Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 49 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hari Santoso
Abstrak :
Ruang Lingkup Penelitian : Rendahnya partisipasi pria dalam program KB disebabkan terbatasnya pilihan kontrasepsi pria. Agar lebih mendorong kaum pria dapat berperan aktif dalam mengikuti program KB, kiranya sangat tepat untuk menyediakan berbagai alternatif jenis kontrasepsi pria. Salah satu alternatif jenis kontrasepsi pria adalah penggunaan bahan alam yaitu tanaman. Hal ini sejalan dengan anjuran petnerintah melalui GBHN 1993 tentang obat tradisional yang secara medis dapat dipertanggungjawabkan. Dalam rangka usaha mencari bahan kontrasepsi pria yang bersumber pada tanaman telah dilakukan penelitian tentang pengaruh ekstrak total akar Bikat (Gneium gnemonoides Brongn) terhadap spermatogenesis dan kesuburan mencit jantan (Mus musculus L) galur Swiss Webster. Dari hasil penelitian tentang kandungan bahan kimia tanaman, ternyata ekstrak total akar Bikat mengandung senyawa saponin, tanin, dan kuinon. Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol_ Saponin merupakan senyawa aktif seperti sabun yang mampu menurunkan tegangan permukaan membran sel, dan menghemolisis sel darah merah. Didasarkan dari sifat senyawa saponin tersebut, diduga ekstrak total akar Bikat dapat menghambat spermatogenesis dan menurunkan kesuburan mencit jantan perlakuan. Hasil Penelitian : Dari hasil penelitian untuk ketiga dosis yaitu 1,5 mg/kgBB, 3,0 mg/kgBB, dan 6.0 mg/kgBB yang diberikan selama 10 hari 20 hari. dan 40 hari dapat menurunkan sel spermatogonia A. sel spermatosit PL, sel spermatosit P dan sel spermatid sangat nyata dibanding kontrol (P<0,01). Tetapi pada dosis 1.5 mg/kgBB jumlah sel spermatid tidak menurun secara bermakna dibanding kontrol. Sebaliknya pada dosis 1.5 mg/kgBB dan 3.0 mg/kgBB jumlah spermatozoa vas deferen. viabilitas spermatozoa vas deferen, bentuk normal spermatozoa vas deferen menurun nyata dibanding kontrol (P<0,05), sedangkan pada dosis 6.0 mg/kgBB menurun sangat nyata dibanding kontrol (P<0,01). Demikian juga jumlah anak hasil perkawinan dengan mencit betina normal pada semua dosis yaitu 1.5 mg/kgBB. 3.0 mg/kgBB. dan 6,0 mg/kgBB menurun sangat nyata dibanding kontrol (P<0,01) bahkan untuk dosis 6,0 mg/kgBB tidak mempunyai anak. Kesimpulan : Ekstrak total akar Bikat yang diberikan selama l0 hari, 20 hari. dan 40 hari dengan dosis 1,5 mg/kgBB, 3,0 mg/kgBB, dan 6.0 mg/kgBB dapat menghambat spermatogenesis dan menurunkan kesuburan mencit jantan (Mus musculus L).
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfitri
Abstrak :
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Telah diketahui bahwa pemakaian ganja dapat mempengaruhi sistem reproduksi pria dan wanita. Pada pria terutama terjadi penurunan sekresi LH, FSH dan testosteron melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis, reduksi ukuran testis, dan regresi sel Leydig. Hal ini diduga dapat menekan proses spermatogenesis pada mencit. Tetapi belum diketahui apakah pemberian ekstrak daun ganja dapat menekan proses spermatogenesis pada mencit. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh ekstrak daun ganja secara kuantitatif terhadap sel-sel spermatogonik dan jumlah anak yang dihasilkan dari perkawinannya dengan mencit betina. Ekstrak daun ganja dibuat secara maserasi dalam petrolium eter (titik didih 40-60°C), kemudian disaring dengan kertas saring dan diuapkan dengan rotary vacuum evaporator, selanjutnya dikeringkan dalam desikator. Pemberian ekstrak dilakukan secara oral selama 40 hari dengan dosis 12,5 mg/kg bb, 25 mg/kg bb, 50 mg/kg bb, 100 mg/kg bb, dan 200 mg/kg bb. Masing-masing dosis dilarutkan dalam 0,3 mL CMC 1%, yang diberikan satu kali sehari, setiap hari selama 40 hari. Setelah perlakuan selesai, dilakukan pengambilan data parameter spermatogenesis antara lain jumlah sel spermatogonia A, sel spermatosit primer preleptoten, jumlah sel spermatosit primer pakhiten, jumlah sel spermatid, konsentrasi sel spermatozoa vas deferens, dan jumlah anak yang dihasilkan dari perkawinannya dengan mencit betina normal. Hasil dan Kesimpulan: Ekstrak daun ganja pada semua dosis kelompok perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh terhadap jumlah sel spermatogonia A, jumlah sel spermatosit primer preleptoten, dan jumlah anak yang dilahirkannya dibandingkan dengan kelompok control. Sedangkan dosis ekstrak daun ganja mulai 100 sampai 200 mg/kg bb berpengaruh bermakna terhadap jumlah sel spermatid dan jumlah sel spermatozoa vas deferens dibandingkan dengan kontrol. Sementara dosis 200 mg/kg bb berpengaruh bermakna terhadap jumlah sel spermatosit primer pakhiten.
