Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10918 dokumen yang sesuai dengan query
cover
William
Abstrak :
Pendahuluan: Tuberkulosis (TB) adalah penyebab utama kematian akibat infeksi di dunia. Sejak tahun 2008 - 2017 terdapat penurunan angka keberhasilan pengobatan TB di Indonesia (< 90%). Rekomendasi pengobatan TB di Indonesia adalah paduan obat antituberkulosis (OAT) dosis berselang sebagian (2RHZE/4R3H3) atau harian (2RHZE/4RH). Menurut WHO, paduan OAT RHZE/R3H3 mempunyai angka kegagalan dan kekambuhan yang lebih tinggi. Namun, penelitian meta-analisis RCT menyatakan bahwa kedua paduan OAT mempunyai angka kegagalan dan kekambuhan yang sama. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk membandingkan hasil pengobatan dan efek samping antara paduan OAT 2RHZE/2RH dengan 2RHZE/4R3H3. Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan desain cross sectional yang membandingkan hasil pengobatan dan efek samping antara paduan OAT 2RHZE/4RH dengan 2RHZE/4R3H3 pada pasien TB paru kategori I di RSUP Persahabatan periode Januari 2015 sampai Juni 2018. Data sekunder diambil dari rekam medik. Hasil pengobatan dinilai sesuai definisi dalam pedoman nasional penanggulangan TB di Indonesia dan WHO. Efek samping dinilai dari seluruh efek samping terkait OAT yang tercatat dalam rekam medik. Hasil: Terdapat 175 pasien pada masing-masing kelompok. Pada kelompok paduan OAT 2RHZE/4RH terdapat 89.1% pasien berhasil, 13.1% sembuh,76.0% pengobatan lengkap, 10.6% putus berobat, 0.6% gagal, dan tidak ada yang meninggal. Pada kelompok paduan OAT 2RHZE/4R3H3 terdapat 91.4% pasien berhasil, 39.4% sembuh, 52.0% lengkap, 8% putus berobat, tidak ada yang gagal, dan 0.6% meninggal. Tidak ada perbedaan bermakna untuk keberhasilan pengobatan (p=0.470, OR=1.299, IK95%;0.637-2.648), putus berobat (p=0.659 ,OR=0.758, IK95%;0.365-1.577), gagal (p=1.000), dan meninggal (p=1.000) di antara kedua kelompok. Namun, terdapat perbedaan bermakna untuk kesembuhan (p=0.003, OR=2.358, IK95%;1.375-5.206) dan pengobatan lengkap (p=<0.001, OR=0.342, IK95%;0.217-0.540). Sebagian besar pasien mengalami efek samping pengobatan (51.1%) terutama di tahap intensif (73.2%). Pada tahap lanjutan tidak ada perbedaan bermakna kejadian efek samping antara kedua kelompok (p= 0.324, OR=1.386, IK95%; 0.723-2.657). Kesimpulan: Kesembuhan kelompok paduan OAT 2RHZE/4R3H3 lebih baik daripada 2RHZE/4RH, sedangkan pengobatan lengkap sebaliknya. Tidak ada perbedaan bermakna untuk keberhasilan pengobatan, putus berobat, kegagalan, meninggal, dan kejadian efek samping pada tahap lanjutan di antara kedua kelompok. ......Introduction: Tuberculosis (TB) is the main cause of death for infectious disease in the world. Since 2008 - 2017, there was a decline of TB success rate (< 90%) in Indonesia. Treatment of TB in Indonesia are using antituberculosis drugs with part daily dose combination (2RHZE/4R3H3) or daily dose combination (2RHZE/4RH). WHO concluded that 2RHZE/4R3H3 combination had higher failure and recurrence rate. However, a meta-analysis study showed that both combinations had same failure and recurrence rate. Therefore, this study is conducted to compare treatment outcomes and adverse effects between 2RHZE/4RH combination and 2RHZE/4R3H3 combination. Method: This was an observational analytic study with cross sectional design which compared treatment outcomes and adverse effects between 2RHZE/4RH combination and 2RHZE/4R3H3 combination in pulmonary tuberculosis patient at RSUP Persahabatan period January 2015 until June 2018. Secondary data was taken from medical record. Treatment outcomes were assessed using definition in Indonesia National Guideline of TB and WHO. Adverse effects were assessed from all adverse effects that written in medical record. Result: There are 175 patients in each group. In 2RHZE/4RH combination group, there were 89.1% patients succeed, 13.1% cured, 76.0% completed treatment, 10.6% lost to follow up, 0.6% failed and no one died. In 2RHZE/4R3H3 combination group, there were 91.4% patients succeed, 39.4% cured, 52.0% completed treatment, 8% lost to follow up, no one failed, and 0.6% died. There was no significant difference for success (p=0.470, OR=1.299, IK95%;0.637-2.648), loss to follow up (p=0.659, OR=0.758, IK95%;0.365-1.577), failure (p=1.000), and death rate (p=1.000) between two groups. However, there was a significant difference for cure (p=0.003, OR=2.358, IK95%;1.375-5.206) and complete treatment rate (p=<0.001, OR=0.342, IK95%;0.217-0.540) between two groups. Most patients had adverse effects (51,5%), especially in intensive phase (73,2%). In continuation phase, there was no significant difference of adverse effects event between two groups (p = 0.324, OR= 1.386, IK95%; 0.723-2.657). Conclusion: Cure rate was better in 2RHZE/4R3H3 group than 2RHZE/4RH group, for completed treatment on the contrary. There was no significant difference for success rate, loss to follow up rate, failure rate, death rate, and adverse effects event in continuation phase between two groups.
