Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Deny Irwan
"Sejak operasi kraniofaringioma pertama kali dilakukan oleh A.E.Halstead tahun 1908, selalu terjadi perdebatan di antara para ahli khususnya mengenai patologi dan terapi kraniofaringioma. Karena sifat tumor yang tumbuh secara lambat, maka dimungkinkan pengangkatan tumor secara total makroskopis. Posisi anatomisnya yang berdekatan dengan struktur penting, khususnya hipotalamus serta sifatnya yang menimbulkan perlekatan erat pada struktur tersebut, maka perlu hal tersebut menjadi pertimbangan sebelum melakukan tindakan pembedahan. Misalnya apakah akan dilakukan pengangkatan tumor secara total dengan kemungkinan terjadinya defisit neurologis pasca operasi atau dengan pengangkatan sebagian tumor dan dilanjutkan dengan terapi radiasi. Hasii akhir yang balk di antara semua metode yang pemah dicoba tetap saja masih menjadi perdebatan, meskipun beberapa penulis telah membuktikan bahwa pengangkatan tumor secara total mempunyai hasil akhir yang lebih balk dan angka rekurensi yang lebih rendah. Dengan berkembangnya teknik bedah mikro di bidang bedah saraf, maka dimungkinkan pengangkatan tumor kraniofaringioma secara total.
Setiap kraniofaringioma mempunyai kekhususan tersendiri terutama mengenai letak tumor terhadap struktur di sekitarnya serta konsistensi massa tumornya, sehingga teknik pendekatan dan jalur anatomis untuk tindakan operasinya juga memerlukan strategi yang berbeda-beda untuk setiap kraniofaringioma. Untuk itu diperlukan pengetahuan topografi dan anatomi bedah mikro yang balk. Operator harus mengenal dan dapat memperkirakan secara akurat posisi tumor terhadap hipotalamus, jaras optik, sistem ventrikel serta arteri karotis bahkan arteri basilaris beserta cabangcabangnya. Tanpa pengetahuan dasar anatomi mikro yang memadai, tidak mungkin seorang ahli bedah saraf dapat menjadi operator yang handal khususnya pada operasi kraniofaringioma, yang merupakan salah satu golongan tumor yang sulit memberikan hasil yang baik.
Yasargil' pads sebuah tulisannya menyebutkan bahwa dalam periode 22 tahun telah melakukan 144 operasi kraniofaringioma, dapat mengangkat seluruh tumor balk melalui sekali atau beberapa kali operasi. Setelah dilakukan evaluasi akhir disimpulkan bahwa tata laksana dengan pengangkatan tumor secara total mempunyai hasil akhir yang lebih baik.
Sedangkan Tomita melakukan pengangkatan total pada 27 kasus kraniofaringiorna pada anak. empat kasus diantaranya tidak dapat dilakukan pengangkatan secara total karena terdapat perlekatan yang hebat pada hipotalamus, letak khiasma yang pre fixed disertai bentuk tumor yang bilobus, letak khiasma terlalu post fixed dan terjadi episodic bradikardi setiap kali dicoba membebaskan perlekatan tumor dari hipotalamus.
Tim E Adamson I meneliti 104 spesimen dari 93 penderita kraniofaringioma dan menyebutkan bahwa tipe adamantinous yang 91-95 % massa tumor terdiri dari komponen kistik, mempunyai defisit neurologis visual pasca operasi yang lebih rendah dibanding dengan tipe skuamous papilari Hanya hal tersebut tidak diteliti lebih lanjut apakah hasil yang lebih baik tersebut dikarenakan sifat tumornya yang mempunyai komponen terbanyak berbentuk kistik yang lebih mudah diangkat pada waktu operasi.
Penelitian ini mencoba melihat gambaran klinis pasien dengan kraniofaringioma sebelum dan sesudah operasi dalam kaitannya dengan ukuran tumor. Parameter keberhasilan pengangkatan tumor tersebut dibagi dalam pengangkatan sub total dan total. Dilakukan beberapa tabulasi silang untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut, antara Iain konsistensi tumor ( kistik dan solid ), massa kalsifikasi, teknik pendekatan operasi, dan sebagainya, mempengaruhi kesulitan pengangkatan tumor selama operasi. Walaupun tentunya disadari bahwa masih banyak faktor di luar hal tersebut yang mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan operasi, misalnya penguasaan pengetahuan dan teknik operasi, dukungan neuro anestesi dan perawatan paska operasi yang tidak dapat dideskripsikan dalam penelitian. Sampai saat ini belum ada yg menulis aspek Minis kraniofaringioma dengan tinjauan khusus pada penurunan visus di Bagian Bedah Saraf RSUPN Ciptomangunkusumo."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wismaji Sadewo
"Trauma atau kecelakaan di beberapa negara maju cenderung meningkat dari tahun ke tahun, bahkan merupakan penyumbang angka kematian dan kesakitan tertinggi menggantikan infeksi, penyakit cardio vaskuler, neoplasma dan carat bawaan.
