Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 42 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Sri
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Kinerja standing long jump(SLJ)atau tes lompat jauh
tanpa awalan merupakan salah satu alat untuk mengetahui daya ledak otot yang sering
digunakan pada seleksi bibit atlet dan evaluasi program latihan . SLJ merupakan tes lapangan
yang sederhana dan mudah dilakukan .
Besarnya kinerja SU didapatkan dengan : BB x jauhnya jarak lompatan. Untuk menghasilkan
jarak lompat yang optimum diperlukan power (daya) yang optimum, daya (power) dipengaruhi
oleh kekuatan dan kecepatan kontraksi otot(strength x velocity).Besarnya energi yang
dikeluarkan untuk memindahkan mass a yaitu berat badan kejarak yang ditempuh dalam wakru
yang cepat merupakan daya ledak otot. Secara biomekanika gerakan SLJ dimulai dengan
ekstensi mendadak pada paha, lutut,kaki,plantar tleksi dan tleksi jari kaki. Secara fisiologis
faktor yang berpengaruh pada kinerja SLJ yaitu penampang Iintang otot (cross sectional area
/CSA) . Lean leg volume (LLV) adalah volume tulang dan tungkai kaki tanpa lemak yang
mencerminkan besarnya CSA.
LLV diukur dengan menggunakan metode Jones & Pearson(l969) yaitu LV (leg volume)
dikurangi tebal lemak subkutis dan leg volume (LV) diukur secara anthropometri dengan
metode Katch & Weltman(l975).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dan hubungan lean leg
volume pada tes lompat jauh tanpa awalan . Penelitian dilakukan pada 29 anak prepuberras usia
10-12tahun yang belum terlatih.
Hasil dan kesimpulan : Dari hasil analisa data diperoleh Leg volume(LV) naracoba
berkisar 3.31 -7.861(x=5.23+/- 1.29). Lean leg volume(LLV) berkisar 3.10 - 6.821 (x = 4.78
+ /- 1.11). Jarak SU pada anak - anak tsb berkisar 1.23 - 1.98 m ( x = 1.50 + /- 0.18) dan
Kinerja SU berkisar 25.4 - 60.45 kg.m (x= 43.21 +/- 9.58) . Dilakukan uji statistik korelasi
antara LLV dengan kinerja SU dan hasilnya terdapat korelasi yang kuat antara lean leg volume
dengan besarnya kinerja tes lompat jauh tanpa awalan yaitu koefisie korelasi r = 0.64 dan p =
0.0002. Juga dilakukan uji beda 2 mean dengan t tes antara hasil rata SU laki - laki = 1.52 m
dan anak perempuan 1. 42m dan hasilnya tidak berheda hermakna dengan p = 0.52. Has il t tes
pada kinerja SLJ antara anak laki - laki = 43 .21 kg.m dan anak perempuan = 42.77 kg.m
tidak berbeda hermakna dengan p =0.802. Dari hasil penelitian ini disimpulkan adanya huhungan Iinier antara LLV dengan kinerja SU , dan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kinerja dan jarak S U anak laki - laki dan perempuan prepuhertas usia 10-12 tahun."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Cahyani Sudarsono
"Mahasiswa FKUI sebagai calon petugas kesehatan yang nantinya menjadi panutan masyarakat, hendaknya menunjukkan perilaku yang sesuai dengan pola hidup sehat. Berdasarkan pemikiran dilakukan observasi terhadap mahasiswa tingkat III FKUI untuk mengetahui pendapat mahasiswa tentang pola hidup sehat yang dijalaninya, yang diperiksa-silang dengan wawancara mengenai akivitas fisik dan harapan mahasiswa terhadap kemungkinan pengembangan fasilitas olahraga di lingkungan kampus Salemba. Pemantauan terhadap pola hidup sehat dilakukan dengan cara mahasiswa mengisi sendiri Kuesioner modifikasi Living Long and Healffifully - A Seff Test. Wawancara tentang aktivitas fisik dipandu dengan menggunakan kuesioner modifikasi Physical fitness Activity Question -National Health Interview Survey. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan Indeks Massa Tubuh serta pemeriksaan persen lemak tubuh menggunakan metoda skinfold calipersistem 3 titik (three-siteequations).
