Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 93 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Masrul
"Latar belakang - Gambaran elektrokardiogram awal pasien sindroma koroner akut khususnya STEMI yang datang ke unit emergensi dapat memberikan prediksi tentang luasnya infark dan responnya terhadap terapi reperfusi yang diberikan serta prognosis jangka panjangnya. Gambaran EKG pada STEMI, khususnya IMA anterior dapat berupa distorsi (+) dan (-). Distorsi terminal komplek QRS adalah emergensi point > 50% dari gelombang R pada sandapan dengan konfigurasi qR (1, aVL, V4-V6) atau tidak munculnya gelombang S pada sandapan dengan konfigurasi Rs (V1-V3) pada 2 sandapan berdekatan. Ternyata distorsi QRS (+) pada STEMI mempunyai infark yang boas, angka kematiaan yang tinggi, EF yang rendah stria perawatan yang lama dan berulang.
Mahan dan care kerja - Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif-kohort terhadap pasien infark rniokardial akut anterior yang mendapat tempi trombolitik penode Januari 2003 sampai September 2004 yang dirawat di Rumah Sakit Hasapan Kites, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pasien dikelompokkan jadi 2 bagian yaitu messing-messing 30 orang dengan distorsi QRS dan tanpa distorsi QRS. Hubungan antara 2 variabel dinilai dengan uji t dan chi-square serta Mann Whitney.
Hasil Penetftian -- Subyek penelitian ini berumur antara 40 - 69 tahun. Jenis kelamin terutama adalah laki-laki. Tidak terdapat perbedaan data dasar karaktcristik klinis antara kedua kelompok, sehingga keduanya adalah seimbang. Data laboratorium yang berbeda bermakna antara distorsi QRS dengan taopa distorsi adalah kadar LDL kolesterol yaitu I62,30 ± 30,89 mg% VS 141,70 ± 35,22 mg%, p = 0,019. Respon terhadap terapi trombolitik temyata pada kelompok distorsi lebib banyak yang gagal dibanding tanpa distorsi yaitu 70% VS 23,3°/°4 p=4,003. Hasil ini membawa konsekwensi berupa kejadian aritmia, EF yang rendah dan seringnya perawatan ulangan karma CHF, yang secara statistik berbeda bermakna.
Kesimpulan - Gambaran elektrokardiogranl awal berupa distorsi QRS (+) pads pasien STEM! khususnya IMA anterior adalah lebih beret dibanding tanpa distorsi QRS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sweety Pribadi
"Pendahuluan: Tujuan studi ini adalah untuk menemukan teknik penyuntikan larutan tumescent ONEPERMIL yang aman dengan menghindari cedera pembuluh darah perforator pada flap kulit berbasis perforator.
Metode: Studi eksperimental dengan kontrol dan randomisasi dilakukan pada 20 ekor Rattus novergicus strain Wistar yang sehat dengan berat 220-270 gram. Tiga mL larutan tumescent ONEPERMIL disuntikkan 10 menit sebelum dilakukan elevasi islanded groin flap. Teknik penyuntikan yang dirancang secara sistematis dibandingkan dengan teknik penyuntikan acak yang berperan sebagai kontrol. Kejernihan lapangan operasi beserta diameter pedikel pembuluh darah dicatat. Luas flap yang vital diolah dengan program AnalyzingDigitalImages® pada hari ke-7 pascaperlakuan. Analisis statistik dilakukan dengan tes Chi-square (p<0,05).
Hasil: Larutan tumescent ONEPERMIL menghasilkan lapangan operasi yang bersih tanpa perdarahan pada semua subyek. Ditemukan nekrosis sebanyak 3 dan 4 flap masing-masing pada grup acak dan sistematik. Tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statistik (p>0.05) antara kedua teknik penyuntikan larutan tumescent berdasarkan nekrosis flap.
Kesimpulan: Walaupun larutan tumescent ONEPERMIL menghasilkan lapangan operasi bersih tanpa perdarahan, namun teknik penyuntikan secara sistematis tidak menghasilkan perbedaan bermakna bila dibandingkan dengan teknik acak.

Background: We aimed to find a safe injection technique of ONEPERMIL tumescent solution to avoid injuring the vessels in perforator-based skin flap.
