Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muslim, translator
Abstrak :
ABSTRAK Tuberkulosis (TB) paru masih terus menjadi masalah kesehatan di dunia terutama di negara berkembang. Streptomisin adalah suatu antibiotik golongan aminoglikosida yang harus diberikan secara parenteral pada pasien TB paru kategori dua dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme ekstraselular. Kekurangan dari streptomisin adalah efek samping toksik pada saraf kranial kedelapan yang dapat menyebabkan disfungsi vestibular dan/atau hilangnya pendengaran. Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran dan dengan bertambahnya obat-obatan yang lebih poten, daftar obat-obatan ototoksik makin bertambah. Tuli akibat ototoksik yang menetap dapat terjadi berhari-hari, berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah selesai pengobatan. Penggunaan obat ini masih menjadi dilema, karena efek samping streptomisin dapat menyebabkan tuli sensorineural, sedangkan obat ini perlu diberikan pada penderita TB paru kategori dua dalam jangka waktu tertentu. Pada penelitian ini, yang melibatkan 46 sampel, pasien TB paru setelah terapi Streptomisin sulfat yang mengalami penurunan pendengaran >15 dB pada frekuensi 8000 Hz sebanyak 12 sampel (26,1%) dan secara statistik bermakna.
ABSTRACT Pulmonary tuberculosis is still a health problem in the world, especially in developing countries. Streptomycin is an aminoglycoside class of antibiotics that must be given parenterally in patients with category two of pulmonary tuberculosis and working to prevent the growth of extracellular organisms. Disadvantages of streptomycin is toxic side effects on the eighth cranial nerve that can cause vestibular dysfunction and / or loss of hearing. Ototoxic has long been known as a side effect of treatment with increasing medical and drugs more potent, ototoxic drugs list growing. Deafness due to ototoxic persistent can occur days, weeks or months after completion of treatment. The use of these drugs is still a dilemma, because the side effects of streptomycin can cause sensorineural hearing loss, whereas these drugs should be given to category two of pulmonary tuberculosis patients within a certain period. In this study, involving 46 samples, pulmonary tuberculosis patients after therapy Streptomycin sulfate experiencing hearing loss > 15 dB at a frequency of 8000 Hz as many as 12 samples (26.1%) and statistically significant.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Anggiaty Idris Gassing
Abstrak :
Latar Belakang: Kanker kepala dan leher terdapat 10 dari keseluruhan kasus kanker di seluruh tubuh. Efek samping akibat terapi kanker berdampak signifikan pada kualitas hidup pasien. Instrumen yang sering digunakan untuk menilai kualitas hidup pasien kanker kepala dan leher salah satunya adalah University of Washington Quality of Life UW-QOL. Hingga saat ini belum pernah dilakukan adaptasi kuesioner UW-QOL ke bahasa Indonesia. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mendapatkan instrumen UW-QOL adaptasi bahasa Indonesia yang valid dan reliabel untuk menilai kualitas hidup pasien kanker kepala dan leher. Metodologi: Penelitian ini berdesain potong lintang, dilakukan di poliklinik THT FKUI/RSCM dr. Cipto Mangunkusumo terhadap pasien kanker kepala dan leher usia dewasa. Hasil: Uji validitas menggunakan uji korelasi Spearman dengan korelasi bermakna pada seluruh butir pertanyaan di tingkat signifikansi p ......Background: Head and neck cancer accounts for 10 of all cancer cases throughout the body.. Side effects due to cancer therapy have a significant impact on patient quality of life. The University of Washington Quality of Life UW QOL is the most frequent intruments used to assess the quality of life of head and neck cancer patients. At present, the Indonesian version of UW QOL questionnaire is not available. Objective: This study aims to obtain a valid and reliable Indonesian adaptation of UW QOL to assess the quality of life of head and neck cancer patients. Method: Cross sectional study was conducted in ORL HNS Department outpatient clinic dr. Cipto Mangunkusumo hospital towards 41 adult patients with head and neck cancer. Result: The validity test using Spearman correlation test with significant correlation in all questions items at the level of significance p
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zuki Saputra
Abstrak :
