Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10339 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Edwina Khairat
"Skizofrenia merupakan penyakit gangguan jiwa dengan peningkatan kasus setiap tahun di Indonesia. Skizofrenia tergolong pada penyakit multifaktorial dengan adanya interaksi antara faktor lingkungan dan faktor genetik heritabilitas tinggi, sehingga faktor genetik memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan lingkungan. Skizofrenia digolongkan menjadi lima tipe berdasarkan gejala yang mendominasi. Tipe paranoid menjadi tipe skizofrenia yang terbanyak dibandingkan tipe lainnya. Gen-gen yang berperan pada skizofrenia umumnya gen-gen yang berhubungan dengan neurotransmitter dan hasil studi Genome Wide Association Study (GWAS) di Asia Timur dengan nilai Minor Allele Frequency (MAF) rendah. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui adanya hubungan antara varian pada gen DTNBP1, COMT, GPM6A, RASSF1 dengan skizofrenia tipe paranoid pada pasien di Sumatera Barat, Indonesia. Sampel pada penelitian ini terdiri dari 100 orang pasien skizofrenia tipe paranoid dan 100 orang sampel kontrol/non skizofrenia. Metode yang digunakan untuk analisis genotipe varian gen adalah dengan Restriction Enzyme Length Polymorphism (RFLP) dan Amplification Refractory Mutation System (ARMS). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa varian pada gen GPM6A memiliki hubungan yang signifikan dengan kasus skizofrenia tipe paranoid di Sumatera Barat, Indonesia pada alel A dengan nilai p value 0,002 dan rasio odd 1,604 (1,076-2,390). Sehingga dapat disimpulkan bahwa gen GPM6A memiliki potensi sebagai kandidat marka genetik pasien skizofrenia tipe paranoid di Sumatera Barat, Indonesia.

Schizophrenia is a mental disorder with an increasing incindence every year in Indonesia. Schizophrenia is classified as a multifactorial disease with the interaction between environmental factors and high heretability genetic factors, thus genetic factors have a greater influence compared to the environment. Schizophrenia is divided into five types based on dominating symptoms. Paranoid types is the major type of schizophrenia compared to other types. The genes that play a role in schizophrenia are generally genes associated with neurotransmitters and Genome Wide Association Study (GWAS) in East Asia with low Minor Allele Frequency (MAF) scores. The aim of this study was to elucidate the association between variance in the genes DTNBP1, COMT, GPM6A, RASSF1 in paranoid schizophrenia patients in West Sumatra, Indonesia. One hundred paranoid schizophrenia patients and control/non-schizophrenia samples were included. Genotyping analysis was performed with Restriction Enzyme Length Polymorphism (RFLP) and Amplification Refractory Mutation System (ARMS). The results showed that variant of the GPM6A gene had a significant association with paranoid schizophrenia in West Sumatra, Indonesia in A allele with p value 0.002 and odd ratio 1.604 (1.076-2.390). In conclusion, the GPM6A gene has the potential as a genetic marker candidate of paranoid schizophrenia patients in West Sumatra, Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Grahana Baskara Saharui
"Latar Belakang : Hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal yang paling banyak digunakan di dunia. Fistula Arteriovenosa (FAV) merupakan pilihan akses vaskular terbaik bagi penderita Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA) yang menjalani hemodialisis. Akan tetapi, kegagalan maturasi FAV masihrelatif tinggi akibat gangguan dari înflow dan/atau outflow. Pengukuran peningkatan Blood Flow Rate (BFR) dan Peak Systolic Velocity (PSV) intraoperasi pada arteri brakialis diharapkan dapat mengidentifikasi masalah inflow sekaligus outflow sebagai penyebab kegagalan maturasi FAV.
Tujuan : Mengetahui hubungan peningkatan BFR dan PSV arteri brakialis intraoperasi serta nilai batasannya yang dapat dijadikan prediktor maturasi FAV Brakiosefalika.
Subjek dan Metode : PGTA yang menjalani operasi FAV brakiosefalika di lima Rumah Sakit (RSCM, RSUP Fatmawati, RSUD Kab. Tangerang, RS Hermina Depok dan RS Hermina Bekasi) pada periode Juli 2019 – Februari 2022. Desain penelitian kohort retrospektif menggunakan data sekunder dari penelitian sebelumnya Data yang diteliti meliputi: usia, jenis kelamin, tekanan darah, merokok, diabetes melitus, dan hasil pengukuran USG doppler berupa diameter arteri brakialis dan vena sefalika preoperasi serta peningkatan BFR dan PSV arteri brakialis intraoperasi, kemudian data subjek dengan FAV brakiosefalika yang mengalami maturasi dalam 6 minggu sesuai kriteria rule of 6 dari NKF-KDOQI. Selanjutnya dilakukan analisa statistik adanya korelasi peningkatan BFR dan PSV arteri brakialis intraoperasi terhadap maturitas FAV brakiosefalika serta ditetapkannya nilai batasan sebagai prediktor maturasi. dengan memakai uji diagnostik grafik Receiver Operator Curve (ROC).
