Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sugih Firman
"Ruang Lingkup dan metodologi: Alat bantu kerja yang bergetar untuk mempencepat proscs produksi di industri sangat banyak digunakan dan rutin digunakan setiap harinya. Oleh karena itu, perlu diketahui prevalensi hand-arm vibration syndrome (HAVS) pada pekerja ini serta melihat pula faktor-faktor yang berhubungan. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Dengan teknik total sampling didapatkan 105 responden.Setiap responden dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pengukuran tingkat akselerasi alat yang digunakannya dengan vibration meter. Diagnosis HAVS dinilai pada dua tangan berdasarkan klasifikasi Stockholm. Penelitian dilakukan di bagian assembling PT X, Jawa Barat.
Hasil dan kesimpulan: Dari hasil 105 responden bagian assembling PT X, Jawa Barat didapatkan 28(27,l8%) orang mengalami HAVS dalam berbagai stadium menuzut klasiiikasi Stockholm. Jenis alat yang digunakan responden terdiri dari berbagai jenis di setiap bagiannya. Bagian dengan alat yang paling besar dan berat terdapat di bagian chassis dengan rata-rata scberat 2,19 kg dengan SD 0,79 kg. Demikian juga dengan tingkat akselerasi alat yang bervariasi di tiap bagiannya dan bagian chassis pulg yang berakselerasi paling besar yaim sebesar 31,68 m/sz dcngan so 15,91 rn/s. Pekerja yang tidak mendapatkan pelatihan akan memiliki risiko sebesar hampir 7 kali untuk menderita HAVS (95% CI 2,18 - 2l,68, OR=7,44 dan p=0,00I). Penggunaan alat berakselerasi 12 m/sz atau lebih tinggi memiliki risiko HAVS sebesar hampir 6 kali lebih besar dibandingkan dengan yang berakselerasi kurang dari 12 m/s (95% Cl 0,68 - 48,26, OR= 5,74 dan p=0,l08). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak adanya pelatihan tentang cara penggunaan alat bergetar merupakan risiko HAVS yang terkuat.

Vibrating tools are commonly instruments used in the industrial sector because of their effectiveness in shortened the time needed in the industrial process. Therefore, it is necessary to know the prevalence of Hand-Arm Vibration Syndrome as well as its association factors. This study used cross sectional design. Sample selection used total population technique. Interview, physical examination and tool acceleration measurement with vibration meter, were administered in every respondent. HAVS was diagnosed for each hand according to Stockholm classification. The study was conducted in assembling department of car factory *X* in West Java near the workers workplace.
Results, conclusion and suggestion: Out of 105 respondents, 28 (27.l8%) suffered from HAVS according to Stockholm classification. The respondents use many types of tools in each sub department. Chassis sub department showed the heaviest vibrating tools (mean 2.19 kg, SD 0.79 kg) as well as the highest acceleration (31.68 m/sz, SD 15.91 m/sz). Statistically, there were not any significant association between tools weight and the occurrence of HAVS. However, training program showed significant association with HAVS (OR=7.44 95% Cl 2.41 - 22.98, p<0.00l). The absence of training increased the risk of HAVS almost 7 times than those who joined the training (95% CI 2.18 - 21.68, 0R=7.44 and p=0.001). The usage of tools with acceleration 12 rn/sz or higher increased the risk of HAVS almost 6 times than those below 12 m/sz (95% CI 0.68 _ 48.26, oR= 5.14 and p=o.1os). n is concluded that the absence of training program was the strongest risk factor of HAVS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32341
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zein Renaldy
"Latar Belakang : Penyakit akibat panas masih menjadi masalah umum di era globalisasi seiring dengan pembangunan di sektor industri. Di dalam proses produksi pembuatan keramik yang memerlukan pembakaran dengan suhu tinggi hingga mencapai 2000°C adalah sumber panas bagi para pekerja Hilangnya cairan melalui proses evaporasi akan berakibat terjadinya dehidrasi yang kemudian dapat meningkatkan risiko terjadinya heat cramp.
