Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Oley, Maximillian Christian
"Kasus Meningoencephalocele Anterior (MEA) mempunyai insidens yang tinggi di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Data statistik Thailand menunjukkan kasus ini di dapatkan pada 7 penderita dari 42.315 kelahiran hidup di RS Chulalongkom Bangkok (Idari 6.000 kelahiran hidup). Berbeda pada belahan Dunia bagian Barat yang lebih banyak di jumpai kasus Meningoensefalokel Posterior.
Menurut etiologinya, Meningoensefalokel erat kaitannya dengan faktor gizi ibu pada masa kehamilan, itu sebabnya kasus-kasus demikian banyak terdapat pada penduduk golongan sosial ekonomi bawah. Signifikansinya jelas antara banyaknya jumlah kasus tersebut di Indonesia dan penggolongan Indonesia yang masuk ke dalam kelompok Negara berkembang.
Sebagian besar kasus MEA dari golongan sosial ekonomi bawah yang tidak terjangkau oleh fasilitas kesehatan, karena sarana yang terbatas dan tingginya biaya pengobatan. Sarana kesehatan di Indonesia yang dalam hal ini termasuk minimnya fasilitas rumah sakit dan tenaga Bedah Saraf yang belum merata penyebarannya di seluruh Indonesia. Sebagian besar terkonsentrasi di lbukota Propinsi atau kota-kota besar yang pada umumnya memiliki rumah sakit yang mempunyai fasilitas diagnostik, penunjang diagnostik, perawatan maupun peralatan penunjang operasi yang lengkap.
Dari segi tehnik operasi, saat ini yang dilakukan menurut tehnik klasik, karena mempertimbangkan aspek kosmetik insisi operasi bentuk bikoronal, sedemikian besarnya [uka operasi sehingga menimbulkan penyulit-penyulit yang penanganannya ideal dilakukan di rumah sakit yang mempunyai fasilitas lengkaplkhusus.
Melihat berbagai masalah yang terkait Iangsung ataupun tak Iangsung pada penderita MEA ini, maka dibuat suatu tehnik operasi dengan penyulit minimal yang bisa dilakukan di rumah sakit daerah tanpa fasilitas khusus. Bentuk incisi yang dilakukan adalah transkel dan diteruskan sampai regio frontal, berbeda dengan insisi bikoronal pada tehnik klasik. Insisi ini selanjutnya disebut "JAKARTA INCISION".
Tehnik operasi ini dalam penelitian ini akhirnya bisa menurunkan biaya kesehatan yang tinggi, tanpa mengurangi ataupun menyalahi tujuan pengobatan penderita MEA.
Bagaimana membuktikan suatu pola perawatan dan tehnik operasi yang berbeda dengan tehnik klasik pada penderita Meningoensefalokel Anterior sehingga penyulit yang ditimbulkan oleh tehnik operasi klasik dapat diminimalisir dan mengurangi biaya pengobatan penderita MEA?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18042
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dw Pt Gde Purwa Samatra
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58516
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Reki Setiawan
"Berdasarkan pengalaman Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), pasien datang berobat dengan durasi keluhan yang beragam untuk suatu diagnosis adenoma hipofisis. Sebagai rumah sakit pusat rujukan nasional, semua pasien adenoma hipofisis yang datang ke institusi kami merupakan pasien rujukan dari dokter spesialis mata, spesialis saraf, maupun dokter spesialis bedah saraf dari institusi lain. Adenoma hipofisis dapat menyebabkan keluhan visus, lapang pandang, dan keluhan-keluhan lain yang diakibatkan oleh gangguan hormonal. Beberapa penelitian telah menyatakan hubungan antara durasi keluhan dengan luaran klinis dengan hasil yang signifikan. Pada penelitian ini akan dicari hubungan antara durasi, yang dihitung mulai dari awal keluhan sampai dilakukan tindakan operasi, dengan luaran visus dan lapang pandang pada pasien adenoma hipofisis yang dilakukan operasi dengan pendekatan transnasal transfenoid.
Penelitian ini merupakan penelitian restrospektif pada pasien adenoma hipofisis yang dilakukan tindakan operasi dengan pendekatan transnasal transfenoid antara tahun 2015-2017. Seluruh operasi dilakukan oleh spesialis bedah saraf di RSCM. Semua pasien pada penelitian ini mengalami penurunan visus dan penyempitan lapang pandang. Durasi antara onset sampai dengan dilakukan tindakan operasi dihitung dalam satuan bulan. Dilakukan pemeriksaan visus dan lapang pandang 1 hari sebelum operasi dan dalam 1 sampai 2 bulan pasca operasi. Penelitian ini juga menghitung volume tumor, presentase tumor yang diambil, dan perluasan tumor, tetapi tidak dapat dilakukan uji statistik karena dibutuhkan jumlah sampel yang lebih banyak.