Hasil : Dari total 83 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, terdapat 50 (60,24%) subjek yang mengalami maturasi dalam 6 minggu pascaoperasi. Dengan menggunakan analisis multivariat dengan uji regresi logistik, peningkatan BFR arteri brakialis intraoperasi (p<0,001) merupakan faktor yang paling berhubungan dengan maturasi FAV brakiosefalika setelah 6 minggu pascaoperasi dengan nilai batasan 184,58 ml/menit, sensitivitas 100%, spesifisitas 84,8%, Nilai Duga Positif 90,9%, Nilai Duga Negatif 100%, Akurasi 93,98%
Kesimpulan : Peningkatan BFR arteri brakialis intraoperasi dapat dipakai sebagai prediktor maturasi FAV brakiosefalika 6 minggu pascaoperasi

Background : Hemodialysis is the most widely used renal replacement therapy in the world. Arteriovenous fistula (AVF) is the best vascular access option for patients with End Stage Kidney Disease (ESKD) undergoing hemodialysis. However, the AVF maturation failure rate is still high due to inflow and/or outflow problem. Measurement of intraoperative increase in Blood Flow Rate (BFR) and Peak Systolic Velocity (PSV) in the brachial artery is expected to identify inflow and outflow problems as the cause of AVF maturation failure.
Objective: To determine the relationship between intraoperative increase in BFR and PSV of the brachial artery and the cut off point that can be used as a predictor of Brachiocephalic AVF maturation.
Subjects and Methods : ESKD who underwent AVF brachiocephalic surgery in five hospitals (RSCM, Fatmawati Hospital, Tangerang Hospital, Hermina Hospital Depok and Hermina Hospital Bekasi) in the period July 2019 – February 2022. The retrospective cohort study design used secondary data from the study previously. The data studied included: age, sex, blood pressure, smoking, diabetes mellitus, and the results of Doppler ultrasound measurements of preoperative brachial artery and cephalic vein diameters and an increase in intraoperative BFR and PSV brachial artery, then data on subjects with maturation of brachiocephalic AVF within 6 weeks according to the rule of 6 criteria of the NKF-KDOQI. Furthermore, statistical analysis was carried out on the correlation between increased intraoperative brachial artery BFR and PSV on brachiocephalic FAV maturity and the determination of cut off value as a predictor of maturation using the Receiver Operator Curve (ROC) graphic diagnostic test.
Results: From a total of 83 subjects who met the inclusion and exclusion criteria, there were 50 (60.24%) subjects who matured within 6 weeks postoperatively. Using multivariate analysis with logistic regression, the increase in intraoperative brachial artery BFR (p<0.001) was the most associated factor of brachiocephalic FAV maturation after 6 weeks postoperatively with a cut off value of 184.58 ml/min, sensitivity 100%, specificity 84.8%, Positive Predictive Value 90.9%, Negative Predictive Value 100%, Accuracy 93.98%
Conclusion: Increased intraoperative brachial artery BFR can be used as a predictor of brachiocephalic FAV maturation 6 weeks postoperatively.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Razi Darkuthni
"Latar Belakang: Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab kematian penyakit kardiovaskular utama di Indonesia. Angka kematian akibat STEMI di Indonesia mencapai 18,6%. Revaskularisasi fase akut secara mekanis maupun farmakologis merupakan tatalaksana utama pada STEMI. Mortalitas paska revaskularisasi masih tinggi. Salah satu faktor penting yang memengaruhi kesintasan pasien STEMI adalah fungsi ginjal. Gangguan fungsi ginjal yang dicerminkan dengan estimated glomerulus filtration rate (eGFR) < 60 diketahui berhubungan dengan perfusi miokard yang buruk paska IKP primer.
Tujuan: Memberikan gambaran karakteristik pasien STEMI yang menjalani IKP primer berdasarkan fungsi ginjal sebelum IKP dan menganalisa perbedaaan kesintasan dalam 30 hari pasien STEMI yang menjalani IKP primer berdasarkan fungsi ginjal sebelum IKP.
Metode: Studi observasional kohort retrospektif, penelitian dilakukan periode 2021 hingga 2022 dengan subjek pasien STEMI yang menjalani IKP primer di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta periode 2018 hingga 2022. Fungsi ginjal dikelompokkan berdasarkan eGFR dengan rumus CKD-EPI menjadi dua yaitu eGFR < 60 dan eGFR ≥ 60.
Hasil: IKP primer dilakukan pada 211 pasien STEMI, pasien dikelompokkan menjadi dua yaitu eGFR < 60 dan eGFR ≥ 60. Dibandingkan dengan pasien eGFR ≥ 60, pasien dengan eGFR < 60 sebanyak 75 orang dengan usia yang lebih tua, riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, riwayat infark miokard dan riwayat IKP primer dengan presentase yang lebih tinggi. Jenis kelamin didominasi oleh laki-laki pada kedua kelompok. Median eGFR pada kelompok eGFR < 60 yaitu 40. Insiden mortalitas eGFR < 60 sebesar 14,7%, sedangkan dengan eGFR ≥ 60 sebesar 4,4%. Pada analisis bivariat didapatkan perbedaan kesintasan yang bermakna pasien STEMI-IKP antar-kelompok eGFR (p < 0,05) dengan crude HR (IK95%) 3,433 (1,269-9,284). Tidak terdapat perbedaan kesintasan pasien STEMI-IKP antar-kelompok eGFR setelah di-adjusted dengan berbagai variabel perancu. Variabel yang paling berpengaruh adalah riwayat gagal jantung kongestif, Killip class dan hipertensi.
