Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vitriana
"Latar Belakang : Inkontinensia urin menyebabkan dampak morbiditas yang cukup bermakna bagi penderitanya. Kondisi ini banyak terjadi pada wanita dan dipengaruhi oleh keadaan defisiensi estrogen. Stigma yang kurang tepat dan kurangnya pemahaman tentang pilihan intervensi menyebabkan kurang tepatnya terapi. Latihan otot dasar panggul dengan menggunakan alat bantu (biofeedback) diharapkan akan dapat mengatasi hal tersebut.
Tujuan: Mengetahui pengaruh biofeedback pada latihan otot dasar panggul untuk meningkatkan kekuatan otot dasar panggul agar dapat memperbaiki kondisi stres inkontinensia urin pada wanita pascamenopause.
Desain : Kuasi eksperimental acak lengkap
Tempat : Poli Rehabilitasi Medik Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Perjan. RS. dr. Hasan Sadikin Bandung
Subyek : Tiga puluh lima orang wanita pascamenopause yang menderita inkontinensia urin di lingkungan Panti Wredha Pakutandang - Ciparay
Intervensi : Antara bulan Mei - Agustus 2004, 24 wanita dengan stres inkontinensia pascamenopause yang masuk dalam kriteria inklusi dibagi dalam dua kelompok (kontrol dan latih) melakukan latihan otot dasar panggul setiap hari dengan dan tanpa alat bantu biofeedback disertai pengawasan selama 8 minggu. Hasil peningkatan kekuatan kontraksi otot dasar panggul antara kedua kelompok dibandingkan pada akhir penelitian.
Hasil : Terjadi peningkatan kekuatan kontraksi maksimal otot dasar panggul yang sangat bermakna (<.001) pada kedua kelompok naracoba dengan perbedaan yang bermakna (<.05) antara kedua kelompok. Peningkatan kekuatan kontraksi otot dasar panggul berdampak pada berkurang atau hilangnya keluhan stres inkontinensia urin yang dibuktikan dengan stres test yang menjadi negatif (100%).
Kesimpulan : Latihan otot dasar panggul dengan biofeedback meningkatkan kekuatan otot dasar panggul lebih baik sehingga dapat mengurangi gejala stres inkontinensia urin pascamenopause

Background : Urinary incontinence can cause a significant morbidity. This condition occurs commonly in women with estrogens deficient. Inappropriate stigma and less comprehension to the intervention choices caused inaccurate therapy. Pelvic floor exercise with biofeedback will prevent that to be happened.
Objective : To evaluate the usefulness of biofeedback in pelvic floor exercise to increase the strength of the muscles to treat urinary stress incontinence on postmenopausal women.
Design : Quasi experimental complete randomized
Setting : At Department of Physical Medicine and Rehabilitation Perjan. dr. Masan Sadikin Hospital Bandung
Subject : Thirty five postmenopausal women with stress urinary incontinence from Panti Wredha Pakutandang-Ciparay
Intervention : From May -- August 2004. 24 postmenopausal women with stress urinary incontinence who were divided in two groups (exercise and control) did the pelvic floor muscle exercise daily supervised, with and without biofeedback for 8 weeks. The strength of the muscles was compared in the end of the study.
Result : There was a very significant increase of maximal pelvic floor muscles contraction (<.001) within all two groups with significant differences (<.05) between two groups. Increasing strength of pelvic floor muscles within both groups (control and exercise) relieve urinary stress incontinence (stress test negative forl00°%).
Conclusion : Pelvic floor muscles exercise with biofeedback increase the strength of the pelvic floor on postmenopausal women with stress urinary incontinence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21438
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifky Mubarak
"ABSTRAK
Latar Belakang. Ibadah haji merupakan ibadah fisik yang dilakukan oleh jemaah haji terdiri dari aktivitas berjalan minimal sejauh 12 kilometer untuk melakukan kegiatan rukun haji dan kegiatan diluar rukun haji. Ibadah haji memerlukan kapasitas fungsional dan keseimbangan yang baik sebagai syarat istitaah kesehatan untuk mencegah terjadinya kelelahan. Tujuan dari penelitian ini untuk menilai efek latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional dan fungsi keseimbangan pada calon jemaah haji usia dewasa sehat.

Metode. Sebanyak 38 calon jemaah haji dewasa sehat dilakukan uji jalan 6 menit menggunakan rumus Nury prediksi VO2 maks dan uji timed up and go (TUG). Dilakukan randomisasi dan dibagi menjadi kelompok intervensi dan kontrol. Kelompok intervensi diberikan latihan berjalan minimal 6000 langkah per hari selama 30 menit dengan intensitas sedang sebanyak 3-5 kali seminggu dalam 8 minggu. Kelompok kontrol hanya diminta mencatat jumlah langkah per hari tanpa peresepan latihan. Pada akhir penelitian dilakukan kembali uji jalan 6 menit rumus Nury dan uji TUG, serta dilakukan analisis data.