Jakarta: Fakultas Kedokteran, 2019
T59177
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Ageng Rizki
Abstrak :
Latar belakang: Sleep disordered breathing (SDB) merupakan satu spektrum kelainan abnormalitas pola pernapasan pada saat tidur. Diperlukan visualisasi untuk menilai kedinamisan saluran napas atas untuk menentukan lokasi, konfigurasi dan derajat sumbatan saluran napas atas saat terjaga dan saat tidur secara spesifik pada setiap subjek berdasarkan hasil inklusi dari kuisioner STOP BANG dikarenakan karakteristik dan faktor risiko yang berbeda-beda pada setiap individu. Tujuan penelitian: Mengetahui perbedaan lokasi, konfigurasi dan derajat sumbatan jalan napas atas yang terjadi antara pemeriksaan (Perasat Muller) PM saat terjaga dan pemeriksaan Drug Induced Sleep Endoscopy (DISE) saat tidur serta dengan menggunakan pemeriksaan polisomnografi (PSG) untuk menentukan derajat gangguan tidur. Untuk mengetahui hasil pemeriksaan perbedaan saturasi oksigen terendah antara pemeriksaan PSG dan DISE saat tidur, dengan tujuan untuk mendapatkan cara diagnosis yang dapat memberikan nilai tambah pada pasien SDB. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian studi potong lintang (cross sectional) dengan data sekunder yang bersifat retrospektif; 1) Deskriptif analitik, dan 2) Membandingkan gambaran lokasi, derajat dan konfigurasi sumbatan jalan napas dengan pemeriksaan PM, DISE dan PSG pada kasus SDB di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dengan 46 subjek yang diambil dari data Januari 2017 hingga April 2019. Hasil: Karakteristik kelompok pasien SDB pada penelitian ini mempunyai rentang usia antara 18-73 tahun dengan laki-laki dan perempuan mempunyai proporsi yang sama besar. Pada anamnesis didapatkan STOP BANG risiko tinggi sebesar 58,7%, Epworth Sleepiness Scale (ESS) risiko gangguan tidur 93,5%, skor Nasal Obstruction Score Evalutaion (NOSE) dengan risiko hidung tersumbat 97,8%, subjek obesitas 56,5%, subjek dengan Refluks laringofaring (RLF) 67,4%, hipertensi 28,3%, kelainan jantung 30,4%. Terdapat 13 subjek (28,2%) SDB non OSA, 18 subjek (39,13%) OSA ringan, 10 subjek (21,73%) OSA sedang, dan 5 subjek (10,86%) OSA berat. Terdapat perbedaan bermakna pada lokasi dan konfigurasi sumbatan jalan napas atas antara PM dan DISE pada area velum, orofaring dan epiglotis dengan nilai p berturut-turut p = 0,036; p<0,001 dan p = 0,036. Terdapat perbedaan bermakna pada lokasi dan derajat sumbatan jalan napas atas antara PM dan DISE pada area velum, orofaring, dasar lidah dan epiglotis dengan nilai p berturut-turut p = 0,002; p<0,001; p<0,001 dan p<0,001. Subjek dengan SDB non OSA dan OSA ringan dapat juga menunjukkan sumbatan multilevel dengan konfigurasi yang berbeda-beda. Derajat RDI tidak selalu berhubungan dengan konfigurasi sumbatan jalan napas atas. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar saturasi oksigen terendah saat tidur pada saat DISE dan PSG dengan nilai p = 0,055. Pada penelitian ditemukan sumbatan jalan napas atas pada fase tidur REM dan NREM diihat berdasarkan derajat RDI pada PSG, terlihat kecenderungan adanya RDI REM dengan nilai yang lebih tinggi dibandingkan RDI NREM pada subjek dengan OSA ringan dan OSA sedang. Pada SDB non OSA dan OSA berat nilai RDI NREM sama dengan RDI REM. ......Background: Sleep disordered breathing (SDB) is a spectrum of breathing abnormality during sleep. Direct visualization needed to evaluate the level, configuration and degree of upper airway obstruction during sleep in each patient due to the difference in characteristic and risk factor of SDB based on STOP BANG questionnaire. Purpose: Evaluate the differences of location, configuration, and degree of upper airway obstruction between Muller Maneuver (MM) during awake and Drug Induced Sleep Endoscopy (DISE) during sleep using polysomnography (PSG) to determine the degree severity of sleep