Methods: A randomized controlled experimental study was conducted on both groins of 20 healthy Wistar stained-Rattus novergicus weighing 220-270 grams. A systematic injection pattern was compared to the random injection pattern which serves as control. Three mL ONEPERMIL tumescent solution was injected subcutaneously before elevation of the islanded groin flap. Clarity of the operating field along with the size of the pedicle were recorded. The survival area of the skin flap was managed with AnalyzingDigitalImages® on post operative day-7. The data was analyzed with Chi-square test (p<0.05).
Results: Totally bloodless operative field was observed in all subjects. Three and four flaps turned into total or partial necrosis in random and systematic pattern group subsequently. No significant difference (p>0.05) was found between the injection technique groups in terms of flap necrosis.
Conclusion: Although the ONEPERMIL tumescent technique is advantageous in a way that it provides a totally bloodless operative field, but systematic patterned-technique of injection did not provide a different result in comparison to the custom random patternedmulti-passing needle injection technique.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Bonauli
"Tesis ini menggambarkan pola kuman pada kasus infeksi intra abdomen yang disebabkan perforasi saluran cerna atas dan bawah beserta kepekaan antibiotiknya di Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini adalah penelitian cross sectional dengan desain deskriptif analitik. Kuman yang terdapat pada infeksi intra abdomen di tahun 2013 adalah E.coli, Stapylococcus sp dan Enterococcus, sama dengan studi sebelumnya. Sedangkan angka kepekaan kuman terhadap antibiotik terutama golongan aminoglikosida lebih rendah dari data yang sudah ada sebelumnya. Usulan penggunaan antibiotik Amikacin masih dapat diberikan untuk terapi empiris infeksi intra abdomen bersama dengan Metronidazol.

Intra Abdominal Infection (IAI) is the second most commonly identified cause of severe sepsis. This study wants to identify pattern of bacteria in intra abdominal infections due to upper and lower gastro intestinal tract perforation. This is cross sectional study with analytic descriptive. Result of this study shows that mostly bacteria in intra abdominal infections are E.coli, Stapylococcus and Enterococcus. This is similar with the previous study but with antibiotic susceptibility rate are lower especially aminoglicoside, compare to prior data. Amikacin is still recommended for empiric therapy in intra abdominal infection but combine with Metronidazole."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nungki Ratna Martina
"Latar Belakang : Acute kidney injury (AKI) adalah komplikasi tersering pada pasien luka bakar. Disfungsi renal akut adalah komplikasi mayor yang disebabkan oleh trauma panas akibat luka bakar dan dikaitkan dengan tingginya angka mortalitas terutama pada pasien anak. Patofisiologi dari AKI pada luka bakar masih sedikit dibahas dalam studi. Faktor yang mempengaruhi terjadinya AKI adalah berkurangnya perfusi ginjal dan inflamasi. Managemen awal pada luka bakar merupakan hal yang penting dan kritis. Penggantian cairan pada pasien luka bakar memiliki efek protektif melawan gagal ginjal. Pada studi ini, kami mencoba mengevaluasi angka kejadian AKI dihubungkan dengan resusitasi cairan 24 jam pertama pada pasien luka bakar anak.
Metode : Penelitian ini merupakan studi retrospektif pada pasien luka bakar anak yang dirawat di Unit Luka Bakar RSCM Jakarta dari Januari 2012 hingga Desember 2013. Kami bagi menjadi dua kelompok, kelompok AKI dan non-AKI dengan menggunakan kriteria pRIFLE. Dilakukan penghitungan Parkland Score pada masing-masing kelompok dan dibandingkan menggunakan analisa t-test.
Hasil : Terdapat 43 pasien luka bakar anak yang memenuhi kriteria dan pencatatan rekam medis yang lengkap. Angka kejadian AKI adalah 18.6% (8 pasien), sedangkan non-AKI 81.4% (35 pasien). Median dari usia pasien adalah 36 bulan (min-maks 6-192 bulan), berat badan pasien 14 kg (7-60 kg), total area luka bakar (%TBSA) adalah 18% (10-60%), waktu masuk ke RS pasca-trauma adalah 5 jam (1-20 jam), dan lama waktu rawat 11 hari (3-47 hari). Rerata Parkland Score dari kelompok AKI adalah 0.79, sedangkan kelompok non-AKI adalah 0.94. Dengan analisa t-test didapatkan hasil tidak terdapat perbedaan bermakna diantara kedua kelompok (p=0.33). Kemudian dilakukan analisa karakteristik pasien antar kelompok, tidak terdapat perbedaan nilai yang bermakna pada karakteristik pasien antar kelompok (p value > 0.05).
