Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 701 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wawan Christiawan
Abstrak :
Teks drama karya dramawan pribumi hingga saat ini tidaklah cukup banyak tersedia sehingga para pekerja teater kita beralih mengkomsumsi teks drama terjemahan asing. Kehadiran teks drama asing yang diterjemahkan cukup diminati oleh kelompok-kelompok teater di Indonesia, membuktikan bahwa teks-teks-drama asing yang disadur turut mendukung pertunjukan-pertunjukan panting dalam panggung teater modem Indonesia. Para sutradara-penulis Indonesia tidak menerima begitu saja kehadiran teks-drama asing dengan konteks budaya sumbernya, dengan daya kreatifnya para pekerja teater kita nencoba untuk berkompromi dan berinisiatif dalam menemukan padanan tafsir budaya yang serasi antara teks drama asing dan teks saduran pribumi pada pertunjukan-pertunjukan mereka. Dalam konteks tersebut para pekerja teater di Indonesia memiliki kesadaran untuk menggali kembali sumber-sumber budaya yang telah ada. Pandangan tersebut bukanlah sebuah sikap yang negatif pada teks drama asing. Namun hal tersebut penulis pandang sebagai sebuah kepekaan Baru dari pekerja teater modern Indonesia dalam menerima pengaruh budaya sumberlasing maupun terhadap potensi budaya sasaranllokal-tradisionalnya. Meski banyak teks drama asing dipentaskan di panggung teater modern Indonesia namun secara .bentuk mereka tampil dalam bentuk wajah teater pribumi. Dengan kesadaran tetap berpijak pada tradisi milik sendiri, paling tidak mereka sadar bahwa mereka telah melestarikan budaya bangsanya. The Glass Menagerrie [1944] adalah salah satu adikerya Tennessee Wiliams yang menjadi salah satu kanon sastra drama Amerika. Karya tersebut bahkan telah menjadi adikarya sastra milk dunia, karena teks-drama tersebut bukan saja dibaca dan menjadi kajian, bahkan teks-drama tersebutpun telah dimainkan oleh berbagai kelompok teater di seluruh dunia. Di tangan ketiga sutradara-penulis Indonesia Teguh karya dari Teater Popular dan Suyatna Anirun dan Jim Urn dari Studikiub Teater Bandung, teks drama The Glass Menagerie [1944] karya Tennesee Williams disadur ke dalam budaya Indonesia. Kajian dalam thesis ini berupaya menguak fenomena di atas dengan menggunakan perdekatan kajian bandingan dan kajian interkultural.yakni memeriksa kekhasan penyaduran Berita kandungan muatan budaya dalam sastra sumber dan sastra sasaran. Salah satu ciri khas Teguh Karya bersama Teater Popular adalah banyak mengadaptasi teks drama asing dengan mengambil bentuk budaya sasaran dari berbagai sumber etnik di tanah air. Teguh Karya berorientasi pada pilihan bentuk warna lokal Indonesia. Sedangkan Studiklub Teater Bandung mengambil pilihan bentuk warna lokal Sunda dan Jawa. Mereka berkarya dalam semangat teater modern Indonesia namun mereka tetap gigih dalam mempertahankan warna lokal kebudayaan mereka.
Since the plays of indigenous dramatists have not been available on its existence, our theater-workers take over to choose foreign plays. It takes an interesting for some theatre groups in Indonesia by viewed that the adaptation plays have supported any significant performing events in the term of Indonesian Modern Theatre. Some directors-writers in Indonesia do not accept directly as well as its source culture, but with their creativity, they try to take an initiative to harmonize with the cultural interpretation between foreign plays and indigenous plays. Therefore, the theatre-workers in Indonesia have a conciscousness to re-explore the source of their own culture. This view does not pretend to be negative effect to foreign plays but it is a new sensibility of expression from the theatre-workers in accepting of new influence from foreign culture as a source to indigenous culture as a target. Most of plays have performed in the theatre events, even though as the form, they present in the face of indigenous theatre. With the conciscousness to keep their own tradition, they believe this way can maintain the national culture. The Glass Menagerrie (1944) is one of the greatest play of Tennessee Williams. It is a canon for American plays and also its influence to the world. It could be read not only in theoritical term, but has been performed by almost theatre groups all over the world. In hand of three Indonesian directors-writers, Teguh Karya from Teater Popular, Suyatna Anirun and Jim Lim from Studiklub Teater Bandung, the play of The Glass Menagerrie's Tennessee Williams (1944) adapted in Indonesian culture. The point of this thesis is to create to view its phenomena by using approachment of the comparison studies and intercultural studies, while examining the particular adaptation on source literate and target literate. One of the characteristic of Teguh Karya and Teater Populer is mostly working in plays adaptation by taking cultural forms from any ethnic source culture in Indonesia. Teguh Karya' has oriented his concern to indigenous forms and Studiklub Teater Bandung takes an inspirations from Sudanese and Javanese culture. They both create in the spirit of Indonesian Modern Theatre and also still keep the consistence in the indigenous culture.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T418