Subyek penelitian dipilih secara acak dari seluruh mahasiswa tingkat III FKUl. Enam puluh lima mahasiswa berhasil diambil datanya, terdiri dari 26 mahasiswa dan 39 mahasiswi. Hasil pengisian kuesioner Seff Test menunjukkan bahwa meskipun tidak ada mahasiswa yang masuk dalam kategori tertinggi (excellent), sebagian besar (89%) tergolong dalam kategori sangat baik (verygood). Meskipun demikian, jika ditinjau dari faktor aktivitas fisik, khususnya berdasarkan standar AGSM (American College of Sports Medicine), hanya 14% mahasiswa yang melaksanakan aktivitas fisik yang memadai. Hasil pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) menunjukkan bahwa sebagian besar (59%) mahasiswa tergolong dalam berat badan normal (desirable/normoweight), 23% berat badan kurang (underweight) dan 9% obese tingkat I. Pada pengukuran persen lemak tubuh, diperoleh hasil sebagian besar (53%) tergolong optimal, 19% kurus (lean) dan 28% tergolong gemuk (slightly overfat dan fat).
Pada penelitian ini, hubungan antara kategori gaya hidup sehat dengan komposisi tubuh tidak menunjukkan kecenderungan yang jelas. Namun demikian berdasarkan rendahnya aktivitas fisik yang nyata, mahasiswa tingkat III FKUI pada saat ini sangat memerlukan penyelesaian untuk memperbaiki pola hidup sehat, khususnya dalam hal peningkatan aktivitas fisik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Edison T.B.P.
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Berat badan lebih (BBL) ataupun obesitas dapat dialami semua orang termasuk tenaga kesehatan perempuan di Indonesia. Komplikasi yang berkaitan dengan metabolisme lipid sering ditemukan pada individu dengan BBL ataupun obesitas sehingga perlu penanganan untuk mencegah bahkan mengobati keadaan tersebut. Penanganan BBL ataupun obesitas berdasarkan upaya agar di dalam tubuh tercapai keadaan keseimbangan energi negatif, yang antara lain dapat dicapai dengan latihan fisik aerobik. Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa pelatihan fisik aerobik intensitas sedang yang dilakukan secara kontinyu dapat menyebabkan perbaikan profil lipid darah yaitu penurunan kolesterol total, penurunan trigliserida, penurunan kolesterol LDL, serta peningkatan kolesterol HDL yang memberikan manfaat kesehatan. Perubahan kadar lipid darah akibat latihan fisik aerobik intensitas sedang merupakan dasar tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah terdapat perubahan lipid darah akibat melakukan satu sesi latihan fisik aerobik intermiten intensitas sedang. Untuk itu dilakukan satu sesi latihan fisik aerobik intermiten intensitas sedang pada tenaga kesehatan perempuan di satu Puskesmas Kecamatan Jakarta Timur. Latihan fisik tersebut dilakukan dengan sepeda statik yang memakai energi total latihan 200 kkal. Pemeriksaan lipid darah dilakukan sebelum dan sesudah latihan dengan metode pemeriksaan langsung di Bagian Patologi Klinik RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo lakarta, dan diidentifikasi profit lipid yang mengalami perubahan.
Hasil dan Kesimpulan: Dari 15 orang tenaga kesehatan perempuan berusia 20 - 39 tahun yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 25-34,9 Kglm2 sebelum dan sesudah melakukan satu sesi latihan fisik aerobik intermiten intensitas sedang, didapatkan peningkatan kadar kolesterol total 6,6% (p-QO61) dari 175,2 ± 23,29 mg/dL menjadi 186,8 ± 32,60 mg/dL, peringkatan kadar kolesterol LDL 3,2% (p= 0,456) dari 109,0 ± 9,98 mgldL menjadi 112,5 ± 21,08 mg/dL, dan peningkatan berrnakna kolesterol HDL 11,3% (p

Context and Method: Overweight and obesity could affect all people include female health service worker in Indonesia, Complications related to lipid metabolism often found in overweight and obese people therefore weight management needed to prevent and control it. Weight management for overweight and obesity based on effort in order to achieve negative energy balance within the body. Studies found that continuous moderate-intensity aerobic physical training would improve lipid profile such as reduced total cholesterol, triglyceride, LDL cholesterol, and also increased HDL cholesterol which is important for health. The purpose of this study was to recognize blood lipid changes by single session intermittent moderate-intensity aerobic exercise, That exercise was performed by female health service workers at government health center in East Jakarta, using ergo cycle with total energy expenditure 200 kcal, Blood lipid taken before and after exercise was examined with direct method at Clinical Pathology Department of RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta to identified lipid profile changes.