Hasil. Kedua kelompok mengalami peningkatan prediksi VO2 maks namun tidak mengalami peningkatan nilai TUG pada akhir penelitian. Peningkatan prediksi VO2 maks pada kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (p=0,007).

Kesimpulan. Latihan berjalan dapat meningkatkan kapasitas fungsional pada calon jemaah haji usia dewasa sehat, namun tidak memberikan efek peningkatan fungsi keseimbangan.

Kata kunci. Fungsi keseimbangan, jemaah haji, kapasitas fungsional.


ABSTRACT
Background. Hajj pilgrim is physical worship performed by pilgrims consist of walking at least 12 kilometer to complete the hajj principle and related activity. Hajj pilgrim needs good functional capacity and balance as a prerequisite of health to prevent fatigue. The aim of this study is to evaluate the effectivity of walking exercise on functional capacity and balance function for healthy adult pilgrim candidates.

Method. 6 minutes walk test (6MWT) and Timed Up and Go (TUG) test was done on 38 healthy adult hajj pilgrim candidate. VO2max was predicted using Nury Formula. The candidate was randomized into intervention and control group. Intervention group was given walking exercise, minimum of 6000 steps each day for 30 minutes, moderate intensity, 3-5 times a week for 8 weeks. The control group was not prescribed exercise, only asked to record the amount of steps taken each day. At the end of the study, 6MWT and TUG was reevaluated.  

Results. At the end of the study, both groups show improvement  on predicted VO2max but no improvement  on TUG time. Predicted VO2max improvement are higher on intervention group compared to control (p=0.007).

Conclusion. Walking exercise might increase functional capacity on healthy adult hajj pilgrim candidate, but has no effect on balance.

Keywords. Balance function, functional capacity, hajj pilgrim candidates.

"
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Fitria
"Tujuan: Membuktikan kesahihan dan keandalan Foot and Ankle Ability Measure (FAAM) dalam versi Bahasa Indonesia
Metode: Desain uji potong lintang. Penelitian dilakukan pada 42 orang tentara pasukan khusus dengan instabilitas pergelangan kaki. Setiap responden mengisi kuesioner FAAM versi Bahasa Indonesia yang sudah diujicobakan terlebih dahulu. Kemudian dilakukan pengisian kuesioner SF-36 sebagai baku emas kuesioner kualitas hidup untuk menilai kesahihan konvergen. 2 minggu dari pengisian pertama dilakukan pengisian kembali kuesioner FAAM untuk menilai keandalan test-retest.
Hasil: Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala aktivitas keseharian dengan skor komponen mental dan skor komponen fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,417, dan 0,458. Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala olahraga dengan skor komponen fisik dan fungsi fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,430 dan 0,464. Didapatkan konsistensi internal dengan cronbach alpha 0,917 dan 0,916 untuk subskala aktivitas keseharian dan subskala olahraga. Didapatkan nilai korelasi interkelas sedang untuk subskala olahraga sebesar 0,78.
Kesimpulan: FAAM versi Bahasa Indonesia memiliki kesahihan dan keandalan yang baik.