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yeni Artanti
Abstrak :
Adaptasi novel ke film atau sebaliknya selalu menimbulkan perubahan sebagai akibat perubahan media dan perubahan interpretasi penulis dan sutradara. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menemukan perubahan unsur-unsur cerita dan penceritaan yang terjadi sebagai akibat adaptasi novel Le Colonel Chabert ke dalam film, (2) dan menemukan dampak yang ditimbulkan perubahan-perubahan tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan Strukturalisme, yang memfokuskan pada unsur-unsur intrinsik suatu karya. Unsur-unsur novel dan film yang dianalisis dan dibandingkan dalam penelitian ini adalah alur penyajian kedua, alur sebab-akibat, tokoh dan penokohan, latar ruang dan waktu, pada keduanya. Sudut pandang dalam penelitian ini hanya dianalisis sesuai dengan kebutuhan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat persamaan dan sekaligus perbedaan dalam alur penyajian dan alur sebab akibatnya, tokoh dan penokohan serta latar ruang dan waktu pada novel dan film. Cerita pada keduanya pada dasarnya sama tetapi detil-detil yang berlimpah dan pengulangan-pengulangan perang dalam film Le Colonel Chabert rnembuat film lebih tampak realistis dan padat daripada novelnya. Demikian juga pada ketidakterpusatan penokohan dalam film memberikan kesan bahwa film terasa lebih menyajikan suatu peristiwa yang bisa menimpa semua manusia. Pemadatan latar ruang dan waktu selain karena kebutuhan sinematografis yang bertujuan untuk mengikat penonton pada satu ruang dan waktu yang terbatas, juga mampu menimbulkan kesan yang tampak lebih realistis jika dibandingkan dengan novelnya. Semua perbedaan tersebut menunjukkan adanya perbedaan interpretasi sutradara atas cerita novel Le Colonel Chabert karya Honore de Balzac.
Narrative Changes and Presentation in The Adaptation Into Film of The Novel Le Colonel Chabert : Comparison StudyThe adaptation of any novel into film, or vice verse, always result in some changes due to the change of medium and to the interpretation of the author and the film director. This thesis aims to (1) study the changes in the elements and the presentation of the story that are results of the adaptation of the novel Le Colonel Chabert into film, (2) and study the effect of these changes. The method used in this analysis is structuralism, focusing on the intrinsic elements of the work. The elements of the story to be analyzed in this thesis are the plot, the characters, the background, and the timing. The result of this thesis shows that there are similarities and differences in plot, character, time and space and their presentation in the film and the novel. The story remains the same in the film but the discourse slightly changes. But the amount of details, and the number of repetition of the some elements, especially the war event, the abundance of details of the character and space-time in the film increased the realistic impression. The compression of the time of story in the film is pure cinematic consideration due to the limited duration. The whole differences reveal the specific interpretation of the director on the sad story, and the need of cinemato graphical language.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T820
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Etty Andriaty
Abstrak :
Tujuan dari penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui dan membandingkan: istilah indeks yang dihasilkan penulis artikel, pustakawan dan rumus frekuensi kata; 2) mengetahui konsistensi antara istilah indeks yang dihasilkan penulis artikel, pustakawan dan rumus frequensi kata.

Penelitian ini dilakukan terhadap artikel "Indonesian Journal of Crop Science" (IJCS) tahu 1985 s.d. 1997, 'dengan populasi penelitian sebanyak 66 artikel, sedangkan sampel penelitian sama dengan populasi. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumenter, sedangkan pengolahan data menggunakan perangkat lunak Microsoft Words versi 97. Data yang terkumpul dianalisa dengan menggunakan rumus Zipf.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) jumlah seluruh kata yang muncul dalam UCS tahun 1985 s.d. 1997 adalah 141.371 kata, termasuk didalamnya kata buangan (stop words) sebanyak 42,7 %. Jumlah kata unik yang muncul adalah 34.750 kata; 2) istilah indeks yang dihasilkan penulis artikel terdiri Bari 194 (48 %) kata tunggal, dan 210 (52 %) frase, istilah indeks yang dihasilkan pustakawan terdiri dari 226 (52 %) kata tunggal dan 209 (48 %) frase, sedangkan istilah indeks yang dihasilkan rumus frekuensi kata berjumlah 603 kata tunggal; 3) Dari seluruh istilah indeks yang terbentuk, 27 % dibuat oleh penulis artikel, 32 % dibuat oleh pustakawan, dan 41 % terbentuk dari rumus frekuensi kata; 4) Dari seluruh istilah indeks berbentuk kata tunggal yang dibuat penulis artikel, 20 % sama dengan istilah indeks yang terbentuk melalui rumus frekuensi kata, sedangkan dari seluruh istilah indeks berbentuk kata tunggal yang dibuat pustakawan, 25 % sama dengan istilah indeks yang terbentuk dari rumus frekuensi kata; 5) pustakawan lebih konsisten dibandingkan penulis artikel dan rumus frekuensi kata karena menggunakan bahasa indeks terkendali.