Tujuh puluh satu pasien dengan keluhan penurunan visus dan penyempitan lapang pandang dengan median usia 42 tahun (20-77 tahun). Terdapat 36 pasien berjenis kelamin laki-laki dan 35 pasien perempuan. Median durasi mulai dari onset sampai dilakukan tindakan operasi untuk keluhan penurunan visus dan penyempitan lapang pandang adalah sama yaitu 12 bulan (1-108 bulan). Tedapat perbaikan visus pasca operasi pada 50 pasien (40,5%), dengan median durasi onset sampai dilakukan tindakan operasi adalah 11 bulan (p=0,58). Pada pasien keluhan penyempitan lapang pandang didapatkan perbaikan klinis pada 48 pasien (67.6%), dengan median durasi onset sampai dilakukan tindakan adalah 12 bulan (p=0.01).
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan bermakna secara statistik antara durasi onset sampai dilakukan tindakan operasi dengan luaran klinis lapang pandang. Perbaikan lapang pandang didapatkan pada pasien yang memiliki durasi onset sampai dilakukan tindakan operasi sampai dengan 12 bulan.
......Based on the experience of the Department of Neurosurgery, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia-Cipto Mangunkusumo Hospital (FMUI-Cipto Mangunkusumo Hospital), patients came seeking treatment with varying duration of complaints for a diagnosis of pituitary adenoma. As a national referral center hospital, all pituitary adenoma patients who came to our institution were referred from ophthalmologists, neurologists, and neurosurgeons from other institutions. Pituitary adenomas can cause decrease of visual acuity (VA), narrowing visual field (VF), and other complaints caused by hormonal disorders.1 Several studies have showed that the duration of complaints were related significantly with clinical outcomes.2,3,4,5,6
In this study, we investigated the relationship between duration, which is calculated from the time of symptoms first appeared to the time of surgery, and outcome (visual field and visual acuity) in pituitary adenoma patients who underwent surgery via transnasal-transsphenoidal approach.
This study used retrospective design on pituitary adenoma patients who was performed surgery via transnasal-transsphenoidal approach between 2015-2017. All surgeries were performed by neurosurgeons at RSCM. All patients in this study experienced decreased VA and narrowing of the VF. The duration between symptoms’ onset and surgery was calculated in months. VA and VF examinations were performed 1 day before surgery and within 1 to 2 months postoperatively. This study also calculated the volume of tumor, the percentage of tumor removal, and the extent of tumor, but statistical tests cannot be carried out on these parameters because more samples are needed.
There were 71 patients with decreased visual acuity and narrowed visual field, consisted of 36 male and 35 female patients, with a median age of 42 years (20-77 years). The median length of duration of onset for both symptoms is the same, which was 12 months (1-108 months).
Fifty patients (40.5%) had improved VA postoperatively, with median duration of onset was 11 months (p = 0.58). Clinical improvement in VF was experienced in 48 patients (67.6%), in which the median duration of onset was 12 months (p = 0.01)
There was a statistically significant relationship between the duration of onset and the VF outcomes. Improvements in the VF were found in patients who underwent surgery up to 12 months after the time of onset."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Yuliatri
"ABSTRAK
Tujuan
Tindakan bedah saraf, diduga dapat mengentikan atau memperlambat cedera otak sekunder, yang berhubungan dengan proses neuroinflamasi. Peneliti bertujuan untuk mengetahui peranan neuroinflamasi (Il-6) terhadap prognosis pasien cedera otak dan untuk mengetahui hubungan tindakan operasi dengan kondisi neuroinflamasi.
Metode
Penelitian ini bersifat prospektif observasional dengan desain cross sectional. Dari 40 pasien cedera otak yang dilakukan tindakan operasi, dilakukan pemeriksaan kadar Il-6 sebelum operasi dan 1 hari pasca tindakan operasi. GCS dinilai saat di UGD (GCS awal) dan sesudah tindakan operasi (GCS hari ke-7). GOS dinilai setelah bulan ke-1 dan bulan ke-3 pasca trauma. Kadar IL-6 sebelum operasi dan 1 hari pasca tindakan operasi dihubungkan dengan nilai GCS awal, GCS hari ke-7, GOS bulan ke-1 dan GOS bulan ke-3 untuk mengetahui hubungan tindakan operasi dengan proses neuroinflamasi dan nilai prognostiknya terhadap pasien cedera otak.
GCS awal. GCS hari ke-7 dikelompokkan menjadi GCS <=8 dan GCS >8. GOS bulan ke-1 dan bulan ke-3 dikelompokkan menjadi GOS favorable (>3) dan unfavorable <=3.