disorder. To evaluate the lowest oxygen saturation between PSG and DISE during sleep thus acquired a better diagnostic value for SDB patient. Methods: Analitical decriptive of cross sectional study with retrospective secondary data evaluate the difference of location, configuration and degree of upper airway obstruction in SDB subject using Mueller Maneuver (MM) and DISE in ENT-HNS Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2017 until April 2019 with 46 subjects. Result: The age range of subjects between 18-73 years old, both each male and female are 26 subjects, using anamnesis and questionnaire STOP Bang with high risk 58,7%, ESS high risk of SDB 93,4%, NOSE score with nasal congestion 97,8%, obesity 56,5%, Laryngopharungeal Reflux 67,4%, hypertension 39%, heart disease 30,4%. Based on polysomnography data there were 28,2% subjects with SDB non OSA (Obstructive Sleep Apnea), 39,1% subjects mild OSA, 21,7% subjects moderate OSA, 10,7% subjects severe OSA. Statistically difference in configuration of upper airway obstruction between MM and DISE in level velum (p = 0,036), oropharynx (p<0,001), epiglotits (p = 0,036), also statistically different in location and degree of upper airway obstruction between MM and DISE in velum, oropharynx, tongues base and epiglottis with p = 0,002; p<0,001; p<0,001 dan p<0,001. No statisticaly difference on lowest oxygen saturation during polysomnography and DISE (p = 0,055). Subjects with SDB non OSA and mild OSA alos shown multilevel obstruction with different airwal collaps configuration. RDI degree didnt always correlate with upper airway obstruction configuration. RDI NREM was higher in subject with mild OSA and moderate OSA, in SDB non OSA and severe OSA RDI REM as same as RDI NREM.
Depok: Fakultas Kedokteran, 2019
T55573
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Pratama Arnofyan
Abstrak :
Latar Belakang : Angka kejadian reseksi anastomosis pada kasus intususepsi masih sangat tinggi. Hal ini dikarenakan masih seringnya pasien datang terlambat setelah 72 jam, kurangnya SDM untuk melakukan reduksi non operatif, dan kurangnya penunjang seperti USG untuk menegakkan diagnosa. Penting untuk memperhatikan presisi, tehnik dan mempertimbangkan usus yang tersisa dalam melakukan reseksi anastomosis. Hingga saat ini belum ada standar operasi khusus yang dapat menjadi panduan bagi para dokter bedah dalam melakukan reseksi akibat intususepsi. Karena itu, peneliti tertarik untuk mencari batas reseksi yang diperlukan untuk menghasilkan suatu anastomosis end-to-end yang optimal dan rendah tingkat kebocorannya. Penelitian akan dilakukan kepada tikus sebagai pilot study sebelum dilakukan penelitian lebih lanjut. Tujuan : Mengetahui batas reseksi usus yang optimal dinilai dari kebocoran anastomosis berdasarkan grading kolagen pada batas reseksi tersebut. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan hewan coba tikus putih Sprague Dawley. Tikus putih dilakukan intususepsi dengan menggunakan stylet, dari proksimal ke distal. Setelah 45 menit, intususepsi di reduksi.Tikus putih dikelompokkan dalam tiga kelompok sesuai batas reseksi anastomosis, yang kemudian batas reseksi ini dilakukan pemeriksaan grading kolagen. Setelah 5 hari, dilakukan laparotomi untuk menilai kebocoran anastomosis. Hasil : Pada perbandingan grading kolagen dengan reseksi usus didapatkan grading terbanyak pada batas 1 adalah grading 2 (57,1 %), pada batas 2 grading 2 (71,4 %) ,batas 3 grading 3 (71,4%).Perforasi terbanyak ditemukan pada grading 2 sebanyak 5 sampel. Pada perbandingan batas reseksi dengan perforasi didapatkan perforasi terbanyak pada batas 1 (85,7 %) Simpulan : Terdapat perbedaaan grading kolagen pada batas reseksi usus dimana batas kelompok batas 3 memiliki grading kolagen yang lebih baik ( grade 3 dan 4) sehingga kelompok batas 3 lebih direkomendasikan secara histopatologis. Grading