Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 69 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aprilita Rina Yanti Eff
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Glukokortikoid memiliki efek penting terhadap proses seluler dan metabolik yang berperan dalam respon imun dan inflamasi. Masalah utama dalam penggunaan glukokortikoid adalah dalam timbulnya efek samping yang sering terjadi pada pemberian jangka panjang dengan dosis menengah. Penggunaan liposom sebagai pembawa obat, dalam hal ini metilprednisolon palmitat (MPLP) diharapkan dapat menurunkan efek samping yang ditimbulkan. Metilprednisolon palmitat adalah senyawa yang berhasil diinkorporasi ke dalam membran liposom, membentuk L-MPLP.
Penelitian ini bertujuan: 1) menilai efek biologik L-MPLP sebagai senyawa Baru, yaitu dengan menilai secara kuantitatif kadar TNF a yang diperoleh dari kultur limpa mencit jantan galur C3H menggunakan ELISA, setelah 48 jam pemberian MPLP intravena dengan dosis 2 mg/kg BB, 8mg/kg BB dan 16 mg/kg BB dan pemberian L-MPLP ke dalam kultur secara in vitro dengan konsentrasi 5x 10"3 mM, 5 x10`2 mM dan 5 x104 mM, dibandingkan dengan kontrol metilprednisolon (MPL). 2) Mengetahui apakah MPLP atau metabolitnya akan terdistribusi di hepar dan limpa dengan kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan MPL pada jangka waktu dan pemberian yang sama, yang diukur dengan menggunakan TLC. Perhitungan kadar diiakukan menggunakan grogram Presto Page Manager dan Adobe Photo Shop 5.0.
Hasil dan Kesimpulan : Pada kultur in vivo, L-MPLP dengan dosis 8 nag/kg BB dan 16 mg/kg BB setelah 48 jam pemberian, menyebabkan hambatan proliferasi limfosit (penekanan kadar TNF a), yang berbeda bermakna (pc-0,05) dibandingkan kontrol MPL. Sedangkan pada kultur in vitro, L-MPLP dengan konsentrasi 5 x 10-1 mM menyebabkan hambatan proliferasi limfosit (penekanan kadar TNF a) yang berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan kontrol MPL . Distribusi MPLP atau metabolitnya di hepar dan limpa, walaupun tidak bermakna secara statistik (p>0,05), tetapi menunjukkan kecenderungan terdistribusi di hepar dan limpa dengan kadar yang lebih tinggi dibanding dengan kontrol MPL."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T1693
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasavati Kurnia
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Ketoprofen dapat menimbulkan gangguan saluran cerna yang serius. Disamping itu, karena eliminasinya yang cepat, perlu diberikan beberapa kali sehari, sehingga mengurangi kepatuhan penderita. Sediaan lepas lambat telah dibuat, yang cukup diberikan 1 kali sehari dan memberikan kadar puncak lebih rendah dan dapat bertahan dalam kadar terapi selama 24 jam. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati profit sediaan lepas lambat (Profenid® OD dan Oruvail® 200), dibandingkan dengan sediaan biasa (Profenid 50) pada sukarelawan sehat setelah pemberian dosis oral berulang, dan untuk mengembangkan metode pemeriksaan kadar ketoprofen serum dengan kromatografi lapis tipis - densitometri. Penelitian dilakukan dengan disain menyilang dan alokasi acak pada 10 orang sukarelawan sehat. Sampel darah diambil setelah dicapai kadar mantap, untuk Profenid® 50 sampai jam ke 8, dan untuk sediaan lepas lambat sampai jam ke 24 setelah dosis terakhir. Serum sampel, dengan naproksen sebagai standar dalam, diekstraksi dengan eter-kloroform (4:1 v/v) pada suasana asam.