Study of Comparison between Index Terms Produced by Authors and Librarians: the Case of Indonesian Journal of Crop Science.The objective of this research are as follows (1) to compare index terms produced by authors, librarians, and word frequency formula, and (2) to observe inter-indexer consistency.

This research used Indonesian Journal of Crop Science. (IJCS) 1985 - 1997. The samples and the population were 66 articels. Data were collected using documenter method and than processed by using Microsoft Word 97, and analysed by using Zipf's law.

The result showed that : (1) the total amount of word occurrence in the article of International Journal of Crop Science in 1985 - 1997 were 141,371 words including 42.7% stop words. The unique term occurrence were identified as much as 34,750 words; (2) the authors and the librarians produced single words and frase index terms, but all of index terms produced by word frequency formula were in single word form; (3) from all of the index terms, 27% were produced by authors, whereas 32% by librarians, and 41% by word frequency formula; (4) from all of the single word index terms produced by authors, 20% of them were similar to word frequency formula index terms, whereas from all of the single word index terms produced by librarians, 25% of them were similar to word frequency formula; 5) librarian are more consistence than authors or word frequency formula. Further research are required in this field.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T132
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susilawati Endah Peni Adji
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan - gambaran sikap dan posisi perempuan; fungsi penggambaran posisi-tinggi perempuan dalam bidang supranatural; serta sikap implied author terhadap sistem patriarki dan isu gender - dalam cerpen-cerpen Danarto. Dengan menggunakan teori kritik sastra feminis yang beperspektif kritik ideologis, tulisan ini mendekonstruksi teks cerpen cerpen Danarto yang selama cenderung dinilai mengungkapkan permasalahan religiusitas. Dengan perspektif ini dihasilkan gambaran bahwa sikap perempuan sangatlah ambivalen, dan posisi mereka juga bervariasi. Perempuan golongan tua dari kelas atas cenderung mendukung sistem patriarki. Perempuan muda dari kelas atas cenderung bersikap protes dan menggugat terhadap sistem patriarki. Sementara perempuan dari kelas bawah tidak hanya ditindas oleh kelas atas, tetapi juga oleh sistem patriarki. Penindasan ini semakin terlihat ketika ia memasuki bidang publik. Bidang yang di dalamnya perempuan dapat memiliki posisi tinggi dan kekuasaan adalah bidang supranatural. Dengan mengkombinasikan, kritik sastra feminis dan kategori gender yang dikemukakan Scott, tulisan ini menghasilkan deskripsi representasi perempuan simbolik, konsep normatif, institusi dan organisasi sosial, identitas subjektif, serta gender sebagai indikasi hubungan kekuasaan_ Perempuan simbolik yang direpresentasi dalam teks cerpen Danarto memiliki dua citra, baik positif maupun negatif. Citra positif sifat perempuan ini diwujudkan melalui representasi Maria dan Rabi'ah. Citra negatif sifat perempuan diwujudkan dalam representasi Ratu Pantai Selatan (dari pandangan orang awam dan santri). Pembentukan konsep normatif perempuan bersumber dari representasi perempuan simbolik. Pembentukan itu dilakukan oleh patriarki sehingga meletakkan perempuan dalam posisi yang inferior, tunduk, dan ditindas. Dalam pembentukan norma itu digunakan mitos yang berkesan menghargai perempuan, seperti "ratu rumah tangga" dan "surga terletak di telapak kaki ibu". Dalam institusi dan organisasi sosial perempuan kelas bawah dipandang rendah dan tidak dihargai meskipun ia bersikap profesional. Perempuan tetap dipandang sebagai pendatang baru dari bidang domestik yang tenaganya tidak dihargai. Identitas subjektif dalam teks cerpen Danarto terlihat melalui tokoh perempuan mu.da dan kelas atas yang berintelektual. Indikasi hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki dalam teks cerpen Danarto adalah tradisional, sebagai warisan patriarki. Perempuan tetaplah inferior, dibatasi wilayahnya (oleh patriarki) dalam bidang domestik, sementara laki-laki tetaplah superior dan mempunyai wilayah di publik. Lebih jauh, dalam bidang domestik yang dianggap sebagai wilayah perempuan ini pun, perempuan harus tunduk dan terikat dengan aturan sistem patriarki yang mengungkung mereka. Karena dalam kehidupan faktual - .yang meliputi kehidupan dalam bidang domestik dan publik -- perempuan ditindas dan tidak mempunyai kekuasaan, maka perempuan mengkompensasikan diri. ke dalam bidang supranatural, suatu bidang yang di dalamnya perempuan dapat memiliki kekuasaan. Berdasarkan gambaran sikap dan posisi perempuan tersebut tercermin adanya sikap implied author yang bertolak dari pandangan dasar mistik untuk mengungkapkan kondisi faktual perempuan. Tercermin adanya keambivalensian sikap implied author dalam memandang patriarki dan isu gender. Di satu sisi ia menyadari adanya ketimpangan sistem patriarki dalam menempatkan perempuan.. Sehirigga, ia juga menyetujui gerakan feminis yang berusaha menggugat ketimpangan patriarki itu - sebatas gerakan itu tidak menyebabkan perempuan memiliki citra negatif: menggugurkan kandungan. Namun, di