kolagen dapat dinilai untuk melihat kemungkinan perforasi hasil anastomosis. Terdapat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian perforasi selain grading kolagen. ......Background : There is still high presentation of intussuseption cases with resection and anastomose, caused of multi factors as : patient delay more than 72 hours, less on profesional expert to do non operative reduction and less of examination such as ultra sound to make a diagnose. That is important to take attention with pretition, tehniques and less of intestine when do the resection. There is still no operative standard about the boundary of resection cause of intussuseption, thats why the author want to do the experimental to find the optimal part of resection with minimal leakage. The experimental will do on rat as a pilot study. Aim : How to get the optimal part of resection compared with anastomotic leakege based on collagen grading. Method : The experimental test using a Sprague Dawley rat. We make a intussuseption on gut rat using a styleth from proximal to distal. The release do after 45 minutes. The rats then separated into three boundaries group, and did resection-anastomose with each gut from groups were performed a histopatologic test to count collagen grading. Leakage of anastomose were examinated after 5 days Result : In comparison between collagen grading and the extent of resection obtained the highest grading in group 1 is grade 2 (57,1%), group 2 is grade 2 (71,4%), group 3 (71,4%). The highest Leakage can be found on grade 2 (5 sample).in comparison the extent of resection and leakage,the highest is group 1 (85,7%). Summary : There are differences about collagen gradingin the extent of bowel resection which is the third group of resection has higher collagen grading (3 and 4 ) and then more recommended as histopatologic exam. Collagen grading could be marked to see possibilities of anastomotic leakage. There is some factors that affect a leakage besides collagen grading.
Jakarta: Fakultas Kedokteran, 2015
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Kelvin Ruslim
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan : Untuk melihat karakteristik dan kesintasan pasien kanker serviks stadium IB-IIA yang mendapat terapi radiasi definitif dan terapi operasi radikal diikuti radiasi adjuvan serta analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan Metode : Dilakukan studi kohort retrospektif terhadap pasien kanker serviks IBIIA, yang mendapat terapi radiasi definitif dan radiasi adjuvan pasca histerektomi radikal, yang memenuhi kriteria inklusi, dan berobat di Departemen Radioterapi RSCM periode Januari 2007-Desember 2009, dilihat karakteristik pasien dan kesintasan 3 tahun pasca terapi serta faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan dari masing-masing terapi. Hasil : Didapatkan 25 pasien yang menjalani radiasi definitif dan 60 pasien yang mendapat radiasi adjuvan pasca operasi. kesintasan pasien yang mendapat terapi radiasi adjuvan pada 1, 2 dan 3 tahun sebesar 96,7%, 95% dan 93,3%. Faktor metastasis KGB negatif memiliki asosiasi sedang dengan kesintasan (p<0.2). kesintasan pasien yang mendapat terapi radiasi definitif 1, 2 dan 3 tahun sebesar 96%, 92% dan 92%. Faktor kadar Hb pre radiasi >12 g/dl memiliki asosiasi sedang dengan kesintasan (p<0.2). Kesintasan pasien pada kedua kelompok terapi tidak berbeda secara signifikan dalam tiga tahun masa pengamatan (p=0,138) Kesimpulan : Penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna kesintasan kelompok terapi radiasi definitif dan radiasi adjuvan pasca operasi. Faktor metastasis KGB negatif memiliki kecenderungan mempengaruhi kesintasan pada pasien yang mendapat terapi radiasi adjuvan pasca operasi dan Faktor kadar Hb pre radiasi >12 g/dl memiliki kecenderungan kesintasan pasien yang mendapat terapi radiasi definitif.
