Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indah Saraswati
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Refluks laringofaring (RLF) dipertimbangkan sebagai salah satu faktor risiko karsinoma laring dengan proporsi yang cukup tinggi. Pemeriksaan ELISA pepsin dapat menjadi pemeriksaan penunjang untuk RLF yang tidak invasif dengan nilai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Tujuan: Mengetahui sebaran karakteristik pasien karsinoma laring, proporsi RLF berdasarkan kadar pepsin pada pasien karsinoma laring dan hubungan RLF berdasarkan kadar pepsin dengan karakteristik pasien karsinoma laring. Metode: Desain penelitian observasional analitik dengan jumlah subjek karsinoma laring sebanyak 26 orang. Subjek diminta untuk mengumpulkan sputum sebanyak 2 kali (pepsin I dan pepsin II) untuk kemudian dilakukan pemeriksaan ELISA pepsin. Hasil: Didapatkan 24 dari 26 subjek berjenis kelamin laki-laki dengan rerata usia 60,65±8,41 tahun, 7 subjek peminum alkohol berat, 12 subjek perokok berat dan 24 subjek merupakan stadium lanjut karsinoma laring. Semua subjek didapatkan menderita RLF dan didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar pepsin I (daytime/ provoked RLF) dengan konsumsi alkohol serta perbedaan bermakna kadar pepsin I dengan perokok berat dan ringan. Kesimpulan: Refluks laringofaring dapat menjadi faktor risiko bersamaan dengan konsumsi alkohol dan rokok pada pasien karsinoma laring. ELISA pepsin dapat menjadi pemeriksaan penunjang adanya RLF terutama pada pasien dengan karsinoma laring mengingat sifatnya yang tidak invasif dan cukup murah.
ABSTRAK
Background: Laryngopharyngeal Reflux (LPR) is suspected to be a risk factor for laryngeal cancer with a high prevalence according to recent studies. ELISA pepsin can be used in diagnosing LPR as it is a noninvasive technique with great sensitivity and specificity. Objectives: To find the characteristics of laryngeal cancer patient, proportion of LPR based on the pepsin value and correlation between LPR based on the pepsin value and the characteristics of laryngeal cancer patient. Methods: Observational analytic study with 26 subjects of laryngeal cancer. All subjects were asked to collect the sputum twice (pepsin I and pepsin II) to evaluated later with ELISA. Result: Twenty four out of 26 subjects were male with mean age 60,65±8,41 years, 7 subjects were severe drinkers, 12 subjects were severe smokers and 24 subjects were late stage laryngeal cancer. All of the subjects were diagnose with LPR and there was a significant correlation between the value of pepsin I (daytime/ provoked LPR) with alcohol consumption and also a significant difference of the value of pepsin I in heavy and light smoker. Conclusion: LPR could be considered as a risk factor together with alcohol consumption and smoking status. ELISA pepsin could be a supporting examination for LPR especially in laryngeal cancer patient as it is a noninvasive and inexpensive method.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bintari Nareswari
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Abses leher dalam adalah keadaan infeksi yang dapat menyebabkan komplikasi serius sehingga angka morbiditas dan mortalitasnya cukup tinggi. Anatomi kompleks leher dan lokasi ruang yang dalam membuat diagnosis dan penatalaksanaan menjadi sulit. Pemeriksaan laboratorium, Computed Tomography (CT) scan dan kultur kuman berperan penting dalam diagnosis maupun tatalaksana abses leher dalam, sehingga penyakit penyerta dan komplikasi dapat terdeteksi secara dini. Tujuan: Mengetahui metode penegakan diagnosis abses leher dalam, gambaran penyakit penyerta dan komplikasi. Metode: Desain penelitian ini