sisi lain dia juga tidak menginginkan perubahan pada kemapanan dan kekokohan sistem patriarki itu sendiri. Sehingga, keberhasilan perjuangan feminisme baru dengan isu gendernya itu juga akan sulit terwujud. ......"Gender and Patriarchy in Danarto's Short Stories". This research is objected to show - the pictures of women's attitudes and positions; the function of depiction of women's high-position in the field of supernatural; the implied author's attitudes towards the patriarchy and gender issues- in Danarto's short stories. Applying the theory of Feminist Literary Criticism that has the ideology critique perspective, this writing deconstructs the texts of Danarto's short-stories which, even now, tend to be considered to reveal the religious issues. As a result of this perspective, it is found that woman?s attitudes and their positions are so various. The old women of the upper-class tend to support the patriarchy. While the young women of the upper-class tend to criticize and protest the patriarchy. Meanwhile, the lower-class women are not only oppressed by the upper-class but also oppressed by the patriarchy as well. This oppression is more visible in the public field. The field where the women can possess high-position and power is in the supernatural. Combining the Feminist Literary Criticism and Gender Category, proposed by Scott, this writing offers the descriptions of symbolic women's representations, normative concepts, social institutions and organizations, subjective identities, and gender as a power relationship indication. Symbolic women that are represented in the texts of Danarto's short-stories have two images: both positive and negative. The positive images of the women's characters manifested through the symbolic representations of Maria and Rabi'ah. The negative images of the women's characters manifested by the symbolic representations of Ratu Pantai Selatan (from the layman and santri's point of view). The construction of women's normative concepts derives from the symbolic women's representation. The construction built by the patriarchy, so that the women situated in the inferior, submissive, and ?oppressed positions. In constructing that norms, myths are used, which have impression to highly respect women, such as "The queen of household" and "Heaven lays down on the mother's sole of foot". In the social institutions and organizations, the lower-class women are looked down on and unrespected although they have professional attitudes. That women still considered as the new corners in the domestic field, where their capacities are never taken into consideration. Subjective identities in the texts of Danarto's short stories, axe visible through the young women character of high-class and intellectual. The indication of the power relationship between women and men in the texts of Danarto's short'stories is traditionally, as the patriarchy inheritance. Women are always be the inferior, their authorities are limited (by the patriarchy) in that domestic field. On the other hand, men are always be the superior and have public authorities. Farther, in that domestic field, which is to be the women's region, the women have to submit and cling to the patriarchy rules that bound them. Since in the factual life-which covers the domestic field and public lives- the women are oppressed and they don't have any power, so that they compensate themselves into the supernatural, a spacious where that women can gain the power. Based on the pictures of the women's attitudes and positions, there is an implied author's attitudes which come from the basic view of magic in order to express the women's factual conditions. The implied author has the attitude of ambivalence in looking at the patriarchy and gender issues. On one side, he realizes that there is an unbalance of patriarchy in positioning the women so that, he, too, agrees with the feminist movement which tries to claim that patriarchy defects-as far as that movement does not bring about the women's becoming have negative images: abortion. Meanwhile, on the other side, he does not want the change on. the establishment and strict of the patriarchy itself. In that case, the product of the struggle in the new feminism and its gender issues are also hard to be achieved.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T823
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Philips Abdullah
Abstrak :
Tema kematian sering diangkat dalam karya sastra. Dalam sejarah kesusastraan dunia, tema ini sudah ada sejak zaman kuno. Dalam kesusastraan Indonesia modern, Subagio Sastrowardoyo adalah salah seorang penyair yang sering mengangkat tema kematian. Tercatat sejak awal proses kreatifnya hingga akhir hayatnya tema ini selalu muncul dalam karyanya. Bahkan dalam sajak bertema lain pun, masalah kematian kerap membayangi. Dan sekian banyak karya Sastrowardoyo, lima di antaranya, yaitu "perpisahan", "Matinya Pandawa yang Saleh", "Tamu", "Pertanyaan Bocah", dan "Sufi" dipilih untuk dijadikan obyek penelitian dalam tesis ini. Adapun masalah yang diangkat adalah tentang bagaimana tema kematian disajikan dalam sajak-sajak tersebut. Untuk menunjang analisis, akan digunakan kajian semiotika berdasarkan aspek sintaksis, semantis, dan pragmatisnya.