ABSTRACT
Aim : To evaluate characteristic and overall survival in early stage cervical cancer (FIGO IB-IIA) who receive therapy between definitive radiation and adjuvan radiation postoperative, and factors analysis that affecting overall survival in both group of therapy Methods : The medical records of 85 patients with cervical cancer FIGO IB-IIA who were treated in Department Radiotherapy RSCM between January 2007- December 2009 were reviewed and analyzed by their overall survival and factors affecting it between two groups of therapy, definitive radiation group and adjuvant radiation postoperative groups. Results : There were 25 patients in definitive radiation and 60 patients in adjuvant radiation group. Overall survival in adjuvant radiation group in year 1, 2 and 3 are 96,7%, 95% dan 93,3%. Negative node metastasis is the factor with average association with overall survival (p<0.2). Overall survival in definitive radiation group in year 1, 2 and 3 are 96%, 92% dan 92%. Hb level >12 G/dl is the factor with average association with overall survival (p<0.2) overall survival of these both group of therapy is not statistically significant (92% vs 93.3%; p=0,138). Conclusion: This study did not show any statistically significant overall survival in cervical cancer FIGO stage IB-IIA who receive definitive radiation and adjuvant radiation postoperative. Negative node metastasis is a factor that have tendency to affect overall survival in adjuvant radiation postoperative group, while pre-radiation Hb level >12 g/dl is a factor that have tendency to affect overall survival in definitive radiation group.
Jakarta: Fakultas Kedokteran, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Abdi Kurniawan
Abstrak :
Otitis Media Efusi OME adalah suatu penyakit dimana kavum telinga tengah terisi oleh cairan peradangan tanpa adanya tanda dan gejala infeksi. Mayoritas kejadian Otitis Media Efusi OME pada anak mengalami remisi spontan. Terapi konvensional yang digunakan saat ini adalah dekongestan selama 3 bulan, namun demikian apabila tidak ditangani dengan tepat, Otitis Media Efusi OME dapat menimbulkan berbagai komplikasi, yang harus dilakukan pemasangan tuba timpanostomi pipa grommet . Salah satu modalitas terapi yang saat ini sedang berkembang dan memiliki efektifitas yang tinggi adalah laserpunktur yang menggunakan sinar laser dengan intensitas rendah atau disebut juga low-level laser therapy di titik akupunktur, yang dapat memicu terjadinya reaksi foto biostimulasi sel dan jaringan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menyediakan alternatif metode penanganan Otitis Media Efusi OME pada anak yang minimally invasive sehingga dapat meningkatkan angka kesembuhan Otitis Media Efusi OME . Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat menjadi dasar penelitian lain yang turut menunjang upaya penanganan Otitis Media Efusi OME pada anak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terapi laserpunktur pada titik TE21 Ermen, SI19 Tinggong, GB2 Tinghui dan TE17 Yifeng dan dekongestan dapat memberikan perbaikan terhadap timpanogram Otitis Media Efusi p ......Otitis Media Effusion OME is defined as the persistence of nonpurulent serous or mucoid middle ear effusion in the absence of signs and symptoms of infection. The majority of occurrences of Otitis Media Effusion OME in child is spontaneous remission. Nowadays, conventional treatment use decongestan for 3 months, however, if Otitis Media Effusion OME did not treated properly, it can cause complications, and have to be treated by ventilation tube grommet insertion. One of the modalities currently developing and having high effectiveness is laserpuncture that use low intensity laser beams or also called low level laser therapy at the acupuncture point, which can stimulate photo reactions of cell and tissue biostimulation. Hopefully the result of this research can provide an alternative method of treatment of Otitis Media Efusi OME in child. This study is expected to be the basic of other studies that also support efforts to manage Otitis Media Effusion OME in child. The result of this research shows laserpuncture could improve the value of tympanogram for Otitis Media Effusion in children p
Jakarta: Fakultas Kedokteran, 2018
T58963
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Indah Lestari
Abstrak :
Disfagia sangat berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia aspirasi yang sering mengakibatkan kematian pada stroke. Oleh karena itu, manajemen yang efektif dan efisien menjadi penting. Terapi perilaku rehabilitasi menelan yang berdasarkan prinsip neuroplastisitas seperti latihan penguatan dan latihan pergerakan orofaring menjadi alternatif yang cukup sering digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai perubahan fungsi menelan pada penderita stroke iskemik dengan disfagia neurogenik setelah dilakukan latihan penguatan faring, latihan pergerakan hiolaring dan praktik menelan. Fungsi menelan dinilai dengan menggunakan Penetration Aspiration Scale (PAS) dan Functional Oral Intake Scale (FOIS) berdasarkan pemeriksaan Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES) sebelum dan setelah intervensi. Intervensi diberikan setiap hari dengan durasi 30-45 menit selama 4 minggu. Terdapat 6 subjek yang menyelesaikan penelitian. Nilai PAS sebelum intervensi adalah 6±1.79 dan setelah intervensi adalah 