Objective: to assess validity and realibility of Foot Ankle Ability Measure in Indonesia version .
Method : design of this study is cross sectional study. This research was to 42 special force army personal with ankle instability. Every subject was asked to fill out Indonesian version of Foot and Ankle Ability Measure quetionairre. And SF-36 quetionairre as gold standard of quality of life to assess validity. After 2 weeks, subject is asked to fill FAAM quetionairre again to assess test-retest realibility.
Result : There was significant correlation with moderate value between FAAM-I activity daily living subscale and mental component summary and physical component summary with r 0,417 and 0,458 respectively. There was also significant correlation with moderate value between FAAM-I sport subscale with r 0,430 and 0,464 respectively. The internal consistency with cronbach alpha was 0,917 and 0,916 for ADL subscale and sport subscale. Interclass correlation for sport subscale was 0,78.
Conclusion : Indonesian version of FAAM have good validity and realibility.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58755
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Peggy
"LATAR BELAKANG: Sendi lutut adalah sendi yang paling sering terkena OA. Stabilitas dinamik sendi lutut dipengaruhi oleh otot-otot kuadrisep dan hamstring. Untuk mengoptimalkan gaya yang dihasilkan oleh otot, program latihan peregangan harus terintegrasi dalam program latihan penguatan pada OA. Namun, belum ada penelitian yang membandingkan efek berbagai teknik peregangan terhadap hasil latihan isotonik pada pasien OA lutut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan efek teknik peregangan statik dibandingkan Proprioceptive Neuromuscular Facilitation PNF terhadap outcome visual analog scale VAS, lingkup gerak sendi LGS, kekuatan otot, dan kemampuan berjalan latihan penguatan isotonik otot kuadrisep dan hamstring pada pasien OA lutut.
METODE: Desain penelitian ini adalah quasi experimental. Populasi terjangkau adalah wanita penderita OA lutut berusia 50 ndash; 70 tahun yang berobat ke Poliklinik Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta yang memenuhi kriteria penelitian. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling dan dibagi menjadi dua kelompok secara randomisasi. Pada kelompok pertama, subjek diberi infra red radiation IRR, latihan peregangan statik, dan latihan isotonik otot kuadrisep dan hamstring. Pada kelompok kedua, subjek diberi IRR, latihan peregangan PNF, dan latihan isotonik otot kuadrisep dan hamstring. Intervensi dilakukan selama 6 minggu. Penilaian nyeri menggunakan skor VAS, LGS menggunakan goniometer, kekuatan otot menggunakan hand held dynamometer, dan kemampuan berjalan menggunakan uji jalan 15 meter.
HASIL: Sebanyak 30 responden mengikuti program latihan sampai selesai, kelompok pertama dan kedua masing-masing 15 orang. Setelah 6 minggu, didapatkan perbaikan skor VAS, LGS, kekuatan otot kuadrisep dan hamstring serta uji jalan 15 meter dengan perbaikan bermakna didapatkan pada kekuatan otot hamstring pada kedua kelompok. Delta skor VAS dan uji jalan 15 meter lebih tinggi pada kelompok peregangan statik dibandingkan PNF tetapi tidak berbeda bermakna. Delta kekuatan otot kuadrisep didapatkan lebih tinggi pada kelompok peregangan statik dibandingkan PNF dan berbeda bermakna p=0.033 . Delta LGS dan kekuatan hamstring lebih tinggi pada kelompok peregangan PNF dibandingkan statik tetapi tidak berbeda bermakna.
KESIMPULAN: Pemberian latihan peregangan statik maupun PNF tidak memberikan efek yang berbeda bermakna secara keseluruhan terhadap outcome latihan penguatan isotonik otot kuadrisep dan hamstring pada pasien OA lutut.

BACKGROUND. Knee joints are the joints most commonly affected by OA. The dynamic stability of the knee joint is affected by the quadriceps and hamstring muscles. Stretching exercise programs should be integrated into strengthening exercise programs in OA to optimize the force that generated by the muscle. However, there have been no studies comparing the effects of various stretching techniques on the outcome of isotonic exercise in knee OA patients. The aim of this study was to find out whether there is a difference between the effect of static stretching compared to the Proprioceptive Neuromuscular Facilitation PNF to the outcomes visual analog scale VAS, range of motion ROM, muscle strength, and walking ability of quadriceps and hamstring muscle isotonic strengthening exercises in knee OA patients.
METHODS. The design of this study was quasi experimental. The study population is women suffering from knee OA aged 50-70 years who went to the Medical Rehabilitation Clinic RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta that meet the criteria of the study. Sampling was done using consecutive sampling and divided into two groups by randomization. In the first group, subjects were given infra red radiation IRR, static stretching exercises, and isotonic exercises of quadriceps and hamstring muscles. In the second group, subjects were given IRR, PNF stretching exercises, and isotonic exercises of quadriceps and hamstring muscles. Intervention is done for 6 weeks. Pain assessment using VAS scores, ROM measurement using a goniometer, muscle strength measurement using a hand-held dynamometer, and walking ability measurement using a 50-feet walking test.
RESULTS. Thirty respondents were completed the exercise program, the first and second group consists of 15 people, respectively. After 6 weeks, the improvement of VAS, ROM, quadriceps and hamstring muscle strength and 50 feet walking test with significant improvement was obtained only hamstring muscle strength in both groups. Delta VAS scores and 50 feet walking test were higher in the static stretching group than PNF but not significantly different. Delta quadriceps muscle strength was significantly high er in the static stretch group than in PNF p = 0.033 . Delta ROM and hamstring muscle strength were higher in the PNF stretching group than in static but not significantly different.
CONCLUSIONS. There is no significant difference between the effect of static stretching techniques and the PNF on the outcomes visual analog scale VAS, range of motion ROM, muscle strength, and walking ability of quadriceps and hamstring muscle isotonic strengthening exercises in knee OA patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Purwitasari Darmaputri
"Latar Belakang: Luka kaki diabetes merupakan masalah paling umum pada penyandang DM. Tanpa perawatan yang tepat, luka dapat mengakibatkan infeksi, amputasi atau kematian. Tingkat mortalitas 3 tahun setelah amputasi akibat luka diabetes tidak banyak berubah dalam 30 tahun terakhir, walaupun dengan kemajuan medis dan pembedahan. LLLT merupakan salah satu terapi adjuvan yang dapat mempercepat penyembuhan luka kronis seperti luka diabetes, namun belum ada pedoman yang pasti mengenai dosis LLLT. Hingga saat ini, belum ada penelitian di Indonesia yang membandingkan densitas energi terhadap penyembuhan luka diabetes.
Tujuan: Mengetahui perbedaan efektivitas penyembuhan luka kaki diabetes dengan kedua densitas energi.
Metode: Penelitian ini adalah studi eksperimental dengan 28 subjek dengan luka kaki diabetes yang dirandomisasi. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Kelompok A mendapat perawatan luka rutin dan LLLT 5 J/cm2. Kelompok B mendapat perawatan luka rutin dan LLLT 10 J/cm2. Intervensi dilakukan selama 4 minggu, dengan frekuensi 2x/minggu. Penilaian yang diambil adalah selisih ukuran luka dan kecepatan penyembuhan luka setiap minggu.
Hasil: Selisih ukuran luka setelah intervensi 4 minggu antara kelompok A dan kelompok B adalah 4.15 mm2 dan 7.5 mm2 (p=0.178). Total kecepatan pemulihan luka pada kelompok A dan kelompok B adalah 4.15 (-10-34.5) mm2/4 minggu and 7.5 (-2.8-34) mm2/4 minggu (p=0.168).
Kesimpulan: Pemberian LLLT dengan 5 J/cm2 maupun 10 J/cm2 tidak memberikan efek yang berbeda bermakna secara statistik terhadap penyembuhan luka kaki diabetes.