Simpulan : Tidak terdapat perbedaan bermakna antara angka kejadian AKI dengan resusitasi cairan pada 24 jam pertama. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena terdapat faktor lain yang mempengaruhi terjadinya AKI pada luka bakar anak. Iskemia ginjal yang dapat menyebabkan terjadinya AKI kemungkinan hal yang kurang bermakna pada fase akut seperti yang diduga sebelumnya, melainkan inflamasi dan apoptosis sel ginjal yang memegang peranan penting terjadinya AKI.

Background : Acute kidney injury (AKI) is a frequent complication in patients with severe burn injury. Acute renal dysfunction is a major complication affecting the thermally injured individual and is commonly associated with a high mortality rate especially among children patients. The pathophysiology of AKI in burn injury is less well studied. Contributing factors for the development of AKI are decreased renal perfusion and inflammation. Initial management of the burn individual to be critically important to overall survival. Fluid replacement therapy was demonstrated to have a protective affect against acute renal failure. In this study, we try to evaluate volume of fluid resuscitation in first 24 hours with acute kidney injury following pediatric major burn injury.
Method : This research is retrospective study evaluating the relationship between fluid resuscitation in first 24 hours and acute kidney injury (AKI) in pediatric major burn injury patients admitted to Burn Unit Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta from January 2012 untill December 2013. We divided into two groups, AKI group and non-AKI group using pRIFLE criteria, then we compared actual volume resuscitation with volume resuscitation in Parkland formula (Parkland score) between groups.
Results : There was 43 pediatric major burn patients with complete fluid and laboratory result data. The incidence of Acute Kidney Injury (AKI) among all patients was 18.6% (8 patients), while non-AKI was 81.4% (35 patients). The median of patient age was 36 months (min-max 6-192 months), patient weight was 14 kgs (7-60 kgs), total body surface area burned (%TBSA) was 18% (10-60%), time to hospital admission was 5 hours after injury (1-20 hours), and length of stay was 11 days (3-47 days). The mean Parkland Score from AKI group was 0.79, while in non-AKI group was 0.94. With independent t-test analysis, there was no significant difference between groups (p=0.33). Then we analyzed patients characteristics between group. We found there was no significant value between patients characteristics in both groups (p value > 0.05).
Conclusions : Parkland Score that we used to estimate total fluid resuscitation in first 24 hours did not shown significant difference between groups. This could be indicated that fluid resuscitation in our burn unit is sufficient for resuscitation or there was other factor influence the incidence of AKI. Renal ischemia that can lead to acute kidney injury is probably less important in the acute phase of burn injury than originally presumed. Instead, inflammation and apoptosis are probably playing an important role.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kshetra Rinaldhy
"Transanal Endorectal Pull-Through (TEPT) dan prosedur Duhamel modifikasi (Martin atau Adang) merupakan teknik operasi penanganan Penyakit Hirschsprung (PH). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui luaran jangka panjang pada pasien PH pasca operasi TEPT dan prosedur Duhamel modifikasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Luaran jangka panjang yang dievaluasi adalah gejala komplikasi konstipasi, fecal soiling, inkontinensia, dan enterokolitis. Penelitian ini menggunakan rancangan analitik cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan angka keberhasilan tanpa gejala komplikasi pasca operasi TEPT lebih tinggi dibanding pasca prosedur Duhamel. Didapatkan angka kejadian yang lebih rendah pada seluruh luaran komplikasi terutama konstipasi pada pasien pasca operasi TEPT dibanding pasca prosedur Duhamel modifikasi. Evaluasi jangka panjang menunjukkan operasi satu tahap TEPT secara umum lebih baik dibanding Duhamel modifikasi.

Transanal Endorectal Pull-Through (TEPT) and Duhamel procedure (Martin or Adang modification) are surgical technique for Hirschprung Disease. The aim of this study was to evaluate the long-term outcome of TEPT and Duhamel procedure in Cipto Mangunkusumo Hospital. This long-term outcome includes constipation, fecal soiling, incontinensia, and enterocolitis. This study use a cross sectional study design. As a results, success rate without symptoms of postoperative complications on TEPT was higher than Duhamel procedure and incidence of complication, especially constipation, on TEPT was lower than Duhamel procedure. In general, long-term outcome of TEPT is better than Duhamel procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Retnoningrum
"Tujuan: Memperoleh data prevalensi perempuan dengan gejala saluran kemih bawah di RS Cipto Mangunkusumo, Indonesia.