Hasil
Kadar Il-6 awal berhubungan bermakna dengan GCS awal (p: 0.001) dengan OR 11.4 --> pasien dengan kadar Il-6 >100 pg/ml memiliki peluang 11.4 kali mendapatkan nilai GCS <=8. Terdapat perbedaan nilai median kadar Il-6 pasca operasi dibandingkan dengan pre operasi, dengan kecenderungan kadar Il-6 pasca operasi (median=35.55 pg/ml) lebih rendah daripada kadar Il-6 awal (median=76.74 pg/ml)
Kadar Il-6 pasca operasi berhubungan bermakna dengan GCS hari ke-7 (p=0.006), dengan OR 24 --> pasien dengan Il-6 pre op <= 100 pg/ml memiliki peluang 24 kali memperoleh nilai GCS hari ke-7 >8. Kadar Il-6 pasca operasi berhubungan bermakna dengan GOS bulan ke-3 (nilai p= 0.016) dengan OR 11.6 --> pasien dengan kadar Il-6 <=100 pg/ml memiliki peluang sebesar 11.6 kali mencapai GOS bulan ke-3 favorable.
Simpulan
Proses neuroinflamasi memiliki nilai prognostik pada pasien cedera otak, di mana maikin tinggi kadar Il-6 serum awal, makin buruk GCS awal pasien.Tindakan bedah saraf dapat menurunkan proses neuroinflamasi dan berhubungan dengan outcome GCS hari ke-7 (status kesadaran) pasca operasi dan GOS bulan ke-3 (kualitas hidup) yang lebih baik.

ABSTRACT
Objectives
Neurosurgical procedures are performed to stop or slow down the secondary brain injury. This study is aimed to determine the association of neuroinflammation with the prosnosis of brain injury patients and the association of neurosurgical procedure with the neuroinflammation.
Method
The study design is a prospective observation of 40 brain injuty patients who were operated. Examination were carried out top measured Il-6 serum level of pre and one day post operation on brain injury patients, and to analize therir association with GCS,GOS and neurosurgical procedures.
Results
The Il-6 serum level pre surgery was significantly associated with initial GCS (p value=0.001 and OR 11.4). There was significant median difference of Il-6 post surgery compared with pre surgery, with a downward trend of Il-6 post surgery.
The post operative Il-6 level was significantly associated with GCS 7 days post surgery (p=0.006), with OR 24, meaning that patients with post surgery level of Il-6 <= 100 pg/ml had 24 times chance of getting GCS 7 days post trauma >8. The post operative Il-6 serum was significantly associated with GCA 3 months post trauma (p value= 0.016) with OR 11.6, meaning that the patients with post operative Il-6 level <= 100 pg/ml has 11.6 times as much chance of reaching the 3 months post trauma GOS favorable.
Conclusion
Neuroinflammation may have prognostic values in brain injured patients. Neurosurgical procedures can decrease the neuroinflammation process and was associated with better conciousness state (GCS) and neurological outcome (GOS)."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Agus Aulia
"ABSTRAK
Latar Belakang :
Cedera Kepala masih menjadi masalah medis sekaligus masalah sosial-ekonomi di Indonesia. Angka mortalitas dan morbiditasnya enderung meningkat. Proses Neuroinflamasi dan Stres Oksidatif berperan dalam proses cedera kepala sekunder setelah trauma. Iskemia otak menjadi pencetus proses ini yang berujung pada kematian sel saraf.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan antara proses neuroinflamasi dan stres oksidatif dengan prognosis pasien cedera kepala dan hubungannya dengan prosedur bedah saraf dengan neuroinflamasi dan stres oksidatif.
Metode:
Desain Studi penelitian ini adalah prospektif terhadap 40 pasien cedera kepala yang dilakukan tindakan bedah saraf. Dilakukan pemeriksaan serum antibodi terhadap NR2A dan serum glutahion (GSH) sebelum dan satu hari paska operasi pada pasien cedera kepala, kenudian dinilai hubungannya dengan parameter kesaddaran (GCS) dan fungsi (GOS) serta kaitannya dengan tindakan bedah saraf.
Antibodi terhadap NR2A diukur dengan metode ELISA. Sementara kadar Glutathion (GSH) serum diukur bekerjasama dengan departemen biokimia dan moekuler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hasil :
Dari 40 sampel, sebagian besar adalah lelaki (77,5%) dengan rerata usia 30,78 tahun. Pasien dengan GCS>8 sebanyak 57,5 % sementara dengan GCS < 8 sebanyak 4,7 %. Terdapat peningkatan GCS pada hari ke-7 paska operasi. Diketahui pula terdapat peningkatan GOS pada bulan ke-3 dibandingkan bulan-1 paska operasi.
Kadar serum antibodi NR2A menunjukkan kecenderungan penurunan dibandingkan kadar preoperasi (perbedaan median -1,34 ng/dl).
Tidak terdapat kaitan ntara antibodi NR2A dan GSH serum dengan GCS,GOS dan tindakan bedah saraf.
Kesimpulan :
Pemeiksaan kadar antibodi NR2A serum sebaiknay dilakukan secara serial. Kadar antibodi NR2A masih mungkin memiliki nilai prognostik pada pasien cedera kepala.