Hasil dan Kesimpulan: Ketoprofen dapat dipisahkan dengan baik dari naproksen, dan diperoleh 2 kurva kalibrasi: Y = 0,540X - 0,005 (kadar ketoprofen 0,25-1,00 ug/ml) dan Y = 0,295X + 0,314 (kadar 1,0-8,0 ug/ml). Dari parameter farmakokinetik yang digeroleh, disimpulkan bahwa Profenid® OD dan Oruvail® 200 memperlihatkan profit lepas lambat (C lebih rendah, t dan t1 lebih panjang, indeksmaxfluktuasi (FI) lebihmakecil) dlbandingkan Profenid® 50, dengan bioavailabilitas relatif (BR) } 80%, namun keduanya tidak dapat bertahan dalam kadar terapi sampai 24 jam. Profenid® OD menunjukkan profil lepas lambat yang lebih baik dari Oruvail® 200 pada orang Indonesia (Cmax lebih rendah, ti lebih panjang dan Fl lebih kecil (<,05)). Metode KET-densitometri ini dapat mengukur kadar ketoprofen serum dengan sensitivitas 0,25 ug/ml, kecermatan (KV) C 6% dan ketepatan (d) < 14%."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gloria S. Wanananda
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Jamu peluntur seringkali diminum oleh wanita hamil untuk menggugurkan kandungan. Di Indonesia terdapat berbagai Jenis atau merk jamu peluntur dengan komponen yang tidak selalu sama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pemberian jamu peluntur cap Air Mancur pada mencit hamil secara per oral selama periode organogenesis dapat mempengaruhi perkembangan fetus yang berada dalam kandungan. Hewan coba yang dipakai adalah mencit betina strain Biomedis, umur ± 22 bulan, berat 20 - 25 gram, sehat, belum pernah dikawinkan. Digunakan rancangan acak lengkap dengan tiga tingkatan dosis. Mencit betina yang telah hamil dibagi menjadi lima kelompok secara acak:
I. Kelompok kontrol yang tidak diberi apa-apa (RI, n = 10)
II. Kelompok kontrol yang diberi CMC 0,5% (K2, n = 9)
III. Kelompok yang diberi jamu peluntur 10 X dosis manusia (P1, n = 10)
IV. Kelompok yang diberi jamu peluntur 20 X dosis manusia (P2, n = 8)
V. Kelompok yang diberi jamu peluntur 40 X dosis manusia (P3, n = 12)
Jamu peluntur diberi secara oral pada hari ke sampai dengan hari ke 15 kehamilan. Pada hari ke 18 kehamilan mencit dianestesi dan dilakukan histerektomi. Parameter yang diamati: jumlah implantasi, jumlah fetus yang mati maupun diresorpsi, cacat bawaan eksternal, internal dan cacat bawaan tulang.
Hasil dan Kesimpulan: Berdasarkan hasil analisis statistik ternyata bahwa pemberian jamu peluntur cap Air Mancur 10, 20 dan 40 X dosis manusia tidak menunjukkan perbedaan bermakna terhadap jumlah implantasi, peningkatan jumlah fetus mati maupun diresorpsi, cacat bawaan internal maupun cacat bawaan tulang pada fetus bila dibandingkan dengan kontrol (p >0,05). Pemberian jamu peluntur dengan dosis 10 dan 20 X dosis manusia tidakemenyebabkan perbedaan bermakna terhadap terjadinya cacat bawaan eksternal bila dibandingkan dengan kontrol (p >0,05), sedangkan pemberian jamu peluntur dengan 40 X dosis manusia menyebabkan terjadinya fetus kerdil yang bermakna bila dibandingkan dengan kontrol (p <0,05).

Scope and Method of Study: Jamu peluntur (traditional herbs to regulate menstruation) is often used by pregnant women as an abortivum. In Indonesia there are many kinds of jamu peluntur and the ingredients of each jamu are not always the same. The purpose of this research is to find out whether jamu peluntur cap Air Mancur given to pregnant mice orally in organogenesis period could affect the fetus. This research was performed by using female Biomedical mice of 21 months old, weight 20 - 25 gram, healthy and virgin. Jamu peluntur was given in 3 dose level in a completely randomized design and the pregnant mice were divided
I. Control group which no herb was given (K1, N=10)
II. Control group which was given 0,5 % CMC (K2, N=9)
III. Group which was given jamu peluntur 10 X human dose (P1, n = 10)
IV. Group which was given jamu peluntur 20 X human dose (P2, n = 8)
V. Group which was given jamu peluntur 40 X human dose (P3, n = 12)
Jamu peluntur was given orally on the 6th to 15th day of pregnancy. On the 18th day of pregnancy the mice were anesthetized and followed by hysterectomy. The parameters observed were: the number of implantation, the incidence of fetal death and fetal resorption, the incidence of external and internal malformation including bone malformation on the fetus.