adalah studi potong lintang bersifat deskriptif analitik secara retrospektif pada 85 percontoh. Hasil: Laki-laki lebih banyak menderita abses leher dalam (72,9%), faktor etiologi terbanyak adalah odontogenik (60%), ruang peritonsil paling banyak terlibat (42,4%). Penyakit penyerta terbanyak adalah hipertensi dan diabetes melitus, komplikasi yang terbanyak menyebabkan kematian adalah sepsis. Diabetes melitus meningkatkan risiko kematian (p=0,041). Sefalosporin dan metronidazol masih disarankan sebagai antibiotik empiris. Kesimpulan: Tatalaksana abses leher dalam khususnya penderita yang menjalani rawat inap tidak optimal karena pemeriksaan kultur dan CT scan leher belum dilakukan secara rutin. Metode diagnostik terbaik dan tatalaksana komprehensif yang mengikutsertakan departemen terkait lainnya harus selalu dilakukan pada penderita abses leher dalam dengan penyakit penyerta
ABSTRAK
Background: Deep neck abscess is an infection causing serious complications resulting in high morbidity and mortality. The complex deep neck anatomy makes diagnosis and treatment difficult. Laboratory examination, Computed Tomography (CT) scan and bacterial culture play important roles in the diagnosis and treatment of deep neck abscess, so that comorbidities and complications can be detected in early stage. Purpose: To understand the best diagnostic methods, comorbidities and complications. Methods: The study design was cross-sectional study, retrospective analytic descriptive in 85 samples. Results: Men are more likely to suffer from deep neck abscess (72,9%), odontogenic is the most common etiologic factor (60%), the most involved space is peritonsillar space (42,4%). Hypertension and diabetes mellitus are the most common comorbid diseases, sepsis is a dominant complication leading to death. Diabetes mellitus increases the risk of death (p=0,041). Cephalosporin and metronidazol are still recommended as empiric antibiotics. Conclusion: The treatment of deep neck abscess particularly hospitalized patients is not optimum because bacterial culture and CT scan examination are not performed regularly. The best diagnostic methods and comprehensive management involving other relevant departments should always be performed in patients with deep neck abscess with comorbidities
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Agustawan Nugroho
Abstrak :
Latar belakang: Otitis media efusi adalah penyebab tersering gangguan pendengaran pada anak-anak di negara berkembang. Diagnosis dan penatalaksanaan OME pada anak sering terlambat karena jarang dikeluhkan. OME merupakan penyakit yang memiliki banyak faktor risiko. Salah satu faktor risiko OME yang saat ini banyak dihubungkan dengan kelainan di telinga tengah adalah refluks laringofaring. Tujuan: Mengetahui peran refluks laringofaring sebagai faktor risiko OME pada anak-anak. Metode:Pemeriksaan penapisan 396 anak pada tahap pertama dan 1620 anak pada tahap kedua untuk mencari 46 anak yang masukkategori OME sebagai kelompok kasus, kemudian pemilihan 46 anakkelompok non OME sebagaikontrol secara acak, menyepadankan usia dan jenis kelamin. Pada kedua kelompok dilakukan wawancara, pengisian kuesioner, pemeriksaan THT dan pemeriksaan laring dengan nasofaringoskopi serat lentur untuk mendiagnosis refluks laringofaring. Hasil: Proporsi refluks laringofaring pada kelompok OME lebih tinggi dibandingkan non OME, yaitu sebesar 78,3% dan 52,2%.Terdapat hubungan bermakna antara refluks laringofaring dan OMEdengan nilai odds ratio (OR)3,3 dan interval kepercayaan (IK) 95% antara 1,33 sampai 8,187; p=0,01). Kesimpulan:Refluks laringofaring merupakan faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya otitis media efusi.