Di negara maju epidemiologi kecelakaan berubah seiring dengan perubahan masyarakat moderen dalam pandangan mereka tentang penggunaan helem, sabuk keselamatan, kebiasaan minum dan Cara mengendara; yang lebih penting lagi adalah peningkatan penanganan pra rumah sakit oleh masyarakat awam dan penanganan rumah sakit oleh tenaga medic.
Hingga ini belum ada penelitian yang mencari kaitan kondisi klinis radiologis dan temuan operatif untuk membuat prediksi pada pasien dengan epidural hematoma traumatika dan hat ini berguna untuk edukasi dan persetujuan medis bagi keluarga pasien.
Berdasar dari pemikiran inilah maka penelitian ini dilakukan dengan harapan bahwa hasil yang diperoleh dapat dipakai sebagai salah satu acuan ataupun menjadi rujukan dalam menentukan standar baku pengelolaan epidural hematoma akibat trauma kepala di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
RUMUSAN MASALAH
Belum ada data karakteristik klinis, radiologis dan temuan operatif penderita dengan epidural hematoma traumatika di Bagian Bedah Saraf FKUI/RSUPNCM. Belum adanya acuan atau prosedur standar yang dtetapkan untuk membuat prediksi penderita dengan epidural hematoma baik yang perlu tindakan operasi maupun yang diiakukan konservasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
hapus4
"Epidural hematoma merupakan perdarahan yang terjadi antara tulang kranium dan duramater. Dua pertiga penderita epidural hematoma terjadi pada usia kurang dari 40 tahun, jarang terjadi pada usia diatas 60 tahun, hal ini disebabkan pada usia tua secara anatomis terdapat perlekatan-perlekatan antara kranium dan duramater. Usia kurang dan 40 tahun merupakan usia dengan aktivitas yang sangat tinggi, sehingga merupakan masa yang rawan terjadinya trauma kapitis akibat kecelakaan lalu lintas atau faktor trauma lain yang banyak menyebabkan terjadinya perdarahan epidural.
Penegakan diagnosis perdarahan epidural selain dari anamnesis dan pemeriksaan klinis pasien, juga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang seperti Brain CT-Scan sehingga dapat ditentukan kriter+a inklusi dan ekslusi penderita perdarahan epidural sesuai dengan tujuan penelitian. Tidak semua kasus epidural hematoma yang dibawa ke IGD RSUPN CM memerlukan tindakan operasi, hal ini disebabkan disamping karena memang tidak terindikasi juga disebabkan hal - hal lain yang berakibat batalnya tindakan operasi yang bersifat non medis.
Berdasarkan data - data kasus perdarahan epidural yang datang ke bagian Gawat Darurat RSUPN CM selama periode tiga tahun ( 2001 - 2004) serta keterkaitannya dengan berbagai faktor yang berhubungan dengan kasus tersebut, kami membuat suatu penelitian bersifat retrospektif yang diambil dari rekam medik penderita perdarahan epidural yang datang ke IGD RSUPN CM selama tiga tahun. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menelaah berbagai faktor yang berhubungan dengan perdarahan epidural yang dibuat dalam bentuk variabel - variabel tertentu yang sangat berkaitan, sehingga diharapkan dapat membenkan masukan bagi pihak - pihak yang membutuhkan khususnya bagian bedah saraf RSCM guna menurunkan angka kecacatan dan kematian akibat kasus trauma kepala khususnya yang disebabkan oleh perdarahan epidural.