Results and Conclusion: 15 subjects of female health service workers aged 20 -39 years old with body mass index (BMI) 25 - 34.9 Kglm2 performed single session intermittent moderate-intensity aerobic exercise. This study found 6.6% (p= 0.061) increased of total cholesterol from 175.2 (SD 23.29) mg/dL to 186.8 (SD 32.60) mg/dL, 3.2% (p= 0.456) increased of LDL cholesterol from 109.0 (SD 9.98) mg/dL to 112.5 (SD 21.08) mg/dL, and significant 11.3% (p < 0,001) increased HDL cholesterol from 47.3 (SD 4.50) mg/dL to 52.6 (SD 4.76) mg/dL. There was 4.1% (p= 0,146) reduced total cholesterol/HDL cholesterol ratio from 3.7 (SD 0.37) to 3.6 (SD 0.41). Single session intermittent moderate-intensity aerobic exercise could increase HDL cholesterol, but this limited study could not demonstrate decrease of total cholesterol and LDL cholesterol.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21353
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wisnu Rachmad Hidayat
"Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian program latihan kalistenik bersama latihan aerobik terhadap pengendalian kadar glukosa darah, kekuatan otot serta kapasitas aerobik pada individu pra lanjut usia dengan DM tipe 2.
Metode: 30 subyek 'penelitian (26 Iaki-taki dan 4 perempuan) penderita DM tipe 2 tanpa komplikasi, berusia 44-54 tahun, dengan berat badan berlebih dan obesitas, mengikuti program latihan aerobik (jalan cepat) dan latihan kalistenik selanza 8 minggu. Subyek dibagi dalam 2 kelompok yaitu 15 orang melakukan latihan jalan cepat dan kalistenik (kelompok ICA) dan 15 orang lainnya melakukan Iatihan jalan cepat saja (kelompok A). Frekuensi latihan jsmani adalah 3 kali per minggu (selang 1 hari). Intensitas latihan jalan cepat adalah sedang (60-80 % Heart Rate Reserve), durasi 30 menit. Latihan kalistenik dilakukan sebanyak 2 set kalistenik, setiap set terdiri dari 8 macam gerakan Iatihan kekuatan otot yang mewakili otot-otot besar tubuh. Repetisi setiap gerakan latihan adalah 15 kali. Latihan jasmani dilakukan di tempat latihan bersama dan di rumah masing-masing subyek penelitian. Nilai HbAlc, kadar glukosa darah puasa (GDP), kekuatan otot serta kapasitas aerobik diperiksa sebelum dan setelah program latihan jasmani.
Hasil: NiIai HbAlc dan GDP sebelum dan setelah latihan jasmani berbeda bermakna pada masing-masing kelompok (p < 0,05). Besarnya perubahan kadar HbAI c dan GDP antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p 0,454). Kekuatan otot kelompok KA sebelum dan setelah latihan jasmani berbeda bermakna (p < 0,05), Kapasitas aerobik sebelum dan setelah latihan jasmani berbeda bermakna pada masing-masing kelompok (p < 0,05). Besarnya perubahan kapasitas aerobik antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p 0,780). Korelasi antara perbaikan kadar HbAlc dan GDP dengan perbaikan kekuatan otot dan kapasitas aerobik pada kedua kelompok setelah program latihan jasmani 8 minggu adalah lemah.
Kesimpulan: Pemberian program Iatihan kalistenik bersamaan dengan program lalihan aerobik jalan cepat selama 8 minggu pada individu pra Ianjut usia dengan DM tipe 2 tanpa komplikasi, berat badan lebihlobesitas I memberikan basil pengendalian kadar glukosa darah dan kapasitas aerobik yang tidak berbeda dengan melakukan latihan aerobik jalan cepat saja, namun meningkatkan kekuatan ototnya. Latihan kalistenik bersama aerobik dan latihan aerobik saja selama 8 minggu memperlihatkan korelasi lemah antara parameter pengendalian kadar glukosa darah dengan kapasitas aerobik dan kekuatan otot.