Simpulan: Mortalitas dalam 30 hari pasien STEMI yang menjalani IKP primer berdasarkan fungsi ginjal sebelum IKP pada kelompok eGFR < 60 lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok eGFR ≥ 60. Tidak terdapat perbedaan kesintasan dalam 30 hari pasien STEMI yang menjalani IKP primer berdasarkan fungsi ginjal sebelum IKP setelah di-adjusted dengan variabel riwayat gagal jantung kongestif, Killip Class dan hipertensi.

Background: Coronary heart disease is the primary cause of death from cardiovascular disease in Indonesia. STEMI mortality rate in Indonesia reaches 18.6%. Mechanical and pharmacological revascularization of the acute phase is the main treatment for STEMI. Mortality after revascularization remains high. One important factor that influences STEMI patients' survival is renal function.Impaired renal function as reflected by an estimated glomerular filtration rate (eGFR) < 60 is associated with poor myocardial perfusion after primary PCI.
Objective: Provide an overview of the characteristics of STEMI patients undergoing primary PCI based on renal function before PCI and analyze the difference in survival in 30 days of STEMI patients undergoing primary PCI based on renal function before PCI.
Methods: A retrospective cohort observational study, the study was conducted from 2021 to 2022 with the subject of STEMI patients undergoing primary PCI at RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta for the period 2018 to 2022. Renal function is grouped based on eGFR with the CKD-EPI formula into two, eGFR < 60 and eGFR ≥ 60.
Results: Primary PCI was performed on 211 STEMI patients, patients were grouped into two, eGFR < 60 and eGFR ≥ 60. Compared with eGFR ≥ 60, 75 patients with eGFR < 60 were older, had hypertension, diabetes mellitus, dyslipidemia, history of myocardial infarction, and history of primary PCI with a higher percentage. Gender was dominated by males in both groups. The median eGFR in the eGFR < 60 groups was 40. The incidence of mortality of eGFR < 60 was 14.7%, whereas eGFR ≥ 60 was 4.4%. In the bivariate analysis, there were significant differences in survival between STEMI-PCI patients between eGFR groups (p < 0.05) with crude HR (CI 95%) 3.433 (1.269-9.284). There was no difference in the survival of STEMI-PCI patients between eGFR groups after adjusting for various confounding variables. The most influential variables were history of congestive heart failure, Killip class, and hypertension.
Conclusions: 30-days-mortality of STEMI patients undergoing primary PCI based on renal function before PCI in the eGFR < 60 groups was higher than in the eGFR ≥ 60 group. There was no difference in the 30-days-survival of STEMI patients undergoing primary PCI based on renal function after adjusting with several variables such as history of congestive heart failure, Killip Class and hypertension.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nunki Febriastuti
"Latar Belakang : Preeklamsia terjadi akibat adanya gangguan pada proses implantasi dan desidualisasi pada awal kehamilan. Vitamin D memainkan peranan penting pada proses desidualisasi, implantasi dan plasentasi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kadar 25(OH)D yang rendah dalam serum merupakan faktor risiko preeklamsia. Bukti terbaru mendukung peran suplementasi vitamin D yang dimulai pada saat sebelum, awal dan selama kehamilan dalam mengurangi risiko preeklamsia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan suplementasi vitamin D 5000 IU/hari pada implantasi dan plasentasi melalui pemeriksaan PI A. Uterina dan PlGF serum maternal pada wanita hamil trimester pertama.
Metode : Uji klinis paralel acak tersamar tunggal. Subjek wanita hamil usia 7-11 minggu yang dibagi 2 kelompok, yaitu normal dan risiko tinggi berdasarkan kriteria risiko tinggi ACOG. Tiap kelompok dibagi lagi menjadi kontrol yang hanya mendapat obat standar dan perlakuan yang mendapat vitamin D 5000 IU/hari. Semua pasien diperiksa kadar 25(OH)D awal, kemudian diberikan intervensi selama 1 bulan dan diperiksa ulang kadar 25(OH)D akhir, PlGF serum maternal dan PI. A. Uterina. Menilai perbandingan kenaikan kadar 25(OH)D, PlGF, dan PI A. Uterina diantara semua kelompok
Hasil : Subjek awal berjumlah 92 orang, dieksklusi sebanyak 12 orang dan tersisa 80 subjek yang menyelesaikan penelitian. Semua subjek mengalami defisiensi vitamin D. Dibandingkan pasien kontrol kenaikan kadar 25(OH)D pada kelompok perlakuan normal masih lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan risiko tinggi yaitu 12,33±6,26 ng/mL dan 10,45±5,09 ng/mL dengan nilai p<0,001. Kelompok normal, penurunan PI A. Uterina dibandingkan antara kontrol dan perlakuan bermakna sebesar 0,57±0,36 dan 1,08±0,29 (p<0,001) sedangkan kadar PlGF juga berbeda bermakna antara kontrol (84,27±10,02) dan perlakuan (107,87±31,97) dengan nilai p 0,005. Pada kelompok risiko tinggi, perbadingan rerata kadar PlGF pada kontrol dan perlakuan berbeda bermakna yaitu 37,59±9,67 dan 70,53±18,32) nilai p<0,001. Pada pasien intervensi baik kelompok normal dan risiko tinggi rerata penurunan PI A. Uterina (1,08±0,29 vs 0,43±0,26; nilai p<0,001) dan kadar PlGF (107,87±31,97 vs 70,53±18,32; nilai p<0,001) berbeda bermakna.

