and nutritional interventions showed a higher positive change in z scores for weight-for-age, weight-for-length, length-for-age, and head circumference-for-age. In conclusion, there is a high incidence of growth faltering in preterm and LBW infants, especially at the corrected age of 3−6 months and late preterm population, with an important risk factor is insufficiency of daily nutritional intake. Adherence to standardized nutritional interventions leads to improved nutritional status and growth."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wanda Gautami
"Pendahuluan: Penyakit respirasi merupakan masalah kesehatan dengan angka kejadian tinggi di Indonesia. Penyakit respirasi kronik seperti asma, pneumonia, tuberkulosis, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) juga merupakan penyebab mortalitas yang tinggi di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan rumah terhadap prevalensi penyakit respirasi kronik yaitu PPOK, batuk kronik, tuberkulosis paru, asma, pneumonia, dan infeksi fungal pada penghuni rumah susun di Jakarta.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional dengan alat ukur berupa kuesioner. Penelitian dilakukan terhadap 120 keluarga yang tinggal di rumah susun menengah kebawah di Jakarta pada tahun 2012. Variabel lingkungan yang diteliti meliputi ventilasi, pencahayaan, kepadatan hunian, sarana sanitasi, suhu udara, dan kelembaban udara.
Hasil: Dari 120 keluarga, didapatkan 513 data penghuni rumah susun dengan prevalensi penyakit respirasi secara total sebesar 41,9%, secara rinci yaitu prevalensi tuberkulosis paru sebesar 7,6%, PPOK sebesar 1,8%, asma sebesar 1,0%, infeksi fungal sebesar 0,8%, pneumonia sebesar 0,2%, batuk kronik sebesar 0,6%, dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) sebesar 32,9%. Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara prevalensi penyakit respirasi kronik dengan ventilasi rumah susun (p=0,042) , dan dengan pencahayaan dalam rumah susun (p=0,003).
Kesimpulan: Penyakit respirasi kronik memiliki hubungan dengan keadaan lingkungan yaitu ventilasi dan pencahayaan pada penghuni rumah susun di Jakarta.

Introduction: Respiratory disease is one of the highest prevalence health problem in Indonesia. Chronic respiratory disease such as asthma, pneumonia, tuberculosis, and Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) are the top leading cause of mortality in Indonesia. The objective of this study is to know the relationship between flat environmental condition and prevalence of chronic respiratory disease, which is COPD, chronic cough, tuberculosis, asthma, pneumonia, and fungal infection of flat occupiers in Jakarta.
Method: This study was an observational research using cross-sectional design. Data was obtained through questionnaire. This study was conducted on 120 families who live in lower middle flats in Jakarta on 2012 The environmental variables of this study specifically include ventilation area, natural lighting in the house, occupancy density, basic sanitation facilities, temperature, and humidity of the flats.
Result: From 120 family, 513 data of flat occupiers in Jakarta is obtained with the prevalence of respiratory disease in a total of 41.9%, specifically tuberculosis with prevalence of 7,6%, COPD with 1,8%, asthma with 1,0%, fungal infection with 0,8%, pneumonia with 0,2%, chronic cough with 0,6%, and acute respiratory infection with 32,9%. Significant relationship was obtained between prevalence of chronic respiratory disease and ventilation area (p=0,042), and also with natural lighting in the house (p=0,003).
Conclusion: In conclusion, the ventilation area and natural lightning in the house are the environmental factors contributing for the prevalence of chronic respiratory disease of flat occupiers in Jakarta."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library