Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hemastia Manuhara H.
"Pendahuluan: Salah satu konsentrat faktor pertumbuhan autologus terbaru yang dapat mempercepat proses penyembuhan luka dan meningkatan bioaviabilitas adalah platelet rich fibrin (PRF). Belum ada penelitian aplikasi PRF di luka pasca panen tandur kulit dapat mempercepat proses epitelisasi.
Metode: Studi multipel measure dengan general linear model adalah untuk mengevaluasi luka pasca panen tandur kulit, luka pasca panen tandur kulit dibagi menjadi dua kelompok dengan atau tanpa aplikasi PRF pada area tersebut. Untuk mengevaluasi epitelisasi luka di lokasi donor, kami memberikan perawatan luka yang sama pada kedua sisi dan evaluasi foto analisis pada hari ke 1,3, 7, 14 dan 30 menggunakan perangkat lunak ImageJ. Data yang diperoleh dianalisis dengan SPSS 20.0. Nilai P lebih rendah dari 0,05 dianggap signifikan.
Hasil: Penggunaan PRF telah membuktikan kemampuannya untuk mempercepat proses epitelialisasi proses penyembuhan situs donor p 0,000. Reaksi inflamasi kelompok PRF (hiperemik, nyeri, hipertermia, dan edema) di situs donor berkurang.
Kesimpulan: Aplikasi PRF akan memperbaiki kondisi luka, khususnya dengan menyediakan faktor pertumbuhan di lingkungan luka yang membantu mempercepat proses epitelisasi dan menghasilkan manajemen luka yang efektif.

Introduction: One of the newest concentrate autologous growth factors for wound healing process is platelet rich fibrin (PRF), used to accelerating wound healing process. PRF application on donor site after skin grafting would accelerated epithelialization process.
Methods: This multiple measure with general linear model study is to evaluate after harvesting, donor site defect was divided into two groups with or without PRF application. To evaluate of epithelialization of donor site wound, we give same treatment of wound care of both side and evaluated at day 1,3, 7, 14 and 30 using ImageJ software. Data obtained were analyzed with SPSS 20.0. The P-values lower than 0.05 considered as significant.
Result: The use of PRF has proven its ability to accelerate the epithelialization process of donor site healing process p 0,000. Inflammation reaction of PRF group (hyperemic, pain, hyperthermia, and edema) on donor site wound less.
Conclusion: PRF application would improve the condition of the wound, in particular by providing growth factor in the wound environment that help accelerate the epithelialization process and resulting in cost effective wound management.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58613
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Aryanti
"Latar belakang. Proses mendengar sangat mempengaruhi proses berbahasa dan berkomunikasi. Gangguan pendengaran memberikan efek negatif pada perkembangan kognitif anak. Perlunya penilaian fungsi kognitif pada anak dengan gangguan pendengaran adalah untuk mengevaluasi fungsi kognitif normal atau abnormal, dan memberikan informasi untuk menentukan intervensi dan target yang sesuai. Pemeriksaan P300 event-related potential (ERP) merupakan teknik pemeriksaan neurofisiologis yang dapat digunakan untuk menilai fungsi kognitif secara objektif. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh gangguan pendengaran sensorineural terhadap fungsi kognitif anak usia 7-15 tahun yang dinilai dengan gelombang P300. Metode. Studi potong lintang ini terdiri dari 15 subjek dengan gangguan pendengaran sensorineural dan 15 subjek dengan pendengaran normal yang memenuhi kriteria inklusi. Masa laten dan amplitudo gelombang P300 yang timbul terhadap nada target direkam dan dianalisis. Hasil. Rerata masa laten gelombang P300 tidak didapatkan berbeda bermakna antara kelompok gangguan pendengaran sensorineural dengan kelompok normal (p=0,578). Selain itu, tidak didapatkan perbedaan bermakna pada nilai amplitudo gelombang P300 antara kelompok gangguan pendengaran sensorineural dengan kelompok normal (p = 0,885). Selain itu tidak didapatkan hubungan bermakna antara amplitudo P300 dengan kejadian gangguan pendengaran sensorineural (p = 0,403). Kesimpulan. Gangguan pendengaran sensorineural tidak berhubungan dengan kelainan fungsi kognitif yang dinilai dengan gelombang P300. Penggunaan alat bantu dengar yang lebih awal pada subjek dengan gangguan pendengaran sensorineural dapat mempengaruhi hasil pada studi ini.