Background : Preeclampsia occurs due to disruption of the implantation and decidualization in early pregnancy. Vitamin D plays an important role in decidualization, implantation, and placentation. Recent evidence supports the role of vitamin D supplementation initiated before, early and during pregnancy in reducing the risk of preeclampsia. The study aim is to determine the effect of vitamin D supplementation of 5000 IU/day on implantation and placentation through examination of Uterine Artery PI (UtA-PI) and maternal serum PlGF in first trimester pregnant women.
Methods: Using a single-blind, randomized parallel clinical trial. Subjects were pregnant women 7-11 weeks gestation and divided into 2 groups, normal and high risk, based on ACOG preeclampsia high risk criteria. Each group was further divided into controls who received the standard drug and interventions who received 5000 IU of vitamin D/day. Subjects were examined for 25(OH)D levels before and after the 1 month intervention, including maternal serum PlGF and UtA-PI levels. Both groups were compared for the difference of 25(OH)D levels, mean PlGF, and UtA-PI.
Results: We have 80 subjects who have vitamin D deficiency. The normal and high-risk intervention group showed the increase of 25(OH)D levels, 12.33±6.26 ng/mL and 10.45±5.09 ng/mL with p<0.001 accordingly. For the normal group, the decrease of UtA-PI compared between control and intervention was significant 0,57±0,36 and 1,08±0,29 (p<0.001) while PlGF levels were also significantly different between control (84,27±10,02) and intervention (107,87±31,97) with p<0.05. While in high-risk group, the PlGF levels of control and intervention were significantly different, 37.59±9.67 and 70.53±18.32 with p<0.001. In intervention patients, both normal and high-risk groups, the decrease of UtA-PI (1.08±0.29 vs 0.43±0.26; p<0.001) and PlGF levels (107.87±31.97 vs 70.53±18.32; p<0.001) were significantly different.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Permata Warastridewi
"Latar Belakang: Penyakit Hirschsprung (PH) adalah kelainan kongenital tersering yang menyebabkan obstruksi saluran cerna pada bayi dan anak-anak. Keberhasilan operasi PH dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah adanya kelainan histopatologik pada bagian proksimal reseksi rektosigmoid PH. Calretinin merupakan calsium binding protein yang memainkan peran penting dalam organisasi dan fungsi sistem saraf. CD117 merupakan reseptor permukaan tirosin kinase Kit (c-Kit) yang berperan penting pada perkembangan interstitial cells of Cajal.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain potong lintang sediaan reseksi PH di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM selama periode Januari 2015 hingga Desember 2019. Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara consecutive sampling dari kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, didapatkan 14 kasus untuk masing-masing kelompok. Pemeriksaan imunohistokimia menggunakan antibodi calretinin dan CD117. Data imunoekspresi calretinin pada lamina propria dan CD117 pada lapisan submukosa, intramuskular dan intermuskular diperiksa dan dianalisis antara kelompok reoperasi dan non reoperasi.
Hasil: Calretinin dan CD117 terekspresi pada sayatan proksimal reseksi PH. Tidak ditemukan ekspresi Calretinin pada lamina propria yang lebih tinggi pada kelompok non reoperasi dibandingkan kelompok reoperasi, dengan nilai p=0,339. Tidak ditemukan ekspresi CD117 pada lapisan submukosa, intramuskular dan intermuskular yang lebih tinggi pada kelompok non reoperasi dibandingkan kelompok reoperasi, dengan nilai p=0,246 pada lapisan submukosa, nilai p=0,910 pada lapisan intramuskular dan nilai p=0,541 pada lapisan intermuskular.
Kesimpulan: Tidak terdapat ekspresi calretinin dan CD117 yang lebih tinggi pada kelompok non reoperasi dibandingkan reoperasi, kemungkinan dikarenakan pada kedua kelompok tersebut sudah ditemukan ganglion pada batas proksimal operasi.

Background: Hirschsprung’s disease is the most common congenital disorder that causes gastrointestinal obstruction in infants and children. The success of Hirschsrung’s disease surgery is influenced by many factors, one of which is the presence of histopathological abnormalities in the proximal part of the Hirschsprung’s disease rectosigmoid resection. Calretinin is a calcium binding protein that plays an important role inthe organization and function of the nervous system. CD117 is a surface receptor tyrosine kinase (c-Kit) that plays an important role in the development of interstitial cell of Cajal.
Methods: This study is an analytical study with cross sectional design on Hirschsprung’s disease resection at the Department of Anatomic Pathology FKUI/RSCM during the period January 2015 to December 2019. Sampling was carried out by consecutive sampling from cases that met the inclusion and exclusion criteria, obtained 14 cases for each group. Immunohistochemical examination using calretinin and CD117 antibodies. Data on calretinin immunoexpression in the lamina propria and CD117 immunoexpression in the submucosa, intramuscular and intermuscular layers were examined and analyzed between reoperation and non reoperation group.