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumarno
Abstrak :
Latar belakang: Malaria masih merupakan penyakit infeksi utama di dunia. Sebagian besar kematian pada malaria disebabkan oleh malaria serebral yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Bayam duri (Amaranthus spinosus L) merupakan tumbuhan liar yang banyak tumbuh di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah mengukur pengaruh pemberian kombinasi ekstrak bayam duri (Amaranthus spinosus L) dan sambiloto (Andrographis paniculta Burm.F) terhadap survival, berat badan, kadar MDA dan GSH serta gambaran histopatologi otak mencit yang diinfeksi dengan Plasmodium berghei. Metode: penelitian eksperimental in vivo menggunakan hewan coba mencit jantan galur Swiss yang diinfeksi Plasmodium berghei dan diberi terapi kombinasi ekstrak bayam duri dan sambiloto. Kelompok terdiri atas: K: kontrol; I kontrol negatif; II. Ekstrak kombinasi (10mg/kgBB+4mg/kgBB, 1xsehari, selama 7hari); III kontrol positif klorokuin (10mg/kgBB; sehari 1 x selama 3 hari). Seluruh perlakuan diberikan melalui oral. Dilakukan analisis survival dan berat badan, serta pemeriksaan kadar MDA (metode Wills), dan GSH (metode Ellman) dan pengamatan histopatologi otak mencit. Hasil: Pemberian kombinasi ekstrak bayam duri dan sambiloto pada mencit yang terinfeksi Plasmodium berghei meningkatkan survival (100%) dan berat badan (10%) mencit. Kadar MDA sedikit menurun dibandingkan kontrol, walaupun tidak berbeda bermakna (0,112 ± 0,021nmol/mg vs 0,133 ± 0,0145nmol/mg) (p≥0,05), dan meningkatkan GSH secara bermakna dibandingkan kontrol negatif. (0,003 ± 0,0005µg/mg vs 0,0002 ± 0,0001µg/mg) p≤0,05. Analisis histopatologi menunjukkan perbaikan sel otak pada mencit yang diberi kombinasi ekstrak bayam duri dan sambiloto.
Background: Malaria is still a major infectious disease in the world. Most of death in malaria are caused by cerebral malaria due to Plasmodium falciparum infection. Amaranthus spinosus L and Andrographis paniculata Burm.F were traditional herbs used to cure malaria. The aim of this study was to determine the anti-malarial effect of the combination of these two herbs in a malaria mouse model through the measurement of survival rate, body weight, MDA, GSH and brain histopathology of mice infected with Plasmodium berghei in vivo. Methods: male mice (Swiss strain) weighing 28-30 g, 7-8 weeks were used for this study. Treatment animal groups: K. control (nil); I. control negative. II. combination treatment (10mg + 4mg/kgBW; once per day for 7 days); III. chloroquine treatment (10mg/ kgBW; once per day for 3 days). all treatment was administered per os. Result: A combination of extracts of Amaranthus spinosus L and Andrographis paniculata Burm.F in mice infected with Plasmodium berghei increased the survival rate (100%) and the body weight (10%) of mice respectively. The MDA levels slightly lower than control, although not significantly different (0.112 ± 0,021 nmol/ vs. 0.133 ± 0,0145nmol/mg) (p ≥ 0.05), while GSH level increased significantly (0.003 ± 0,0005 µg/mg vs. 0.0002 ± 0,0001µg/mg) p ≤ 0.05. Histopathological analysis showed improvement of brain cells in mice given a combination of extracts.