Background. Hearing disorder negatively impacts cognitive development. Cognitive assessment in children with sensorineural hearing loss is necessary to administer appropriate intervention. P300 is one of the auditory event-related potentials commonly used in neurophysiological examination to objectively assess cognitive function. Aim. To identify the effect of sensorineural hearing loss on cognitive function in children aged 7 to 15 years old by evaluating P300 waveform. Methods. This cross-sectional study consisted of 15 subjects with sensorineural hearing loss and 15 subjects with normal hearing function who met the inclusion criteria. P300 latency and amplitudes were recorded and analyzed. Results. The mean P300 latency between the study group and the control group was not statistically significant (p = 0.578). There was no significant difference in the amplitude of the P300 wave between the study group and the control group (p = 0.885). In addition, there were no significant association between P300 amplitude and sensorineural hearing loss (p = 0.403). Conclusion. In this study, sensorineural hearing loss is not associated with cognitive disorders as measured by P300. Early diagnosis and early hearing aid use were thought to mediate the association between sensorineural hearing loss and cognitive disorder in this study."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dessy Ekayusnita
"Latar belakang : Teknisi pesawat terbang militer merupakan salah satu profesi yang berisiko terpajan bising saat bertugas. Aktivitas penerbangan militer dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran akibat bising (GPAB). GPAB awalnya tidak dikeluhkan oleh teknisi, namun pada pemeriksaan audiometri nada murni menunjukkan penurunan nilai ambang pendengaran dan bersifat sensorineural. Deteksi dini gangguan pendengaran sebelum terjadi gangguan pendengaran meluas ke frekuensi percakapan sangat penting karena GPAB bersifat permanen namun hal tersebut dapat dicegah. Audiometri nada murni tidak menyertakan frekuensi yang lebih tinggi (>8KHz) dan pemeriksaan ini tidak peka terhadap kerusakan akibat bising yang terjadi pada koklea. High Frequency Audiometry (HFA) dan Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAE) dapat digunakan untuk deteksi dini GPAB. HFA mengevaluasi ambang pendengaran pada frekuensi yang lebih tinggi dari 8000 Hz. DPOAE dapat menilai sel-sel rambut luar koklea yang sensitif terhadap pajanan bising yang berlebihan dan dapat digunakan untuk deteksi dini GPAB. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran DPOAE, audiometri nada murni, HFA dan faktor-faktor yang mempengaruhi gambaran DPOAE dan HFA. Penelitian ini juga untuk mengetahui kesesuaian antar gambaran audiometri dengan DPOAE pada teknisi yang terpajan bising mesin pesawat di Skadron Udara 2. Metode: Penelitian dilakukan 27 Desember 2021- 14 Januari 2022 di Skadron Udara 2 dan RSAU dr. Esnawan Antariksa. Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang (cross sectional) dengan subjek penelitian adalah teknisi mesin pesawat terbang di Skadron Udara 2 yang berusia 20-58 tahun, semuanya pria, dengan masa dinas minimal lima tahun dan bebas bising 12 jam sebelum pemeriksaan. Subjek penelitian didapatkan 50 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Pemeriksaan menggunakan audiometri nada murni, HFA dan DPOAE Hasil: Berdasarkan DPOAE, terdapat 23 subjek (46%) dengan SNR<6 pada telinga kanan dan 25 subjek (50%) dengan SNR <6 pada telinga kiri. Berdasarkan pemeriksaan audiometri nada murni menunjukkan 18 subjek (36%) terdapat peningkatan intensitas pada telinga kanan dan 15 subjek (30%) dengan peningkatan intensitas pada telinga kiri. Berdasarkan hasil hasil pemeriksaan HFA, menunjukkan 14 subjek (28%) terdapat peningkatan intensitas pada telinga kanan dan 13 subjek (26%) dengan peningkatan intensitas pada telinga kiri. Faktor risiko yang paling berpengaruh pada hasil DPOAE dan HFA adalah pemakaian alat pelindung pendengaran. Pada pemeriksaan audiometri dan DPOAE pada frekuensi 3 kHz dan 10 kHz menunjukkan hubungan bermakna dengan kesesuaian yang moderate (cukup), frekuensi 4 kHz dan 6 kHz terdapat hubungan bermakna dengan kesesuaian yang kuat sedangkan pada frekuensi 8000 terdapat hubungan bermakna dengan kesesuaian yang lumayan (fair) Kesimpulan: Audiometri nada murni, HFA dan DPOAE dapat digunakan saling melengkapi dalam mendeteksi dini GPAB