Metode: Studi deskriptif dan analitik dengan pengumpulan data menggunakan kuesioner. Subjek penelitian yakni perempuan yang berada di poliklinik Ginekologi RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, menjalani wawancara menggunakan metode konvensional dan menggunakan International Consultation on Incontinence Questionnaire (ICIQ) Female LUTS long form yang divalidasi ke Bahasa Indonesia.
Hasil: Metode konvensional hanya menanyakan sebuah pertanyaan tentang gangguan berkemih tanpa menanyakan gejala yang lebih detail, menghasilkan prevalensi LUTS yang rendah sebanyak 17.3%. Pada sisi lain, dengan menggunakan kuesioner yang terstruktur menggunakan ICIQ- FLUTS long form, luaran prevalensi LUTS total adalah 95.3% pada populasi penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa LUTS mempunyai prevalensi yang tinggi pada populasi studi dengan faktor resiko yang teridentifikasi berupa persalinan pervaginam.
Kesimpulan: LUTS adalah kondisi yang dengan prevalensi tinggi pada populasi penelitian. Untuk mendapatkan prevalensi yang lebih akurat, metode skrining sangat penting. Penggunaan kuesioner terstruktur secara signifikan menapis LUTS lebih tinggi dari metode konvensional. Kuesioner ICIQ FLUTS long form adalah alat yang direkomendasikan untuk digunakan pada penelitian epidemiologi dan dan juga pada praktek klinik sehari- hari. Penelitian lanjutan dengan basis komunitas direkomendasikan untuk mendapatkan prevalensi nasional LUTS di Indonesia.

Objective: To obtain the prevalence of women with Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) in Cipto Mangunkusumo National Hospital, Indonesia.
Method: Descriptive and analytic study with questionnaire- based data collection. All of the subjects were interviewed using the conventional method and International Consultation on Incontinence Questionnaire (ICIQ) Female LUTS long form validated in Indonesian language at Gynecology outpatient clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Results: The conventional method which pose only one single question of urination disturbance without asking the detailed symptoms, low prevalence of LUTS obtained i.e. 17.3%. On the other hand, with a well structured questionnaire using ICIQ- FLUTS long form, the prevalence of LUTS was 95.3% prevalence of LUTS. This result revealed that LUTS was a common condition among Indonesian women in the study population with identified risk factor of vaginal delivery.
Conclusion: LUTS is a frequent condition in this population. To obtain a more accurate prevalence, method of screening is important. A structured questionnaire screened LUTS significantly higher than the conventional method. The ICIQ FLUTS long form questionnaire validated in Indonesian language is a robust questionnaire that recommended to be used in epidemiological research as well as routine clinical practice. Further community based research is warranted to obtain the national prevalence of LUTS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Friscilla Hakim
"Pendahuluan: Perhitungan luas area luka bakar/total burn surface area (TBSA) tidak mungkin dilakukan secara eksak. Perbedaan estimasi TBSA sering dijumpai, bahkan di antara para ahli luka bakar. Namun, perhitungan ini merupakan langkah yang sangat penting untuk menentukan jumlah cairan resusitasi yang akan diberikan. Kebutuhan akan bantuan computer dalam proses perhitungan ini dirasakan perlu, walaupun penggunaan grafik Lund-Browder telah lama digunakan dalam praktik klinis. Burn Case 3DTM adalah sebuah aplikasi peranti lunak baru yang dapat digunakan untuk membantu perhitungan TBSA. Tujuan dari studi ini adalah untuk membandingkan validitas dan reliabilitas di antara kedua metode ini untuk menghitung TBSA dalam praktik klinis.
Metode: Dua orang evaluator menghitung TBSA dari 20 set foto digital pasien Unit Luka Bakar Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang didapatkan dari bank data Divisi Bedah Plastik. Metode perhitungan yang digunakan adalah grafik Lund-Browder dan Burn Case 3DTM. Validitas dan reliabilitas kedua metode ini akan diukur menggunakan grafik Bland Altman. Rata-rata perbedaan pengukuran dapat diterima bila berada di bawah 5%.