Latar belakang: Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan sebuah masalah kesehatan global. Berdasarkan keberadaan polip hidung, RSK dikategorikan menjadi RSK dengan dan tanpa polip hidung. Rinosinusitis yang memiliki gejala persisten walaupun mendapatkan tata laksana yang tepat disebut sebagai rinosinusitis refrakter. Kondisi ini dapat menyebabkan tatalaksana berlebih terkait kegagalan dalam tindakan pembedahan. Terdapat banyak faktor yang berperan dalam patogenesis RSK refrakter, seperti infiltrasi eosinofil, biofilm dan asma. Tujuan penelitian: Mengetahui pengaruh infiltrasi eosinofil, biofilm dan asma terhadap RSK dengan polip hidung bilateral refrakter. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan melibatkan 37 pasien RSK dengan polip hidung bilateral di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Data diambil dari rekam medis (jenis kelamin, usia, atopi, dan asma) dan hasil pemeriksaan preparat blok paraffin polip hidung (infiltrasi eosinofil dan biofilm). Analisis data dilakukan menggunakan Statistical Program for Social Science (SPSS) for Windows versi 20. Hasil: Kejadian refrakter ditemukan pada 29 subjek (78,4%). Berdasarkan analisis bivariat, tidak terdapat asosiasi yang bermakna antara infiltrasi eosinofil, biofilm, asma, atopi, usia, dan jenis kelamin dengan kejadian RSK dengan polip hidung bilateral refrakter (p>0,05). Kesimpulan: Tidak terdapat pengaruh signifikan dari infiltrasi eosinofil, biofilm dan asma terhadap RSK dengan polip hidung bilateral refrakter. ......Background: Chronic rhinosinusitis (CRS) is a global health issue. Based on the existence of nasal polyps, CRS is further categorized into CRS with and without nasal polyps. Rhinosinusitis that show persistent symptoms despite suitable treatment is referred to as refractory rhinosinusitis. This condition could cause over-treatment due to failed surgery. There are a lot of factors that contribute towards the pathogenesis of refractory CRS, such as eosinophil infiltration, biofilm, and asthma Aim: To assess the impact of eosinophil infiltration, biofilm, and asthma towards refractory CRS with bilateral nasal polyps. Methods: This is a cross-sectional study involving 37 CRS with bilateral polyp nasal patients at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Data were obtained from medical records (sex, age, atopy, and asthma) and nasal polyp paraffin block examination (eosinophil infiltration and biofilm). Data analysis was performed using Statistical Program for Social Science (SPSS) for Windows version 20. Results: 29 subjects (78,4%) had refractory CRS with bilateral nasal polyps. Based on bivariate analysis, no significant association was shown between eosinophil infiltration, biofilm, and asthma, age, and sex and refractory CRS with bilateral nasal polyps.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Handayani
Abstrak :
Latar belakang: Kualitas suara ditentukan oleh karakteristik elastisitas pita suara, resonansi dan struktur di saluran vokal. Produksi suara merupakan salah satu komponen yang berperan penting dalam komunikasi verbal, interaksi sosial serta merupakan identitas dan kepribadian tiap individu yang berkontribusi pada kesejahteraan dan kualitas hidup seseorang. Pasien karsinoma nasofaring pasca radiasi tanpa adanya residu dapat mengalami fibrosis pada velofaring dan memicu gangguan penutupan velofaring selama bicara sehingga menimbulkan hipernasal.

Tujuan: Mengetahui karakteristik dan proporsi skor nasalance pada pasien KNF pasca radiasi dengan atau tanpa gangguan persepsi bicara.

Metode: Penelitian ini merupakan studi survei deskriptif dengan teknik cross sectional dan kemudian dilanjutkan pengambilan data retrospektif pasien karsinoma nasofaring pasca radiasi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo periode Juli – Agustus 2023. Parameter yang dinilai adalah skor nasalance dengan menggunakan nasometer.

Hasil: Skor nasalance pasien karsinoma nasofaring pasca radiasi pada uji gajah 1 didapatkan median 14 (7-22), rerata uji hantu 1 39,8% + 4,5, dan rerata uji sengau 62,2 + 6,9, dengan titik potong skor nasalance pada uji gajah 1 antara persepsi bicara normal dengan gangguan persepsi bicara hipernasal adalah 15.5% dan pada uji hantu 1 adalah 42.5%. Jenis kelamin dan dosis radiasi pada otot konstriktor faring memiliki kecenderungan hubungan yang bermakna terhadap gangguan persepsi bicara pada pasien karsinoma nasofaring pasca radiasi.

