Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Embun Kenyowati Ekosiwi
"Tesis ini, dengan mendapat inspirasi dan acuan utama dari buku Andrew Bowie, Aesthetics and Subjectivity (1990) bermaksud mencari pengetahuan dari agar mendapatkan pemahaman tentang konsep Subyektivitas dalam Seni pada pemikiran Immanuel Kant, Hegel dan Nietzsche, yang termasuk dalam masa Idealisme Jerman dan awal Romantisisme. Subyektivitas yang dimaksud adalah Subyektivitas metafisis maupun Epistemologis. Yang dimaksud subyektivitas metafisis adalah manusia, melalui kesadarannya, yang mengalami seni (pencipta maupun penikmat). Yang dimaksud subyektivitas epistemologis adalah manusia melalui putusannya, sebagai ukuran kebenaran dalam seni. (Adorno 1984).
Subyektivitas pada pemikiran Kant adalah permasalahan keberadaan manusia sebagai keberadaan yang otonom (Otonomous Being) dalam berhadapan dengan dunia di luarnya (alam). Bagaimana status kesadaran (self-consciousness) dalam berhadapan dengan dunia luar. Status kesadaran ini menentukan bentuk-bentuk cara mengetahui (forms of cognition). Bagaimana subyektivitas dapat menjadi landasan bagi keberadaannya sendiri, bagaimana subyektivitas dapat membentuk obyektivitas yang dapat dipertahankan tanpa mendasarkan pada asumsi akan adanya obyektivitas yang mendahului. (Bowie 1990: 15).
Pada Kant, subyektivitas dalam seni adalah subyektivitas universal (intersubyektif universal), ketika seseorang menyukai sesuatu obyek (alam dan karya seni) tanpa pamrih (disinteresred). Sikap tanpa pamrih pada Kant berarti rasa suka yang menimbulkan kesenangan (pleasure), tidak terkait pada eksistensi obyek.
Subyektivitas pada pemikiran Hegel adalah permasalahan identitas subyek dan obyek yang sama dalam Rah absolut. Ini dikarenakan bahwa proses berpikir dan proses realitas (dunia) adalah identik. Proses ini menampakan dirt pada seni (Bowie : 1990, 116). Proses ini ditampilkan melalui refleksi, Kesadaran suatu subyek, tanpa kehadiran kesadaran lain akan tetap berada dalam keadaan tidak ada refleksi dan tidak akan mencapai refleksi sadar. (Bowie 1990 : 118). Kesadaran Aku sangat tergantung pada obyektifikasi Aku.
Subyektivitas dalam pemikiran Nietsche adalah permasalahan kesadaran sebagai pertahanan diri (self preservation). (Bowie: 1990, 208). Subyek, si Alat, adalah konstruksi pikiran, tidak berbeda statusnya dengan 'materi', 'benda', 'angka', maka adalah suatu fiksi regulatif Sintesa menjadi subyek ini dan efek sintesa dari luar sebagai obyek merupakan manifestasi 'kehendak untuk berkuasa' yang terjadi terhadap satu sama lain. (Bowie 1990: 247). Subyektivitas tidak dapat menjadi landasan kebenaran, meskipun keberadaan subyek serdiri tak dapat ditolak.
Subyektivitas dalam seni pada Immanuel Kant yang terdapat dalam teorinya tentang selera, adalah subyektivitas universal ketika seorang menyukai obyek tanpa pamrih. Sikap tanpa pamrih berarti rasa suka yang menimbulkan kesenangan tidak terkait dengan eksistentensi obyek. Dengan demikian bersifat a priori. Obyek yang disukai dengan cara demikian disebut indah. Dan yang indah adalah yang tanpa konsep disukai secara universal.
Pada Hegel subyektivitas dalam Seni adalah proses perwujudan 'The Ideal dalam bentuk materi yang tercerap secara inderawi (sensuous material) melalui refleksi. Karena pada Hegel proses obyektivikasi Subyek (kesadaran) adalah melalui negasi dan terjadi secara terus menerus.
Pada Nietzsche subyektivitas dalam Seni menampakkan diri dalam perwujudan fisiologis pada subyek individual, dan memuncak pada kehendak untuk berkuasa.
Perbandingan di antara ketiganya adalah sebagai berikut :
1. Subyek pada Kant adalah subyek transendental. yaitu kesadaran yang memiliki kategeri-kategori yang ikut membentuk realitas.
2. Subyek pada Hegel adalah keberadaan yang asali yang selalu berada dalam keadaan bergerak menuju obyek.
3. Subyek pada Nietzsche adalah merupakan fiksi yang dibentuk oleh pikiran, namun memiliki manifestasi yang nyata pada tubuh yang merupakan perwujudan dari kehendak untuk berkuasa
Subyektivitas dalam seni pada Kant adalah persoalan keabsahan putusan (judgment) terhadap yang indah, Putusan yang indah hanya menyangkut subyek yang membuat putusan dan bersifat subyektif , menyangkut perasaan. Subyektivitas dalam seni pada Hegel adalah seni sebagai perwujudan yang Ideal yang berada pada jiwa subyektif. Sedangkan subyektivitas dalam seni Dada Nietzsche adalah .merupakan kehendak yang memanifestasi dalam ketubuhan kits sebagai usaha untuk mempertahankan diri dalam keberadaan sebagai manusia.
Tanggapan terhadap subyektivitas, muncul melalui argumentasi Bowie, mengacu Habermas, bahwa pokok persoalan modernitas dilihat oleh postmodemisme sebagai permasalahan subyektivitas.Persoalan estetika modern juga bukan masalah keindahan lagi meiainkan masalah subyektivitas.