Purpose: The aim of this study was to examine the influence of callisthenics exercise simultaneously with aerobic exercise in controlling blood glucose level, muscle strength and aerobic capacity in older adult with type 2 Diabetes Mellitus (type 2 DM).
Methods: Thirty subjects (26 men, 4 women) with type 2 DM but without complication, age between 44-54 years old, have obesity or overweight, underwent the aerobic exercise program (brisk walking) and callisthenics exercise program for 8 weeks. Subjects devided into 2 groups, 15 subjects performed both brisk walking and callisthenics (group I CA), while the other 15 conducted only brisk walking (group A). The frequency of the exercise was set on 3 times per week on non consecutive days. The intensity of the brisk walking exercise was set on moderate intensity (60-80% HRR) with 30 min duration. The callisthenics exercise performed as 2 sets of 15 repetitions in 8 core muscle exercise (represent the whole large muscle group of the body). The exercise was performed in the subjects' home and once a week together in an exercise room. Glycosilated haemoglobin (HbAlc), fasting plasma glucose (FPG), muscle strength and aerobic capacity was evaluated before and after exercise program.
Results: HbAlc and FPG before and after exercise program were different significantly within each groups (p<0,05). The level of reduction of HbAlc and FPG between 2 groups was not significantly different (p 0,454). The muscle strength of group KA was increased significantly after exercise program (p<0,05). The aerobic capacity before and after exercise program was different significantly within each groups (p<0,05). The level of increase of aerobic capacity between 2 groups was not significantly different (p 0,780). The correlation between HbAlc and FPG to muscle strength and aerobic capacity after 8 weeks exercise program in both 2 groups was weak and not significant.
Condusion: The addition of callisthenics exercise program simultaneously with aerobic exercise program for 8 weeks to the older adult with type 2 DM reduced HbAlc and FPG and increased the aerobic capacity that were not different compare to only conducting aerobic exercise program, but increased muscle strength The correlation between the improvement in glycemic control and aerobic capacity and muscle strength after 8 weeks exercise program were weak.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18003
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nawanto A. Prastowo
"Waktu latihan mempengaruhi peningkatan kadar antigen t-PA (ant t-PA). Waktu latihan sore meningkatkan kadar ant t-PA lebih tinggi dibanding waktu latihan pagi pada intensitas latihan yang sama. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh waktu latihan aerobik intensitas 60-70% laju jantung maksimal (LJM, 220-umur) selama 15 menit terhadap peningkatan kadar dnt t-PA. Subyek terdiri dari 16 laki-laki sehat, tidak terlatih berumur 25-35 tahun yang menjalani uji sepeda pagi (06.30-08.30 wib) dan sore (15.00-17.00) pada selang waktu 2 hari. Uji Wilcoxon sign ranked menunjukkan peningkatan kadar ant t-PA yang bermakna setelah latihan pagi dan sore sebesar 43,5% (P=0,03) dan 35% (P=0,03). Uji Wilcoxon U menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara peningkatan kadar ant t-PA setelah latihan pagi dan sore. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa waktu latihan pagi atau sore tidak berpengaruh terhadap peningkatan kadar ant t-PA pada intensitas latihan sedang.

Increased t-PA antigen (t-PA ant) level during exercise is affected by diurnal variation. Exercise in the afternoon increases t-PA ant higher than exercise in the morning. Purpose of this study was to examine the effect of time of day aerobic exercise on t-PA ant level. Subjects were 16 sedentary, healthy untrained male, performed 2 session ergo cycle at 60-70 maximal heart rate (MHR, 220-age) both Morning (06.30-08.30) and afternoon (15.00-17.00) by 2 days separated. Wilcoxon sign ranked test show t-PA ant increased significantly after exercise in the morning (43.5%, P=0,03) and afternoon (38%, P=0,03) but not significant different between morning and afternoon (P=0,97). It was concluded that time of day exercise did not affect t-PA ant level in moderate aerobic exercise intensity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T55780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anthony
"Tesis ini membahas hubungan hasil pemeriksaan tujuh Functional Movement Screen (FMS) dengan kejadian cedera ekstremitas bawah pada Atlet Pusat Pelatihan Olahraga Pelajar Provinsi DKI. Pemeriksaan FMS dilakukan satu kali diawal pemeriksaan atlet. Setelah itu, peneliti melakukan pencatatan cedera ekstremitas bawah atlet yang terjadi dalam waktu tiga bulan dari awal pemeriksaan atlet. Penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan desain cross-sectional. Hasil penelitian mendapatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara hasil tujuh pemeriksaan FMS dengan kejadian cedera ekstremitas bawah. Hasil ini diduga oleh penggunaan cut off yang lebih tinggi dan tidak dilakukan penilaian asimetri gerakan saat pemeriksaan FMS. Riwayat cedera sebelumnya dan lama berlatih memegang peranan penting dalam menentukan risiko cedera ekstremitas bawah/ Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa perlu dilakukan modifikasi penilaian FMS yang lebih baik untuk menilai risiko cedera ekstremitas bawah.