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Belum ada data penelitian penderita perdarahan epidural pada tiga tahun terakhir, di RSUPN CM, khususnya di Bagian Bedah Saraf
2. Belum ada data demografis penderita trauma kepala umumnya dan penderita perdarahan epidural khususnya, baik menyangkut umur, jenis kelamin, penyebab perdarahan maupun hal - hal lain yang berhubungan dengan kasus perdarahan epidural
3. Belum pemah diteliti faktor - faktor yang mempengaruhi prognosis penderita perdarahan epidural di RSUPN - CM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Moeh. Ilham Patu
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57287
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martin Susanto
"ABSTRAK
Trauma merupakan penyebab kematian tertinggi pada populasi manusia berusia kurang dari 40 tahun. Adapun cedera kepala merupakan penyumbang kematian yang cukup besar, yaitu mencakup 30% di mana apabila disertai dengan kelainan koagulasi/koagulopati maka mortalitas pada cedera kepala dapat lebih tinggi lagi. Koagulopati dapat menyebabkan lesi perdarahan baru atau penambahan lesi perdarahan yang sudah ada (pada kasus hipokoagulopati) ataupun iskemia/thrombosis intravaskular (pada kasus hiperkoagulopati). Studi mengenai koagulopati pada cedera kepala telah banyak dilakukan tapi sampai saat ini belum dapat dengan jelas dipaparkan.
Evaluasi status koagulasi secara konvensional dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan trombosit, PT. dan APTT. Namun saat ini, terdapat pemeriksaan yang menilai koagulasi secara menyeluruh dengan melihat viskoelastisitas bekuan darah, yaitu thromboelastografi (TEG).
Penelitian ini merupakan studi pilot pertama yang bersifat prospektif untuk mengevaluasi adanya gangguan koagulasi pada pasien cedera kepala sedang di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo menggunakan TEG dan pemeriksaan hemostasis konvensional dan hubungannya dengan luaran klinis pasien berupa lama rawat inap dan mortalitas.
Dua puluh pasien dengan cedera kepala sedang yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan hemostasis konvensional rutin dan dari sampel darah tersebut, diambil sebanyak 0,3 mL untuk pemeriksaan dengan TEG. Dari hasil pemeriksaan, didapatkan bahwa terdapat 60% pasien dengan status koagulasi yang tidak normal dari pemeriksaan TEG, sedangkan dari pemeriksaan hemostasis konvensional hanya didapatkan 5% pasien yang sama dengan status koagulasi yang tidak normal. Selain itu dari hasil TEG, diketahui bahwa mayoritas koagulopati yang terjadi adalah hiperkoagulopati. Lalu dari sisi luaran yang dinilai dari lama rawat inap (LOS) dan mortalitas, didapatkan tidak adanya mortalitas dalam studi ini. Lalu didapatkan perbedaan antara pasien dengan status TEG yang tidak normal dengan yang normal (7 hari berbanding dengan 5,5 hari). Namun setelah dilakukan uji statistik dari masing-masing variabel yang ada, tidak didapatkan kemaknaan secara statistik. Dalam prosesnya, didapatkan data sekunder berupa hasil CT scan kepala yang setelah dilakukan analisa dengan komponen TEG, ternyata didapatkan parameter R time dan alpha angle memiliki kemaknaan statistik dengan temuan CT scan (p<0,001 dan p=0,028).
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hiperkoagulopati merupakan kelainan status koagulasi tersering yang didapatkan pada cedera kepala sedang. Adapun terdapat perbedaan hasil pemeriksaan status koagulasi dengan TEG dan pemeriksaan konvensional serta perbedaan LOS antara pasien dengan status TEG yang normal dan tidak normal, meksipun tidak didapatkan adanya kemaknaan secara statistik. Hal ini dapat dianalisa dengan lebih baik nantinya dengan menambahkan jumlah sampel yang lebih banyak. Selain itu, dapat dipertimbangkan penggunaan data CT scan sebagai salah satu variabel penelitian yang ikut diteliti.

ABSTRACT
Trauma is the leading cause of death in population with age less than 40 year old. Traumatic brain injury (TBI) contribute to 30% in overall mortality that is caused by traumatic event. Traumatic brain injury that is accompanied by coagulopathy is known to have higher mortality rate. Coagulopathy in TBI could cause rebleeding or new bleeding lesion in hypocoagulopathy cases or could cause ischemia or intravascular thrombosis in hypercoagulopathy cases. Many studies have been done regarding coagulopathy in TBI but up until now it is still now clear enough. Platelet count, PT. and APTT test are usually used in the evaluation of coagulation status, but currently, it can be done with viscoelastisity test using thromboelastography (TEG).