Hasil. Validitas BurnCase 3DTM dibandingkan dengan grafik Lund-Browder dalam menghitung total luas luka bakar adalah sangat baik (Beda Rerata -0,96 (IK95% -0,36 sd 2,28); limit kesesuaian -4,69 sd 6,61; ICC=0,997 (IK95% 0,992 sd 0,999). Reliabilitas perhitungan luas luka bakar dengan grafik Lund-Browder menurut beberapa parameter adalah sebagai berikut: beda rerata -0,025 (IK95% -1,47 hingga 1,42); limit kesesuaian -6,22 hingga 6,17; ICC = 0,996 (IK95% 0,990 hingga 0,998). Reliabilitas penghitungan luka bakar dengan BurnCase 3DTM adalah sebagai berikut: beda rerata -0,71 (IK95% -1,59 hingga 0,18); limit kesesuaian -4,48 hingga 3,07; ICC = 0,999 (IK95% 0,996 hingga 0,999).
Kesimpulan. Validitas BurnCase 3DTM dalam menghitung luas luka bakar dibandingkan dengan grafik Lund- chart sebagai alat referensi adalah sangat baik dengan nilai ICC sebesar 0,997. BurnCase 3DTM terbukti reliabel secara klinis dan statistik sebagai alat untuk menghitung luas luka bakar.

Introduction. Calculating the total burn surface area (TBSA) is never an exact measure. High deviation of TBSA estimation is common even among the burn specialist. However, this is a very critical step in determining the amount of initial fluid resuscitation to be administered. The need for computer assisted calculation is consider even the Lund-Browder chart has long been used in the clinical setting as a guide to estimate TBSA. A more recent software application is available to aid this estimation, the BurnCase 3DTM. This study aims to compare the validity and reliability of the two tools in calculating TBSA in the clinical setting.
Methods. The TBSA of twenty set of digital pictures of Burn Unit Cipto Mangunkusumo Hospital patients, extracted from the Plastic Surgery division database, covering the patients’ whole body is assessed by 2 assessors using (1) The Lund-Browder chart as the reference, and (2) The BurnCase 3DTM as a new measurement tools. The validity and reliability of each estimated values from both device will be measured using Bland Altman test. The mean difference assumed acceptable if less than 5 percent.
Results. The validity of the BurnCase 3DTM compared to the Lund-Browder chart to calculate total burn surface area (TBSA) according to various parameters is as follow: mean difference -0,96 (CI95% -0,36 to 2,28); limit of agreement -4,69 to 6,61; ICC = 0,997 (CI95% 0,992 to 0,999). The inter-rater reliability of TBSA calculation using the Lund Browder chart is as follow: mean difference -0,025 (CI95% -1,47 to 1,42); limit of agreement -6,22 to 6,17; ICC = 0,996 (CI95% 0,990 to 0,998). The inter-rater reliability of TBSA calculation using The BurnCase 3DTM is as follow: mean difference -0,71 (CI95% -1,59 to 0,18); limit of agreement -4,48 to 3,07; ICC = 0,999 (CI95% 0,996 to 0,999).
Conclusion. The BurnCase 3DTM is a valid tool to calculate TBSA when compared to the Lund Browder chart as the reference measurement tool to calculate total burn surface area (TBSA) with an ICC value of 0,997. The BurnCase 3DTM is proved clinically and statistically reliable as a measurements tool to calculate TBSA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alfan Arief
"Latar belakang. Kejadian demam pascabedah jantung sering ditemukan akibat tindakan pembedahan maupun penggunaan mesin pintas jantung paru (PJP), demam tersebut sulit dibedakan antara demam akibat infeksi atau inflamasi. Penegakan diagnosa infeksi dengan pemeriksaan kultur membutuhkan waktu lama dan kadang tidak tumbuh bakteri. Prokalsitonin (PCT) diharapkan sebagai penanda infeksi tanpa harus menunggu hasil kultur.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan menilai kadar PCT dapat membedakan demam infeksi dengan demam inflamasi pada pascabedah jantung.
Metode. Penelitian ini dikerjakan di Unit Pelayanan Jantung Terpadu RSCM, dengan subyek pasien dewasa pascabedah jantung terbuka dengan menggunakan mesin PJP diikuti selama lima hari adanya demam dengan suhu ≥ 37,8° C, tanda dan gejala infeksi. Semua subyek diperiksa PCT dan kultur darah sebelum pembedahan, hari pertama, kedua dan kelima pascabedah. Pemeriksaan kultur dikerjakan atas indikasi klinis adanya infeksi.