Findings and Conclusions: The statistical analysis revealed that jamu peluntur cap Air Mancur given to pregnant mice 10, 20 and 40 X human dose orally during organogenesis period did not cause significant difference in number of implantation, in increasing fetal death or fetal resorption, in congenital internal malformation and bone malformation on the fetus compared to the control group (p >0.05). Jamu peluntur 10 and 20 X human dose did not cause significant difference in external malformation on the fetus compared to the control group (p >0.05); however, jamu peluntur 40 X human dose caused significant runt on the fetus compared to the control group (p <0.05).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistia Gunawan Ganiswarna
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1985
S70307
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purwantyastuti Ascobat
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
H. Jusuf Zubaidi
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1985
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kadarsyah
"Golongan benzodiazepin adalah salah satu golongan obat dari kelas ansiolitik sedatif. Benzodiazepin merupakan obat yang sering digunakan. Di Amerika Serikat setiap tahun ditulis kira-kira 100 juta resep benzodiazepin. Diazepam, salah satu obat golongan benzodiazepin, adalah merupakan obat ansiolitik sedatif yang paling sering digunakan. Pada tahun 1973 kira-kira 15% dari populasi orang dewasa di negara-negara Barat paling sedikit satu kali menggunakan benzodiazepin dalam tahun tersebut, yang digunakan untuk anti kejang, ansiolitik, atau hipnotik.

The benzodiazepine group is a class of drugs from the sedative anxiolytic class. Benzodiazepines are frequently used drugs. In the United States each year approximately 100 million prescriptions for benzodiazepines are written. Diazepam, one of the benzodiazepine class of drugs, is the most frequently used sedative anxiolytic drug. In 1973 approximately 15% of the adult population in Western countries had used at least one benzodiazepine during the year, which was used as an anticonvulsant, anxiolytic, or hypnotic."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1985
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siringoringo, Victor Sahat
"Latar belakang
Teofilin merupakan bronkodilator yang efektif dalam pengobatan asma bronkial dan penggunaannya dalam bentuk garam etilendiamin sebagai bolus i.v. aminofilin merupakan terapi standar dalam penanggulangan penderita asma bronkial akut (1-3).
Dari beberapa hasil penelitian ditunjukkan bahwa baik efek terapi maupun efek toksik teofilin sangat berkaitan dengan kadar teofilin dalam serum. Untuk bronkodilatasi, lajak kadar teofilin serum terapetik adalah sempit yaitu 10 - 20 μg/ml (1,2,4-7). Disamping mempunyai efek terapetik yang rendah, variasi biotransformasi atau bersihan total teofilin, baik intraindividual maupun interindividual sangat berpengaruh pada kadar teofilin serum. Oleh karena itu pemantauan kadar teofilin serum dengan penerapan prinsip farmakokinetik sangat penting dalam optimasi penggunaan teofilin (1,8-12).
Dalam praktek, untuk menanggulangi serangan asma akut, seringkali penderita yang datang ke rumah sakit diberikan dosis awal bolus i.v. aminofilin dengan dosis muatan 5,6 mg/kg BB tanpa memperhitungkan apakah penderita ini telah mendapat teofilin dalam waktu sehari sebelumnya. Kemudian, apabila serangan dapat diatasi, penderita tidak mendapat infus aminofilin melainkan hanya mendapat resep dokter untuk membeli sediaan teofilin per oral di apotek sebagai kelanjutan terapi di rumah. Penatalaksanaan serangan asma bronkial akut yang dianjurkan dalam kepustakaan adalah pemberian bolus i.v. aminofilin dengan dosis muatan 5,6 mg/kg BB. Kemudian dosis awal ini harus dilanjutkan dengan pemberian infus aminofilin untuk mempertahankan kadar teofilin serum terapetik (1,2).