Result: Calretinin and CD117 were expressed in the PH resection proximal incision. There was no higher calretinin expression in the lamina propria in the non-reoperation group than in the reoperation group, with p value = 0.339. There was no higher expression of CD117 in the submucosal, intramuscular and intermuscular layers in the non-reoperation group than in the reoperation group, with p value = 0.246 in the submucosal layer, p = 0.910 in the intramuscular layer and p = 0.541 in the intermuscular layer.
Conclusion : There was no higher expression of calretinin and CD117 in the non-reoperative group than the reoperative group, probably because both groups had ganglion found at the proximal margin of the operation.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Maulina
"Latar belakang: Metastasis leptomeningeal (ML) merupakan penyebaran sel tumor ke leptomening dan ruang subarakhnoid, dengan insidens yang semakin meningkat dan prognosis yang buruk. Analisis cairan serebrospinal (CSS) merupakan pemeriksaan penting dengan sitologi sebagai standar baku emas untuk deteksi sel tumor di CSS.
Metode penelitian: Studi potong lintang retrospektif multisenter untuk mengetahui gambaran analisis rutin dan sitologi CSS pada keganasan dengan kecurigaan ML yang dilakukan pungsi lumbal pada Januari 2018-Desember 2021. Dilakukan pencatatan data klinis, radiologis, jenis tumor, analisis rutin serta frekuensi pungsi lumbal, dan dianalisis hubungannya dengan sitologi CSS.
Hasil: Terdapat 153 subjek dengan abnormalitas analisis rutin CSS(75,2%) berupa peningkatan jumlah sel >5/uL(47,1%) dengan median 5(1-3504)/uL; peningkatan protein CSS >45 mg/dl (52,9%) dengan median 50 (5-820)mg/dl serta penurunan glukosa CSS <50 mg(15%) dengan median 68 (3-269)mg/dl. Proporsi sitologi CSS positif sel ganas 20,3%. Proporsi flow cytometry immunophenotyping CSS positif pada keganasan hematologi dengan kecurigaan ML 25,6%. Terdapat hubungan bermakna antara peningkatan sel, jenis keganasan hematologi, dan gambaran MRI dengan sitologi CSS (p<0,001;p=0,03;p=0,03). Tidak terdapat hubungan bermakna antara manifestasi klinis dan frekuensi pungsi lumbal dengan sitologi CSS.
Kesimpulan: Abnormalitas analisis rutin CSS didapatkan pada sebagian besar subjek keganasan dengan kecurigaan ML, dengan positivitas sitologi yang rendah. Gejala klinis yang bervariasi dan pengulangan pungsi lumbal tidak signifikan menaikkan kemungkinan sitologi CSS positif.

Background: Leptomeningeal metastases (LM) is a condition where malignant cells spread to leptomeninges and subarachnoid space, with increasing incidence and poor prognosis. Cerebrospinal fluid (CSF) analysis is an important examination with cytology as the gold standard for malignant cells detection in CSF.
Methods: A multicenter cross-sectional retrospective study to describe CSF routine analysis and cytology in suspected LM on January 2018-December 2021. Clinical manifestations, radiological data, tumor type, CSF routine analysis, and lumbal puncture frequency were recorded, and their correlation with CSF cytology was analyzed.
Results: There were 153 subjects with abnormalities on CSF routine analysis(75,2%), consist of CSF cell count >5/uL(47,1%) with median 5(1-3504)/uL, CSF protein >45 mg/dL(52,9%) with median 50(5-820) mg/dL, and CSF glucose <50 mg/dL(15%) with median 68(3-629)mg/dL. Positive CSF cytology result was 20,3%. Positive CSF flow cytometry immunophenotyping in hematological malignancy with suspected LM was 25,6%. There was significant correlation between the increase in CSF cell count, hematological malignancy, and MRI results with CSF cytology (p<0,001;p=0,03;p=0,03). There was no significant correlation between clinical manifestations and lumbal puncture frequency with CSF cytology.
Conclusion: Abnormalities of CSF routine analysis were found in majority subjects with suspected LM but CSF cytology positivity rate was considered low. The presence of varied clinical symptoms and repeated lumbal punctures didn’t increase the likelihood of positive CSF cytology.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purwaningsih
"Latar Belakang: Perilaku abberant sering terdapat pada pasien GSA. Salah satu kuesioner yang bisa digunakan untuk menilai perilaku abberant adalah kuesioner ABC-C 2017. Kuesioner ABC-C 2017 mengukur 5 domain perilaku abberant (iritabilitas, penarikan diri secara sosial, perilaku stereotipik, hiperaktivitas/ ketidakpatuhan dan pola bicara yang tidak tepat) pada anak dan remaja dengan diagnosis GSA, saat ini belum ada versi Bahasa Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk menilai kesahihan dan keandalan kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia. Kesahihan isi dihitung menggunakan Content Validity Index for Items (I-CVI) dan Content Validity Index for Scales (S-CVI). Uji keandalan konsistensi internal dihitung menggunakan Cronbach alpha. Penelitian ini juga menilai proporsi perilaku abberant berdasarkan 5 domain kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia, pada anak dan remaja dengan GSA di Poliklinik Jiwa Anak dan Remaja RSCM.