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fijri Auliyanti
Abstrak :
Latar belakang. Gangguan tidur pada remaja memiliki prevalens yang tinggi dan dapat memengaruhi prestasi akademik di sekolah. Namun, sejauh ini di Indonesia, belum terdapat studi yang meneliti prestasi akademik pada remaja dengan gangguan tidur serta faktor yang berhubungan. Tujuan. Penelitian ini untuk mengetahui: (1) prevalens dan pola gangguan tidur berdasarkan SDSC, (2) proporsi murid SMP dengan gangguan tidur yang memiliki prestasi akademik di bawah rerata, (3) hubungan antara: jenis kelamin, motivasi dan strategi belajar, nilai IQ, tingkat pendidikan ibu, tingkat sosial ekonomi keluarga, struktur keluarga, pendidikan di luar sekolah, adanya TV/komputer di kamar tidur, durasi tidur di hari sekolah, perbedaan waktu tidur dan bangun, dan prestasi akademik murid SMP dengan gangguan tidur. Metode. Penelitian potong lintang analitik di lima SMP di Jakarta pada bulan Januari hingga Maret 2013. Skrining gangguan tidur dengan kuesioner Sleep Disturbance Scale for Children dilakukan terhadap 491 orang murid SMP di Jakarta. Murid yang memenuhi kriteria gangguan tidur diminta mengisi kuesioner motivasi dan strategi pembelajaran. Peneliti meminta nilai IQ subjek penelitian. Hasil. Terdapat 129 subjek yang memenuhi kriteria gangguan tidur. Empat orang subjek di drop-out karena tidak memiliki nilai IQ. Prevalens gangguan tidur sebesar 39,7% dengan jenis gangguan tidur terbanyak adalah gangguan memulai dan mempertahankan tidur (70,2%). Sebanyak 47,6% subjek memiliki prestasi akademik di bawah rerata. Sebagian besar subjek perempuan (71%), termasuk sosial ekonomi menengah ke bawah (58,9%), memiliki motivasi dan strategi belajar yang cukup (72,6%), dan mengikuti pendidikan di luar sekolah (87,9%). Tiga belas subjek yang memiliki nilai IQ di bawah rata-rata tidak diikutsertakan dalam analisis bivariat dan multivariat. Berdasarkan uji regresi logistik, faktor yang paling berhubungan dengan prestasi akademik di bawah rerata secara berurutan, yaitu pendidikan di luar sekolah (> 2 jenis, non-akademik), nilai IQ rata-rata, dan jenis kelamin lelaki. Simpulan. Prevalens gangguan tidur pada murid SMP di Jakarta adalah 39,7% dengan jenis gangguan tidur terbanyak adalah gangguan memulai dan mempertahankan tidur. Sebanyak 47,6% subjek memiliki prestasi akademik di bawah rerata. Faktor yang terbukti berhubungan dengan prestasi akademik di bawah rerata adalah pendidikan di luar sekolah (> 2 jenis, non-akademik), nilai IQ rata-rata, dan jenis kelamin lelaki. ...... Background. Sleep disorders are prevalent in adolescents and may influence their academic achievement at school. However, in Indonesia, no research has ever been done to study academic achievement in students with sleep disorders and related factors. Objectives. This study aimed to define: (1) the prevalence of sleep disorders and their patterns based on the SDSC questionnaire, (2) the proportion of junior high school students having low average academic achievement, (3) the relationship between factors; i.e gender, motivation and learning strategies, IQ level, mothers' educational level, socioeconomic level, family structure, non-formal education, TV/computer set inside the bedroom, sleep duration during schooldays, bedtimewakeup time difference; and the academic achievement in junior high school students with sleep disorders. Method. This was an analytical cross-sectional study, performed at five junior high schools in Jakarta between January to March 2013. Screening for sleep disorders, based on the Sleep Disturbance Scale for Children questionnaires, was done in 491 junior high school students. Students who fulfilled the criteria of sleep disorders, were asked to fill in the Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ). The IQ level of each subjects was also measured. Results. There were 129 subjects who fulfilled the sleep disorders criteria. Four subjects were dropped out due to they didn?t have IQ level. The prevalence of sleep disorder in this study was 39.7%, mostly difficulty in initiating and maintaining sleep (70.2%). There were 47.6% subjects had low average academic achievement. As many as 13 subjects had low average IQ level and were not included in bivariate and multivariate analysis. Subjects mostly female (71%), with middle-low income (58.9%), had moderate motivation and learning strategies (72.6%), and attended non-formal education (87.9%). Based on the logistic regression analysis, the most influencing factors to the low average academic achievement are consecutively: the non-formal education ( > 2 types, non-academic), the average IQ level, and male sex. Conclusion. The prevalence of sleep disorders in junior high school students in Jakarta are 39.7%, mostly difficulty in initiating and maintaining sleep. There were 47.6% subjects had low average grade. Factors related to the low average academic achievement are non-formal education ( > 2 types, non-academic), the average IQ level, and male sex.