ABSTRACT
Background:
Head Injury still a medical and socioeconomic problem in Indonesia. Mortality and morbidity rate tends to increase. Neuroinflamation dan oxidative stress play role in secondary brain damage after head trauma. Brain ischemia causing this process into happenand leads to neuronal death. This study aims to determine the association between neuroinflamation and oxydative stress with prognosis of brain injury patients and the association between neurosurgical procedure with neuroinflamation and oxydative stress.
Method:
The Study design is a prospective observation of 40 brain-injured patients who underwent surgery. NR2A antibodies and GSH (glutathione )level of pre- and 1 day post operation on brain injury patients were measured, and their association with GCS, GOS and neurosurgical proedures were analyzed.
NR2A antibodies serum level were measured by ELISA. GSH (glutathione) serum level were measured in collaboration with department of Biochemistry and molecular Bioloy, Faculty of Medicine, University of Indonesia.
Result:
From 40 patients most are male (77,5%) with mean age 30,78 years. Patient present with favorable GCS (GCS>8) was 57,5 %, while unfavorable GCS (GCS<8) was 42,7%. There was an increase of GCS on day-7 post operation. There was also an increase on patients' GOS on month 3 compared to month-1 post operation.
The postoperative NR2A antibody serum level showed a downward trend compared to preoperative value ( median difference -1,34 ng/dl). There is no significant association of NR2A antibody and GSH serum level with GCS, GOS and neurosurgical procedure.
Conclusion :
Serial postoperative NR2A antibody serum level need to be measured in serial manner.
NR2A antibody serum may have prognostic values in brain -injured patient."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Wicaksono
"ABSTRAK
Di berbagai literatur, tumor meningioma sphenoid wing memiliki dua nama, yaitu meningioma en-plaque sphenoid wing dan meningioma spheno-orbita. Meningioma di regio sphenoorbita itu adalah tumor kompleks meliputi sphenoid wing, orbita, sinus cavernosus yang merupakan penyulit terhadap reseksi total. Presentasi klinis adalah klasik trias yaitu proptosis, gangguan visual, paresis okuler. Meningioma sphenoid wing ditemukan tersering adalah jenis en-plaque. Meningioma en-plaque adalah suatu subkelompok morfologis yang didefinisikan sebagai lesi tipis, menyebar luas, menyerupai karpet atau lembaran, yang menginfiltrasi dura dan terkadang menginvasi tulang dan tumbuh didalamnya sebagai tumor intraosseus sehingga menyebabkan hiperostosis. Meningioma juga memproduksi enzim yang mana diketahui secara tidak langsung menghasilkan proses penulangan. Berdasarkan literatur, dari seluruh tumor meningioma terdapat 15-20% yang ditemukan di sphenoid wing disertai hiperostosis pada regio frontotemporal-lateral orbita. Antara Januari 2010 dan Januari 2012, sebanyak 60 pasien meningioma di sphenoid wing atau sekitar 46,1% dari jumlah keseluruhan temuan meningioma intrakranial (130 pasien) menjalani operasi reseksi di departemen Bedah Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Hiperostosis merupakan perubahan pada tulang cranium yang paling banyak ditemukan yang berhubungan dengan meningioma khususnya di regio sphenoid wing. Beberapa teori mengemukakan bahwa hiperostosis ini merupakan kejadian sekunder dari proses pembentukan tumor dan timbulnya dengan atau tanpa invasi tumor ke tulang. Banyaknya kasus pasien yang dikonsulkan oleh departemen Mata dengan keluhan proptosis yang datang ke departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo menjadikan hal tersebut menarik uuntuk diperhatikan dan untuk diketahui lebih jauh deskripsi datanya. Obyektif Studi ini bertujuan melakukan evaluasi lebih lanjut mengenai meningioma sphenoid wing yang disertai hiperostosis mengenai data demografisnya. Studi ini ingin melihat tentang hubungan antara banyaknya insiden dengan sebaran usia, jenis kelamin dan keterkaitan dugaan penyebabnya, jenis tumor. Selain itu, studi ini ingin mengevaluasi hubungannya dengan pemakaian kontrasepsi khususnya KB suntik, hasil operasi serta komplikasi dan angka rekurensinya.Metode Studi ini adalah studi retrospektif dilakukan berdasarkan status rekam medis berupa data riwayat penyakit pasien, manifestasi klinis yang ada, tanda-tanda neurooradiologis dan teknik operasi, pada 60 pasien yang menjalani pembedahan secara kraniotomi dan lateral orbitotomi dari Januari 2010 sampai Januari 2012. Populasi sampel diambil dari pasien di departemen Bedah Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Kriteria inklusi adalah semua pasien yang didiagnosa dengan meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis periode Januari 2010 - Januari 2012. Kriteria ekslusi adalah tumor meningioma di luar regio sphenoid wing dan meningioma sphenoid wing tanpa adanya hiperostosis. Hasil Pada studi ini terdapat rentang usia pasien: 31-60 tahun dengan