Hasil: Hasil analisis menunjukkan nilai I-CVI dan S-CVI kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia sebesar 0,917, sehingga kesahihan isi kuesioner ini dinilai baik. Hasil keandalan konsistensi internal baik sampai excellent dengan nilai Cronbach’s alpha untuk masing-masing domain iritabilitas 0,938; penarikan diri secara sosial 0,936; perilaku stereotipik 0,930; hiperaktivitas, ketidakpatuhan 0,949 dan domain pola bicara yang tidak tepat 0,869. Proporsi perilaku abberant berdasarkan penilaian 5 domain kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia, pada anak dan remaja dengan GSA di Poliklinik Jiwa Anak dan Remaja RSCM, didapatkan hasil, domain iritabilitas derajat ringan sebesar 70,6%; penarikan diri secara sosial derajat ringan 72,5%; perilaku stereotipik 100% derajat ringan; hiperaktivitas/ketidakpatuhan derajat sedang 47,1%, dan pola bicara yang tidak tepat 100% derajat ringan. Proporsi perilaku abberant berdasarkan usia dan jenis kelamin juga didominasi derajat ringan, kecuali domain hiperaktivitas/ketidakpatuhan derajat sedang. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik, proporsi perilaku abberant berdasarkan usia dan jenis kelamin anak.
Kesimpulan: Kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia dapat dipakai di Indonesia untuk penelitian selanjutnya, mendeteksi 5 domain perilaku abberant pada pasien GSA dan sebagai modul pendidikan bagi tenaga kesehatan.

Background: Abberant behavior is often found in ASD patients. One of the questionnaires that can be used to assess abusive behavior is the 2017 ABC-C questionnaire. The 2017 ABC-C questionnaire measures 5 domains of abberant behavior (irritability, social withdrawal, stereotypic behavior, hyperactivity/non-compliance and inappropriate speech patterns) in children. and adolescents with a diagnosis of ASD, currently there is no Indonesian version.
Methods: This study used a cross-sectional design to assess the validity and reliability of the Indonesian version of the 2017 ABC-C questionnaire. Content validity was calculated using the Content Validity Index for Items (I-CVI) and the Content Validity Index for Scales (S-CVI). Internal consistency reliability test was calculated using Cronbach alpha. This study also assessed the proportion of abusive behavior based on the 5 domains of the Indonesian version of the 2017 ABC-C questionnaire, in children and adolescents with ASD at the Children and Adolescent Mental Polyclinic RSCM.
Results: The results of the analysis show that the I-CVI and S-CVI scores of the 2017 ABC-C Indonesian version of the questionnaire are 0.917, so the validity of the contents of this questionnaire is considered good. The results of the reliability of internal consistency are good to excellent with Cronbach's alpha value for each irritability domain 0.938; social withdrawal 0.936; stereotypic behavior 0.930; hyperactivity, non-compliance 0.949 and inappropriate speech pattern domain 0.869. The proportion of abnormal behavior based on the assessment of the 5 domains of the 2017 ABC-C questionnaire in Indonesian version, in children and adolescents with ASD at the Child and Adolescent Mental Polyclinic RSCM, the results obtained, the domain of mild irritability was 70.6%; mild social withdrawal 72.5%; 100% mild stereotypic behavior; moderate degree of hyperactivity/non-compliance is 47.1%, and inappropriate speech is 100% mild. The proportion of abberant behavior based on age and gender was also dominated by mild degrees, except for the moderate degree of hyperactivity/non-compliance domain. There was no statistically significant difference, the proportion of abusive behavior based on the age and sex of the child.
Conclusion: The Indonesian version of the ABC-C 2017 Questionnaire can be used in Indonesia for further research, detecting 5 domains of abnormal behavior in ASD patients and as an education module for health workers.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meike Pramono
"Latar Belakang: Adenokarsinoma duktal pankreas dan adenokarsinoma ampula vateri, tanpa melihat gambaran episentrum tumor, sulit dibedakan secara histopatologi. Gejala klinis tidak spesifik sehingga kasus yang ditemukan seringkali tidak memenuhi kriteria resectable. Gambaran radiologi juga tidak spesifik, padahal terapi dan prognosis keduanya berbeda. Adenokarsinoma duktal pankreas memiliki angka kesintasan rendah dibanding adenokarsinoma ampula vateri. Penentuan asal tumor, berasal dari duktal pankreas atau ampula vateri, sangat penting. SMAD4 diduga dapat menjadi salah satu panel diagnostik imunohistokimia. Penelitian ini dilakukan dengan melihat perbandingan ekspresi SMAD4 di adenokarsinoma ampula vateri dan adenokarsinoma duktal pankreas.
Tujuan: Mengetahui perbandingan ekspresi SMAD4 pada adenokarsinoma duktal pankreas dan adenokarsinoma ampula vateri.