Interval waktu seteiah pemberian bolus i.v. aminofilin yang diberikan di rumah sakit sampai penderita minum sediaan teofilin per oral. di rumah diperkirakan 3 - 6 jam. Oleh karena itu kadar teofilin serum sebelum bolus injeksi aminofilin dan sesudahnya sampai 6 jam serta hubungannya dengan efek terapi dan efek sampingnya perlu diteLiti pada penderita asma bronkial akut yang hanya mendapat bolus i.v. aminofilin dengan dosis standar 5,6 mg/kg BB di rumah sakit?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-6734
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lim, Andrew Halimanto
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelltlan: Akar kayu manis (AKM) merupakan tumbuhan obat yang telah lama dipakai di masyarakat kita untuk mengatasi berbagai penyakit. Salah satu diantaranya adalah efek protektif terhadap hati. Untuk mengetahui efek protektif ekstrak akar kayu manis (EAKM) dengan beberapa tingkat dosis (1,6 , 8, 40 mg/kg BB) glisirizin terhadap kerusakan hati karena parasetamol dosis berlebih dan membandingkannya dengan N-asetilsistein (NA), maka diteliti kemungkinan penggunaannya secara eksperimental. Penelitian ini dilakukan terhadap 56 ekor tikus strain LMR yang dibagi secara acak menjadi 7 kelompok yaitu: I: kelompok kontrol alamiah, II: kelompok kontrol pelarut, III: kelompok uji parasetamol, IV - VI: kelompok uji parasetamol + EAKM dengan beberapa tingkat dosis glisirizin ( 1,6 , 8, 40 mg/kg BB), VII: kelompok uji parasetamol + NA. 48 Jam setelah perlakuan, semua tikus coba dimatikan dengan dekapitasi; darah dikumpulkan untuk pemeriksaan aktivitas SGPT dan hati diambil untuk pemeriksaan histopatologi sel hati. Data dianalisis dengan uji statistik nonparametrik Kruskal-Wallis dan perbandingan multipel antar masing-masing kelompok menurut Kruskal-Wallis (p 0,01).
Hasil dan Kesimpulan: Kelompok IV menunJukkan aktivltas SGPT dan derajat histopatologi sel hati rata-rata kira-kira 1/2 kali lebih rendah daripada kelompok I11 tetapi kira-kira 2 kali lebih tinggi daripada kelompok VII dan secara statistik terdapat perbedaan bermakna (T 0,01). Peningkatan dosis EAKM tampak efek protektif terhadap hati makin berkurang, bahkan pada kelompok VI aktivitas SGPT rata-ratanya hampir sama dengan kelompok III. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa EAKM mempunyal efek protektif terhadap kerusakan hati karena parasetamol dosis berlebih pada dosis glisirizin 1,6 mg/kg BB. Namur demikian efek hepatoprotektlfnya lebih lemah dibandingkan dengan NA.

Scope and Method of Study: The licorice root as a herb has been used in our country as a remedy for various diseases; among others is for liver diseases. To clarify this, it is decided to investigate the effects of the root (i,6; 8; 40 mg/kg BW glycyrrhizin) on liver damage induced by paracetamol overdoses. The experiment was performed on 56 rats of LMR strain which were randomly divided Into t groups 1.e I: as the natural control group, II: as the solvent control group, and III: as the paracetamol treatment group, IV - VI: as the paracetamol + licorice root extract (1,6 , 8, 40 mg/kg BW glycyrrhizin) groups, VII: as the paracetamol + N-acetylcysteine group. Forty eight hours after treatment, the animals were killed under light ether anesthesia by decapitation; the blood was collected for SGPT determination and liver were excised for histological preparation. The result of the experiment were calculated by means of Kruskal?Wallis nonparametrlc and Kruskal-Wallis multiple comparison statistical methods between each group ( p ` 0,01 ).