rerata usia 44 tahun, jenis kelamin diantaranya 2 (3%) laki-laki dan 58 (96,7%) perempuan. Keluhan utama adalah proptosis yang progresif, penurunan tajam penglihatan disertai hiperostosis. Seluruh pasien dilakukan pembedahan melalui lateral orbitotomi dan kraniotomi fronto-temporal disertai dekompresi orbita. Pemantauan dilakukan terhadap derajat luas reseksi tumor dan komplikasi postoperatif. Semua pasien dengan meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis pada lateral orbita telah menjalani pembedahan dengan reseksi subtotal atau parsial. Pemeriksaan patologi menunjukkan sebanyak 33 (55%) pasien adalah meningioma meningoteliomatosa. Setelah pembedahan, proptosis dilaporkan membaik secara klinis pada 54 (90%) pasien, tajam pengihatan meningkat secara klinis pada 18 (30%) pasien, perihal paresis okuler sulit didapatkan datanya. Lama follow-up adalah 3 bulan sampai 1 tahun, didapatkan rekurensi tumor pada 4 (6,6%) pasien dan 2 (3,3%) pasien menjalani pembedahan kedua. Sebanyak 2 (3,3%) pasien tidak terpantau. Ditemukan 51 (85%) pasien dengan riwayat penggunaan kontrasepsi KB yang menahun, non pengguna 4 (6,6%), tidak diketahui 4 (6,6%) pasien. Dari jumlah 51 (85%) pasien pengguna KB, diantaranya 46 (90,2%) pasien menggunakan kontrasepsi suntik, 4 (7,8%) pasien dengan pil, 1 (1,9%) pasien dengan susuk. Sebanyak 41 (89,1%) pasien menggunakan kontrasepsi KB suntik selama lebih dari 10 tahun dan 5 (10,8%) pasien kurang dari 10 tahun. Meningioma pada sphenoid wing kebanyakan berjenis meningioma meningotelial dan neoplasma jenis ini cenderung menyebabkan hiperostosis setempat serta memiliki gambaran radiologi yang khas. Semua hiperostosis yang ditemukan pada sphenoid wing harus diangkat untuk mencegah rekurensi. Pengangkatan tumor secara luas disertai dekompresi tulang sphenoid wing memberi hasil fungsional dan kosmetik yang memadai. Tidak ada hubungan bermakna dari data meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis dengan usia dan jenis kelamin. Terdapat hubungan bermakna antara KB dengan jenis meningioma yaitu meningoteliomatosa. Kerjasama yang baik antara dokter bedah saraf dan dokter mata adalah penting untuk kelainan ini. Riwayat penggunaan alat kontrasepsi KB suntik banyak didapat pada pasien meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis.

ABSTRACT
Sphenoid wing meningioma has two names, such as meningioma en plaque sphenoid wing and spheno-orbital meningiomas. Meningiomas in the sphenoorbita has its complex, includes sphenoid wing, orbit, cavernous sinus, which could complicate the total resection. Clinical presentation is the classic triad of proptosis, visual disturbance, and occular paresis. The most common sphenoid wing meningioma is en-plaque meningioma. En-plaque meningioma is a morphological subgroup defined as thin lession, widely spread, like carpet or sheet, which infiltrated dura and sometimes invading bone and grows inside the tumor intraosseus thus causing hyperostosis. Meningiomas are also produce enzymes, which indirectly cause calcification. Fifteen to twenty percent of meningiomas are found in sphenoid wing with hyperostosis in frontotemporal-lateral orbital region. Fourty six percents from all of intracranial meningioma patient cases were sphenoid wing meningioma with hyperostotic during Period January 2010 to January 2012. Hyperostotic is a change in the skull bones are most commonly found associated with meningioma especially in the region of the sphenoid wing. Some theories suggest this event is secondary to the process of tumor formation and could occur with or without tumor invasion to bone. Many cases of patients with proptosis who are consulted by ophtalmologists that come into the department of Neurological Surgery School of Medicine-Cipto Mangunkusumo, makes it interesting to be observed and explored further. Objective This study is performed to conduct further evaluation of the sphenoid wing meningioma with hyperostosis, regarding the demographic data. The study wanted to see the relationship between the number of incidents with the distribution of age, sex, causes, and the type of tumor. In addition, this study evaluated the relationship between the usage of injectable contraceptives in particular family planning, operating results, and the rate of complications and recurrence. Methods This study was a retrospective study conducted by collecting medical records of patients’ medical history, clinical manifestations, the neurooradiological sign, and engineering operations, in 60 patients who underwent surgery for a craniotomy and lateral orbitotomi from January 2010 until January 2012. Population samples were taken from patients in the department of Neurosurgery Cipto Mangunkusumo. Inclusion criteria were all patients diagnosed with sphenoid wing meningioma with hyperostosis in the periods of January 2010 - January 2012. Exclusion criteria were meningioma tumor in the sphenoid wing and the outer