1.67±0.82 (p=0.003). Sementara itu, nilai FOIS sebelum intervensi adalah 3 (1-5) dan setelah intervensi adalah 5±2.10 (p=0.041). Terdapat perbaikan nilai PAS dan FOIS setelah intervensi. Oleh karena itu, intervensi ini bisa disarankan sebagai salah satu tatalaksana dalam meningkatkan fungsi menelan pada penderita stroke iskemik dengan disfagia neurogenik. ......Dysphagia is associated with an increased risk of aspiration pneumonia which often results in death in stroke patients. Therefore, effective and efficient management is important. Behavioral therapy for swallowing rehabilitation based on the principles of neuroplasticity such as oropharyngeal strengthening and range of motion exercises are the alternative ones that often be used. This study aimed to assess the changes in swallowing function in ischemic stroke patients with neurogenic dysphagia after pharyngeal strengthening exercise, hyolaryngeal complex range of motion exercise and swallowing practice. Swallowing function was assessed using Penetration Aspiration Scale (PAS) and Functional oral Intake Scale (FOIS) based on Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES) before and after interventions. The interventions were given every day with a duration of 30-45 minutes for 4 weeks. There were 6 subjects who completed the study. The PAS before the interventions was 6±1.79 and after the interventions was 1.67±0.82 (p=0.003). Meanwhile, the FOIS score before the interventions was 3 (1-5) and after the interventions was 5±2.10 (p=0.041). There was an improvement of PAS and FOIS after the interventions. Therefore, the interventions can be suggested to be used as one of the treatments to improve swallowing function in ischemic stroke patients with neurogenic dysphagia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran, 2019
T59175
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Gunawan
Abstrak :
Sel punca mesenkim (mesenchymal stem cells, MSC) merupakan turunan mesenkim yang dapat menghasilkan sejumlah turunan yang berbeda dan kemampuan untuk memperbarui diri, sehingga banyak digunakan dalam penelitian berbagai penyakit, termasuk penyakit sistem saraf pusat. Hingga saat ini, belum ada penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh sel punca terhadap dinding pembuluh darah normal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah injeksi stem sel yang berasal dari bone marrow (bone marrow mesenchymal stem cells, BMMSC) tidak akan mengganggu struktur pembuluh darah sehat. Penelitian eksperimental yang menggunakan tikus Wistar laki-laki, berumur 20 - 24 minggu, dan normotensi yang diinjeksikan BMMSC dengan dosis 106 sel (kelompok A, 10 tikus), 3 x 106 sel (kelompok B, 12 tikus), dan kontrol (kelompok C, 12 tikus) secara intravena. Dua minggu setelah injeksi BMMSC, jaringan otak tikus, yaitu arteri serebri anterior (ACA) dan arteri serebral media (MCA) diperiksa secara histopatologi untuk mengukur diameter lumen, luas lumen, tebal dan luas tunika medika, dan tunika intima dievaluasi antarkelompok. Diameter lumen, luas lumen, ketebalan dan luas dari tunika muskularis dari ACA tidak signifikan berbeda bermakna antarkelompok (p > 0,05). Hasil sama didapatkan pada histopatologi MCA, dimana variabel diameter lumen, luas lumen, ketebalan dan luas tunika muskularis (p > 0,05). Studi ini tidak mendapatkan hiperplasia tunika intima dari arteri intrakranial antarkelompok. Pemberian BMMSC secara intravena pada tikus normotensi tidak membuat perbedaan bermakna pada diameter lumen, luas lumen, ketebalan tunika muskularis, luas tunika muskularis, dan adanya hiperplasia tunika intima pada struktur arteri intrakranial dibandingkan dengan kelompok kontrol. ......Mesenchymal stem cells (MSC) are mesenchymal derivatives with ability to produce different cells and have self-renewal property, so they are used in many degenerative diseases studies, including neurological diseases. Until now, there is no study which figure out the impact of stem cell to normal vascular wall yet. This study aims to investigate the effect of intravenous bone marrow mesenchymal stem cells (BMMSC) administration to intracranial artery in normotensive rats. An experimental study using normotensive, 20 - 24 weeks, male Wistar rats, which were injected BMMSC doses of 106 cells (group A, 10 rats), 3 x 106 cells (group B, 12 rats), and control (group C, 12 rats) intravenously. Two weeks after BMMSC injection, the rats were sacrificed, then anterior cerebral artery and middle cerebral artery were evaluated histopathologically for lumen diameter, lumen area, thickness and area of tunica muscularis, and tunica intima were evaluated between groups. The lumen diameter, lumen area, thickness and area of tunica muscularis of ACA were not significantly different between groups (p > 0.05). The similar results were also found in the middle MCA histopathology, which was no significant difference of lumen diameter, lumen area, thickness and area of tunica muscularis between groups (p>0.05). This study didnt find hyperplasia of tunica intima of intracranial arteries between groups. Intravenous administration of BMMSC in normotensive rats didnt make significant differences in lumen diameter, lumen area, thickness of tunica muscularis, area of tunica muscularis, and presence of tunica intima hyperplasia of the intracranial artery structure compared to control group.