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilum Anam
Abstrak :
Latar Belakang: Sindroma dispepsia sering dialami oleh penderita DM. Asam lambung salah satu faktor agresif terjadinya sindroma dispepsia dan tukak lambung. Penelitian ini bertujuan untuk mencari perbedaan pH lambung pada pasien dispepsia DM dengan yang bukan DM dan untuk mengetahui apakah ada korelasi antara pH lambung dengan proteinuria dan HbA1c. Metode: Pasien terdiri dari 30 kelompok DM dan 30 kelompok bukan DM. Masing-masing kelompok dihitung pH lambung basal. pH lambung basal diukur dgn memasukkan elektroda kateter kedalam lambung selama 30 menit kemudian di rekam dgn alat PH Metri merek Digitrapper pH-Z. Beratnya komplikasi DM diukur dengan mikroalbuminuria, sedangkan kendali gula darah diukur dgn HbA1c. Dilakukan uji chi square utk mencari perbedaan pH lambung kelompok DM dgn yg bukan DM, dengan terlebih dahulu menentukan titik potong dgn analisa ROC (Receiver Operating Caracteristic). Dilakukan uji korelasi antara pH lambung basal dengan mikroalbuminuria dan HbA1c pada kelompok pasien DM. Hasil: pH lambung basal pada dispepsia DM vs non DM (2.30±0.83 vs 2.19±0.52). Dgn uji chi square terdapat perbedaan bermakna antara kelompok DM dengan yang bukan DM. Pada uji korelasi antara pH lambung dengan mikroalbuminuria dijumpai r = 0.47 dan p < 0.05, sedangkan HbA1c dijumpai r=0,59 dan p > 0.05. Simpulan: Ada perbedaan bermakna pH lambung basal antara pasien dispepsia DM dengan pasien dispepsia bukan DM. Ada korelasi antara pH lambung basal dengan mikroalbuminuria, sedangkan dengan HbA1c tidak ada korelasi. pH lambung basal pada pasien DM adalah 2.03±0.83 sedangkan pada yang bukan DM adalah 2.19±0.52. ...... Aims: Dyspepsia syndrome often experienced in diabetic patients. Gastric acid was one aggressive factors in dyspepsia syndrome. This aim of this study was to determine differences gastric pH between dyspepsia diabetic and dispepsia without diabetic patients. Also to determine whether there were a correlation between basal gastric pH and microalbuminuria and also HbA1c. Methods: There were 30 patients diabetic and 30 patients without diabetic. Basal gastric pH was measured with an electrode catheter that inserted into the stomach for 30 minutes. Gastric pH will be recorded with PH Metri Digitrapper pH-Z. Diabetic complications measured by microalbuminuria, while the measured blood sugar control with HbA1c. Chi-square test to determine differences gastric pH between diabetic and without diabetic patients. Correlation test was performed between basal gastric pH and microalbuminuria and also HbA1c. Results: We found basal gastric pH diabetic and non diabetic patients were (2.30±0.83 vs 2.19±0.52). There was significant differences between diabetic and non diabetic patients. From 30 diabeic patients we found a corelation between basal gastric pH and microalbuminuria (p < 0.05 and r = 0.47) and a no corelation with HbA1c (p > 0.05 and r=0,59). Conclusions: There was significant differences basal gastric pH between diabetic and non diabetic patients. There was correlation between basal gastric pH and microalbuminuria, and no correlation with HbA1c. Basal gastric pH diabetic patients was 2,30 ± 0.83 and non diabetic patients was 2,19 ± 0,52.