region of the sphenoid wing meningioma without hyperostosis. In this study there were patients with age range from 31-60 years with the average age of 44 years old.There were 2 (3%) men and 58 (96.7%) female. The chief complaint is progressive proptosis and visual impairment. All of the patient undergo surgery through lateral orbitotomi and fronto-temporal craniotomy accompanied by orbital decompression. Monitoring on a wide degree of tumor resection and postoperative complications is performed. All patients with sphenoid wing meningioma with hyperostosis in lateral orbita have operated with subtotal or partial resection. Pathological examination showed 33 (55%) patients are meningothelial meningioma. After surgery, proptosis reduced in 54 (90%) patients, and increasing visus in 18 (30%) patients. Three months to one year follow-up found the tumorrecurred in 4 (6.6%) patients and 2 (3.3%) patients, who underwent a second surgery. Two (3.3%) patients were not monitored. No history of chronic use of contraception. A total of 42 (89.36%) patients using injectable contraception for more than 10 years and 5 (10.6%) patients less than 10 years. Reported contraceptive device users in52 patients (86%) patients, non-users in 4 (6.6%), and unknown in 4 (6.6%) patients. From a total of 52 (86%) patients with contraceptive users, 47 of them (90.38%) used injectable contraception, 4 (7.69%) consumed oral contraceptive pill, dan 1 (1.92%) patient with the implant contraception. Conclusion The most common type of sphenoid wing meningioma were menignothelial meningioma. This tumor is the most diversified and is tend to cause local hyperostosis and has a picture of a typical radiology. All hyperostosis found on the sphenoid wing must be removed to prevent recurrence. Wide removal of the tumor with decompression sphenoid wing bones gives the adequate functional and cosmetic results. There is no significant correlation of the data sphenoid wing meningioma with hyperostosis with age and sex. However, there was a significant relationship between the meningothelial meningioma with injecting contraception. Good cooperation between neurosurgeons and ophthalmologists is important for this disorder. History of the use of injectable contraception is obtained in patients with sphenoid wing meningioma with hyperostosis."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesty Lidya Ningsih
"Latar Belakang: Enzim O6-methylguanine-DNA methyltransferase MGMT merupakan suatu DNA-repair enzyme yang dapat menghambat proses kematian sel tumor akibat proses alkilasi oleh zat alkilasi termasuk zat kemoterapi. Enzim ini berhubungan dengan mekanisme pertahanan tumor terhadap zat kemoterapi. Eskpresi dari enzim MGMT ini ditemukan tinggi pada pada berbagai tumor termasuk glioma. Metilasi promoter MGMT mengakibatkan gen dalam sel tumor berhenti menghasilkan MGMT. Adanya metilasi dari promoter MGMT dihubungkan dengan respon yang lebih baik terhadap zat alkilasi termasuk kemoterapi. Status metilasi dari promoter MGMT pada pasien glioma dapat digunakan untuk memperkirakan efektifitas kemoterapi dengan zat alkilasi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil enzim O6-methylguanine-DNA methyltransferase MGMT pada pasien glioma derajat tinggi dan glioma derajat rendah dan karakteristik pasien glioma di Departemen Bedah Saraf RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Metode: Peneliti mengumpulkan data profil MGMT yang diperiksa menggunakan methylation-specific polymerase chain reaction pada pasien glioma derajat tinggi dan glioma derajat rendah yang menjalani pembedahan di Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam periode 1 tahun. Data berupa usia, jenis kelamin, Karnofsky Performance Scale KPS, and derajat serta jenis histopatologi tumor dikumpulkan.
Hasil: Dalam periode 1 tahun terdapat 17 pasien dengan hasil histopatologi glioma derajat tinggi dan derajat rendah yang masuk kriteria inklusi. Promoter MGMT termetilasi ditemukan pada 11 pasien 64,7 dan tidak termetilasi pada 6 pasien 35,3. Promoter MGMT termetilasi methylated MGMT lebih banyak didapatkan pada pasien berusia ge; 40 tahun dibandingkan pasien yang berusia < 40 tahun 85,7 vs 50 dan pada pasien laki-laki dibandingkan perempuan 77,7 vs 50. Sedangkan berdasarkan KPS, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada pasien dengan KPS > 70 dibandingkan dengan KPS le; 70 70 vs 57,1. Berdasarkan derajat keganasan, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak ditemukan pada glioma derajat rendah WHO grade II dibandingkan pada glioma derajat tinggi WHO grade III dan IV 85,7 vs 50. Pada glioma derajat tinggi, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada astrositoma/oligoastrositoma anaplastik WHO grade III dibandingkan glioblastoma WHO grade IV 66,6 vs 42,8. Pada glioma derajat rendah, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada oligoastrositoma dibandingkan astrositoma difus 100 vs 75.