Metode: Metode penelitian cross sectional digunakan untuk mengevaluasi insiden hear cramp Pengumpulan data dilakukan melalui distribusi kuesioner, pemeriksaan suhu tubuh dan pengumpulan sampel urin. Pengukuran berat jenis urin menggunakan refreactometer ATAGO Uricon NE. Dinyatakan status dehidrasi apabila nilai berat jenis urin >l,030. Pengukuran suhu tubuh setelah bekenja menggtmakan temnometer badan. Apabila suhu tubuh Z 38° dapat dipertimbangkan sebagai faktor risiko terjadinya heat cramp. Suhu lingklmgan kerja diukur dengan menggunakan WBGT (Wet Bulb Global Temperature) QUESTemp°36 setiap 30 menit pada titik yang telah ditentukan pada waktu yang berbeda.
Hasil Penelitian: Insiden terjadinya kram otot ditemukan pada 79 dari total 179 responden (44.I3%). Data menunjukkan bahwa ll responden (6.15%) mempunyai nilai BJ urine >l.030 dan 4 responden (2.23%) dilaporkan dengan suhu tubuh > 38°C setelah 4 jam bekenja. Nilai rata-rata /mean pengukuran suhu dengan WBGT ) > TLV ditemukan pada divisi Glaze (30.25°C; SD =2.82) dan pada divisi Firing (33.25°C; SD=3.25). Dari 39 responden yang bekexja di lokasi kerja dengan suhu > 28°C; 28 respondcn dilaporkan mengeluh kram. Dari 30 responden yang memiliki lama kelja < 1 tahun; 8 dilaporkan mengeluh kmm. Analisa data multivariat menunjukkan bahwa risiko terkena heat cramp lebih rendah pada masa kerja >1 tahun (P=0.04; RR=0.l39) akan tetapi lebih tinggi pada suhu kelja panas \VBGTi >28°C (P=0.0I; RR=3.39).
Kesimpulau: Tekanan panas dan masa kerja berhubungan dengan insiden heat cramp.

Background: Heat stress is still a common health problem in this globalization era throughout development in industrial sector. Production process on manufacture machine which using fumace until 2000°C to make ceramic products, is the main source of heat stress for workers. Water lost due to evaporation process will lead to dehydration state, could make tightening of the muscle. This will increase incidence of heat cramps.
Method: Cross sectional study was conducted to evaluate incidence of heat cramp. Data was collected based on distribute Questionnaire, Body temperature and mine sample. Refractometer ATAGO Uricon NE. was used to access urine specific gravity (USG) before and after work; state of dehydration is deiine by USG score >l,030. Body temperature after work was measured by body thermometer; should temperature hit 238°C, will consider as a risk factor for heat crarnp. Working environment condition was measured with Wet Bulb Global Temperature (WBGT) QUESTemp°36 every 30 minutes each spot in different time.
Result: Incidence of CIZIIII5 was found on 79 from total 179 respondents (44.l3%). Data showed that ll respondents (6.15%) have Urine Specilic Gravitation >l.030 and only 4 respondents (2.23%) were reported have body temperature after work > 38°C. The mean score of heat measure in Glaze division (30.25°C; SD =2.82) and Firing division (33.25°C; SD=3.25) >TLV. F rom total 39 respondents whom work in environment with temperature > 38°C; 28 respondents among them had cramps problems. From 30 respondents whom have working experiences less than I year, only 8 reported have cramps. Multivariate analysis showed that possibility risk of having heat cramp is low by respondents with working period > 1 year (P=0.04; RR=0.l39) but high possibility whom work in heat stress environment, WBGTi > 28°C (P=0.0l; RR=3.39).
Conclusion: Working period and heat environment are associated with risk of having Heat cramp.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32362
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library