Background: Diabetic foot ulcer is one of the most common complications in DM patients. Without proper management, the ulcer may lead to infection, amputation or even death. Three-year mortality rate after the amputation due to diabetic ulcer has not changed much for the last thirty years, despite the advancement in medical and surgical aspects. LLLT is one of the adjuvant therapies that are used to enhance healing of chronic wound, such as diabetic ulcer, however there is no established guideline for LLLT dosage. Thus far, there has been no research conducted in Indonesia comparing the energy density of LLLT on diabetic foot ulcer healing.
Aim: To compare the effectiveness between two energy densities in diabetic foot ulcer healing.
Method: This research is an experimental study on 28 randomized subjects with diabetic foot ulcer. Sampling was done consecutively. Group A received standard treatment of ulcer and LLLT 5 J/cm2. Group B received standard treatment of ulcer and LLLT 10 J/cm2. Intervention was carried out twice a week for 4 weeks. The outcomes are wound size and healing rate every week.
Result: The difference of wound size between group A and group B after 4 weeks were 4.15 mm2 and 7.5 mm2 (p=0.178). The healing rate of group A and group B were 4.15 (-10-34.5) mm2/4 weeks and 7.5 (-2.8-34) mm2/4 weeks (p=0.168).
Conclusion: There was no statistically significant difference between group receiving LLLT 5 J/cm2 or 10 J/cm2 in diabetic foot ulcer healing."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Balqis Islamadina
"Latar Belakang: Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah suatu penyakit pernapasan akut yang ditandai dengan penurunan fungsi paru disertai gejala sesak, batuk dan produksi sputum. Otot inspirasi seringkali terlibat dan mengalami kelemahan serta kelelahan akibat adanya hiperinflasi. Kelemahan otot inspirasi sangat berperan pada kejadian sesak sehingga mengurangi kapasitas latihan pada pasien PPOK. Selain itu, Latihan penguatan otot inspirasi menggunakan Inspiratory Muscle Trainer (IMT) diketahui dapat meningkatkan kekuatan otot inspirasi, namun belum terdapat penelitian yang menilai efektifitasnya dalam meningkatkan kecepatan berjalan dengan uji jalan 4 meter pada pasien PPOK.
Tujuan: Untuk mengetahui efek latihan penguatan otot inspirasi dengan menggunakan IMT terhadap kecepatan berjalan menggunakan uji jalan 4 meter pasien PPOK.
Metode: Penelitian ini adalah studi intervensional prospektif untuk menilai kecepatan berjalan pasien PPOK setelah pemberian program latihan dengan IMT selama 8 minggu. Subjek penelitian adalah pasien PPOK kelompok GOLD A hingga D yang berobat jalan ke Poliklinik Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam dan Departemen Rehabilitasi Medik. Latihan IMT dilakukan di rumah selama 8 minggu, dengan dosis awal 30% PImax yang ditingkatkan 10% setiap 2 minggu hingga mencapai 60% PImax. Nilai PImax, kecepatan berjalan dan sesak dengan skala BORG dinilai setiap 2 minggu.
Hasil: Dari total 13 subjek, hampir seluruhnya berjenis kelamin laki-laki dengan proporsi 92,3%. Nilai rerata usia subjek pada penelitian ini adalah 64,92 (SB 8,713) tahun. Terdapat peningkatan kecepatan berjalan dari 1,59 (SB 0,32) meter/detik hingga 1,74 (SB 0,49) meter/detik dan nilai PImax dari 58,50 (SB 19,70) cmH2O hingga 67,02 (SB 19,88) cmH2O setelah menjalani 8 minggu latihan IMT. Simpulan: Terdapat peningkatan yang secara klinis bermakna pada kekuatan otot inspirasi dan kecepatan berjalan pasien PPOK dengan uji jalan 4 meter setelah menjalani latihan penguatan otot inspirasi dengan Inspiratory Muscle Trainer selama 8 minggu. Latihan IMT dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada program rehabilitasi paru pasien PPOK.

