Tujuan: Mengetahui karakteristik dan proporsi skor nasalance pada pasien KNF pasca radiasi dengan atau tanpa gangguan persepsi bicara.
Metode: Penelitian ini merupakan studi survei deskriptif dengan teknik cross sectional dan kemudian dilanjutkan pengambilan data retrospektif pasien karsinoma nasofaring pasca radiasi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo periode Juli – Agustus 2023. Parameter yang dinilai adalah skor nasalance dengan menggunakan nasometer.
Hasil: Skor nasalance pasien karsinoma nasofaring pasca radiasi pada uji gajah 1 didapatkan median 14 (7-22), rerata uji hantu 1 39,8% + 4,5, dan rerata uji sengau 62,2 + 6,9, dengan titik potong skor nasalance pada uji gajah 1 antara persepsi bicara normal dengan gangguan persepsi bicara hipernasal adalah 15.5% dan pada uji hantu 1 adalah 42.5%. Jenis kelamin dan dosis radiasi pada otot konstriktor faring memiliki kecenderungan hubungan yang bermakna terhadap gangguan persepsi bicara pada pasien karsinoma nasofaring pasca radiasi.
Kesimpulan: Diperlukan studi prospektif pada pasien karsinoma nasofaring dengan penilaian sebelum dan sesudah radiasi serta evaluasi follow-up untuk menilai efek radiasi yang mencakup semua aspek fungsional suara dan ucapan yang relevan. ......Background: Voice quality is determined by the elasticity of the vocal cords, resonance, and structures in the vocal tract. Voice production is a component that plays an important role in verbal communication and social interaction. It is the identity and personality of each individual that contribute to their welfare and quality of life. Post-radiation nasopharyngeal carcinoma patients without any residue can experience fibrosis in the velopharynx and trigger disruption of the velopharyngeal closure during speech, causing hypernasality.
Objective: To determine the characteristics and proportions of the nasalance score in post-radiation NPC patients with or without impaired speech perception.
Methods: This research is a descriptive study using cross-sectional techniques, followed by retrospective data collection of post-radiation nasopharyngeal carcinoma patients at CMGH Dr. Cipto Mangunkusumo for the period July–August 2023. The parameter assessed is the nasalance score using a nasometer.
Results: The nasalance score in the Gajah 1 test obtained a median of 14 (7-22), for the mean value of Hantu 1 test was 39.8% + 4.5, and for the mean value of Sengau test was 62.2 + 6.9, with a nasalance score cut point in Gajah 1 test between normal speech perception and hypernasal was 15.5% and in Hantu 1 test was 42.5%. Gender and radiation dose to the pharyngeal constrictor muscle tend to have a significant relationship with impaired speech perception in post-radiation nasopharyngeal carcinoma patients.
Conclusion: A prospective study is needed in nasopharyngeal carcinoma patients with pre- and post-radiation assessment and follow-up evaluation to assess radiation's effects, including all relevant functional aspects of voice and speech.
Latar belakang: Angiofibroma nasofaring belia (ANB) adalah tumor fibrovaskular yang langka. Tingkat kekambuhan ANB diketahui memiliki angka yang tinggi. Kekambuhan tidak jarang dikaitkan dengan faktor genetik dan salah satunya adalah beta-catenin. Ekspresi beta-catenin telah diidentifikasi dapat memengaruhi pertumbuhan ANB, namun hubungannya dengan kekambuhan ANB masih perlu diteliti lebih lanjut. Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan pendekatan kasus kontrol terhadap pasien ANB yang menjalani ekstirpasi tumor di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo antara tahun 2013 dan 2022. Data mengenai demografi, karakteristik tumor, prosedur pre-ekstirpasi, pendekatan bedah, dan perdarahan intraoperatif dikumpulkan melalui rekam medis. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan untuk mengetahui ekspresi beta-catenin. Hasil: Didapatkan 33 pasien ANB (18 termasuk kelompok tidak kambuh dan 15 dalam kelompok kambuh). Seluruh pasien merupakan laki-laki berusia antara 9 hingga 28 tahun, dengan rata-rata usia 16,2 tahun. Kelompok usia ≤18 tahun memiliki risiko kekambuhan ANB 8,91 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia >18 tahun (p=0,046). Ekspresi beta-catenin tinggi (≥124,2) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menyebabkan kekambuhan dibandingkan dengan ekspresi beta-catenin rendah (<124,2) pada pasien ANB (p=0,000). Kesimpulan: Pasien ANB dengan ekspresi beta-catenin tinggi memiliki risiko kekambuhan yang lebih tinggi. ......Background: Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) is a rare fibrovascular tumor known for its high recurrence rate. Recurrence is often linked to genetic factors such as beta-catenin. Although beta-catenin expression has been identified as influencing JNA growth, its relationship with JNA recurrence requires further investigation. Methods: This research employs an observational analytical study design with a case-control approach, focusing on JNA patients who underwent tumor extirpation at Cipto Mangunkusumo General Hospital between 2013 and 2022. Data on demographics, tumor characteristics, pre-extirpation procedures, surgical approaches, and intraoperative bleeding were collected from medical records. Immunohistochemical examination was conducted to determine beta-catenin expression. Results: Among the 33 JNA patients (18 were in the non-recurrent group and 15 were in the recurrent group). All patients were male, aged between 9 and 28 years, with an average age of 16.2 years. The age group ≤18 years had an 8.91 times higher risk of JNA recurrence compared to the age group >18 years (p=0.046). High beta-catenin expression (≥124.2) was associated with a higher risk of recurrence compared to low beta-catenin expression (<124.2) in ANB patients (p=0.000). Conclusion: JNA patients with high beta-catenin expression has a higher risk of recurrence.