Kesimpulan: Diperlukan studi prospektif pada pasien karsinoma nasofaring dengan penilaian sebelum dan sesudah radiasi serta evaluasi follow-up untuk menilai efek radiasi yang mencakup semua aspek fungsional suara dan ucapan yang relevan. ......Background: Voice quality is determined by the elasticity of the vocal cords, resonance, and structures in the vocal tract. Voice production is a component that plays an important role in verbal communication and social interaction. It is the identity and personality of each individual that contribute to their welfare and quality of life. Post-radiation nasopharyngeal carcinoma patients without any residue can experience fibrosis in the velopharynx and trigger disruption of the velopharyngeal closure during speech, causing hypernasality.

Objective: To determine the characteristics and proportions of the nasalance score in post-radiation NPC patients with or without impaired speech perception.

Methods: This research is a descriptive study using cross-sectional techniques, followed by retrospective data collection of post-radiation nasopharyngeal carcinoma patients at CMGH Dr. Cipto Mangunkusumo for the period July–August 2023. The parameter assessed is the nasalance score using a nasometer.

Results: The nasalance score in the Gajah 1 test obtained a median of 14 (7-22), for the mean value of Hantu 1 test was 39.8% + 4.5, and for the mean value of Sengau test was 62.2 + 6.9, with a nasalance score cut point in Gajah 1 test between normal speech perception and hypernasal was 15.5% and in Hantu 1 test was 42.5%. Gender and radiation dose to the pharyngeal constrictor muscle tend to have a significant relationship with impaired speech perception in post-radiation nasopharyngeal carcinoma patients.

Conclusion: A prospective study is needed in nasopharyngeal carcinoma patients with pre- and post-radiation assessment and follow-up evaluation to assess radiation's effects, including all relevant functional aspects of voice and speech.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hasnan Habib
Abstrak :
Latar belakang: Difagia atau gangguan menelan merupakan gejala yang dapat memperburuk morbiditas dan mortalitas pasien yang mengalaminya baik yang bersifat mekanik maupun neurogenik. Keluhan ini sering ditemui pada poli rawat jalan THT RSCM terutama di poli THT divisi Bronkoesofagologi. Sampai saat ini belum ada instrumen yang bersifat patient reported outcome untuk skrining disfagia, sehingga dalam penelitian ini dilakukan adaptasi kuesioner EAT-10 ke bahasa Indonesia. Kuesioner ini dirancang untuk menilai keparahan gejala disfagia yang sudah banyak digunakan di berbagai negara yang sudah diadapatasi ke bahasa masing-masing negara. Tujuan: Mengetahui validitas dan reliabilitas kuesioner EAT-10 versi bahasa Indonesia serta mengetahui nilai kepositifan EAT-10 versi bahasa Indonesia terhadap pemeriksaan FEES. Metode: Pasien-pasien dengan gejala disfagia atau gangguan menelan yang terlebih dahulu didiagnosis dengan pemeriksaan FEES yang datang ke poli THT divisi Bronkoesofagologi. Pemeriksaan FEES dengan serat optik lentur untuk melihat kriteria objektif secara struktur anatomi dan gerakan refleks menelan daerah orofaring, kemudian dilakukan anamnesis dan diminta untuk mengisi kuesioner EAT-10 yang sudah diadaptasi ke bahasa Indonesia dengan metode WHO. Uji validitas dilakukan dengan uji korelasi spearman correlation coefficient, dianggap signifikan bila nilai p<0,05. Uji reliabilitas dengan konsistensi internal mencari nilai Cronbach α di atas 0,6 untuk masing-masing dan keseluruhan pertanyaan. Hasil: Penelitian melibatkan 50 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Kuesioner EAT-10 ini memiliki nilai p dan korelasi yang signifikan (0,00) untuk setiap pertanyaan walaupun pada pertanyaan keenam yaitu “rasa sakit saat menelan” memiliki kekuatan korelasi yang lemah (0,408). Kuesioner ini juga memiliki Cronbach α di atas 0,6 untuk masing-masing pertanyaan (0,9) dan memiliki kepositifan 80% terhadap pemeriksaan FEES. Kesimpulan: Instrumen EAT-10 versi bahasa Indonesia telah diadaptasi lintas budaya (transcultural), valid dan reliabel sebagai instrumen untuk menilai gejala pada disfagia serta memiliki nilai kepostifan yang baik terhadap pemeriksaan FEES. ......Backround: Disphagia or swallowing disorder is a symptom