Background: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a respiratory illness characterized by reduced pulmonary function that is accompanied by dyspneu, chronic cough and sputum production. The inspiratory muscles are frequently involved in the disease process due to hyperinflation., resulting in weakness and increased fatigability. Inspiratory muscle weakness has an important role in the manifestation of dyspneu, therefore reducing exercise tolerance in COPD patient. Strength training to inspiratory muscle has been shown to improve inspiratory muscle strength, however there has not been any literature measuring its effectiveness on gait speed using four meter lane in COPD patient.
Aim: To find the effect of inspiratory muscle strengthening using Inspiratory Muscle Trainer (IMT) on four meter gait speed in COPD patient.
Methods: This is a prospective interventional study to evaluate gait speed in COPD patient after undergoing IMT training for 8 weeks. The subjects in this study are patient with COPD GOLD A to D visiting the pulmonary clinics in the department of internal medicine and medical rehabilitation. IMT training was performed as a home program exercise for 8 weeks, with initial dose of 30% PImax and improved by 10% every 2 weeks, reaching to maximal dose of 60% PImax at the end of 8 weeks training. PImax, gait speed and dyspneu using BORG scale was measured every 2 weeks during follow up.
Result: From a total of 13 subjects, almost all subjects are male (92,3%) and mean age was 64,92 (SD±8,713) years. There was an increase of gait speed from 1,59 (SD±0,32) to 1,74 (SD±0,49) meter/second and PImax from 58,50 (SD±19,70) to 67,02 (SD±19,88) cmH2O after 8 weeks IMT training. However, there was no improvement in dyspneu symptoms from BORG scale assessment.
Conclusion: IMT training for 8 weeks resulted in clinical improvement of inspiratory muscle strength and 4 meter gait speed in moderate to very severe COPD patient. IMT training can be considered as an addition to pulmonary rehabilitation program in COPD patient."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Kamseno
"LATAR BELAKANG: Obesitas merupakan masalah kesehatan di Indonesia maupun dunia. Prevalensi penduduk dewasa Indonesia dengan obesitas mencapai 15,4% dan obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya nyeri punggung bawah. Pada pasien obesitas umumnya terjadi kelemahan otot abdomen dan pergeseran pusat gravitasi tubuh ke depan sehingga otot-otot ekstensor batang tubuh akan berusaha menarik tulang belakang ke posterior terus menerus dan menyebabkan spasme otot yang akan menimbulkan nyeri, keterbatasan lingkup gerak sendi, dan disabilitas fungsional. Nyeri punggung bawah menjadi salah satu beban kesehatan utama pada masyarakat. Terdapat berbagai terapi untuk mengatasi nyeri punggung bawah mekanik, namun permasalahan nyeri punggung bawah mekanik kronik tetap menjadi masalah selama bertahun-tahun. Sebuah pendekatan baru untuk tatalaksana tambahan nyeri punggung bawah mekanik kronik merujuk kepada penggunaan elastic taping.
TUJUAN: Menilai pengaruh aplikasi elastic taping terhadap perbaikan skala nyeri, lingkup gerak sendi fleksi batang tubuh, dan disabilitas fungsional pada pasien obesitas dengan nyeri punggung bawah mekanik kronik, serta membandingkan pengaruh tersebut dengan dua metode aplikasi yang berbeda.
METODE: Uji intervensi dengan melibatkan populasi subjek pasien yang berobat di Poliklinik Obesitas Departemen Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta selama Agustus 2017-Januari 2018 yang memenuhi kriteria penelitian. Subjek dibagi ke dalam 2 kelompok secara acak. Kelompok A mendapat aplikasi elastic taping dengan teknik inhibisi paralumbal bilateral dan stabilisasi pada regio sendi sacroiliac dan regio otot abdominis transversus, sementara kelompok B mendapat aplikasi elastic taping tanpa peregangan pada regio sendi sacroiliac dan regio otot abdomen. Penilaian intensitas nyeri menggunakan VAS, lingkup gerak sendi fleksi batang tubuh menggunakan tes modified Schober, dan disabilitas fungsional dinilai menggunakan skor Oswestry Disability Index (ODI). Penilaian VAS dan tes modified Schober dilakukan sebanyak 6 kali sepanjang penelitian, sedangkan untuk penilaian ODI dilakukan pada sebelum dan sesudah terapi. Semua subjek pada penelitian ini mendapatkan latihan aerobik dengan sepeda statis yaitu dengan durasi 15 menit pada minggu pertama dan 30 menit pada minggu kedua.
HASIL: Sebanyak 28 pasien obesitas dengan nyeri punggung bawah mekanik kronik menjadi subjek dalam penelitian ini. Semua subjek pada kedua kelompok penelitian ini mengalami perbaikan yang signifikan secara statistik pada intensitas nyeri sebelum dan sesudah aplikasi elastic taping pada nilai VAS (p<0.05), namun ketika dibandingkan antar kelompok didapatkan perbedaan yang signifikan secara statistik pada nilai VAS. Hasil pada tes modified Schober dan skor ODI juga mengalami perbaikan antara sebelum dan sesudah terapi pada masing-masing kelompok (p<0.05), meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara kedua kelompok, namun terdapat perubahan yang signifikan secara klinis hanya pada kelompok A.
KESIMPULAN: Penelitian ini menunjukkan penambahan aplikasi elastic taping pada latihan aerobik telah memberi hasil yang signifikan secara statistik dan klinis dalam perbaikan intensitas nyeri, lingkup gerak sendi fleksi batang tubuh, dan disabilitas fungsional pada pasien obesitas dengan nyeri punggung bawah mekanik kronik. Aplikasi elastic taping dengan teknik inhibisi otot paralumbal bilateral dan stabilisasi pada regio sendi sacroiliac dan regio otot abdominis transversus memiliki hasil yang lebih baik dibandingan aplikasi elastic taping tanpa peregangan.