Kesimpulan: Promoter MGMT termetilasi lebih sedikit ditemukan pada derajat tumor yang lebih tinggi WHO grade IV, KPS yang rendah, usia lebih muda saat diagnosis dan pasien wanita, meskipun perbedaannya belum dibuktikan signifikan secara statistik. Promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada tumor dengan komponen oligodendroglioma. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk menentukan apakah metilasi promoter MGMT memiliki hubungan yang signifikan dengan faktor-faktor tersebut.
......
Background: O6 methylguanine DNA methyltransferase MGMT is a DNA repair enzyme that correlates with resistance mechanism of tumors to chemotherapy. MGMT inhibits the killing process of tumor cells by alkylating agents including chemotherapy MGMT expression has been noted higher in several tumors including glioma.. Methylation of MGMT promoter inhibits the cells to produce MGMT. Methylation status of the MGMT promoter in gliomas is useful to predict the effectiveness of chemotherapy with alkylating agents.
Objective: The purpose of this study was to evaluate profile of MGMT enzyme and characteristic of low grade and high grade glioma patients in Neurosurgery Department of Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta.
Methods: We evaluated data of MGMT promoter methylation status from methylation specific polymerase chain reaction result in low grade and high glioma patients who underwent surgical resection in Department of Neurosurgery, Cipto Mangunkusomo Hospital Jakarta. Demographic characteristic and clinical data of glioma patiens including age, sex, Karnofsky Performance Scale KPS, and grading of tumor were collected.
Results: In one year period, there are 17 patients with pathological finding of low grade and high grade gliomas met criteria of inclusion. Methylated MGMT promoter was found in 11 patients 64.7 and unmethylated in 6 patients 35.3. MGMT promoter methylation was observed more often in patients diagnosed in age more than 40 years old than in patient less than 40 years old 85,7 vs 50, and men than women 77,7 vs 50. In patients with KPS more than 70 and KPS 70 or less, methylation of MGMT promoter was observed in 70 and 57,1, respectively. Base on tumors grading, MGMT promoter methylation was observed more often in low grade gliomas WHO grade II than high grade gliomas WHO grade II and IV 85,7 vs 50. In high grade glioma, methylation was observed more often in grade III tumors anaplastic astrocytomas oligoastrocytomas than grade IV tumors glioblastomas 66,6 vs 42,8. In low grade gliomas, methylation was observed more in oligoastrocytomas than difus astrocytomas 100 vs 75.
Conclusions. MGMT promoter methylation was observed less in higher grade of tumors grade IV, lower KPS, younger age at time of diagnosis and female patients, although the differences were not statistically significant. MGMT promoter methylation was observed more often in gliomas with oligodendroglioma component. Further and larger scale of research is needed to determine whether MGMT promoter methylation significantly correlates with these factors. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulius Seno Nugroho
"ABSTRAK
Latar Belakang : Pada studi di Jepang terdapat 678 kasus tumor intradura ekstramedulla selama tahun 2000-2009, presentasi kasus tersering adalah Schwannoma 15-50 dan Meningioma 30 . Kualitas hidup adalah persepsi individu tentang kehidupan mereka, dapat diukur dengan MOS 36-item SF-36.Metodologi : Studi retrospektif deskriptif analitik menggunakan data rekam medis 55 pasien tumor intradural ekstramedulla yang dioperasi di RS Cipto Mangunkusumo tahun 2014-2016. Subjek penelitian adalah seluruh populasi terjangkau, berdasarkan rujukan registrasi tumor intradura ekstramedula. Terdapat 30 pasien dengan hasil patologi Meningioma atau Schwanoma, sampel penelitian sebanyak 29 sampel, 1 pasien meninggal 1 bulan setelah operasi. Pasien diwawancara via telepon, dinilai dengan item SF-36, diolah menggunakan program SPSS 21.Hasil : Subjek terbanyak pada kategori 50 ndash; 60 tahun 9 subjek 30 , perempuan 20 subjek 69 , laki-laki 9 subjek 31 , lama keluhan sebelum operasi rata-rata 7,79 bulan. Didapatkan data Patologi Anatomi berupa Meningioma 10 subjek 34,5 dan Schwanoma 19 subjek 65,5 . Sebaran domisili diluar Jakarta 16 subjek 53,3 dan di Jakarta 13 subjek 46,7 . Hasil SF-36 pada penelitian ini Role Emotional, Role Physical dan Physical Function menunjukan perubahan yang signifikan dibandingkan dengan kriteria lainnya,Simpulan : Ada perubahan signifikan kriteria Role Emotional, Role Physical dan Physical Function dibandingkan dengan kriteria lainnya.