Hasil. Sebanyak 59 subyek pascabedah jantung menggunakan mesin PJP, terdapat dua subyek dropout (meninggal pada hari pertama dan kedua), 22 (37,28%) tidak demam, 32 (54,24%) demam inflamasi dan 5 (8,48%) demam infeksi. Infeksi ditemukan dari kultur sputum (Klebsiella pneumonie), hasil kultur darah, luka operasi, dan urin tidak ditemukan pertumbuhan bakteri. Didapatkan kadar PCT demam infeksi 13,48 ng/ ml dan demam inflamasi 6,90 ng/ ml.
Simpulan. Kadar PCT demam infeksi (13,48 ng/ ml) lebih tinggi daripada demam inflamasi (6,90 ng/ ml). Tidak ada beda kadar PCT demam infeksi dan demam inflamasi secara statistik dengan p adalah 0,371.

Background. Post cardiac surgery fevers usually caused by surgery itself or cardiopulmonary bypass (CPB). Difficulties to differentiated fever caused infection or inflammation. Bacterial culture to prove infections take a long time and sometimes the result is negative. Procalcitonin is sugested infection marker without wait for culture.
Goal. The aim of this study is to know procalcitonin level can differentiate fever cause infectious or inflammation.
Methods. This study performed at Integrated Cardiovascular Unit in RSCM, on adult patients who had open cardiac surgery with CPB, observed for temperature ≥ 37,8° C, sign and symptoms of infections, for 5 days. PCT levels and blood culture performed before surgery, first, second and 5th day after surgery. Culture from other sites performed as indicated.
Results. There are 59 have cardiac surgery with CPB, There are two subject dropout (died on 1st and 2nd days), 22 had no fever (37,28%), 32 had inflammation fever (54,24%) and 5 had infectious fever (8,48%). Infection confirmed by bronchial wash culture (Klebsiella pneumonie), no surgical wound infection, blood and urine culture were negative. We have PCT levels infectious group 13,48 ng/ ml and inflammation group 6,90 ng/ ml.
Conclussion. PCT levels infectious group (13,48 ng/ ml) higher than inflammation group (6,90 ng/ ml). Non parametric diagnostic Mann Whitney U test there are no significant differences of PCT levels between infectious and inflammation group, p=0,371.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ilman Kausar
"Latar Belakang: Untuk mengetahui kadar alkohol dalam tubuh manusia, diperlukan pemeriksaan kadar alkohol ( Blood Alcohol Concentration atau BAC ) dari sampel darah dari individu yang bersangkutan. Jenis pemeriksaan yang merupakan standar emas adalah pemeriksaan kuantitatif melalui perangkat Gas Chromatography (GC). Idealnya, pemeriksaan dilakukan secepatnya setelah sampel diambil. Namun tidak semua pemeriksa mempunyai mesin GC, karena alatnya mahal, memerlukan tenaga terlatih untuk mengoperasikannya dan hanya ada di fasilitas laboratorium besar di perkotaan. Pengiriman sampel yang tidak adekuat penyimpanannya dapat mengubah kadar alkohol dalam sampel tersebut. Penelitian oleh Glover menunjukkan adanya penurunan kadar alkohol 10-15% pada sampel darah yang disimpan dalam suhu ruangan selama 7 hari. Dalam kerja di lapangan sampel darah dapat dipreservasi dalam kulkas maupun dalam wadah cooler yang berupa wadah plastik kedap udara dengan gel pengingin di dalamnya. Pengaruh kedua jenis penyimpanan tersebut terhadap BAC belum ada datanya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui besarnya perubahan BAC yang terjadi selama penyimpanan dalam cooler dan penyimpanan dalam kulkas.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian eksperimental. Subjek yang termasuk kriteria inklusi/eksklusi pada penelitian ini dimintakan informed consent nya. Subjek yang dipilih berupa 8 sukarelawan laki-laki, yang diberi minum bir dengan merek dan jumlah yang sama ( merk Guiness kadar alkohol 4,9% sebanyak 620 ml ). Satu jam setelah subjek meminum bir, darah vena nya diambil sebanyak 6 ml dan dibagi ke dalam 2 tabung vacutainer yang berisi antikoagulan EDTA. BAC sampel darah dalam tabung pertama diperiksa dengan GC dalam waktu 12 jam setelah pengambilan sampel. Sampel darah dalam tabung kedua diperiksa setelah disimpan dalam kulkas selama delapan hari. Tiga hari setelah perlakuan pertama, subjek yang sama diminta minum bir sekali lagi dan dilakukan pengambilan 6 ml sampel seperti sebelumnya. Sampel darah dibagi ke dalam 2 tabung EDTA, satu tabung diperiksa BAC 12 jam setelah pengambilan sampel dan tabung kedua disimpan dalam cooler selama 8 hari sebelum dilakukan pemeriksaan BAC. Hasil pemeriksaan dicatat dalam satuan mg%. Kemudian peneliti melakukan uji statistik t-paired untuk menguji kemaknaan perbedaan 2 rerata berpasangan dengan menggunaan program SPSS versi 11.5. Dalam hal ini yang diuji adalah selisih dari nilai BAC setelah penyimpanan dan sebelum.