Background: Otitis media with effusion (OME) is the most cause of hearing impairment in children of developing countries. OME is usually late in diagnosis and management due to the lack of patient’s complaints. OME is a disease that has many risks factor. One of the risk factor in developing OME, that is currently being studied, is its relationship with laryngopharyngeal reflux. Purpose: To know the role of laryngopharyngeal reflux as a risk factor for OME. Methods: Examination of the first stage was performed to 396 children and the second stage was performed to 1620 children. Using the exclusion and inclusion criteria, 46 children were accounted as the case group. Forty six children for control group was randomly taken from non OME patients whichmatched with age and sex from the case group. Both groups were treated equally with history taking, questionnaire filling, ENT examination and larynx examination using fiberoptic flexible laryngoscope to diagnose whether there is laryngopharyngeal reflux or not. Results: The proportional of laryngopharyngeal reflux in OME group is higher compared to non OME group, with 78,3% and 52,2%. There is a significant relationship between laryngopharyngeal reflux and OME with an odds ratio (OR) 3,3 and confidence interval (CI) 95% of 1,33-8,187 (p=0,01). Conclusion: Laryngopharyngeal reflux is a risk factor that has significant relationship with OME.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afrina Yanti
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Celah palatum merupakan salah satu kelainan kraniofasial kongenital yang sering terjadi. Otitis Media Efusi (OME) merupakan kelainan telinga tengah yang sering terjadi pada pasien celah palatum. Angka kejadian OME dikatakan hampir terjadi 90% pada pasien dengan celah palatum. Timpanometri telah dikenal sebagai salah satu alat yang cepat, aman, non invasif dan mudah untuk menilai keadaan telinga tengah secara kualitatif kuantitatif. Studi mengenai keadaan telinga tengah pada pasien celah palatum telah dilakukan menggunakan timpanometri, akan tetapi sampai saat ini belum pernah dilaporkan penelitian mengenai gambaran timpanogram pada pasien celah palatum berdasarkan nilai kuantitatif timpanometri Tujuan: Mengetahui gambaran timpanogram pada anak usia 6 bulan -7 tahun dengan celah palatum. Metode: Penelitian potong lintang dengan tiga puluh pasien (17 laki-laki, 13 perempuan) celah palatum menurut klasifikasi veau, rentang usia 6 bulan – 7 tahun (nilai median 26,5(7-48) bulan) dilakukan pemeriksaan timpanometri menggunakan timpanometer 226 Hz dan dinilai berdasarkan klasifikasi Jerger-Liden. Hasil : Terdapat 58 dengan gambaran timpanogram tipe B sebanyak 70,7%. Nilai kuantitatif timpanometri yaitu nilai SAA (0,1-0,2) cm3 ,nilai TPP (-197,2-(-146,8)) daPa, nilai Vec (0.5 -0.6)cm3 dan nilai gradient (0,03-0.07)cm3. Uji fisher didapatkan perbedaan bermakna antara usia dengan jenis timpanogram (p=0,039) dengan risiko terjadinya timpanogram tipe B dan C pada usia kurang dari sama dengan 5 tahun (6-60 bulan) 4,8 kali. Kesimpulan: Gambaran timpanogram tipe B merupakan yang terbanyak pada pasien celah palatum usia 6 bulan – 7 tahun dengan nilai kuantitatif timpanometri lebih rendah dibandingkan nilai normal. Terdapat perbedaan bermakna antara usia dengan jenis timpanogram
ABSTRAK
Background: Cleft palate is one of the common congenital craniofacial deformities. Otitis media effusion (OME) is a frequent middle ear disease in cleft palate patient. The prevalence of OME is almost 90% in cleft palate patient. Tympanometri has been known as a fast, safe, noninvasive and easy tool in diagnosing the middle ear qualitative-quantitatively. Study about the middle ear condition in cleft palate has been detected using tympanometry, but up until now there is no research about the picture of tympanogram in cleft palate patient. Purpose: To know the picture of tympanogram in children aged 6 months to 7 years with cleft palate. Methods: This is cross sectional research. Thirty patients (17 male, 13 female) with Veau classification of cleft palate aged 6 month – 7 years ( median (26,5(7-48) month) have bent underwent tympanometry examination using tympanometer 226 Hz. Tympanogram was classified using the Jerger – Liden classification. Result: There were 58 ears that could be examined with tympanogram type B as the most frequent picture (70,7%). The quantitative value of tympanometry was SAA (0,1-0,2) cm3 ,TPP value (-197,2-(-146,8)) daPa,Vec value (0.5 -0.6)cm3 and gradient value (0,03-0.07)cm3 Using the fisher test, there was a significant relation between age and the type of tympanogram (p=0.0039) with the risk of tympanogram type B and C in infants (6-60 months) as high as 4,8 times. Conclusion: The type B tympanogram picture is the most frequent type in cleft palate patint age 6 month – 7 years with the quantitative value of tympanometry lower than the normal value. There was a significant difference between age and the type of tympanogram
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library