The theme of death frequently is written in the literary works. In the literary world history, this theme has been since ancient age. In modern Indonesian literature, Subagio Sastrowardoyo is one of the poets who frequently write it. It has been recorded since he began his creativity process until the end of his life this theme usually exists in his works. Even in another theme of his poems, the death often reflects them. Among Sastrowardoyo's poems, five of them, are "Perpisahan", "Matinya Pandawa yang Saleh", "Tamu", "Pertanyaan Bocah", and "Sufi" chosen to be the objects of the research in this thesis. The problem is how the theme of death is presenting in the poems. Theory of semiotics is used to support the analysis base on their syntactic, semantic, and pragmatic aspects.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T822
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Nasrul Chotib
Abstrak :
Kontak pertama bangsa Indian (Amerika dan Meksiko) dengan kulit putih (Amerika) adalah pertemuan dua budaya yang tidak saling memahami. Dari pertemuan tersebut timbul catatan sejarah penindasan dan perlawanan yang panjang. Berbagai kepentingan mulai dari ekonomi, politik, agama, hingga sastra berbaur dan menciptakan benturan ideologi antara dua bangsa tersebut.

Salah satu bentuk benturan ideologis tersebut terwujud melalui kehadiran tokoh-tokoh nativephilia dalam teks. Tokoh nativephilia adalah karakter kulit putih yang sengaja dihadirkan pengarang non-kulit putih dengan keberpihakan dalam bentuk komitmen yang tulus maupun dedikasi yang tinggi kepada pihak terjajah. Adalah fungsi ideologis tokoh ini yang diangkat sebagai masalah utama tesis.

Teori yang digunakan ialah teori Louis Afthusser yang menekankan dua hal : subjek dan aparat ideologis. Subjek ialah anggota masyarakat (pengarang dalam hal ini) yang berposisi tetap di hadapan ideologi sebagai hasil dan proses interpelasi dengan menginternalisasikan kesadaran semu kepada anggotanya. Aparat ideologi dibagi menjadi RSA (Repressive State Apparatus) dan ISA (Ideological State Apparatuses). Perbedaan pertama terletak pada konteks semantik-gramatik (apparatus=tunggal ; apparatuses=jamak) yang membuat kesatuan ISA tidak segera bisa terlihat. Kedua ialah wilayah kerja masingmasing : RSA pada wilayah publik dan 1SA perorangan (swasta). Perbedaan mendasar terletak pada cara kerja masing-masing. RSA pertama kali berfungsi secara represif meski ada kemungkinan menerapkan tindak represif seperti ISA, sementara ISA secara ideologis meski terbuka kemungkinan untuk menerapkan tindak represif seperti RSA.

Untuk kepentingan analisis dihadirkan dua tokoh nativephifia, Father Arnold dalam novel Reservation Blues dan Professor Mate dalam Delia's Song. Masing-masing secara berurutan, mewakili institusi keagamaan dan pendidikan dalam wacana masyarakat kolonial. Selain keberpihakan, tokoh nativephilia dilengkapi pengarang dengan ciri ambivalensi sebagai senjata, yakni jembatan, tekstual untuk melontarkan pesan berupa kritik pada ideology. Pesan pengarang tersebut ditujukan untuk mengungkap wajah lain kolonialisme. Dalam kasus Father Arnold, pengarang memanipulasi ambivalensi dalam nada olok-olok melalui oposisi 'keluguan penjajahan,' sementara Profesor Mattie dalam oposisi 'dedikasi/ supremasi.'

Tampilan kolonialisme ini dapat disimpulkan dalam oposisi 'dominasi/ persuasi' untuk menunjukkan pengokohan ideologi yang berlangsung bukan hanya melalui kekerasan (represi), namun juga terselubung (hegemoni).