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2013
T58556
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Finasari Said
Abstrak :
Streptococcus pneumoniae dapat menyebabkan terjadinya community-acquired pneumonia, meningitis, dan bakteremia pada semua golongan usia. Penelitian tentang S. pneumoniae di Indonesia masih jarang dilakukan. Uji biakan sebagai metode baku masih memiliki kendala dalam penerapan kondisi optimal untuk pertumbuhan S. pneumoniae, yaitu pada lingkungan atmosfer 5% CO2 (carbon dioxide), dan spesimen dari pasien seringkali diperoleh setelah pemberian antibiotik sehingga memberikan hasil negatif. Metode molekular saat ini lebih banyak diterapkan karena dianggap lebih sensitif, dapat menghemat waktu, dan mengurangi biaya. Gen psaA mengkode protein psaA (pneumococcal surface adhesin A) yang berperan dalam proses virulensi bakteri, dan ditemukan pada keseluruhan serotipe S. pneumoniae. Penelitian ini dilakukan untuk identifikasi gen psaA Streptococcus pneumoniae langsung dari sputum dengan metode PCR. Sebanyak 176 sputum dikutsertakan dalam penelitian ini. Hasil uji biakan berdasarkan uji optochin dan uji kelarutan dalam garam empedu menunjukkan hasil positif S. pneumoniae pada 3 sputum. Hasil uji PCR menunjukkan gen psaA positif pada 3 sputum yang juga positif pada hasil biakan (100%), sehingga diperoleh sensitivitas dan spesifisitas 100%. ......Streptococcus pneumoniae could cause community acquired pneumoniae, meningitis and bacteremia at all age groups. In Indonesia study about S.pneumoniae is still rare. Culture method as gold standard still has some limitations in optimal condition appliance for S pneumoniae growth, which is 5% CO2 atmosphere condition, and patient specimen is often obtained after antibiotic treatment therefore gives negatve result. Molecular method nowadays is more often performed due to better sensitivity, take less time and cost effective. psaA gene codes psaA protein that roles in bacterial virulent process and can be found in all S. pneumoniae serotypes. This study aimed to identify Streptococccus pneumoniae psaA gene straightly from sputum by PCR method. This study included 176 sputum samples, from culture results there were 3 sputum S. pneumoniae by performing optochin test and bile salt solubility test. There were 3 sputum psaA gene positive has positive from culture results (100%) therefore sensitivity and specificity are 100%.
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Santoso Sulastopo
Abstrak :
Pendahuluan : Obesitas merupakan suatu kondisi adanya penumpukan lemak yang berlebihan atau abnormal. Obesitas dapat menimbulkan beberapa penyakit seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung koroner dan stroke. Beberapa studi mengaitkan antara konsumsi minuman mengandung alkohol dengan obesitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan konsumsi minuman bir dan faktor risiko lainya dengan prevalensi obesitas pada pekerja bagian penjualan sebuah perusahaan yang memproduksi dan menjual minuman bir. Metode penelitian : Penelitian ini menggunakan disain potong lintang dengan analisis perbandingan. Data primer diperoleh melalui pengukuran antopometri dan kwesioner sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil pemeriksaan kesehatan berkala pada tahun 2014. Jumlah responden 51 orang yang diperoleh dengan menggunakan metode perhitungan sampel. Hasil penelitian : Dari 51 responden penelitian didapatkan prevalensi obesitas adalah 64,7 %. Terbukti adanya hubungan yang bermakna antara konsumsi minuman bir lebih dari 285 ml per hari dengan timbulnya obesitas dengan risiko 7 kali lebih besar terjadi obesitas dibandingkan dengan responden yang mengonsumi bir sama dengan dan kurang dari 285 ml perhari (p= 0,003; OR = 7,00 ; 95 % CI = 1,86-26,36). Faktor resiko utama dari prevalensi obesitas pada responden adalah faktor genetik (p=0,000; OR = 13,00; CI95%= 3,24-52,18). ...... Introduction : Obesity is a complex disorder involving an excessive amount of body fat. It will increases the risk of diseases and health problems such as heart disease, diabetes and high blood pressure. Some study find that there are relation between alcohol consumption with obesity. This research objective is to determine the relation between beer consumption and other risk factor with obesity prevalence among Sales worker on the company that produce and sell beer. Research methodology : This research are using cross?sectional with comparative method. The primary data are taken from weight and height measurement and questioner, the secondary data are taken from 2014 Medical Checkup. Total sample is 51. Research result :Obesity prevalence is 64,7 %. There is correlation between beer consumption more than 285 ml per day with obesity and the risk is 7 times higher compare to respondent who consumed beer 285 ml per day and less ( p= 0,003; OR = 7,00 ; 95 % CI = 1,86-26,36).The main obesity risk factor is genetic Your browser security settings don't permit the editor to automatically execute copying operations. Please use the keyboard for that (p= 0,000 ; OR 13,00; CI95% =3,24-52,18