This is the first prospective pilot study that try to evaluate coagulation status in moderate TBI and it's outcome (length of stay and mortality) in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital using TEG and conventional hemostasis test using platelet count, PT. and APTT.
Twenty patients with moderate TBI that is enrolled in this study has passed the inclusion and exclusion criteria. We collect 0,3 mL of their blood sample that is being used initially for conventional hemostasis test. We found that 60% patient with abnormal coagulation status from TEG, but from the same patient using conventional test, we only got 5% with abnormal result. Majority of abnormal coagulation status are hypercoagulopathy. From the outcome that is measured by LOS and mortality, we found zero mortality and that there is difference in LOS between patient with normal and abnormal TEG test (7 days compare with 5,5 days). From the statistical analysis we got the result that are not statistically significant. We also got secondary data, which is CT scan of the patient and after we tried to do the statistical analysis we found that there are 2 parameters of TEG (R time and alpha angle) that is highly significant with abnormality on CT scan (p<0,001 dan p=0,028).
From this study, we can conclude that hypercoagulopathy is the most common coagulopathy that can be found in moderate TBI. We also found that there is a difference result between TEG test and conventional hemostasis test. From the outcome's perspective, we also found a difference between LOS of the patient that has abnormal TEG and normal TEG results. Higher sample in future study might be helpful in the analysis of the statistical test's result in this study and CT scan could also be a better additional variable to be studied."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Pratama
"Latar belakang: Seorang neurointervensionis untuk melakukan Tindakan neuroendovaskular harus mengetahui pasti struktur karotis dan serebrovaskular, hal ini menentukan keberhasilan tindakan. Bentuk dan perubahan anatomi pembuluh darah menentukan jenis kateter yang digunakan dalam intervensi diagnostik maupun terapetik. Keadaan anatomi yang berbeda-beda dipengaruhi beberapa faktor seperti jenis kelamin, usia, dan kondisi komorbid. Tujuan penelitian ini untuk menentukan faktor predisposisi yang ada, dan dapat memprediksi jenis kateter yang tepat untuk digunakan.
Metode: Penelitian deskriptif analitik dengan 57 sampel, dilakukan di Cathlab Pusat Jantung Terpadu (PJT) Rumah Sakit Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dari Desember 2018 sampai Desember 2021. Faktor-faktor predisposisi dan kondisi komorbid diukur pada setiap pasien. Analisis data dilakukan secara bivariat dan multivariat.
Hasil: Variasi lengkung aorta tipe I berjumlah 38, tipe II berjumlah 9 dan tipe III berjumlah 10. Analisis bivariat menunjukkan usia (p<0,001), jenis kelamin (p=0,256), hipertensi (p=0,089), diabetes melitus (p=0,179), riwayat strok (p=0,882), obesitas (p=0,455), kelainan pembuluh darah intrakranial (p=0,608), letak percabangan arteri karotis komunis (p=0,069), jenis kateter yang digunakan (p=0,425). Analisis multivariat menunjukkan (p=0,026; R2=43%) dengan model usia yang menentukan jenis kateter (p=0,015).
Simpulan: Usia adalah faktor prediktor yang dapat memprediksi pemilihan jenis kateter pada pemeriksaan diagnostik maupun terapeutik pasien.

Background: A neurointerventionist to perform neuroendovascular procedures must know for sure the carotid and cerebrovascular structures. Anatomically, this determines the success of the action. Anatomical changes determine the type of catheter used in diagnostic and therapeutic interventions. Different anatomical conditions are influenced by several factors. The purpose of this study was to determine the predisposing factors that can predict the type of catheter used.
Methods: Analytical descriptive study with 57 patients, conducted at the Cathlab Center in Dr. National Central Hospital Cipto Mangunkusumo from December 2018 to December 2021. Predisposing factors were measured for each patient. Data analysis was done by bivariate and multivariate.
Results: The aortic arch variations of type I were 38, type II was 9 and type III was 10. Bivariate analysis showed age (p<0.001), sex (p=0.256), hypertension (p=0.089), diabetes mellitus (p= 0.179), history of stroke (p=0.882), obesity (p=0.455), intracranial blood vessel abnormalities (p=0.608), location of the branching of the common carotid artery (p=0.069), type of catheter used (p=0.425). Multivariate analysis showed (p=0.026; R2=43%) with the age model determining the type of catheter (p=0.015).