Namun, posisi pengarang sebagai subjek bukannya tidak mengandung arus ambivalensi. Arus ini dimanfaatkan kolonialisme untuk menghadirkan siasat dalam menghadapi kritik pengarang dengan menunggangi ambivalensi yang tercipta dari kritik pengarang. Hal ini menimbulkan ambivalensi fungsi dalam kritik pengarang, yakni sebagai kritik yang menyerang sekaligus mengokahkan keberadaan ideologi. Dalam kasus Father Arnold ambivalensi pesan pengarang dibuktikan melalui muatan 'penipu/ penyelamat,' sementara Profesor Mattie muatan 'penjajah/ pembebas.' Muatan ambivalensi tersebut menyiratkan sisi anglophilia pengarang yang secara tak sadar turut mempertahankan keberadaan kolonialisme di antara bangsanya sendiri. Dalam kasus pengarang Indian ialah pernyataan Indian yang terselamatkan adalah Indian yang telah terevangelisasi budaya kulit putih, dalam kasus pengarang Chicano ialah pernyataan chicano yang tidak inferior adalah chicano yang telah terdidik oleh budaya kulit putih.
The first contact between (American and Mexican) Indian and White (American) settlers was the encounter between two not-each-other-understand cultures. From this erupts long historical annals of continual oppression and challenges. Much interests, including economic, politic, religious, even literary, melt and seek way to create ideological collisions between the nations engaged.

One of those ideological collisions manifests through the presence of nativephilian characters within the text. Nativephilian characters are white textual figures which purposively characterized by their non-white writers with their withstanding, either through commitment or dedication, towards the colonized. It is the characters ideological function which becomes main problem of this thesis.

Theory used is Althusserian ideological notion which stresses two things: subject and ideological apparatuses. Subject is sociological member (i.e. writers) which has constitutive position before ideology as a result of interpellation process by internalizing false consciousness towards its member. Ideological apparatuses consist of RSA (Repressive State Apparatus) and ISA (Ideological State Apparatuses). The first difference lies on semantic-grammatical context (apparatus=singular; apparatuses=plural) which makes ISA's unity can not immediately be noticed. The second the domains that RSA is public and ISA private. The basic difference lies on their function that RSA firstly functions repressively, though there would always be possibility to be ideological as ISA; while ISA ideologically, though, as RSA, repressive acts also remains possible.

For analysis, two characters presented that are Father Arnold within Reservation Blues novel and Professor Mattie within Delia's Song. Each, respectively, represents religious and educational institutions within the discourse of colonial society. Besides their withstanding, nativephilian characters are polished with ambivalence as weapon, i.e. tool, to send message, that is criticism, towards ideology. The writers message is directed to disclose the other face of colonialism. As in Father Arnold's case, the writer manipulates ambivalence within mockery tone through 'innocence/invasion' opposition, while Professor Mattie through 'dedication/supremacy.' These colonial images, then can be concluded as 'domination/ persuasion' opposition to represent ideology's prevalence which not only takes places in violence (repressive), but also in concealment (hegemonic).

Yet, the writers' subjectical position is not without its own ambivalence. This other current is used by colonialism to present strategy vis-a-vis the writers criticism by manipulating the ambivalence created inside the writer own criticism. This, in turn, creates ambivalent function within the writers criticism, i.e. as criticism that attacks and, in like manner, intensifies the presence of ideology. Within Father Arnold's case, this is proven through the presence of 'deceiver/saver' opposition, while in Profesor Mattie 'conquer or freer opposition. This ambivalence implies anglophilian side of the writers who, subconsciously, support the presence of colonialism among their own people. In Indian writer's case is the inference that the saved Indian is the whitely-evangelized Indian, while in Chicano writer, the not-inferior chicane is the whitely-educated chicane.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T2048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasbullah
Abstrak :