Jakarta: Fakultas Kedokteran, 2019
T59202
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sendi Kurnia Tantinius
Abstrak :
Latar Belakang: Stenosis vena sentral adalah salah satu permasalahan utama yang dihadapi dalam penggunaan akses hemodialisis FAV. Kondisi ini dapat ditangani dengan tindakan single balloon angioplasty. Namun, tatalaksana ini memiliki angka patensi yang tidak memuaskan akibat respon pembuluh darah terhadap barotrauma. Mengetahui risiko yang mempengaruhi patensi pasca tindakan single baloon angioplasty pada penderita stenosis vena sentral penting untuk memprediksi prognosis pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap patensi 6 dan 12 bulan pasca tindakan single baloon angioplasty pada pasien stenosis vena sentral. Metode: Sebuah penelitian kohort retrospektif multicenter pada Januari 2018 – September 2022 di empat rumah sakit dilakukan untuk menilai faktor yang berpengaruh terhadap patensi 6 dan 12 bulan pasca tindakan single baloon angioplasty pada pasien stenosis vena sentral. Faktor yang diteliti mencakup derajat stenosis, panjang stenosis, jumlah stenosis, lokasi stenosis, residual stenosis, ukuran balon, dan tekanan balon. Hasil: Terdapat total 76 pasien pada penelitian ini. Pada penelitian ditemukan faktor yang berpengaruh pada patensi 6 bulan pasca single balloon angioplasty adalah jenis kelamin laki – laki (78.4% vs 46.2%; p 0.004), panjang stenosis ≥ 2 cm (85.7% vs 56.5%; p 0.042), lokasi stenosis pada vena innominata (75% vs 39.3%; p: 0.002),derajat stenosis ≥ 80% (83.3% vs 42.5%; p : 0.001), dan residual stenosis ≥ 30% (85% vs 53.6%; p 0.013). Tidak ditemukan faktor yang berpengaruh pada patensi 12 bulan pasca single balloon angioplasty. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara panjang stenosis, lokasi stenosis, derajat stenosis, dan residual stenosis terhadap patensi single balloon angioplasty ......Background: Central venous stenosis is one of the main problems encountered in AVF hemodialysis access. This condition can be treated with a single balloon angioplasty. However, this treatment has a low patency rates due to the response of the vessels to barotrauma. Knowing the risks that affect patency after single balloon angioplasty in patients with central venous stenosis is important to predict the patient's prognosis. This study aims to determine the factors influencing 6 and 12 months patency after single balloon angioplasty in central venous stenosis patient. Methods: A multicenter retrospective cohort study in January 2018 – September 2022 in four hospitals was conducted to assess factors that affect 6 and 12 months patency after single balloon angioplasty in patients with central venous stenosis. Factors studied included the degree of stenosis, length of stenosis, number of stenosis, location of stenosis, residual stenosis, balloon size, and balloon pressure. Results: There were a total of 76 patients in this study. In this study, it was found that the factors that affected the patency 6 months after single balloon angioplasty were male gender (78.4% vs 46.2%; p 0.004), stenosis length ≥ 2 cm (85.7% vs 56.5%; p 0.042),stenosis at the innominate vein (75% vs 39.3%; p: 0.002), stenosis degree ≥ 80% (83.3% vs 42.5%; p : 0.001), and residual stenosis ≥ 30% (85% vs 53.6%; p 0.013). There were no factors that had an effect on patency 12 months after single balloon angioplasty. Conclusion: There is a relationship between the length of the stenosis, the location of the stenosis, the degree of stenosis, and the residual stenosis on the patency of single balloon angioplasty
Depok: Fakultas Kedokteran, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chakti Ari Swastika
Abstrak :