......This study focus on association between the result of seven examination of Functional Movement Screen (FMS) with incidence of lower extremity injuries on young athlete on Atlet Pusat Pelatihan Olahraga Pelajar Provinsi DKI. The examination of FMS was being carried once on the first examination of athlete. Next, the researcher recorded incidence of lower extremity injuries for the next three months after examination of FMS. This research is observational analitic study with cross sectional design. This study found that there was not statistically significant association between the result of seven examination of FMS with incidence of lower extremity injuries. This result was caused by usage of cut off point too high and didn’t evaluate asymmetry movement when screening FMS. History of injuries in the last 6 months and time exposure of training had significant association with lower extremity injuries. This study conclude that it is necessary to do modification in evaluation of FMS to determine risk of lower extremity injuries."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58941
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andhika Raspati
"Latar Belakang. Masalah kesehatan yang kerap muncul pada olahraga berlari banyak disebabkan oleh dehidrasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju keringat pelari rekreasional terlatih agar masalah kesehatatan terkait dehidrasi dapat dicegah. Metode. Penelitian eksperimental ini melibatkan 23 pelari rekreasional terlatih yang diminta untuk berlari selama satu jam pada pagi hari di ruang terbuka kota Jakarta. Berat badan subjek ditimbang sebelum dan setelah berlari. Selisih berat badan kemudian dikalkulasikan dengan volume asupan cairan selama latihan untuk memperoleh laju keringat. Hasil. Berdasarkan persentase kehilangan berat badan, 18 dari 23 subjek mengalami dehidrasi setelah berlari selama satu jam, dengan rata-rata mencapai 1.4 (1.4 ± 0,4) %. Selama latihan, rata-rata subjek minum sebanyak 311 mL. Rata-rata laju keringat yang dikeluarkan subjek mencapai 1.2 (1.2 ± 0,3) L/jam. Laju keringat memiliki korelasi positif dengan luas permukaan tubuh (r = 0,71, p < 0,01) dan juga indeks massa tubuh (r= 0,77, p < 0,01) subjek. Tidak ditemukan adanya korelasi signifikan antara laju keringat dengan intensitas dan riwayat latihan subjek. (p > 0,05) Kesimpulan. Tingginya laju keringat subjek masih belum diimbangi oleh asupan minum subjek, sehingga menyebabkan terjadinya dehidrasi. Untuk itu diperlukan edukasi mengenai strategi rehidrasi yang sesuai dengan kebutuhan individual untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan akibat dehidrasi
......Background. Health problems that often appear in running are mostly caused by dehydration. This research aims to know the sweat rate of trained recreational runners so that health problems related to dehydration can be prevented. Method. This experimental study involved 23 trained recreational runners who were asked to run for one hour on the morning day in the open space of the city of Jakarta. Subject was weighed (with precision up to 0,1 kg) before and after running. Body weight that were loss during running is then calculated with the volume of fluid intake to get the sweat rate. Results. Based on the percentage of body weight loss, 18 out of 23 subjects were dehydrated after running for one hour, with the average reaches 1.4 (1.4 ± 0,4)%. During practice, the average subject drinks as much as 311 mL. The average sweat rate of the subject was 1.2 (1.2 ± 0,3) L / hour. Sweat rate has a positive correlation with body surface area (r = 0,71, p <0,01) and also body mass index (r = 0,77, p <0,01). There was no significant correlation found between the sweat rate and the exercise intensity nor training history of the subject. (p> 0,05) Conclusion. The high sweat rate of the subject was still not matched by their fluid intake, causing dehydration. Therefore education is needed regarding the rehydration strategy that suits the individual needs to prevent health problems related to dehydration."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59134
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nahum