This thesis deals with the ideal facts in a work of George Sand, a French female-writer from 19th century. Sand believes that writing novel needs the touch of idealization. Idealization here is restricted to social aspect, especially the social values, which prevail in societies depicted in La Mare au Diable. To explore the object systematically, the structural method is chosen to observe the poetic aspect of the novel. As preliminary stage of discussion, this first step shows a sintagmatic axis of the story which concentrates merely on two characters, namely Germain and Marie. It also reveals that the intrigue of the story is basically simple, consisting only of a chronological set of simple events. The characters represent several social groups. It comes out that among societies of three villages, that's to say, Belair, Onueaux, and Farouche, all observations end up in privileging Belairian characters more than those of the two others. Positive characters and features belong totally to Belair. Good old generation, good young generation, tolerant men and intelligent women are those of Belair. On the contrary, the people of the two other villages have the opposite qualities. To put it briefly, Belair has the good characters. It is then justified with values prevailing and binding the individuals within the society. Originality in tradition, harmonious relationship, freedom from religious obligations, respectful status of women and the dominance of agricultural profession, are distinctive features which characterize Belair. On the contrary, Ormeaux and Farouche people show pragmatism, individualism, materialism, and exploitation. These facts are completed with the description of space and time which clearly confirms the fore-mentioned statement about Belair's excellent position. The result of the analysis mentioned-above is then compared to real rustic life in 19th century social history of France documented by social historians. There are a lot of contrasts resulting from this comparison. History reveals that societies in French villages were individualistic in nature, despite the fact that they were religious people. Besides, there was no equality of respect and opportunity for women. Social life was characterized by resolute segregation stemming from strict social classes. Moreover, typical villagers regarded other people in a fully suspicious stance so that no possible interaction could be put into reality, particularly with the urban society. From this comparison we can conclude that Belairian society is an idealized one which can be found in a noel. It typically represents all literary works in romantic tradition which expresses people's longing for the natural beauty. Such artistic trend reflects the basic concept in art, known as back to nature, whose origin can be traced back to the French philosopher, lean Jacques Rousseau. Sand can be classified as the writer who tries to create an ideal world to materialize her dreams and aspirations. In brief, La Mare au Diable accommodates Sand's obsession of perfect people who live in simple but happy life.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T2956
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tatang Iskarna
Abstrak :
Tesis ini akan menyajikan representasi atau gambaran jati diri perempuan dunia ketiga, khususnya perempuan kulit hitam Afrika, dari sudut pandang perempuan dunia ketiga itu sendiri dalam novel Second Class Citizen (1974) karya Buchi Emecheta, seorang pengarang perempuan Nigeria. Sebelum kaum perempuan dunia ketiga mulai berani menulis pada tahun 1970-an, karya-karya sastra didominasi oleh pengarang kolonial kulit putih dan pengarang laki-laki kulit berwarna. Perempuan Afrika sering direpresentasikan dari sudut pandang orang kulit putih atau kaum laki-laki Afrika sebagai sosok yang belum beradab, lemah dan bergantung pada laki-laki, menyerah terhadap ketertindasan, atau hanya terkait dengan urusan domestik. Ketika gelombang feminisme mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia dan gerakan nasionalisme dunia ketiga dengan gencar memberikan perlawanan terhadap dominasi Barat, para perempuan Afrika mulai berani berbicara mengenai siapa dirinya, apa yang mereka alami, rasakan, dan inginkan, serta bagaimana mereka menyikapi dominasi kaum laki-laki serta penindasan yang dilakukan oleh kaum kolonial. Semua hal di atas dapat digali melalui seorang perempuan yang bernama Adah, tokoh utama perempuan dalam novel Second Class Citizen. Dalam novel ini Buchi Emecheta mendekonstruksi representasi perempuan Afrika yang selama ini diberikan oleh kaum laki-laki Afrika maupun orang kulit putih. Untuk menunjukkan adanya perbedaan dalam merepresentasikan perempuan Afrika, dalam tesis ini pula disajikan representasi perempuan Afrika yang dilakukan oleh pengarang kulit putih dan laki-laki Afrika. Karya-karya yang diambil adalah "No Witchcraft for Sale" (1960) karya novelis Inggris, Dorris Lessing, "Girls at War" (1972) karya sastrawan Nigeria, Chinua Achebe, dan "Song of Ocol" (1967) karya penyair Uganda Okot p'Bitek. Di sini perempuan Afrika direpresentasikan sebagai "the other" atau sosok lain yang berlawanan dengan orang kulit putih yang beradab dan "the marginal" atau kaum yang dipinggirkan oleh masyarakatnya karena konstruksi gender. Dalam karya-karya di atas, para pengarang memang memberikan simpati kepada kaum perempuan. Namun demikian, simpati yang ditunjukkan tidak disertai dengan ditampilkannya kaum perempuan Afrika sebagai kaum yang memberikan perlawanan terhadap dominasi kaum laki-laki dan kaum kolonial. Dalam novel Second Class Citizen, perempuan Afrika direpresentasikan sebagai perempuan yang memang berada dalam ketertindasan ganda atau "doubly colonized", baik oleh orang