Metode: Penelitian analitik observasional, desain potong lintang pada sediaan reseksi adenokarsinoma duktal pankreas dan adenokarsinoma ampula vateri, periode Januari 2013 hingga September 2021. Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling. Adenokasinoma ampula vateri dengan subtipe pankreatobiliar dieksklusi. Pemeriksaan imunohistokimia menggunakan antibodi primer SMAD4. Data imunohistokimia dianalisis untuk melihat adakah perbedaan ekspresi SMAD4 pada adenokarsinoma di ampula vateri dan adenokarsinoma duktal pankreas.
Hasil: Loss of SMAD4 didapatkan pada 12 kasus (60 %) adenokarsinoma duktal pankreas dan 8 kasus (44,4 %) adenokarsinoma ampula vateri. Tidak didapatkan hubungan loss of SMAD4 pada adenokarsinoma duktal pankreas dan adenokarsinoma ampula vateri (p=0,338).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna loss of SMAD4 pada adenokarsinoma duktal pankreas dan adenokarsinoma ampula vateri. Namun terdapat trend loss of SMAD4 lebih tinggi pada adenokarsinoma duktal pankreas dibanding adenokarsinoma ampula vateri subtipe intestinal dan mixed type dominansi intestinal.

ackground: Differentiating pancreatic ductal adenocarcinoma and ampullary adenocarcinoma without knowing the epicenter of the tumor is difficult. The clinical symptoms are non-specific. The cases found usually do not meet the operable criteria. Radiological examination is also non-specific, although the treatment and prognosis are different. Pancreatic ductal adenocarcinoma has lower survival rate than ampullary adenocarcinoma. It is very important to determine the origin of the tumor from pancreatic ductal or ampulla of Vater. SMAD4 is expected to be one of immunohistochemical diagnostic panel for the pancreatic ductal adenocarcinoma. This study compares the SMAD4 expression in pancreatic ductal adenocarcinoma and ampullary adenocarcinoma.
Objective: Knowing the comparison of SMAD4 expression in pancreatic ductal adenocarcinoma and ampullary adenocarcinoma.
Methods: Observational analytical study with cross sectional design, total sampling was performed on the resection specimens of pancreatic ductal adenocarcinoma and ampullary adenocarcinoma, period January 2013 to December 2021. Ampullary adenocarcinoma with pancreatobilliary subtype was excluded. Immunohistochemical examination using SMAD4 primary antibody. Immunohistochemical data will be analyzed to see SMAD4 expression difference between pancreatic ductal adenocarcinoma and ampullary adenocarcinoma.
Results: Loss of SMAD4 was found in 12 cases (66,7 %) of pancreatic ductal adenocarcinoma and 6 cases (44,4 %) of ampullary adenocarcinoma. There was no significant relationship between loss of SMAD4 in pancreatic ductal adenocarcinoma and ampullary adenocarcinoma (p=0,338).
Conclusions: There was no significant relationship between loss of SMAD4 in pancreatic ductal adenocarcinoma and adenocarcinoma of the ampulla of vater. However, there was a trend of higher SMAD4 loss in pancreatic ductal adenocarcinoma than ampullary vater adenocarcinoma of intestinal subtype and mixed type with intestinal dominance.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Dwi Putra Widyarman
"Latar Belakang: COVID-19 merupakan penyakit infeksi yang menjadi sebuah pandemi global dalam waktu singkat. Radiologi memegang peranan penting menggunakan modalitas radiografi toraks untuk identifikasi COVID-19 dengan melihat gambaran ground glass opacity (GGO) dan konsolidasi. Melakukan interpretasi radiografi toraks dengan benar masih menjadi tantangan dimana akurasi tertinggi dipegang oleh dokter spesialis radiologi divisi toraks. LUNIT INSIGHT CXR merupakan salah satu sistem artificial intelligence (AI) yang dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi pembacaan radiografi toraks. Hingga saat ini berlum ada sistem AI lain di RSUPN Cipto Mangunkusumo yang dapat menginterpretasi radiografi toraks. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi manfaat sistem AI LUNIT INSIGHT CXR dalam membantu dokter radiologi mendeteksi GGO dan konsolidasi yang merupakan gambaran radiografi toraks paling sering pada pasien COVID-19. Metode: Studi ini merupakan studi retrospektif menggunakan gambaran radiografi toraks pasien tersangka COVID-19. Radiografi toraks diinterpretasi oleh dokter radiologi umum tanpa dan dengan bantuan sistem AI dibandingkan dengan interpretasi dokter radiologi divisi toraks menggunakan variabel ada atau tidaknya lesi, interpretasi GGO, interpretasi konsolidasi serta interpretasi berdasarkan lokasi lapangan paru yang terlibat. Hasil: Kelainan paling banyak ditemukan adalah GGO dengan lokasi di lapangan bawah kedua paru baik oleh dokter radiologi umum dan dokter radiologi divisi toraks. Ditemukan konkordans penilaian GGO yang rendah (< 0,8) sedangkan penilaian konsolidasi ditemukan konkorans baik (> 0,8). Berdasarkan lokasi ditemukan konkordans terendah di lapangan tengah paru kanan (0,773) pada kelompok dengan bantuan sistem AI. Konkordans pada lokasi lain ditemukan baik (> 0,8). Tidak ditemukan perbedaan signifikan pada konkordans antara tanpa dan dengan bantuan sistem AI. Simpulan: Dalam studi ini tidak ditemukan perbedaan kesesuaian penilaian GGO maupun konsolidasi pada radiografi toraks antara dokter radiologi tanpa dan dengan bantuan sistem AI LUNIT INSIGHT CXR