Hasil: Nilai rata-rata kadar BAC sebelum penyimpanan dalam kulkas adalah 28,26 mg% ± 12,05 mg% dan nilai setelahnya adalah 34,17 mg% ± 13,3 mg%.
viii Universitas Indonesia
Selisih rata-rata kadar BAC sebelum dan setelah penyimpanan dalam kulkas adalah 5,91 mg% ± 5,68 mg% dengan signifikansi (p) = 0,022. Selisih relatif rata-rata kadar BAC sebelum dan setelah penyimpanan dalam kulkas adalah 22,53 % ±24,65 %. Nilai rata-rata kadar BAC sebelum penyimpanan dalam cooler adalah 32,12 mg% ± 12,04 mg% dan nilai setelahnya adalah 21,13 mg% ± 15,07 mg%. Selisih rata-rata kadar BAC sebelum dan setelah penyimpanan dalam cooler adalah -11 mg% ± 6,31 mg% dengan signifikansi (p) = 0,002. Selisih relatif rata-rata kadar BAC sebelum dan setelah penyimpanan dalam cooler adalah -43,96 % ± 31,25 %.
Kesimpulan: Terdapat peningkatan bermakna BAC pada penyimpanan sampel dalam kulkas dan terdapat penurunan bermakna pada penyimpanan dalam cooler. Namun kesimpulan belum dapat diambil karena penelitian ini masih merupakan penelitian pendahuluan. Untuk membuat kesimpulan akhir, diperlukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih banyak.

Background: To determine alcohol level in a human body, a Blood Alcohol Concentration (BAC) examination is performed on an individual blood sample. The gold standard for this examination is a quantitative examination by Gas Chromatography (GC). Ideally,the examination is performed as soon as possible after the sample was taken. But not all examiner possess a GC apparatus due to its expensive price. Also a trained operator is needed to operate it, and it is only available in large laboratorium facilities in cities. Transporting a sample in an inadequate storage could alter the alcohol level. A study by Glover concluded a decrease in alcohol level up to 10-15 % in blood sample stored in room temperature for 7 days. During fieldwork, blood sample can be preserved in a refrigerator or in a cooler container, an airtight plastic container with cooling gel inside. There is no study on the effect of this two storing method on BAC. This study was performed to evaluate the changes of BAC in blood sample when it was stored in a refrigerator and a cooler.
Method: In this experimental study, subjects who passed the inclusion/exclusion criteria signed informed consent. The subjects consisted of 8 male volunteer. Each was given a bottle of Guiness contained 4,9 % alcohol content and 620 ml. One hour after the subject drank the beverage, 6 ml of vein blood was collected and divided into 2 vacutainer tubes with EDTA anticoagulant. BAC of the blood sample in the first tube was examined by GC within 12 hours after collection. Blood sample in the second tube was examined after stored in a refrigerator for 8 days. Three days after the first treatment, subjects were asked to drink the same beverage and another 6 ml blood sample was collected as before. The sample were divided into 2 vacutainer tube. The first tube was examined 12 hours later and the second tube was examined 8 days after stored in the cooler. After that, t-paired statistic method was used to test the significant difference of 2 paired means using SPSS version 11.5.
Result: The average of BAC was 28,26 mg% ±12,05 mg% and it rose to 34,17 mg% ±13,3 mg% after storing in refrigerator for 8 days (p = 0,022). The relative difference before and after storage is 22,53 % ±24,65 %. The average of BAC was 32,12 mg% ± 12,04 mg%and it decreased to 21,13 mg% ± 15,07 mg% after storing in cooler after 8 days (p = 0,002). The relative difference before and after storage is -43,96 % ± 31,25 %.