that can exacerbate the morbidity and mortality of patients who experience it, both mechanical and neurogenic type. This complaint is often found in the RSCM ENT outpatient clinic, especially in the ENT polyclinic Bronchoesophagology division. Until now there was no patient reported outcome instrument that used for screening of dysphagia, so in this study an adaptation of the EAT-10 questionnaire to Indonesian version was carried out. This questionnaire is designed to assess the severity of dysphagia symptoms which have been widely used in various countries that have been adapted to the language of each country. Objective: To determine the validity and reliability of the Indonesian version of the EAT-10 questionnaire and also to determine the positivity value between EAT-10 Indonesian version towards FEES examination. Methods: Patients with symptoms of dysphagia or swallowing disorders diagnosed by FEES examination who came to the ENT Bronchoesophagology outpatient clinic and has been diagnosed with dysphagia by FEES examination. First of all FEES examination objectively evaluate anatomical structure and swallowing reflex in the oropharynx, then anamnesis was carried out and asked to fill out the EAT-10 questionnaire which had been adapted to Indonesian using the WHO method. The validity test was carried out using the Spearman correlation coefficient test. It was considered significant if the p value <0,05. The reliability test with internal consistency looks for a Cronbach α value above 0,6 for each and all questions. Results: The study involved 50 subjects who met the inclusion criteria. This EAT-10 questionnaire has a significant p-value (0,00) and correlation for each question even though the sixth question “pain when swallowing” has a weak (0,408) correlation strength. This questionnaire also has a Cronbach α above 0,6 for each question (0,9) and has 80% positivity value towards FEES examination. Conclusion: The Indonesian version of the EAT-10 instrument has been adapted cross-culturally, is valid and reliable as an instrument for assessing symptoms of dysphagia and also has a good positivity value towards FEES examination
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Vania Valentine Handoko
Abstrak :
Latar belakang: Atresia aural kongenital dengan mikrotia merupakan gangguan perkembangan daun telinga dan sering dikaitkan dengan malformasi saluran pendengaran eksternal serta telinga tengah. Pembedahan pada atresia aural kongenital dianggap sebagai salah satu yang paling sulit dan membutuhkan penilaian pencalonan yang tepat untuk menentukan operasi. Sistem penilaian Jahrsdoerfer berdasarkan pemeriksaan tomografi komputer (CT scan) masih sering digunakan untuk menentukan kandidat yang tepat untuk operasi namun dirasa terdapat celah dan ketidakcocokan pada skor ini sehingga diperlukan pengukuran lebih detail untuk keperluan kandidasi pembedahan yang lebih baik. Metode: Studi ini merupakan studi potong lintang terhadap pasien mikrotia dengan atresia aural kongenital unilateral di RSUPN Cipto Mangunkusumo menggunakan CT scan. Parameter yang diukur meliputi volume mastoid, volume ruang telinga tengah, diameter tingkap bundar, diameter tingkap lonjong, diameter medial liang telinga, orientasi nervus fasialis, dimensi kompleks maleus inkus, koneksi inkus stapes serta kelengkapan struktur stapes. Hasil: Rerata volume telinga tengah, jarak serta sudut orientasi nervus fasialis, diameter medial liang telinga, dimensi kompleks maleus inkus, volume mastoid, diameter tingkap bundar dan diameter tingkap longkong secara signifikan (p<0,05) berukuran lebih kecil pada telinga mikrotia dibandingkan sisi kontralateral. Kesimpulan: Berdasarkan beberapa parameter telinga tengah mikrotia unilateral yang dilakukan pengukuran dengan CT scan diperoleh seluruh parameter telinga tengah sisi mikrotia memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan kontralateral. ......Introduction: Congenital aural atresia with microtia is a developmental disorder of the auricle and is often associated with malformations of the external auditory canal as well as the middle ear. Surgery in congenital aural atresia is considered to be one of the most difficult and requires proper candidature assessment to determine surgery. The Jahrsdoerfer scoring system based on computed tomography (CT) scans is still often used to determine appropriate candidates for surgery, but there are gaps and discrepancies in this score. Detailed measurements requiered for better surgical candidacy. Methods: This study is a cross-sectional study of microtia patients with unilateral ear canal atresia at Cipto Mangunkusumo Hospital using CT scan. Parameters measured included mastoid volume, middle ear space volume, round window diameter, oval window diameter, medial diameter of the ear canal, orientation of the fascial nerve, dimensions of the malleus incus complex, incus stapes connection and completeness of the stapes structure. Results: The mean middle ear volume, distance and angle of orientation of the fascial nerve, medial diameter of the ear canal, dimensions of the malleus incus complex, mastoid volume, round window diameter and oval  window diameter were significantly (p<0.05) smaller in the microtia ear than the contralateral side. Conclusion: Based on several parameters of the middle ear of unilateral microtia measured by CT scan, all parameters of the middle ear of the microtia side have a smaller size than the contralateral.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Pradana Maryadi
Abstrak :
Anak sindrom Down memiliki risiko komorbiditas yang tinggi akibat silent aspiration yang persisten. Hingga saat ini, belum ada data secara khusus mengenai gambaran disfagia pada anak sindrom Down dengan menggunakan instrumen FEES. Tujuan penelitian: Mengetahui gambaran disfagia pada anak sindrom Down dengan melihat prevalensi, karakteristik subjek dan gambaran disfagia berdasarkan parameter FEES. Metode: Penelitian cross-sectional yang bersifat deskriptif terhadap 43 anak sindrom Down dengan kecurigaan disfagia di RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan pemeriksaan FEES periode November 2019–Januari 2020. Hasil: Prevalensi disfagia didapatkan 13 dari 43 subjek (30,2%). Gejala disfagia pada anak ≤6 bulan adalah apnea saat menyusu (2/2), pada anak >6 bulan adalah hanya makan makanan tertentu atau lebih menyukai cairan kental (8/11). Komorbid yang paling banyak menyertai adalah kelainan jantung dan tiroid (6/13). Komplikasi yang sering terjadi adalah pneumonia aspirasi (4/13). Pada pemeriksaan awal FEES didapatkan lip seal lemah (12/13). Pada pemeriksaan FEES, Preswallowing leakage, residu, penetrasi dan aspirasi paling sering terjadi pada konsistensi air dan susu. Standing secretion (6/13) dan silent aspiration (1/13). Kesimpulan: Prevalensi disfagia sebesar 30,2% dan pada pemeriksaan FEES penetrasi dan aspirasi pada konsistensi cair terutama terjadi pada usia ≤24 bulan. ......Background: Persistent silentaspiration is an often unrecognized comorbidity in children with Down syndrome. However, there is still limited study on the characteristic of dysphagia in children with Down syndrome using FEES. Aim : To find the prevalence and the characteristics of the subjects and dysphagia in children with Down syndrome using FEES’ parameters. Methods: This is a descriptive cross-sectional study involving 43 Down syndrome children with dysphagia suspicion in Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital from November 2019–January 2020. Results: The prevalence of dysphagia was 13 out of 43 subjects (30,2%). Dysphagia symptom in children ≤ 6 months was apnoea while bottle/breast feeding (2/2). Meanwhile, in children > 6 months was food texture selectivity or liquid consistency food preferred (8/11). The comorbidities found mostly were heart anomaly and congenital hypothyroid (6/13). The complication mostly was aspiration pneumonia (4/13). In pre-FESS examination, poor lip sealed was dominant (12/13). In FEES examination, pre-swallowing leakage, residue, penetration, and aspiration were more common in thin and thick liquid. Standing secretion (6/13) and silent aspiration (1/13). Conclusion: The prevalence of dysphagia was 30,2% and in FEES examination, penetration and aspiration were found mostly in thin liquid, ≤24 months of age predominantly.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Kartika Nursyahbani
Abstrak :