BACKGROUND: Obesity is one of the world health problems, particularly in Indonesia. The prevalence of obesity in Indonesia is 15,4%. Obesity increases the risk of low back pain occurrence, thus raise a health problem in society. Obese patients tends to have abdominal muscle weakness and shifting of central of gravity anteriorly, it caused trunk extensor muscles contract more often and prone to spasm therefore it will cause pain, limitation of range of motion and functional disability. Currently, there are several approaches for treating mechanical low back pain, but the chronic mechanical low back pain still becoming one of the health problem in years. Elastic taping could be a new approach for chronic mechanical low back pain as adjuvant therapy.
OBJECTIVE: To evaluate the effectiveness of elastic taping application in improving pain intensity, trunk flexion range of motion, and functional disability in obese patient with chronic mechanical low back pain, also to compare the effectiveness between two different elastic taping application methods.
METHODS: This interventional study involved patients in Obesity Clinic of Physical Medicine and Rehabilitation Department, Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta between 2017 August until 2018 January who met the inclusion criteria. Subjects randomly assigned into 2 groups. Group A subjects had elastic taping application with inhibition technique on bilateral paralumbal muscle and stabilization technique on sacroiliac joint region and transversus abdominis muscle. Meanwhile, group B subjects had elastic taping application without any stretch on sacroiliac joint and abdominal muscle region. Pain intensity was measured using VAS score, trunk flexion range of motion was measured using modified Schober test, and functional disability was measured using Oswestry Disability Index. VAS and modified Schober test measurement were done six times, while ODI score measurement was done before and after therapy. All of the subjects in both groups also had aerobic exercises using the static cycle with 15 minutes duration in the first week and 30 minutes in the second week.
RESULTS: 28 obese patients with chronic mechanical low back pain were included in this study. These subjects in each group had statistically significant improvement of pain after elastic taping application (p<0.05), and when these two compared there was a significant difference between two groups in VAS score. The result in modified Schober test and ODI score also had improvement before and after therapy in each groups (p<0.05) but there was no significant difference between two groups. Nevertheless, there was clinically significant change in group A after therapy while no clinically significant change in group B.
CONCLUSIONS: The result indicates that addition of elastic taping application in aerobic exercise has clinically and statistically significant effect in improvement of pain intensity, trunk flexion range of motion, and functional disability in obese patients with xi Universitas Indonesia chronic mechanical low back pain. Elastic taping application with inhibition technique on bilateral paralumbal muscle and stabilization technique on the sacroiliac joint region and transversus abdominis muscle has better outcomes compared to elastic taping application technique without stretch."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Indah Lestari
"Disfagia sangat berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia aspirasi yang sering mengakibatkan kematian pada stroke. Oleh karena itu, manajemen yang efektif dan efisien menjadi penting. Terapi perilaku rehabilitasi menelan yang berdasarkan prinsip neuroplastisitas seperti latihan penguatan dan latihan pergerakan orofaring menjadi alternatif yang cukup sering digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai perubahan fungsi menelan pada penderita stroke iskemik dengan disfagia neurogenik setelah dilakukan latihan penguatan faring, latihan pergerakan hiolaring dan praktik menelan. Fungsi menelan dinilai dengan menggunakan Penetration Aspiration Scale (PAS) dan Functional Oral Intake Scale (FOIS) berdasarkan pemeriksaan Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES) sebelum dan setelah intervensi. Intervensi diberikan setiap hari dengan durasi 30-45 menit selama 4 minggu. Terdapat 6 subjek yang menyelesaikan penelitian. Nilai PAS sebelum intervensi adalah 6±1.79 dan setelah intervensi adalah 1.67±0.82 (p=0.003). Sementara itu, nilai FOIS sebelum intervensi adalah 3 (1-5) dan setelah intervensi adalah 5±2.10 (p=0.041). Terdapat perbaikan nilai PAS dan FOIS setelah intervensi. Oleh karena itu, intervensi ini bisa disarankan sebagai salah satu tatalaksana dalam meningkatkan fungsi menelan pada penderita stroke iskemik dengan disfagia neurogenik.