Background: Military aircraft technician is one of the professions with risk of being exposed to noise. Military aviation activities can cause noise-induced hearing loss (NIHL). NIHL ​​was not initially complained by workers, but on pure tone audiometry examination showed a decreased hearing threshold value and was sensorineural. Early detection of hearing loss before hearing loss extends to the frequency of conversation is very important because NIHL is permanent but can be prevented. Pure tone audiometry excludes higher frequencies (>8KHz) and is insensitive to noise-induced damage to the cochlea. High Frequency Audiometry (HFA) and Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAE) can be used for early detection of NIHL. HFA evaluates hearing thresholds at frequencies higher than 8KHz. DPOAE can assess cochlear outer hair cells that are sensitive to excessive noise exposure and can be used for early detection of NIHL. Objective: This study was conducted to determine DPOAE, pure tone audiometry, HFA and the factors that affect DPOAE and HFA images on technicians exposed to aircraft noise in Air Squadron 2. This research also determine the compatibility of audiometric images with DPOAE on technicians exposed to noise. Methods: The study was conducted December 27th ,2021 until January 14th ,2022 at the Squadron 2 and Esnawan Antariksa Air Force Hospital. This research use cross sectional design with the subjects are aircraft engine technicians in Air Squadron 2 aged 20-58 years, all men, with a minimum service period of five years and noise-free 12 hours before the examination. The subjects of this study were 50 subjects who met the inclusion criteria. Examination using pure tone audiometry, HFA and DPOAE. Results: Based on the DPOAE, there were 23 subjects (46%) with SNR <6 in the right ear and 25 subjects (50%) with SNR <6 in the left ear. Based on pure tone audiometry examination, there were 18 subjects (36%) with an increased intensity in the right ear and 15 subjects (30%) with an increased intensity in the left ear. Based on the HFA examination, there were 14 subjects (28%) with an increased intensity in the right ear and 13 subjects (26%) with an increased intensity in the left ear. The use of hearing protection equipment is the most influenced risk factor which affected the results of DPOAE and HFA. On audiometric and DPOAE examination at a frequency of 3 kHz and 10 kHz showed a significant relationship with moderate (adequate), frequencies of 4 kHz and 6 kHz there was a significant relationship with conformity, while at a frequency of 8000 there was a significant relationship with fair compliance. Conclusion: Pure tone audiometry, HFA and DPOAE can be used complementary in early detection of NIHL"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Hajarani
"ABSTRAK
Latar belakang:Bayi laringomalasia primer memiliki komorbiditas yang tinggi akibat silent aspiration. Hingga saat ini, belum diketahui prevalensi disfagia dan data mengenai gambaran fungsi menelan bayi laringomalasia primer. Tujuan penelitian: Mengetahuiprevalensi disfagia dan gambaran fungsi menelanpada bayi laringomalasia primersertamengetahui kesesuaian antara SEES dan FEES.Metode: Penelitiancross-sectional yang bersifat deskriptifdan analitik komparatif terhadap 34subjek bayi laringomalasia primersecara konsekutif di RS Dr. Cipto Mangunkusumoperiode Januari-Maret 2020. Hasil:Prevalensi disfagiapada bayi laringomalasiaprimersebanyak 9 dari 34 subjek (26,5%). Gejala disfagia pada bayi< 6 bulan tersering adalah regurgitasi dan apneasaat menyusu (5/6), sedangkan pada bayi>6 bulan adalah terdengar banyak lendir di tenggorok (3/3). Komorbid terbanyak adalah kelainan genetikdan PRGE(3/9). Komplikasi terseringadalah pneumonia aspirasi (6/9). Pada pemeriksaan awal FEES, kontrol postural terganggu(7/9) merupakantanda yang paling sering ditemukan. Pada pemeriksaan FEES, preswallowing leakagedidapatkan pada konsistensi puree, tim saring, dan tim kasar. Pada pemeriksaan SEES dan FEES, residu, penetrasi,dan aspirasipalingbanyak didapatkan pada konsistensi susu. Silent aspirationdidapatkan pada4 dari 9subjek dengan disfagia. Pemeriksaan SEES memiliki kesesuaian dengan FEES berdasarkanuji McNemarpadaparameter ada tidaknya penetrasi, residu, dan aspirasi.Kesimpulan:Prevalensi disfagia pada bayi laringomalasia primersebanyak 9 dari 34 subjek(26,5%), penetrasi dan aspirasi didapatkan pada konsistensi air dan susuterutama pada bayi< 6 bulan, dan SEES memiliki kesesuaian dengan FEESdalam menilai fungsi menelanberdasarkan parameter ada tidaknya residu, penetrasi, dan aspirasi.