Latar belakang: Pemeriksaan Subjective Visual Vertical (SVV) dan Vestibular Evoked Myogenic Potential (VEMP) adalah pemeriksaan fungsi organ otolith yang dinilai cukup nyaman bagi usia lanjut karena dilakukan dalam posisi duduk. Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi antara nilai rerata SVV metode bucket dengan oVEMP dan cVEMP. Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada 41 subyek geriatri tanpa keluhan gangguan keseimbangan di poliklinik geriatri dan neurotologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subyek menjalani pemeriksaan SVV metode bucket dan VEMP dengan stimulus tone burst pada intensitas 95 dB dan 100 dB. Hasil penelitian: Nilai median SVV adalah 1,8° (0,8°–3,8°). Rerata masa laten awal dan akhir oVEMP adalah 11,7±2,6 ms dan 16,5±3,8 ms. Rerata masa laten awal dan akhir cVEMP adalah 16,4±3,9 ms dan 25,0±4,2 ms. Terdapat korelasi antara pemeriksaan SVV dengan asimetri cVEMP pada intensitas 95 dB (r = 0,310; p = 0,049) dan 100 dB (r = 0,586; p = 0,001). Tidak ditemukan korelasi SVV dengan pemeriksaan oVEMP. Kesimpulan: Terdapat korelasi antara rerata SVV dengan cVEMP pada subyek geriatri tanpa keluhan gangguan keseimbangan. ......Introduction: Subjective Visual Vertical (SVV) and Vestibular Evoked Myogenic Potential (VEMP) examinations evaluated otolith organ function which were considered comfortable for the elderly because they were carried out in a sitting position. This research aims to determine the correlation between the SVV value of the bucket method with oVEMP and cVEMP. Methods: A cross-sectional study on 41 geriatric subjects without complaints of balance disorders at the geriatrics and neurotology clinic at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Subjects underwent bucket method SVV and VEMP examinations with tone burst stimuli at 95 dB and 100 dB intensity. Results: The median SVV value was 1,8° (0,8°–3,8°). The mean n1 and p1 of oVEMP were 11,7 ± 2,6 ms and 16,5 ± 3,8 ms. The mean p1 and n1 of cVEMP were 16,4 ± 3,9 ms and 25,0 ± 4,2 ms. There was a correlation between SVV and cVEMP asymmetry at intensities of 95 dB (r = 0,310; p = 0,049) and 100 dB (r = 0,586; p = 0,001). No correlation was found between SVV and oVEMP examination. Conclusion: There was a correlation between the mean SVV value and cVEMP in geriatric subjects without complaints of balance disorders.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Talitha Rosa
Abstrak :

Latar belakang: Angiofibroma nasofaring belia (ANB) adalah tumor fibrovaskular yang langka. Tingkat kekambuhan ANB diketahui memiliki angka yang tinggi. Kekambuhan tidak jarang dikaitkan dengan faktor genetik dan salah satunya adalah beta-catenin. Ekspresi beta-catenin telah diidentifikasi dapat memengaruhi pertumbuhan ANB, namun hubungannya dengan kekambuhan ANB masih perlu diteliti lebih lanjut. Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan pendekatan kasus kontrol terhadap pasien ANB yang menjalani ekstirpasi tumor di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo antara tahun 2013 dan 2022. Data mengenai demografi, karakteristik tumor, prosedur pre-ekstirpasi, pendekatan bedah, dan perdarahan intraoperatif dikumpulkan melalui rekam medis. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan untuk mengetahui ekspresi beta-catenin. Hasil: Didapatkan 33 pasien ANB (18 termasuk kelompok tidak kambuh dan 15 dalam kelompok kambuh). Seluruh pasien merupakan laki-laki berusia antara 9 hingga 28 tahun, dengan rata-rata usia 16,2 tahun. Kelompok usia ≤18 tahun memiliki risiko kekambuhan ANB 8,91 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia >18 tahun (p=0,046). Ekspresi beta-catenin tinggi (≥124,2) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menyebabkan kekambuhan dibandingkan dengan ekspresi beta-catenin rendah (<124,2) pada pasien ANB (p=0,000). Kesimpulan: Pasien ANB dengan ekspresi beta-catenin tinggi memiliki risiko kekambuhan yang lebih tinggi. ......Background: Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) is a rare fibrovascular tumor known for its high recurrence rate. Recurrence is often linked to genetic factors such as beta-catenin. Although beta-catenin expression has been identified as influencing JNA growth, its relationship with JNA recurrence requires further investigation. Methods: This research employs an observational analytical study design with a case-control approach, focusing on JNA patients who underwent tumor extirpation at Cipto Mangunkusumo General Hospital between 2013 and 2022. Data on demographics, tumor