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2014
T58745
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Arie Sandi Putra
Abstrak :
Latar Belakang: Insiden yang menimpa pasien juga menimbulkan risiko pada pekerja RS, sehingga akar penyebab dan solusi pemecahan masalah untuk mengurangi risiko insiden terjadi kembali seringkali sama. Dari near-miss sampai terjadinya insiden serius merupakan suatu rangkaian kejadian yang mempunyai pola penyebab yang mirip. sehingga fokus pada laporan near-miss lebih bernilai pada perbaikan kualitas. Diperkirakan 50%-96% kejadian tidak diinginkan termasuk near-miss, yang terjadi di fasilitas kesehatan tidak dilaporkan sehingga organisasi kehilangan kesempatan belajar dari laporan near-miss untuk memperbaiki sistem serta mengurangi risiko terjadinya bahaya pada pekerja dan pasien. Tujuan: Mengidentifikasi faktor penghambat dan pendukung terhadap pelaporan kejadian near-miss oleh staf RS, baik yang menimpa staf dan pasien sehingga dapat dihunakan untuk perbaikan program K3 dan Patient Safety RS. Metode: Penelitian rancangan kualitatif, yang menggunakan kerangka fenomenologi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam kepada pimpinan RS dan diskusi kelompok berfokus kepada kelompok staf RS. Melibatkan unit ER, rawat inap, OR, rawat jalan, dental, fisioterapi, radiologi, laboratorium, farmasi, rekam medis. Jumlah informan keseluruhan 37 orang. Hasil dan Kesimpulan: Faktor-faktor organisasi dan individu yang menghambat atau mendukung pelaporan kejadian near-miss oleh staf RS: Faktor organisasi penghambat yaitu kejadian near-miss yang sama terjadi berulang, kerahasiaan terhadap pelapor; Faktor organisasi pendukung yaitu adanya edukasi dan sosialisasi dalam program K3 dan program Patient safety RS, alternatif alur pelaporan kejadian near-miss, serta adanya nilai dari pelaporan kejadian near-miss; Faktor individu penghambat yaitu kurangnya kemampuan untuk mengenali kejadian near-miss, kurangnya pengetahuan mengenai alur pelaporan, pemahaman terbatas mengenai manfaat pelaporan; Faktor individu pendukung yaitu adanya pengetahuan dasar tentang kejadian near-miss. ...... Background: Incidents that affect patients also pose a risk to hospital workers, so that often the root causes and the solution to decrease the likelihood of recurrence are similar. The chain of events from a near-miss to a serious incident are similar, so that focusing on near-miss reports, may add value and increase the quality of improvements. It is estimated that 50%-96% of adverse events including near-miss in healthcare industry are not reported, which leads to missed opportunities for the organization to learn from the event and improve the system in order to further reduce the risk for workers as well as for patients. Objectives: to identify barriers and supporting factor for near-miss reporting that afflicted patient or worker by hospital workers, so that it can be used to improve Occupational Health and Safety program, and also patient safety program. Method: A qualitative design study was conducted with phenomenology framework, using in-depth interview for hospital management and focus group discussion for hospital workers. Including representatives from ER, Inpatient wards, Outpatient clinics, Operating Room, Dental, Physiotheraphy, Radiology, Laboratory, Pharmacy and Medical Record Unit. Total informants covered were 37 persons. Result and Conclusion: Organizational and individual factors as barriers or supporting near-miss reporting according to hospital workers: Organizational barrier factors are reoccurence of already reported type of near-miss events and reporter anonymity; Organizational supporting factors are education and socialization companent in Hospital Occupational Health & Safety program also Patient Safety program, near-miss reporting alternative route, also value of near-miss reporting; Individual barrier factors are lack of near-miss event recognition, lack of knowledge on near-miss event reporting process, limited understanding of near-miss reporting benefit; Individual supporting factor is basic knowledge of near-miss.