kulit putih dari segi ras maupun kaum laki-laki Afrika dari segi gender. Namun demikian, kaum perempuan Afrika gigih dalam memberikan perlawanannya terhadap dominasi laki-laki Afrika serta diskriminasi orang kulit putih. Perempuan Afrika direpresentasikan sebagai "the feminist" karena mereka benar-benar melawan setiap usaha kaum laki-laki Afrika untuk menempatkan perempuan pads posisi inferior dan marginal. Dalam novel ini pula Emecheta merepresntasikan perempuan Afrika sebagai sosok yang memiliki posisi tawar yang tinggi dalam melakukan negosiasi identitas dalam himpitan diskriminasi ras yang dilakukan oleh orang kulit putih inggris. Di samping itu, perempuan Afrika direpresentasikan sebagai "the diasporic", yaitu sosok yang sadar dan memiliki kekuatan dalam menentukan identitas budayanya.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T3041
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahid Hidayat
Abstrak :
Penelitian ini menelaah enam cerpen karya Godi Suwarna, seorang sastrawan yang dianggap menempati posisi penting dalam dunia sastra Sunda. Penilaian kritikus terhadap karyanya pun beragam: ada yang menilai absurd, surealis atau eksperimental. Masalah penelitian ini adalah: (a) apakah karya-karya cerpen Godi Suwarna mempunyai struktur yang sama, (b) apakah makna yang tersirat di balik karya-karya cerpen tersebut, dan (c) benarkah, seperti dikatakan oleh kritikus sastra, karya-karya cerpen Godi Suwarna bersifat absurd atau surealis. Dari hasil penelaahan, dapat dikemukakan bahwa struktur enam cerpen karya Godi Suwarna mempunyai pengaluran cerita yang sederhana. Keenam cerpen yang ditelaah mempunyai fungsi-fungsi utama yang memiliki hubungan sebab-akibat yang sebagian benar hadir secara implisit dalam bentuk metaforis. Hubungan antarfungsi utama setiap cerpen yang beragam dan umumnya rumit. Banyak sekuen merupakan peristiwa yang menjauhi realitas fiktif, serta penggunaan nama tokoh yang berasal dari cerita lain dengan karakter yang berbeda dari cerita sumbernya. Akan tetapi, keenam cerpen tidak dapat digolongkan sebagai karya surealis. Berdasarkan motif yang membangunnya, keenam cerpen memiliki tema yang beragam, namun menyoroti satu persoalan, yakni kondisi manusia. Pada dua cerpen ditemukan motif yang umum terdapat dalam karya-karya absurd, yakni motif perasaan terasing dan motif rutinitas. Artinya, memang benar bahwa ada cerpen Godi Suwarna yang bersifat absurd, namun tidak semua cerpennya bisa disebut absurd. Cerpen Godi Suwarna menunjukkan adanya hubungan yang beragam dengan konteks zaman. Telaah yang dilakukan juga menunjukkan banyaknya penggunaan metafora. Karena itu, cerpen-cerpen Godi Suwarna dapat dianggap sebagai dongeng-dongeng metaforis. Peristiwa-peristiwa yang dipandang ajaib, tidak masuk akal, atau menyimpang dari realitas fiktif, secara metaforis mempunyai makna yang bersifat tersirat dan berhubungan dengan konteks zaman. Inilah yang melahirkan anggapan bahwa cerpen Godi Suwarna tergolong surealis atau absurd.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T2962
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Lelono
Abstrak :
Latar alam pedesaan dengan kehidupan masyarakat lapis bawah yang menjadi kekuatan utama cerita-cerita Ahmad Tohari telah mendorong para peneliti dan peminat sastra untuk membicarakan karya-karyanya. Akan tetapi penelitian yang telah dilakukan lebih banyak diarahkan pada trilogi novel "Ronggeng Dukuh Paruk". Sedangkan terhadap novel pertamanya, "Di Kaki Bukit Cibalak", sementara ini belum pernah ada yang membicarakan novel tersebut dari segi sosiologis. Pembicaraan terhadap novel "Di Kaki Bukit Cibalak" merupakan sesuatu hal yang perlu dilakukan, terutama untuk mengetahui potensi Ahmad Tohari sebagai pengarang. Adapun masalah yang diangkat dapatlah dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: bagaimanakah situasi dan proses perubahan sosial yang digambarkan dalam novel "Di Kaki Bukit Cibalak", dan bagaimanakah sikap generasi muda dalam novel tersebut terhadap proses perubahan sosial yang sedang terjadi. Untuk mendukung analisis akan digunakan pendekatan sosiologis. Namun demikian, teks sastra tetap menjadi acuan utama. ......The rural conditions as the background with the second grade society that became the main power of Ahmad Tohari's story has encourage the scientist and literary comunity place this story as the main topic. But most of them were explore his trilogy "Ronggeng Dukuh Paruk". Until now, His first novel, "Di Kaki Bukit Cibalak", hasn't been explored yet, especially from sociological approach. Hence, the study about "Di Kaki Bukit Cibalak" needs to be done in order to observe Ahmad Tohari potention as a writer. The problem that shown could be explain as this question, how about the situation and the social change process that found in "Di Kaki Bukit Cibalak", and how about the people's react against that social change condition. Sociological approach would be used to guide the analysis, but literary text still became the prime reference.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T4092
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>