Background:Silent aspiration is oftenunrecognized comorbidity in infants with congenital laryngomalacia with serious medical consequence. However, prevalence of dysphagia and characteristic of dysphagia ininfants with congenital laryngomalacia is still unknown. Aim: To find the prevalence and the overview of swallow function in infants with congenital laryngomalacia and also to know the conformity between SEES and FEES in assessing swallow function. Methods:This is a descriptive cross-sectional and comparative analytic study involving 34 infants with congenital laryngomalacia who came consecutivelytoDr. Cipto Mangunkusumo Hospitalon January-March 2019. Results: The prevalence of dysphagia was 9 out of 34 subjects (26,5%).Dysphagia symptom in infants<6 months was regurgitation and apneawhile bottle/breast feeding (5/6). Meanwhile, in infants>6 monthswaswet sounding voice (3/3). The comorbidities found mostly were geneticanomaly and GERD(3/9). The complication mostly was aspiration pneumonia (6/9). In pre-FESS examination, poor postural controlwas dominant(7/9). In FEES examination, preswallowingleakagewas found in puree, soft steam porridge, and rough steam porridge. In FEES and SEES examination, residue, penetration, and aspirationwas mostly found inthick liquid. Silent aspiration was found in 4 out of 9subjects with dysphagia. SEES has a conformity to FEES based on McNemar test in the presence of residue, penetration, and aspiration. Conclusion: The prevalence of dysphagia in infants with congenital laryngomalaciawas9 out of 34 subjects(26,5%). In FEES examination, penetration,and aspiration were found mostly in thin liquid, <6months of age predominantly.SEES has a conformity to FEES based on presence of residue, penetration, and aspiration in assessing swallow function."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Melati
"Salah satu penyebab hidung tersumbat adalah disfungsi katup hidung, baik akibat kolapsnya katup hidung luar KHL atau sempitnya katup hidung dalam KHD. Namun hal ini belum ada data di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan besar sudut KHD dan tahanan udara hidung TUH dengan penilaian subjektif hidung tersumbat pada orang Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar untuk penelitian selanjutnya dan menjelaskan peran KHD pada ras Asia, khususnya orang Indonesia. Studi kasus kontrol terdiri atas 40 kasus hidung tersumbat dan 80 kontrol tanpa keluhan hidung tersumbat. Kedua kelompok dilakukan penilaian subjektif dengan kuesioner Nasal Obstruction Symptom Evaluation NOSE. Penilaian objektif terdiri atas pengukuran besar sudut KHD dengan nasoendoskopi dan TUH dengan rinomanometri aktif anterior. Penelitian ini mendapatkan besar sudut KHD kanan kelompok kasus sebesar 15,5 10,1 p = 0,123 dan sudut KHD kiri 17,2 9,0 p = 0,022. Pada kelompok kontrol, sudut KHD kanan 19,6 11,8 p = 0,123 dan sudut KHD kiri 23,2 12,5 p = 0,022. Studi ini mendapatkan bahwa kombinasi besar sudut KHD kanan ndash; kiri dan total TUH saja, tidak mampu berdiri sendiri untuk menjelaskan hubungannya terhadap fenomena kompleks hidung tersumbat yang dinilai menggunakan kuesioner NOSE. Penilaian hidung tersumbat perlu mempertimbangkan faktor lain, yaitu dinamika fisiologis dan kelainan mukosa lainnya seperti kondisi konka inferior, adanya septum deviasi yang menyempitkan area KHD, kelapangan kavum nasi, keberadaan/kondisi NSB, dan bentuk KHD setiap lubang hidung, sebagai sebuah kesatuan.

One of the cause for nasal obstruction is nasal valve dysfunction, which may happen due to collapsing external nasal valve ENV or narrowing of the internal nasal valve INV angle. There is no published data in Indonesia, in regards to this matter. This thesis aims to investigate the relation of INV angle and nasal airway resistance NAR in regards to subjective complaint of nasal obstruction in Indonesian. This thesis also hope to contribute as basic data for future studies and may provide explanation about the role of INV in Asian, especially Indonesian. A case control study was conducted with 40 cases of nasal obstruction and 80 controls without nasal obstruction. Both groups' subjective evaluation was examined using Nasal Obstruction Symptom Evaluation NOSE quessionaire. Objective assessments such as INV angle using nasoendoscopy and NAR using active anterior rhinomanometry. The right INV angle in case group was 15,5 10,1 p = 0,123 and left INV angle was 17,2 9,0 p = 0,022. In the control group, the right INV angle was 19,6 11,8 p = 0,123 and left INV angle was 23,2 12,5 p = 0,022. This study shows the combination of right-left INV angle and total NAR alone are not sufficient to explain the complex phenomena of nasal obstruction which was measured using NOSE questionnaire. Nasal obstruction evaluations should consider other factors such as the physiology dynamics and other mucosal state such as the inferior turbinate's condition, presence of septal deviation which narrowed the INV area, wide nasal cavity, presence of NSB and the shape of INV in each nostril as a unit."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library