"Latar Belakang. Atlet pelajar yang masih mengalami pertumbuhan dan perkembangan fisik serta psikologis yang belum matang rentan mengalami cedera olahraga. Landing Error Scoring System (LESS) merupakan salah satu alat skrining menilai risiko cedera dengan menilai kesalahan gerakan melompat dan mendarat seseorang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan bukti ilmiah mengenai peran LESS dalam hubungannya dengan cedera ekstremitas bawah. Metode. Penelitian ini menggunakan studi potong lintang yang melibatkan delapan puluh tujuh atlet dari enam cabang olahraga di pusat pelatihan olahraga pelajar (PPOP) DKI Jakarta. Subjek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan gerakan fungsional mendarat dan melompat dengan LESS. Subjek akan dipantau untuk mengetahui ada tidak cedera ekstremitas bawah yang dialami dalam 3 bulan pasca pemeriksaan. Selain hasil LESS, jenis kelamin, riwayat cedera sebelumnya dalam enam bulan terakhir dan postur tubuh juga akan dianalisa hubungannya dengan cedera ekstremitas bawah dengan menggunakan perangkat lunak SPSS v.20.0. Hasil. Rata-rata subjek berusia 16 tahun dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibanding perempuan (60,9%). Hasil LESS, jenis kelamin dan postur tubuh tidak memperlihatkan hubungan yang signifikan dengan cedera ekstremitas bawah (p > 0,05). Riwayat cedera sebelumnya dan lama berlatih kurang dari lima tahun memiliki hubungan yang signifikan terhadap cedera ekstremitas bawah (p <0,01 dan p < 0,05). Kesimpulan. Penggunaan LESS untuk menilai risiko cedera ekstremitas bawah pada atlet PPOP DKI perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Oleh karena cedera ekstremitas bawah dapat disebabkan karena adanya faktor risiko lain seperti riwayat cedera sebelumnya dan lama berlatih, maka dalam pemeriksaan pre partisipasi atlet diperlukan pemeriksaan faktor risiko cedera yang lebih mendalam.
......Background, Student athletes who are still experiencing growth in physical and psychological immature development prone to get sports injuries. Landing Error Scoring System (LESS) is a screening tool to assess the risk of injury to assess error movement of jump and landing. Objective. The purpose of this study was to find the scientific evidence regarding the role of LESS in relation with lower limb
injuries. Method. This cross-sectional study involving eighty-seven participants from six sports division at the Pusat Pelatihan Olahraga Pelajar (PPOP) DKI Jakarta. The participants performed history taking, physical examination, and functional movement screening using LESS examination. Participants will be monitored to determine lower extremity injuries event during three months followup. In addition to the results of LESS, gender, history of previous injuries in the last six months and body posture alignment will also be analyzed in conjunction with lower extremity injuries by using SPSS v.20.0 software. Results. The average of 16-year-old participants with boys more than girls (60.9%). LESS result, gender and body posture alignment did not show significant association with lower extremity injuries (p> 0.05). History of previous injuries in last six months and duration of training less than five years had a significant relationship with lower extremity injuries (p <0.01 and p <0.05). Conclusion. The application of LESS test for assessing the risk of lower extremity injuries in athletes PPOP need to do further research. Because of lower extremity injuries may be due to other risk factors such as a history of previous injuries and duration of training, the deeper preparticipation examination on athtletes for injury risk factor screening is needed. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58901
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Steven
"ABSTRAK
Obesitas merupakan penyakit tidak menular dimana lemak berlebih mengarah pada gangguan metabolik, penyakit kardiovaskular, dan perubahan abnormal biomekanik tubuh. Orang dengan obesitas memiliki kekuatan otot 6-10% lebih rendah dari orang dengan berat badan normal. Penurunan kekuatan otot sejalan dengan penurunan ruang gerak sendi, kontrol postural, dan kecepatan gerak yang dapat menyebabkan seseorang mengalami kendala dalam melakukan aktivitas fisik. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh Hatha Yoga selama 12 minggu terhadap persentase lemak, lingkar pinggang, kekuatan otot genggam, fleksibilitas, kesiembangan, dan kecepatan gerak pada orang dewasa dengan overweightdan obesitas.