characteristics, pre-extirpation procedures, surgical approaches, and intraoperative bleeding were collected from medical records. Immunohistochemical examination was conducted to determine beta-catenin expression. Results: Among the 33 JNA patients (18 were in the non-recurrent group and 15 were in the recurrent group). All patients were male, aged between 9 and 28 years, with an average age of 16.2 years. The age group ≤18 years had an 8.91 times higher risk of JNA recurrence compared to the age group >18 years (p=0.046). High beta-catenin expression (≥124.2) was associated with a higher risk of recurrence compared to low beta-catenin expression (<124.2) in ANB patients (p=0.000). Conclusion: JNA patients with high beta-catenin expression has a higher risk of recurrence.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margaretta
Abstrak :
Latar belakang: Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah suatu kondisi heterogen dengan gejala yang bervariasi disebabkan berbagai etiologi, dan komorbiditas yang berdampak pada defisit komunikasi sosial, gangguan perilaku berulang dan minat terbatas. Sudah banyak penelitian yang mengaitkan ASD dengan variasi gambaran pemanjangan masa laten gelombang dan antar gelombang pada Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA). Beberapa penelitian menghubungkan BERA dengan derajat keparahan ASD berdasarkan The Childhood Autism Rating Scale (CARS), namun masih kontroversi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara masa laten gelombang III dan V serta masa laten antar gelombang III-V BERA Click dengan derajat keparahan ASD berdasarkan skoring CARS anak usia 3-8 tahun dengan pendengaran normal. Metode: Studi potong lintang ini terdiri dari 26 subjek ASD yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penilaian derajat keparahan subjek dilakukan menggunakan skoring CARS dan pemeriksaan BERA. Pengolahan data dilakukan dengan analisis uji korelasi masa laten absolut dan masa laten antar gelombang BERA dan CARS. Hasil: Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara masa laten absolut gelombang III dan V serta masa laten antar gelombang III-V BERA Click dengan CARS (r<0,3 dan p>0,05). Namun berdasarkan analisis deskriptif, terdapat pemanjangan masa laten gelombang III dan V serta masa laten antar gelombang I-III pada anak ASD dengan pendengaran perifer normal. Kesimpulan: Anak ASD dengan pendengaran perifer normal menunjukkan karakteristik BERA abnormal. Hal ini menunjukkan potensi BERA sebagai alat objektif untuk mengevaluasi perkembangan ASD di masa depan namun diperlukan penelitian lebih lanjut. ......Background: Autism Spectrum Disorder (ASD) is a heterogeneous condition with variable symptoms due to various etiologies, and comorbidities that result in social communication deficits, repetitive behavioral disorders and restricted interests. Many studies have linked ASD to variations in the latent wave and inter-wave lengthening images on Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA). Some studies have linked BERA to ASD severity based on The Childhood Autism Rating Scale (CARS), but it is still controversial. Aim: This study aims to determine whether there is a correlation between latencies of waves III and V, as well as interpeak latencies of waves III-V BERA Click and ASD severity based on CARS scoring in children aged 3-8 years with normal hearing. Methods: This cross-sectional study consisted of 26 subjects with ASD met the inclusion and exclusion criteria. Subjects were assessed for severity using CARS scoring and BERA examination. Data processing was done by correlation test analysis between latencies of waves III and V BERA and CARS waves. Results: There was no significant relationship between the latencies of waves III and V and interpeak latencies of waves III-V and interpeak latencies of waves III-V BERA Click with CARS (r < 0.3 and p>0.05). However, based on descriptive analysis, there was a lengthening of the latency of waves III and V and interpeak latency of waves I-III in ASD children with normal peripheral hearing. Conclusion Children with ASD display abnormal ABR characteristics. This shows the potential of BERA as an objective tool to evaluate ASD development in the future but further research is needed
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>