Conclusion: Age is a predictor factor that can predict the choice of catheter type in diagnostic and therapeutic examinations of patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, M. Deni
"Latar Belakang: Adenoma hipofisis adalah kumpulan dari berbagai jenis tumor yang ditemukan di kelenjar hipofisis, yang dapat menyebabkan kompresi nervus optikus, sehingga menyebabkan penurunan tajam penglihatan dan lapang penglihatan akibat efek penekanan massa tumor. Tindakan operasi transfenoid pada adenoma hipofisis bertujuan untuk menegakkan diagnosis dan dekompresi massa tumor dengan harapan memperbaiki atau mempertahankan fungsi nervus optikus.
Tujuan: Menilai luaran fungsi penglihatan (tajam penglihatan dan lapang penglihatan) pada pasien adenoma hipofisis serta faktor-faktor yang mempengaruhi luaran tersebut.
Metode: Penelitian potong lintang terhadap pasien-pasien adenoma hipofisis yang telah dioperasi transfenoid dari tahun 2012-2014. Fungsi penglihatan pasien (visus, visual impairment scale, dan lapang penglihatan) sebelum dan sesudah operasi transfenoid diambil dari rekam medik pasien.
Hasil: Sebanyak delapan sampel (57,1%) mengalami perbaikan dan enam pasien (42,9%) tidak mengalami perbaikan nilai visual impairment scale (VIS). Sebanyak delapan sampel (57,1%) mengalami perbaikan dan sebanyak enam pasien (42,9%) tidak mengalami perbaikan visus. Setelah dilakukan tindakan pembedahan untuk mengangkat adenoma hipofisis dengan pendekatan transfenoid, sebagian besar pasien (57,1%) mengalami perbaikan fungsi penglihatan baik dengan metode pemeriksaan visus maupun VIS. Usia, jenis kelamin, waktu onset sampai berobat, waktu berobat sampai operasi, waktu onset sampai operasi, atau volume operasi tidak berhubungan dengan luaran fungsi penglihatan pasien.
Kesimpulan: Operasi transfenoid pada adenoma hipofisis dapat memberikan perbaikan fungsi penglihatan pada sebagian besar pasien adenoma hipofisis.

Background: Pituitary adenoma is a collection of various type tumors found in the pituitary gland, which can lead to compression of the optic nerve, causing a decrease in visual acuity and field of vision due to the suppressive effect of the tumor mass. Transphenoidal surgery on pituitary adenoma aims to diagnose and decompression of the tumor mass in order to improve or preserve optic nerve function.
Purpose: Evaluate the visual function outcomes (visual acuity and field of vision) in patients with pituitary adenoma and the factors that influence these outcomes.
Method: A cross-sectional study on patients who had transphenoidal surgery of pituitary adenoma from 2012 - 2014. The patient’s visual functions (visual acuity, visual impairment scale, and field of vision) were evaluated before and after transphenoidal surgery. The data were taken from the patient’s medical record.
Result: A total of eight patients (57.1%) showed improvement and six patients (42.9%) didn’t show improvement of visual impairment scale (VIS). A total of eight pstients (57.1%) showed improvement, and as many as six patients (42.9%) did not show vision improvement. After transphenoidal surgery, most patients (57.1%) had improved their visual functions not only by Snellen chart visual acuity test, but also by VIS score. Age, gender, time of onset to treatment, treatment time until surgery, time of onset to surgery, tumor volume before surgery were not related to the patient's visual function outcomes.