ABSTRACT
Background A study in Japan found 678 cases of intradural extramedullary tumors during 2000 2009, most common case is Schwannoma 15 50 and Meningioma 30 . Quality of life is the individual 39 s perception of their life can be measured using MOS 36 item SF 36.Methodology Descriptive analytics retrospective study using medical records of 55 intradural extramedullary tumors patients which are operated in Cipto Mangunkusmo Hospital during 2014 2016. There were 30 patients with Meningioma or Schwannoma pathology results. Sample were 29 samples, 1 patient died 1 month after surgery. Patients were interviewed by phone, assessed by SF 36 items, processed by using SPSS 21 program.Results The highest number of sample was in 50 60 years rsquo s category, 9 subjects 30 , female gender 20 subjects 69 , men 9 subjects 31 , long complaints until surgery averaged 7.79 months. Obtained results of Anatomical Pathology of Meningioma 10 subjects 34.5 and Schwanoma 19 subjects 65.5 . Distribution of domicile outside Jakart 16 subjects 53.3 and in Jakarta 13 subjects 46.7 . The results of SF 36 in this study Emotional Role, Physical Role and Physical Function showed significant changes compared to other criteriaConclusion Obtained improved outcomes Emotional Role, Physical Role and Physical Function that showed significant changes compared to other criteria. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Wirdayanto
"Latar Belakang: Perdarahan intraserebral spontan (PISS) berkaitan dengan luaran yang buruk dibandingkan dengan infark serebral, dapat menyebabkan disabilitas berat, yaitu menyebabkan kecacatan fisik, psikologis, dan fungsi sosial. Pada pasien yang secara CT scan terbukti terdapat hematom intraserebral supratentorial, pembedahan dan perawatan neurointensif mengurangi angka kematian atau kecacatan dibandingkan hanya dengan terapi medis saja. Pembedahan yang dilakukan dapat meningkatkan luaran pasien dengan PISS yang selektif.
Tujuan: Menilai luaran 6 bulan pasca operasi penderita perdarahan intraserebral spontan supratentorial yang di kelola Departemen Bedah Saraf RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo periode Januari 2013-Agustus 2014 serta faktor-faktor yang mempengaruhi luaran tersebut.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang terhadap pasien perdarahan intra serebral spontan supratentorial yang dilakukan operasi evakuasi hematom di Departemen Bedah Saraf RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo periode Januari 2013-Agustus 2014 menggunakan modified Rankin Scale (mRS). Data penelitian ini diperoleh melalui catatan rekam medis.
Hasil: Luaran 6 bulan setelah dilakukan operasi didapatkan luaran independent 7 pasien (38,9%) dan dependent 11 pasien (61,1%). Tidak didapatkan pasien meninggal selama follow up 6 bulan setelah operasi dari data ini. Berdasarkan lokasi perdarahan supratentorial, perdarahan lobar dengan luaran lebih baik dimana luaran independent 50% dibandingkan perdarahan deep seated dengan luaran independent 16,7%. Faktor faktor yang mempengaruhi seperti jenis kelamin, GCS, volume hematom, komorbiditas hipertensi serta diabetes melitus dan jenis tindakan tidak dapat dilakukan uji kemaknaan karena jumlah sampel yang sedikit.
Kesimpulan: Luaran 6 bulan PISS supratentorial pasca operasi evakuasi hematom secara keseluruhan didapatkan lebih banyak dependent dibandingkan independent, dimana pasien perdarahan intraserebral spontan supratentorial lobar lebih baik dibandingkan dengan deep seated.
......
Background: Spontaneous intracerebral hemorrhage associated with poor outcomes compared with cerebral infarction, can cause severe disability, that causes physical disability, psychological, and social functioning. In patients who are the CT scan proved there supratentorial intracerebral hematoma, surgery and neurointensive care reduce mortality or disability compared only with medical therapy alone. Surgery can improve the outcome of patients with selective spontaneous intracerebral hemorrhage.
Purpose: Assessing outcomes 6 months postoperatively supratentorial spontaneous intracerebral hemorrhage patients who managed the Department of Neurosurgery Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, the period January 2013-August 2014 and the factors that affect these outcomes.
Method: A cross sectional study on patients with supratentorial spontaneous intracerebral hemorrhage and evacuation operation conducted in the Department of Neurosurgery Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital the period January 2013-August 2014. Evaluate outcomes using the modified Rankin Scale (mRS). The research data was obtained through medical record.
Result: Outcome 6 months after surgery obtained independent outcomes 7 patients (38.9%) and dependent 11 patients (61.1%). There were no patients died during the follow-up 6 months after surgery of this data. Based on the location supratentorial hemorrhage, lobar hemorrhage with better outcomes in which the outcome of the independent 50% compared to the deep-seated bleeding with independent outputs of 16.7%. Factors influencing such as sex, GCS, hematoma volume, comorbid hypertension and diabetes mellitus and type of action can not be performed because of the significance of test sample size slightly.
Conclusion: Outputs 6 months postoperatively PISS supratentorial hematoma evacuation as a whole gained more dependent than independent, which supratentorial spontaneous intracerebral hemorrhage patients with lobar better than the deep-seated."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>