Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Jakarta : Departemen Ilmu Politik, FISIP UI, 2013
331.544 MOH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sa`dan Mubarok
Jakarta : Departemen Ilmu Politik, FISIP UI, 2013
333.79 SAD p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Valina Singka Subekti
Depok: Departemen Ilmu Politik, FISIP UI, 2013
323.5 VAL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nuri Soeseno
Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, 2010
323.6 NUR k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, 2017
320 JURPOL
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Batara Gunawan
Abstrak :
Artikel ini berpendapat bahwa upaya pemerintah sipil untuk mendorong perubahan kebijakan pertahanan di Indonesia pasca Orde Baru dilaksanakan melalui mekanisme layering. Secara teoretis, mekanisme layering beroperasi dalam kondisi-kondisi institusional yang menjadi ciri khas dalam konteks transisi demokrasi yaitu besarnya jumlah veto players dalam proses pengambilan keputusan di arena politik dan kecilnya ruang diskresi kebijakan dalam institusi yang dijadikan sebagai target perubahan. Oleh karena itu, perubahan didorong lewat penempatan elemen-elemen baru yang berdampingan dengan status quo yang berlaku di sebuah institusi. Melalui analisis deskriptif terhadap kebijakan MEF (Minimum Essential Force) tahap I tahun 2010-2014 ditemukan bahwa penggunaan mekanisme layering lewat kebijakan MEF telah berhasil diimplementasikan tanpa adanya penolakan dari para pendukung status quo di sektor pertahanan Indonesia. Kondisi ini dimungkinan karena program modernisasi alutsista (alat utama sistem persenjataan) yang menjadi inti dari kebijakan MEF memberikan insentif tambahan terhadap status quo yang sesuai dengan preferensi TNI (Tentara Nasional Indonesia) mengenai keberlanjutan organisasi mereka. Akan tetapi tulisan ini juga melihat adanya efek negatif dari penggunaan mekanisme layering tersebut yakni rendahnya derajat kepatuhan terhadap elemen baru perubahan. Sebagai akibat dari tetap utuhnya status quo, militer mempertahankan dominasinya dalam proses formulasi dan implementasi tanpa pengawasan efektif dari kalangan sipil. Dalam kasus MEF, kondisi ini menimbulkan inkonsistensi kebijakan yang kemudian dapat menghambat profesionalisme TNI ke depan serta memberikan celah bagi kembalinya TNI ke ranah politik praktis.
Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, 2017
320 JURPOL 2:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsul Bahri
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam merespons krisis finansial Asia di tahun 1997-1999, pemerintah Indonesia dan Malaysia mengambil kebijakan-kebijakan ekonomi makro yang berbeda. Pemerintah Indonesia menaikkan suku bunga, mengurangi alokasi anggaran, melepaskan intervensi nilai tukar, dan meliberalisasi berbagai sektor ekonomi; sementara pemerintah Malaysia menurunkan suku bunga, melakukan ekspansi anggaran, mempertahankan intervensi nilai tukar, dan mengaplikasikan kontrol modal. Mengapa krisis yang sama direspons dengan kebijakan ekonomi makro berbeda? Mengapa krisis ekonomi tersebut diikuti dengan perubahan kebijakan ekonomi ke arah yang lebih liberal di Indonesia, sementara tidak di Malaysia? Dalam riset-riset sebelumnya, faktor paradigma ekonomi terkesan kurang diperhatikan sebagai penentu preferensi kebijakan pemerintah sewaktu krisis. Lewat penelitian ini, penulis berargumen bahwa perbedaan kebijakan ekonomi makro saat krisis disebabkan oleh perbedaan paradigma yang berkembang di masing-masing rezim pemerintahan sebelum krisis. Paradigma ekonomi membangun ekspektasi pemerintah terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil sebelum krisis. Kemunculan krisis finansial mendorong perubahan kebijakan ekonomi makro karena (i) krisis tersebut memfalsifikasi ekspektasi paradigma ekonomi yang dianut pemerintah dan (ii) pendukung paradigma alternatif berhasil masuk ke dalam proses perumusan kebijakan ekonomi makro untuk mendelegitimasi paradigma lama, kemudian melembagakan paradigma baru. Dua faktor ini hadir di Indonesia, namun tidak di Malaysia.
Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, 2017
320 JURPOL 2:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Farizan Fajari
Abstrak :
ABSTRAK
Kamboja merupakan salah satu negara yang menerapkan sistem pemilu otoriter. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh partai penguasa, Cambodia People's Party (CPP), sebagai sarana untuk mendominasi kursi parlemen Kamboja hingga pemilu tahun 2008. Namun, peta kekuatan partai politik di Kamboja mengalami perubahan pada pemilu tahun 2013. Pada pemilu tersebut, perolehan kursi CPP mengalami penurunan signifikan dan menjadi hasil terburuk bagi mereka sejak pemilu tahun 1998. Penurunan tersebut utamanya dilatarbelakangi oleh kegagalan CPP dalam mendapatkan kursi terbanyak di empat wilayah urban Kamboja: Kampong Cham, Phnom Penh, Prey Veng, dan Kandal, yang memiliki proporsi jumlah kursi terbanyak. Padahal, CPP sebelumnya tidak pernah mengalami kekalahan di keempat wilayah tersebut secara bersamaan. Artikel ini berargumen bahwa kekalahan CPP dalam rezim otoriter disebabkan oleh kondisi-kondisi penting yang terjadi di Kamboja. Dengan mengelaborasi teori Dominant Party Authoritarian Regimes dan konsep pengawas pemilu internasional, artikel ini melihat tiga kondisi penting yang terjadi di Kamboja yang menjadi penyebab menurunnya suara CPP di perkotaan, yaitu: kebijakan pemerintahan Hun Sen yang menyebabkan permasalahan dalam masyarakat, menguatnya partai oposisi dan keberhasilan isu dan strategi kampanye yang digunakan, dan peran pengawas pemilu internasional dalam menurunkan praktik intimidasi politik oleh militer. Dalam mengumpulkan data, artikel ini menggunakan metode kualitatif, dengan cara mengumpulkan data primer melalui wawancara mendalam dan analisis data sekunder dari kajian literatur.
Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, 2017
320 JURPOL 2:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Malinda Azalia
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis pengaruh institusi regional terhadap konvergensi kebijakan antar negara melalui kesepakatan ASEAN Open Skies, khususnya di Indonesia, Filipina, dan Singapura. Untuk dapat menjelaskan hal tersebut, penelitian kualitatif ini menggunakan konsep institusi regional intergovernmentalist-supranationalist dan causal-mechanism yang dapat menyebabkan konvergensi kebijakan antarnegara. Penulis berargumen bahwa karakteristik regionalisme ASEAN sebagai institusi yang intergovernmentalist berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dan pengimplementasian ASEAN Open Skies di tingkat regional serta memengaruhi pengadopsian kebijakan di lingkup domestik. Adanya proses international harmonization dan transnational communication (transnational problem solving) dalam penyusunan kerangka kesepakatan kerjasama jasa angkutan udara di ASEAN telah mengakibatkan kebijakan domestik di Indonesia, Filipina, dan Singapura menjadi semakin selaras (konvergen).
Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, 2017
320 JURPOL 2:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Chandra Linsa Hikmawati
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998 di Jakarta. Beberapa studi yang membahas kekerasan terhadap masyarakat Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998 di Jakarta sedikit yang menaruh perhatian pada kekerasan terhadap perempuan Tionghoa (misalnya Purdey 2013; Siegel 1998; dan TadiƩ 2009). Beberapa penulis yang mencoba memberikan perhatian seperti Heryanto (2000) dan Wichelen (2000) masih melihat masalah itu dari satu aspek bahasan seperti kekerasan negara dan gender. Dengan menggunakan metode kualitatif yaitu dengan pemeriksaan dokumen yang relevan dan studi literatur, penelitian ini berargumen bahwa pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa merupakan peristiwa yang kompleks dan perlu dilihat dengan penjelasan yang lebih dalam. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan peristiwa tersebut dengan konsep opresi atau kekerasan berlapis dengan menggunakan konsep kekerasan struktural, interseksionalitas, ideologi gender negara, dan pemerkosaan massal. Opresi berlapis terhadap masyarakat Tionghoa melihat bahwa posisi mereka yang kuat secara ekonomi namun lemah secara sosial-politik telah membangun akar sentimen masyarakat pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Situasi tersebut semakin rumit dengan adanya ideologi gender negara serta budaya patriarki masyarakat dalam memandang perempuan (konstruksi sosial keperempuanan sebagai simbol kehormatan dan objektifikasi dari tubuh perempuan).
Jakarta: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, 2017
320 JURPOL 2:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>