Tujuh puluh dua orang dengan overweightdan obesitas, berusia 18-60 tahun, dirandomisasi ke dalam kelompok perlakuan (n=36) dan kelompok kontrol (n=36). Persentase lemak, lingkar pinggang, kekuatan otot genggam, fleksibilitas, keseimbangan, dan kecepatan gerak merupakan variabel yang diukur. Pemeriksaan yang sudah terstandarisasi dilakukan sebelum dan sesudah intervensi.
Terdapat perbedaan signifikan di antara kedua kelompok (semua p <0,001). Persentase lemak dan lingkar pinggang memberikan hasil dengan arah berlawanan. Kekuatan otot genggam, fleksibilitas, keseimbangan, dan kecepatan gerak membaik pada kelompok perlakuan. Sementara itu, fleksibilitas dan kecepatan gerak menurun secara siginifikan pada kelompok kontrol. Tidak dilaporkan adanya efek samping serius pada kedua kelompok.
Secara umum, program latihan Hatha yoga selama 12 minggu terbukti efektif dalam memperbaiki komponen antropometri dan fungsional pada orang dengan overweight dan obesitas. Penemuan ini memiliki makna implikasi klinis yang penting karena yoga dapat diimplementasikan sebagai salah satu alternatif aktivitas fisik.

ABSTRACT
Obesity is a non-communicable disease in which excess body fat may lead to metabolic disorder, cardiovascular disease, and abnormal mechanics in body movements. Obese people have 6-10% less muscle-strength than those in the normal weight range. That decline in muscle-strength, along with similar declines in the range of movement of major joints, in postural control, and in the speed of movement may result in impaired ability to engage in physical activity. The purpose of this study is to investigate the effects on obese people of a 12-week Hatha yoga intervention--specifically focused on fat percentage, waist circumference, muscle strength, flexibility, balance, and gait speed.
Seventy-two overweight and obese people, aged 18-60 years, were randomly allocated to the yoga group (n=36) or to a "no exercise" control group (n=36). The fat percentage, waist circumference, handgrip strength, flexibility, balance, and gait speed were defined as outcome variables. Standardized tests were administered at baseline and post intervention.
There were significant differences between the two groups in regard to the outcome variables (all p <0.001). Predictably, fat percentage and waist circumference had moved in the other direction. Handgrip strength, flexibility, balance, and gait speed had significantly improved in the yoga group. Meanwhile, flexibility and gait speed significantly declined in the control group. No serious adverse events were reported in either group.
Overall, the 12-week Hatha yoga program was found to be effective in improving functional and anthropometric variables in obese people. The findings have important clinical implications since yoga may well serve as an alternative form of physical activity."
2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurza Mulyani
"Penelitian ini membahas mengenai perbedaan pola aktivitas fisik pada tenaga kesehatan dengan sindroma metabolik dan tanpa sindroma metabolik. Sindroma metabolik adalah suatu sindrom yang terdiri dari sekumpulan gejala meliputi peningkatan ukuran lingkar pinggang, peningkatan kadar trigliserida darah, penurunan kadar High Density Lipoprotein (HDL) kolesterol, tekanan darah tinggi dan intoleransi glukosa.Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan desain deskriptif kategorik. Hasil penelitian dengan menggunakan metode Bouchard dan NCEP-ATP III modifikasi Asia didapatkan bahwa prevalensi sindroma metabolik meningkat pada tenaga kesehatan dengan pola aktivitas fisik banyak duduk.
......The research discusses about the difference between physical activity pattern of medical worker with metabolic syndrome and without metabolic syndrome. Metabolic syndrome is a syndrome which consists of a set symptoms increasing in the size of the waits circumference, blood triglyceride levels, decreasing of high density lipoprotein (HDL) cholesterol, high blood pressure and glucose intolerance. This study was a cross sectional study with a design categorical description. The results of the study that use Bouchard and NCEP- ATP III methods Asian modifications found that the prevalence of metabolic syndrome increased in pattern with lots of sitting physical activity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57677
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>