Dysphagia is associated with an increased risk of aspiration pneumonia which often results in death in stroke patients. Therefore, effective and efficient management is important. Behavioral therapy for swallowing rehabilitation based on the principles of neuroplasticity such as oropharyngeal strengthening and range of motion exercises are the alternative ones that often be used. This study aimed to assess the changes in swallowing function in ischemic stroke patients with neurogenic dysphagia after pharyngeal strengthening exercise, hyolaryngeal complex range of motion exercise and swallowing practice. Swallowing function was assessed using Penetration Aspiration Scale (PAS) and Functional oral Intake Scale (FOIS) based on Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES) before and after interventions. The interventions were given every day with a duration of 30-45 minutes for 4 weeks. There were 6 subjects who completed the study. The PAS before the interventions was 6±1.79 and after the interventions was 1.67±0.82 (p=0.003). Meanwhile, the FOIS score before the interventions was 3 (1-5) and after the interventions was 5±2.10 (p=0.041). There was an improvement of PAS and FOIS after the interventions. Therefore, the interventions can be suggested to be used as one of the treatments to improve swallowing function in ischemic stroke patients with neurogenic dysphagia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59175
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eugene Nathania
"Pola isapan nutritif pada neonatus cukup bulan sehat penting untuk diketahui, namun selama ini belum ada bukti ilmiah yang tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pola isapan nutritif pada neonatus cukup bulan sehat berdasarkan berat badan lahir dan usia gestasi. Desain studi yang digunakan adalah pendekatan potong lintang pada neonatus cukup bulan sehat di beberapa Puskesmas tingkat Kecamatan di Jakarta. Sebanyak 88 neonatus cukup bulan sehat dinilai karakteristik pola isapan nutritif dengan Sucking Mechanism System Equipment. Dari hasil penilaian tersebut, tidak ditemukan adanya perbedaan bermakna pada pola isapan nutritif neonatus cukup bulan sehat berdasarkan usia gestasi dan berat badan lahir. Rerata amplitudo tekanan isapan adalah -86,69 (76.0 – 102,68) mmHg, rerata frekuensi isapan 0,847 (0,717 – 0,97) isapan/detik, rerata durasi satu isapan nutritif 0,858 0,124 detik, rerata durasi satu burst 13,4 (8,49 – 22,48) detik, rerata jumlah burst dalam satu menit 3,74 1,53 burst/menit, rerata jumlah isapan per burst 15,36 (9,19 – 24,45) isapan/burst. Hasil studi ini menunjukkan bahwa pola isapan nutritif terus berkembang seiring dengan peningkatan usia gesatasi dan berat badan lahir.