Conclusion: Transphenoidal surgery of pituitary adenoma can provide visual function improvement in most patients with pituitary adenoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Gunawan
"Sel punca mesenkim (mesenchymal stem cells, MSC) merupakan turunan mesenkim yang dapat menghasilkan sejumlah turunan yang berbeda dan kemampuan untuk memperbarui diri, sehingga banyak digunakan dalam penelitian berbagai penyakit, termasuk penyakit sistem saraf pusat. Hingga saat ini, belum ada penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh sel punca terhadap dinding pembuluh darah normal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah injeksi stem sel yang berasal dari bone marrow (bone marrow mesenchymal stem cells, BMMSC) tidak akan mengganggu struktur pembuluh darah sehat. Penelitian eksperimental yang menggunakan tikus Wistar laki-laki, berumur 20 - 24 minggu, dan normotensi yang diinjeksikan BMMSC dengan dosis 106 sel (kelompok A, 10 tikus), 3 x 106 sel (kelompok B, 12 tikus), dan kontrol (kelompok C, 12 tikus) secara intravena. Dua minggu setelah injeksi BMMSC, jaringan otak tikus, yaitu arteri serebri anterior (ACA) dan arteri serebral media (MCA) diperiksa secara histopatologi untuk mengukur diameter lumen, luas lumen, tebal dan luas tunika medika, dan tunika intima dievaluasi antarkelompok. Diameter lumen, luas lumen, ketebalan dan luas dari tunika muskularis dari ACA tidak signifikan berbeda bermakna antarkelompok (p > 0,05). Hasil sama didapatkan pada histopatologi MCA, dimana variabel diameter lumen, luas lumen, ketebalan dan luas tunika muskularis (p > 0,05). Studi ini tidak mendapatkan hiperplasia tunika intima dari arteri intrakranial antarkelompok. Pemberian BMMSC secara intravena pada tikus normotensi tidak membuat perbedaan bermakna pada diameter lumen, luas lumen, ketebalan tunika muskularis, luas tunika muskularis, dan adanya hiperplasia tunika intima pada struktur arteri intrakranial dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Mesenchymal stem cells (MSC) are mesenchymal derivatives with ability to produce different cells and have self-renewal property, so they are used in many degenerative diseases studies, including neurological diseases. Until now, there is no study which figure out the impact of stem cell to normal vascular wall yet. This study aims to investigate the effect of intravenous bone marrow mesenchymal stem cells (BMMSC) administration to intracranial artery in normotensive rats. An experimental study using normotensive, 20 - 24 weeks, male Wistar rats, which were injected BMMSC doses of 106 cells (group A, 10 rats), 3 x 106 cells (group B, 12 rats), and control (group C, 12 rats) intravenously. Two weeks after BMMSC injection, the rats were sacrificed, then anterior cerebral artery and middle cerebral artery were evaluated histopathologically for lumen diameter, lumen area, thickness and area of tunica muscularis, and tunica intima were evaluated between groups. The lumen diameter, lumen area, thickness and area of tunica muscularis of ACA were not significantly different between groups (p > 0.05). The similar results were also found in the middle MCA histopathology, which was no significant difference of lumen diameter, lumen area, thickness and area of tunica muscularis between groups (p>0.05). This study didnt find hyperplasia of tunica intima of intracranial arteries between groups. Intravenous administration of BMMSC in normotensive rats didnt make significant differences in lumen diameter, lumen area, thickness of tunica muscularis, area of tunica muscularis, and presence of tunica intima hyperplasia of the intracranial artery structure compared to control group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59202
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mousavi, Adel
"Latar Belakang. Virchow pada 1851 mendefinisikan kraniosinostosis sebagai penutupan prematur sutura kranialis. Pasien kraniosinostosis tidak hanya mengalami kelainan kalvaria, tetapi juga gangguan lainnya. Hingga saat ini, belum ada evaluasi baku pascaoperasi. Studi ini bertujuan mengajukan metode evaluasi pascaoperasi menggunakan volume otak dari CT Scan dan aspek tumbuh kembang. Metode. Studi bersifat retrospektif menggunakan data rekam medis dan radiologis pasien kraniosinostosis yang dilakukan operasi. Variabel independen mencakup jenis kelamin, usia saat operasi, jenis kraniosinostosis, dan sutura yang terlibat. Variabel dependen mencakup volume otak dan status perkembangan. Hasil. Terdapat delapan pasien memenuhi kriteria. Nilai median usia pasien saat menjalani operasi adalah 9,5 bulan, terdiri dari lima laki-laki (62%) dan tiga perempuan (38%). Seluruh pasien mengalami peningkatan volume otak dengan rentang 0,4% hingga 29%. Terdapat lima pasien (62%) memiliki volume otak sesuai usianya dan tiga pasien lainnya memiliki volume otak yang tidak sesuai usia pascaoperasi. Tiga pasien dengan volume otak tidak normal ditemukan mencapai volume normal pascaoperasi. Tidak ada perubahan tumbuh kembang pascaoperasi. Kesimpulan. Studi ini dapat menjadi referensi bagi studi lainnya untuk mengevaluasi volume otak dan tumbuh kembang pascaoperasi pasien kraniosinostosis. Evaluasi volume otak berdasarkan CT scan dan status tumbuh kembang pasien dapat digunakan sebagai salah satu pilihan standar dalam manajemen kraniosinostosis.