Conclusion: BAC rose after 8 days stored in a refrigerator and decreased after 8 days stored in a cooler. This is a preliminary research, the final conclusion cannot be generated. A further research with a larger sample is needed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Jati Sunggoro
"Latar Belakang: Indonesia merupakan negara peringkat keempat penyumbang kasus TB terbanyak di dunia. TB adalah penyebab kematian kedua terbanyak di Indonesia. Pasien TB mempunyai tingkat kematian yang lebih tinggi saat dirawat dibandingkan pasien non-TB. Pengetahuan tentang prediktor mortalitas dapat membantu pengambilan keputusan klinis untuk tatalaksana pasien dan mengetahui prognosis pasien. Studi-studi tentang faktor prediktor mortalitas pasien tuberkulosis saat rawat inap menunjukkan hasil yang berbeda-beda dan tidak ada penelitian yang komprehensif di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prediktor mortalitas pasien tuberkulosis saat rawat inap di RSCM.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien rawat inap di RSCM selama kurun waktu 1 Januari 2008 sampai dengan 31 September 2013. Data klinis dan laboratorium beserta status luaran (hidup atau meninggal) selama perawatan diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat menggunakan tes Chisquare dilakukan pada 13 variabel prognostik, yaitu kelompok usia, jenis kelamin, riwayat pengobatan TB sebelumnya, tingkat keparahan TB, status BTA, hipoalbuminemia, IMT, status HIV, adanya konkomitan pneumonia, sepsis, gagal napas, gambaran radiologis toraks, komorbiditas (skor Charlson Comorbidity Index). Adanya data yang tidak lengkap dilakukan imputasi mengunakan teknik multiple imputation. Variabel yang memenuhi syarat disertakan pada analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Subjek penelitian terdiri atas 470 pasien. Angka mortalitas selama perawatan sebesar 25,1%. Sebanyak 339 (72,1%) pasien adalah laki-laki dan 131 (27,9%) pasien adalah perempuan. Median usia pasien 34 (rentang 18 sampai 86) tahun dan median lama perawatan adalah 10 (rentang 1 sampai 97) hari. Faktor prediktor independen mortalitas yang bermakna pada analisis multivariat adalah kadar albumin < 3 g/dL (OR 5,12; IK 95% 1,80 sampai 14,57), gambaran radiologis toraks lesi kavitas (3,91; 1,53 sampai 9,97) adanya sepsis (23,31; 8,95 sampai 60,68), adanya gagal napas (177,39; 27,09 sampai 1161,55).
Kesimpulan: Adanya gagal napas, adanya sepsis, hipoalbuminemia (kadar albumin < 3 g/dL), serta gambaran radiologis toraks lesi kavitas merupakan faktor prediktor independen mortalitas pasien tuberkulosis saat rawat inap.

Background: Indonesia is the world’s fourth highest tuberculosis burden in the world. Tuberculosis is the second leading cause of death for all age in the country, according to the Health Ministry. Mortality remains high among tuberculosis hospitalized patients compare to the non-TB patients. The prediction of patients outcome is important in decision-making process and in the effort reducing mortality rate. Studies exploring predictors of mortality in patients with pulmonary tuberculosis produced conflicting results and there are no comprehensive reports in Indonesia.
Objective: To determine predictors of mortality among hospitalized tuberculosis patients in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia.
Methods: We performed a retrospective cohort study among hospitalized tuberculosis patients in Cipto Mangunkusumo Hospital between January 2008 - September 2013. Data were collected at initiation of inpatients period and the main outcome was all-cause mortality during hospitalization. We analyzed age, sex, history of previous anti-tuberculosis treatment, tuberculosis severity, sputum smear positivity, hypoalbuminemia, BMI, HIV status, concomitant pneumonia, sepsis, respiratory failure, pulmonary radiographic lesion, comorbidity (CCI score) in bivariate analysis using Chi-square test. Missing data were handled using multiple imputation methods. Multivariate logistic regression analysis was performed to identify independent predictors of mortality.
Results: A total of 470 patients were evaluated in this study. In-hospital mortality rate was 25.1%. There were 339 (72.1%) male and 131 (27.9%) female patients. Median age of the population was 34 (range 18 to 86) years old and median length of stay was 10 (range 1 to 97) days. The independent predictors of mortality in multivariate analysis were hypoalbuminemia (OR 5,12; 95% CI 1,80 - 14,57), cavitary lesion (3,91; 1,53-9,97), sepsis (23,31; 8,95-60,68), and respiratory failure (177,39 ; 27,09-1161,55).
Conclusion: Respiratory failure, sepsis, hypoalbuminemia, and cavitary lesion were independent predictors of in-hospital mortality among hospitalized tuberculosis patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>