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2015
T58724
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elly Yanah Arwanih
Abstrak :
Transfusi trombosit merupakan tindakan yang dapat menurunkan insiden komplikasi hemoragik pada pasien anemia aplastik. Pasien anemia aplastik memiliki risiko terhadap PTR. PTR dapat terjadi akibat adanya inkompatibilitas transfusi trombosit oleh HPA 1-6 dan 15. Frekuensi alel a dan b pada HPA-3 dan HPA-15 memiliki jumlah yang hampir sama besar, sehingga kedua alel tersebut kemungkinan besar berperan dalam kasus aloimunisasi. Pelayanan transfusi trombosit di Indonesia belum memperhatikan kompatibilitas HPA antara donor dan resipien. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis genotipe HPA-1 hingga HPA-6 dan HPA-15 serta antibodi anti-HPA-3 dan HPA-15 pasien anemia aplastik yang mendapat multitransfusi trombosit. Deteksi alloantibodi HPA dilakukan dengan metode whole platelet ELISA. Hasil positif, dilanjutkan dengan pemeriksaan antibodi anti-trombosit spesifik (anti-β2-mikroglobulin, anti GPIIb/IIIa, dan anti-CD109) dengan metode MAIPA. Genotyping HPA-1 hingga HPA-6 dan HPA-15 dilakukan dengan metode PCR-SSP. HPA-3 dan HPA-15 memiliki frekuensi dengan nilai hampir sama besar pada alel a dan b. Terdapat 17 sampel (58,6%) dari total 29 sampel memiliki antibodi anti trombosit. Dari 17 sampel tersebut, 7 sampel positif terhadap antibodi monoklonal β-2 mikroglobulin (HLA kelas I), 2 sampel positif terhadap antibodi monoklonal GP IIb/IIIa (HPA-3) dan 1 sampel positif terhadap antibodi monoklonal CD109 (HPA-15). Alloimunisasi telah terjadi pada sebagian besar pasien anemia aplastik. Oleh karena itu, pemeriksaan kecocokan antigen HLA kelas I, HPA-3 dan HPA-15 pada pasien anemia aplastik dengan transfusi trombosit berulang perlu dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya aloimunisasi. ......Platelet transfusion is an act that can reduce the incidence of hemorrhagic complications in patients with aplastic anemia. Aplastic anemia patients have a risk to PTR. PTR can occur due to incompatibility of HPA1-6 and 15. The frequency of allele a and b on the HPA-3 and HPA-15 has a number that is almost as large, so that these two alleles are likely to play a role in the case alloimunization. Platelet transfusion service in Indonesia have not notice compatibility HPA alleles between donor and recipient. This study was conducted to analyze genotype HPA-1 to 6 and HPA-15 also HPA-3 and HPA-15 antibody in platelet transfusions in patients with aplastic anemia who received recurrent platelet transfusion. HPA alloantibody detection was conducted using whole patelet ELISA method. The positive results, followed by specific detection of anti platelet antibodies (anti-β2-microglobulin, anti GPIIb/IIIa, and anti-CD109) with MAIPA method. HPA-3 and HPA-15 have almost the same frequency with great value on the allele a and b. There are 17 samples (58,6%) from a total of 29 samples have anti-platelet antibodies. From the 17 samples, 7 samples positive for monoclonal antibody β-2 microglobulin (HLA Class I), 2 samples positive for monoclonal antibody GP IIb/IIIa (HPA-3) and 1 sample positive for monoclonal antibody CD109 (HPA-15). Alloimunization has occurred in the majority of patients with aplastic anemia. Therefore, compatibility checks of HLA class I, HPA-3 and HPA-15 in patiens with aplastic anemia with recurrent platelet transfusion needs to be done to reduce the occurrence of possible alloimunization.