Background. Craniosynostosis defined by Virchow as premature closure of cranial sutures. These patients not only have abnormal calvaria, but also other disorders. Until now, postoperative evaluation has not been standardized. This study aims to describe postoperative evaluation using brain volume and development aspects of the patients. Methods. This is a retrospective study using records and radiological examinations of patients who underwent surgery. The Independent variables are sex, age of operation, type of craniosynostosis and sutures involved. The dependent variables assessed are brain volume and developmental aspects. Results. This study includes 8 patiens. Age during surgery has median of 9.5 months that consists of 5 male (62%) and 3 female (38%). All patients experienced increased brain volume with changes from 0.4% to 29%. There were 5 patients (62%) with normal brain volume and 3 patients with abnormal brain volume at postoperative control. There were 3 patients that had preoperative abnormal brain volume who achieved normalization. There was no change in developmental aspects postoperatively. Conclusion. This study can be used as reference for assessing brain volume and growth in craniosynostosis. Study of brain volume evaluation based on CT scans and developmental status can be used as standard procedures in management of craniosynostosis."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ande Fachniadin
"Latar Belakang. Salah satu komplikasi pada teknik kraniotomi ini adalah cedera pada saraf nervus fasialis cabang frontal sehingga terjadi paralisis pada otot frontal dan orbikularis oris. Komplikasi ini terjadi pada 30% kasus pasien yang dilakukan kraniotomi frontotemporal. Masih terdapat perdebatan bagiamana melakukan preservasi yang baik pada nervus fasialis cabang frontal. Beberapa teknik telah dikembangkan untuk menghindari komplikasi ini seperti teknik seperti teknik miokutan, interfascialis, dan subfascialis. Penelitian ini memiliki tujuan mengetahui insiden terjadinya cedera nervus fasialis pada teknik interfascialis dan subfascialis.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif potong lintang. Penelitian ini dilakukan di Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM pada subjek pasien yang dilakukan kraniotomi frontotemporal pada Januari - Juli 2018. Dilakukan penelusuran rekam medis dalam menilai teknik dan luaran cedera subjek.
Hasil. Dalam kurun waktu dilakukan penelitian terdapat 20 (dua puluh) subjek pasien yang dilakukan preservasi nervus fasialis cabang frontal yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Didapatkan 15% subjek mengalami cedera nervus fasialis cabang frontal pada saat segera setelah tindakan. Pasca 3 bulan tindakan cedera didapatkan 5% subjek masih didapatkan cedera. Seluruh cedera didapatkan pada Teknik interfascialis.
Kesimpulan. Insiden cedera nervus fasialis cabang frontal pada pasien yang menjalani kraniotomi frontotemporal sebanyak 15%. Insiden cedera nervus fasialis cabang frontal menggunakan teknik interfascialis sebanyak 15% dan dengan teknik subfascialis sebanyak 0%.

Background. One of the major complications on frontotemporal craniotomy technique is injury to the frontal facial nerve, inducing paralysis to the frontal and orbicularis oris muscle. This complication occurs in 30% of patients with frontotemporal craniotomy. There are still some lively debates regarding proper preservation on frontal branch of the facial nerve. Some techniques have been developed in order to avoid this complication such as Miocutanenous, interfascialis and subfascialis techniques. This research aims to find the incident of injury to facial nerve on interfascialis and subfascialis techniques.
Method. This is a retrospective cross-sectional research performed in Neurosurgery Department of FKUI-RSCM on patients with frontotemporal craniotomy on January to July 2018. All suitable patients medical record was inspected and studied for the techniques and the occurrence of post-operative side effects.
Results. Within the time limit, we found 20 (twenty) subject patients with frontal branch of facial nerve that matched the inclusion and exclusion criterias. It was found that 15% of the subjects have had their frontal branch of facial nerve injured immediately after surgery, and 5% after 3 months of recuperation. All injuries was found in interfascialis technique.
Conclusion. The incident of injury on the frontal branch of the facial nerve after frontotemporal craniotomy was 15%, with the interfacialis technique contributing to the whole 15% while the subfascialis technique with 0%
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>