Latar belakang: Salah satu aspek penting dalam upaya menurunkan angka kematian dan morbiditas Ibu adalah sistem rujukan yang efektif. Pandemi COVID-19 memberikan tantangan tersendiri dalam pelaksanaan sistem rujukan. Belum pernah dilakukan penilaian terhadap penerapan sistem rujukan obstetri di era pandemi COVID-19. Metode: Penelitian deskriptif-analitik berdesain potong lintang yang membandingkan efektivitas rujukan sebelum (Juli-Desember 2019) dan saat di era pandemi COVID-19 (Maret-Agustus 2020) di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. Efektivitas rujukan dinilai berdasarkan dua kriteria, yakni kesesuaian diagnosis rujukan dan ketepatan prosedur yang meliputi komunikasi melalui sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT), pengantaran dengan ambulans, dan pelampiran surat rujukan. Hasil: Penelitian menemukan 198 kasus rujukan dari 464 kasus obstetri (42,67%) sebelum pandemi dan 231 kasus rujukan dari 486 kasus obstetri (47,53%) di era pandemi. Kesesuaian diagnosis dan ketepatan prosedur rujukan di era pandemi COVID-19 secara signifikan lebih tinggi. Kesesuaian diagnosis meningkat dari 57,58% sebelum pandemi menjadi 71,00% di era pandemi (p = 0,004). Ketepatan prosedur rujukan meningkat dari 28,28% sebelum pandemi menjadi 45,45% di era pandemi (p < 0,001). Berdasarkan kriteria tersebut, efektivitas rujukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo pada era pandemi COVID- 19 ditemukan lebih tinggi secara signifikan, yakni sebelum masa pandemi sebesar 21,72% dan di era pandemi sebesar 40,26% (p < 0,001). Kesimpulan: Terdapat peningkatan efektivitas rujukan ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo berdasarkan kesesuaian diagnosis dan ketepatan prosedur di era pandemi COVID-19 hingga 2x dibanding sebelum masa pandemi COVID-19.
Depok: Fakultas Kedokteran, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oky Noviandry Nasir
Abstrak :
Hemodialisis merupakan tatalaksana renal replacement yang tersering pada pasien gagal ginjal kronik stadium 5, Akses vaskular dan morbiditas sebagai akibat komplikasi akses merupakan penyebab utama perawatan di rumah sakit. Pada tahun 1989 sampai sekarang posisi tip pada pemasangan kateter double lumen masih belum ada keseragaman. Inti dari perbedaan ini adalah kepentingan terhadap keselamatan pasien dan keinginan untuk kinerja kateter yang optimal dalam hal ini untuk akses hemodialisa yang adekuat. Rancangan penelitian adalah sebuah penelitian prospektif potong lintang terhadap pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa dengan menggunakan CDL tunneling. Penelitian ini merupakan penelitian analitik korelatif, mencari korelasi antara posisi tip CDL tunneling dengan lancar atau tidak lancarnya selang CDL dan kekuatan tarikan quick blood saat hemodialisa. Hasil yang didapatkan posisi rontgen thorax CAJ lebih memberikan kenyamanan pada pasien dibandingkan dengan posisi SVC. Uji statistic menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Ro Thorax dengan kenyamanan (p<0.05). Posisi tip di SVC memiliki blood flow <300 mL. sedangkan pada pasien dengan posisi tip di CAJ memiliki blood flow >300 mL. Uji statistic menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara ro thorax dengan blood flow (p>0.05). ......Hemodialysis is the most common procedure of renal replacement in patients with stage 5 chronic renal failure, vascular access complications and morbidity as a result of access is a major cause of hospitalization. In 1989 to the present position of the tip of double lumen catheter is still no uniformity. The core of this difference is of interest to patient safety and the desire for optimal performance in terms of catheters for hemodialysis access adequate. The study design was a prospective cross-sectional study of patients with renal failure undergoing hemodialysis using tunneling CDL. This research is a correlative analytic, looking for a correlation between the position of the tunneling tip CDL smoothly or not smooth hose pull quick CDL and force of blood when hemodialysis. The results obtained CAJ thorax X-ray positioning more comfortable for patients compared to the SVC. Statistical test shows that there is a significant relationship between Ro Thorax with comfort (p <0.05). Position tip at SVC have blood flow <300 mL. whereas in patients with tip position in the CAJ have blood flow> 300 mL. Statistical tests showed no significant association between ro thorax with blood flow (p> 0.05).
Jakarta: Fakultas Kedokteran, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>