Subyektivitas dalam seni pada Kant mendapat pembelaan dari Gadamer, bahwa putusan tentang seni juga menyangkut pengetahuan yang berbeda dengan pengetahuan kognitif dan pengetahuan moral, namun tetap :nenyampaikan pengetahuan sebagai transmisi kebenaran. Namun Adorno mengkritik bahwa subyektivitas yang mengklaim validitas universal dan tanpa konsep adalah tidak rnungkin. Validitas universal demikian, mengandaikan adanya konsep.
Subyektivitas dalam seni pada Hegel, seolah berusaha mengatasi subyektivitas dalam seni pada Kant, tetapi sesungguhnya kembali ke dalam subyektivitas karena Idealisme mengklaim bahwa apa yang subyektif adalah obyektif, menurut Heidegger, Subyektivitas dalam seni pada Nietzsche, sesungguhnya bukan merupakan persoalan estetika, tetapi lebih persoalan metafisika, karena seni dikembalikan pada kehendak sebagai dorongan mendasar yang ada pada manusia.
Tanggapan penulis mengenai masalah subyektivitas adalah bahwa subyektivitas merupakan persoalan yang dapat dipertahankan sejauh dapat dikompromikan dengan pandangan-pandangan lain, baik pandangan yang mendukung maupun yang menolak. Maka subyektivitas adalah titik tolak ,yang mencukupi dan sah bagi dunia seni. Salah satu argumentasi lagi adalah bahwa ilmu pengetahuan yang memperoleh landasan dari positivisme pun pada akhirnya mempertanyakan obyektivitasnya sendiri, terutama pada ilmu-ilmu manusia dan budaya, karena faktor subyektivitaslah yang sesungguhnya dapat memunculkan obyektivitas."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T1626
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Embun Kenyowati Ekosiwi
"Disertasi ini meneliti persoalan ilusi dalam seni, khususnya pada seni visual. Berangkat dari gagasan ilusi dalam seni visual (lukis, gambar, patung dll.) sebagai bagian dari apresiasi terhadap karya seni, disertasi ini mencoba melihat sisi positif dan kebaikan ilusi dalam seni visual sebagai fakta ontologis, sebagai bentuk kreativitas dari persepsi dan pikiran, sebagai cara berbeda dalam melihat realitas visual dan melihat dunia. Penelitian terhadap seni visual melalui teori teori seni visual ( Gombrich, Arnheim dan Langer) dan diikuti dengan teori-teori seni secara umum (dari mimesis hingga ke simulasi), dimaksudkan untuk menemukan sisi positif dari ilusi, untuk membuktikan dua tingkat ilusi dalam pengalaman visual maupun dalam persepsi dan kognisi, yang ikut membentuk pandangan dunia yang berbeda di antara individu manusia. Dua tingkatan ilusi ini dibuktikan keduanya dapat digunakan sebagai sarana pendidikan dan politik berbasis perbedaan estetik.

This dissertation examined illusion in art, especially on visual art. Starting from the idea of illusion in visual art (paintings, drawings, sculpture, etc.) as a part of appreciation to works of arts, this dissertation tries to promote and prove the positive side and the beneficial of illusion of visual art as an ontological facts, as creativity of the perception and mind, as the different way of seeing the visual reality and the world. The examinations on visual arts through visual arts theory (Gombrich, Arnheim, Langer) followed by examination on theories of art in general (from mimesis to simulation) is meant to find out the positive side of illusion, to find out two levels of illusions in the experience of the visual realm and also in perception and cognition, which constructs a different world view amongst individuals. Two levels of illusion is proven can both be used as tools of education and politics based on aesthetic differences."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
D00639
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Embun Kenyowati Ekosiwi
"Seni, merupakan gejala yang hadir dihadapan kita. Seni akan tetap dibahas selama pemikiran manusia masih berlangsung. Seni merupakan sisi lain kehidupan yang tidak tertangkap melalui kehidupan sehari-hari maupun ilmu pengetahuan. Diantara berbagai teori seni yang ada, teori simbol Susanne Langer hadir dengan latar belakang untuk menengahi teori-teori yang saling bertentangan dan bersifat berat sebelah. Teori Simbol mencoba menghadirkan seni sebagai sebagai simbol. yang merupakan sesuatu yang obyektif ada pada karya seni.
Seni adalah kreasi bentuk-bentuk simbolik dari perasaan manusia. Sebagai bentuk simbolik, ia bersifat presentasional, yaitu hadir langsung secara utuh dan tunggal, dan dipahami secara langsung, tanpa melalui penjelasan secara nalar. Sebagai simbol seni menunjuk pada kemampuan mengabstraksi pada manusia. Seni sebagai simbol presentasional memiliki ciri virtualitas dan ilusi. Baik virtualitas maupun ilusi mengacu pada kegiatan persepsi, tetapi tidak hanya melalui indera melainkan juga melalui imajinasi.
Keberadaan teori simbol Susanne Langer dapat ditopang oleh teori Psikologi Gestalt. Sama dengan prinsip-prinsip Gestalt, simbol presentasional dipahami dengan melihatnya sebagai suatu totalitas, dalam mempersepsi kita langsung mendapat arti, sedang struktur simbol merupakan cerminan struktur perasaan manusia, yang disebut dengan isomorphi. Penulisan skripsi ini berdasarkan penelitian kepustakaan terhadap buku-buku estetika, terutama terhadap buku--buku Susanne Langer, yang berjudul Philosophy in a New Key dan Feeling and Form."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1989
S16111
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library