Results and conclusions: Group IV showed that the means of SGPT activity and histopathology scores about 1/2 times lower than group III but about 2 times higher than group VII and there were significant differences statistically (P 0,01). The increase in doses of licorice root extract decreased the protective effect against liver damage, whereas on group VI, The means of SGPT activity rather similar to group III. Thus, It can be concluded that licorice root extract ( 1,6 mg/kg BW glycyrrhizin ) has protective effect against liver damage caused by paracetamol overdoses. However its hepatoprotective effect is less than N-acetylcysteine.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masfar Salim
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Debrisokuin (D) merupakan obat antihipertensi, golongan penghambat adrenergik. D mengalami hidroksilasi di hati. Berbagai obat penting lain juga mengalami cara hidroksilasi sama dengan D, seperti lidokain, nortriptilin, perheksilin dan metoprolol. Kemampuan hidroksilasi D digunakan sebagai indikator untuk menetapkan kemampuan hidroksilasi seseorang. Distribusi frekuensi kapasitas hidroksilasi D pada suatu populasi ternyata merupakan kurva polimodal (bimodal atau trimodal) karena dikendalikan oleh gen tunggal, yang bermanifestasi sebagai kelompok hidroksilator kuat (mayoritas, genotip dominan) dan kelompok hidroksilator lemah (minoritas, genotip resesif). Kelompok hidroksilator lemah mempunyai prevalensi yang bervariasi antar suku bangsa dan secara klinis cenderung mendapat efek samping yang jauh lebih sering dan kadang-kadang berbahaya bila diberikan obat-obat (dalam dosis terapi) dengan cara metabolisme (hidroksilasi) sama dengan D.
Untuk mengetahui kemampuan hidroksilasi D seseorang, sebagai parameter dipakai ratio perbandingan metabolik ('metabolic ratio' = MR), yaitu ratio % dosis D yang diekskresi dalam bentuk utuh terhadap % dosis D yang diekskresi sebagai 4-hidroksi debrisokuin (4-HD) dalam urin, sesudah waktu tertentu pemberian D per oral. Disebut hidroksilator kuat bila MR < 12,6 dan hidroksilator lemah bila MR > 12,6. Untuk analisis kadar D dan 4-HD dalam urin digunakan kromatografi gas dengan metode yang dikembangkan Matta dkk.
Hasil dan Kesimpulan: Telah diteliti 63 orang sukarelawan Indonesia sehat, ternyata 5 subyek (7,94 %) termasuk hidroksilator lemah dan 58 subyek lainnya (92,06 %) termasuk hidroksilator kuat.

Scope and Methodology: Debrisoquine (D) is a hypertensive drug classified as an adrenergic blocking agent. D undergoes hydroxylation in the liver. Other important drugs, such as lidocaine, nortryptiline, perhexiline, and metoprolol also undergo hydroxylation in the same way as D. The capacity of D hydroxylation is used, as an indicator to determine a person's capacity to hydroxylate. The distribution of the frequency of D hydroxylation capacity in a population is polymodal (bimodal or trimodal), because it is controlled by a single gene and it manifest as Extensive Metabolizers group (majority, dominant genotype) and Poor Metabolizers group (minority, recessive genotype). Poor Metabolizers has a variety of prevalence among ethnic groups and clinically tend to get more frequent and sometime dangerous side effects when given other medications (in therapeutic dosage) that have the same metabolism (hydroxylation) as D.
To know a person's capacity to hydroxylate, we use metabolic ratio (MR) as a parameter'. It is the ratio of % of D dosage excreted unchanged to % of D dosage excreted as 4-hydroxy debrisoquine (= 4-HD) in urine, after taking D orally. It is called Extensive Metabolizers if the MR is < 12.6 and Poor Metabolizers if MR>12.6. To analyze the degree of D and 4-HD in urine, we use gas chromatography, a method developed by Wiria et al.
Findings and Conclusions: 63 healthy Indonesian volunteers have been tested and five (7.84 %) are included as weak hydroxylator group and 58 (92.06 %) are included as strong hydroxylator group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>