Nutritive sucking pattern in healthy term neonates is important to know, but so far there is no scientific evidence available The aim of this study was to determine the characteristics of the nutritive suction pattern in healthy term neonates based on birth weight and gestational age. A cross-sectional approach was applied among healthy term neonates in several sub-district health centres in Jakarta. A total of 88 healthy term newborns were assessed for nutritional sucking pattern characteristics using the Sucking Mechanism System Equipment. The result showed no significant difference in terms of nutritive suction pattern based on gestational age and birth weight. The mean amplitude of suction pressure was -86.69 (76.0 - 102.68) mmHg, mean suction frequency was 0.847 (0.717 - 0.97) sucks/second, mean duration of a nutritional suction was 0.858 ± 0.124 seconds, mean duration of a burst was 13.4 (8.49 - 22.48) seconds, mean number of bursts per minute was 3.74 ± 1.53 bursts/minute, mean number of sucks per burst was 15.36 (9.19 - 24.45) sucks/burst. This study suggests that the nutritional sucking pattern continues to evolve with increasing age and birth weight"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Miranda
"Tesis ini disusun untuk mengetahui data profile MEP dan APB serta efek latihan penguatan otot ekspirasi dengan perangkat PEP terhadap MEP dan APB pada lansia sedentary. Penelitian menggunakan desain uji acak terkontrol (randomized control trial) dengan latihan PLB sebagai kontrol. Subjek penelitian adalah lansia berusia lebih dari 60 hingga 75 tahun, sedentary, MocaINA ≥ 26, tidak merokok dalam 5 tahun terakhir, memiliki care giver, dapat berbahasa Indonesia, nilai spirometri normal atau abnormal, dapat memahami dan mempraktekkan dengan benar penggunaan alat PEP dan latihan PLB, bersedia mengisi log book dengan benar dan teratur dan bersedia mengikuti penelitian secara sukarela serta menandatangani lembar persetujuan. Semua subjek penelitian (n=72) yaitu 35 orang dari kelompok PEP dan 37 orang dari kelompok PLB dilakukan penilaian MEP dan APB pada awal minggu pertama serta penentuan intensitas latihan yaitu 50% 1 RM pada kelompok PEP. Latihan dilanjutkan sebagai home program selama 4 minggu dengan kelompok PEP melakukan kunjungan setiap minggu untuk menentukan intensitas latihan yaitu 50% dari 1 RM yang baru sedangkan kelompok latihan PLB melakukan kunjungan pada minggu ketiga untuk evaluasi. Selama penelitian terdapat 6 subjek penelitian yang drop out, 2 dari kelompok PEP dan 4 dari kelompok PLB. Pada awal minggu kelima dilakukan kembali penilaian MEP dan APB pada kedua kelompok didapatkan kenaikan MEP dan APB yang secara klinis dan statistik signifikan ( p < 0,001) dengan kenaikan yang lebih besar pada kelompok PEP dan secara statistik kenaikan pada kelompok PEP jika dibandingkan dengan kenaikan yang terjadi pada kelompok PLB adalah signifikan (p < 0,001). Kesimpulan penelitian ini adalah data profile MEP lansia sedentary adalah rata-rata 48,73 ± 19,14 cmH2O pada kelompok PEP dan 40,61 ± 14,49 cmH2O pada kelompok PLB sedangkan data profile APB pada kelompok PEP rata-rata 268,64 ± 97,28 l/m dan 274,15 ± 79,25 l/m pada kelompok PLB. Latihan pernafasan dengan menggunakan perangkat PEP dapat meningkatkan nilai MEP dan APB pada lansia sedentary dimana didapatkan nilai median Δ MEP adalah 23 (10 – 38) cmH2O dan nilai median Δ APB adalah 40 (15 – 135) l/m dan secara statistik bermakna dengan nilai p < 0,001.

This Thesis was aimed to determine the profile data of MEP and PCF as well as the effect of expiratory muscle strength training with PEP to MEP and PCF in sedentary elderly. The design was randomized control trial with PLB exercise as control. The subjects were eldery, ages more than 60 to 75 years old who were sedentary with MocaINA ≥ 26, no active history of cigarette smoking in the last 5 years, had assistance of care giver, actively speaking in Bahasa Indonesia, had normal or abnormal spirometry value, understood and were able to practice PEP or PLB exercise correctly, filling out log book regularly and correctly and voluntarily willing to join the research and signed signed inform consent form. All subjects (n=72) consisted of 35 subjects in PEP group and 37 subjects in control group (assigned to do PLB exercise). In the beginning of the first week the subject’MEP and PCF values were obtained and the intensity of exercise using PEP was determined at 50% of 1 RM. Exercise was continued as a home program for 4 weeks with the PEP group asked to come weekly to cardiorespiratory outpatient clinic in rehabilitation department to determine a new exercise intensity of 50% of the new 1 RM. While subjects in the PLB group came to cardiorespiratory outpatient clinic at the beginning of the third week to be evaluated. During this research 6 subjects dropped out, 2 subjects from PEP group and 4 subjects from PLB group. At the beginning of fifth week, MEP and PCF values were reassessed and the result demonstrated an increase in both MEP and PCF values (clinically and statistically) in both groups with a greater increase in PEP group. The increase in MEP and PCF values in PEP group was significant in comparison to the PLB group (p < 0,001. The study concluded that average profile data of MEP in sedentary elderly were 48,73 ± 19,14 cmH2O in PEP group and 40,61 ± 14,49 cmH2O in PLB group whereas average profile data of PCF in sedentary elderly were 268,64 ± 97,28 l/m and 274,15 ± 79,25 l/m in PLB group. Expiratory muscle strength training with PEP could increase MEP and PCF values in sedentary elderly with median Δ MEP was 23 (10 – 38) cmH2O and median Δ PCF was 40 (15 – 135) l/m and the increase was statistically significant with p < 0,001."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>