Background: COVID-19 is an infectious disease that quickly became a global pandemic. Radiology holds an important role in COVID-19 early detection using chest radiograph by evaluating ground glass opacity (GGO) and consolidation. Correctly interpreting chest radiograph is still a challenge where chest division radiologists holds the highest accuracy. LUNIT INSIGHT CXR is an artificial intelligence (AI) system that created to increase efficiency and accuracy in interpreting chest radiograph. Until now there are no other AI system in Cipto Mangunkusumo National General Hospital that can interpret chest radiograph. This study aims to evaluate the benefit of LUNIT INSIGHT CXR AI system to help radiologists detect GGO and consolidation, the most common findings in COVID-19 patients. Method: This study is a retrospective study using chest radiograph image of suspected COVID-19 patients. Chest radiograph will be interpreted by general radiologist with and without AI system’s aid, compared with interpretation by chest division radiologist using presence of lesion, GGO interpretation, consolidation interpretation and location of the lesion as variables. Result: Most common findings are GGO with lower lung as the most common location by all interpreter. Concordance of GGO interpretation is low (< 0,8) whereas concordance of consolidation interpretation is good (> 0,8). Based on location, the lowest concordance is on the mid right lung (0,773) in the group with AI system’s aid. Concordance in other locations are good (> 0,8). There is no significant difference of concordance between with and without AI system groups. Conclusion: There are no difference in concordance of GGO and consolidation interpretation in chest radiograph between radiologists with and without LUNIT INSIGHT CXR system’s aid. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Dio Syaputra
"Latar belakang: Presbiopia pasca operasi katarak masih menjadi masalah meskipun teknik operasi dan teknologi lensa intra-okular terus berkembang. Teknik mini-monovision dan lensa extended depth of focus (EDoF) murni menjadi alternatif untuk mengkoreksi penglihatan jauh dan menengah dengan biaya relatif ringan.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan membandingkan luaran klinis pasca operasi katarak dengan teknik mini-monovision secara binokular dan operasi katarak menggunakan lensa EDoF murni monokular.
Metode: Subjek penelitian dirandomisasi menjadi kelompok mini-monovision (lensa monofokal standar dengan anisometropia -1,25 D) dan kelompok EDoF Murni. Blinding dilakukan pada pemeriksa luaran klinis.
Hasil: Interim analysis dari total 16 pasien didapatkan luaran tajam penglihatan jauh dengan dan tanpa koreksi(TPJTK dan TPJDK) tidak berbeda bermakna antar kelompok. Median tajam penglihatan menegah tanpa koreksi (TPMTK) dan rerata tajam penglihatan dekat tanpa koreksi (TPDTK) mini-monovision binokular didapatkan 0,10 (0-0,10) LogMar dan 0,26 + 0,12 LogMar. Median TPMTK & rerata TPDTK EDoF monokular didapatkan 0,19 (0,14-0,50) LogMar dan 0,54 + 0,11 LogMar. Uji Mann-Whitney U pada luaran TPMTK didapatkan nilai p=0,001 dan uji T tidak berpasangan terhadap luaran TPDTK didapatkan nilai p=0,000. Kurva defokus lensa -2,50 D kelompok mini-monovision binokular 0,31 LogMar dan EDoF monokular 0,51 LogMar (p=0,019).
Kesimpulan: TPMTK, TPDTK dan kurva defokus lensa -2,50 D kelompok mini-monovision lebih baik dibandingkan kelompok EDoF

Background: Presbyopia after cataract surgery is still a problem despite recent surgical techniques and intraocular lens technology development. Mini-monovision techniques and pure extended depth of focus (EDoF) lenses are alternatives to achieve good distance and intermediate visual acuity at relatively inexpensive.
Purpose: This study aims to compare the clinical outcome after cataract surgery with binocular mini-monovision and cataract surgery using a pure monocular EDoF lens.
Methods: Subjects were randomized into the mini-monovision group (standard monofocal lenses with -1.25 D of anisometropia) and the pure EDoF group. Blinding was performed on the clinical outcome examiners.
Results: Interim analysis of a total of 16 patients revealed the outcome of distance visual acuity with and without correction (UCDVA and BCDVA) was not significantly different between groups. Median of uncorrected intermediate visual acuity (UIVA) and mean of uncorrected near visual acuity (UNVA) of binocular mini-monovision were 0.10 (0-0.10) LogMar and 0.26 + 0.12 LogMar. Median UIVA & mean UNVA monocular EDoF were 0.19 (0.14-0.50) LogMar and 0.54 + 0.11 LogMar respectively. The Mann-Whitney U test of UIVA between groups revealed p=0.001 and the unpaired T-test of UNVA revealed p=0.000. Mean defocus curve of -2.50 D lens were 0.31 LogMar in binocular mini-monovision group and 0.51 LogMar monocular in EDoF group (p=0.019).
Conclusion: UIVA, UNVA and defocus curve of -2.50 D lens in the mini-monovision group were better than EDoF group.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>