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damayanti Sekarsari
Abstrak :
Latar belakang: Pada proses pendidikan yang berlangsung di program pendidikan dokter spesialis (PPDS) radiologi terdapat beberapa masalah misalnya peserta didik tidak mampu menunjukkan performa akademik yang diharapkan. Banyak faktor yang mempengaruhi performa akademik, salah satunya adalah faktor non kognitif. Untuk menyikapi hal itu perlu proses seleksi yang menguji faktor non kognitif yang terstruktur seperti multiple mini interview (MMI) untuk dapat memprediksi performa akademik peserta didik. Tujuan penelitian: mengetahui korelasi MMI dengan performa akademik pada evaluasi rotasi bulanan peserta PPDS Radiologi. Metode: Penelitian potong lintang yang dilaksanakan di Departemen Radiologi FKUI-RSCM pada bulan Agustus 2014. Subjek penelitian adalah 30 orang peserta PPDS radiologi. Dilakukan wawancara terstruktur MMI dengan 7 stasiun berdasarkan blueprint yang ditentukan oleh Departemen Radiologi FKUI-RSCM serta skenario yang diadaptasi dari Universitas Calgary yang telah diteliti reliabilitas dan validitasnya. Pada tiap stasiun dilakukan wawancara selama 7 menit. Domain yang diteliti adalah kejujuran, berpikir kritis, empati, etika, kemampuan pemecahan masalah, percaya diri dan ketelitian. Hasil: Diperoleh 30 subjek penelitian peserta PPDS radiologi semester 2 sampai 6. Sebaran nilai faktor nonkognitif menunjukkan berpikir kritis mempunyai nilai rata- rata tertinggi (3,43) dengan standar deviasi 0,679. Nilai terendah untuk faktor nonkognitif adalah kejujuran (2,7) dengan standar deviasi 0,535. Hasil analisis korelasi diperoleh nilai significancy 0,383 yang menunjukkan bahwa korelasi antara hasil MMI total dengan nilai rotasi bulanan total peserta PPDS Radiologi tidak bermakna (p>0,05). Nilai bermakna secara statistik (p 0,033), diperoleh pada korelasi antara stasiun kejujuran dengan rotasi bulanan non kognitif dengan gambaran korelasi yang negatif (r -0,391). Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh subyektifitas pada evaluasi rotasi bulanan, pengetahuan tentang MMI yang kurang pada pewawancara, nilai rotasi bulanan yang hampir homogen dan bias penilaian karena pewawancara sudah mengenali peserta didik. Simpulan: MMI perlu dikembangkan agar dapat menjadi proses seleksi yang baik sehingga dapat menentukan performa akademik yang belum terlihat dalam penelitian ini. Faktor yang menjadi bias dalam penelitian seperti subyektifitas dan pemahaman mengenai MMI harus diperhatikan dan dihindari agar memperoleh hasil yang diharapkan. ......Background: In the educational process taking place in the education program specialist radiology, there are several problems such learners are not able to show the expected academic performance. Many factors affect academic performance, one of which is non-cognitive factors. To address this it is necessary to examine the selection process non-cognitive factors are structured as multiple mini interview (MMI) to be able to predict the academic performance of students. Objectives: Determine MMI in the correlation with academic performance on a monthly rotation evaluation of residents radiology. Material and method: A cross-sectional study was conducted in the Department of Radiology General Hospital National Center Cipto Mangunkusumo (RSCM) in August 2014. The subjects were 30 residents radiology. MMI as structured interviews were conducted with 7 stations based blueprint determined by the Department of Radiology Faculty of medicine-RSCM and scenarios taken from the University of Calgary who has studied the reliability and validity. At each station conducted interviews for 7 minutes. Domain studied were honesty, critical thinking, empathy, ethics, problem solving skills, confidence and accuracy. Results: Retrieved 30 research subjects residents radiology. The distribution of the value of noncognitive factors demonstrate critical thinking has the highest average value (3.43) with a standard deviation of 0.679. The lowest value for noncognitive factor is honesty (2.7) with a standard deviation of 0.535. Results of correlation analysis values obtained significancy 0.383 which shows that the correlation between the results of MMI total monthly rotation value total participants PPDS Radiology not significant (p> 0.05). Values statistically significant (p 0.033), obtained at the correlation between the station honesty with non cognitive monthly rotation with picture negative correlation (r -0.391). It is likely influenced by subjectivity in the evaluation of a monthly rotation, knowledge of the MMI is lacking in the interviewer, the value of monthly rotation is almost homogeneous and interviewer bias because it recognizes the assessment of learners. Conclusion: MMI need to be developed in order to be a good selection process so as to determine the academic performance that has not been seen in this study. Factors to be biased in research must be avoided in order to obtain the expected results.
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2015
T58718
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>