Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7533 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agrina Cintya Lestari
"Diare pada balita masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia. Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Maluku merupakan tiga provinsi dari beberapa provinsi di Indonesia yang mengalami peningkatan kejadian diare dari tahun 2007 hingga 2013 dan balita menjadi populasi yang paling berisiko untuk mengalami diare. Fasilitas jamban, sumber air minum, pengolahan air minum, dan fasilitas cuci tangan diketahui menjadi faktor risiko kejadian diare.
Studi ini menggunakan desain potong lintang dengan menggunakan data sekunder yang bersumber dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 untuk mengetahui hubungan antara fasilitas jamban, sumber air minum, pengolahan air minum, dan fasilitas cuci tangan dengan kejadian diare pada balita. Sampel penelitian adalah balita berusia 0-59 bulan di Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Maluku yang menjadi sampel SDKI 2012.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi diare tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (20,5%) dan terendah di Daerah Istimewa Yogyakarta (6,4%). Selain itu, ditemukan hubungan yang signifikan antara fasilitas cuci tangan dengan kejadian diare pada balita di Daerah Istimewa Yogyakarta (nilai P=0,026). Sumber air minum juga ditemukan berhubungan secara signifikan dengan kejadian diare pada balita di Sulawesi Selatan (nilai P=0,007). Fasilitas cuci tangan pun berhubungan dengan signifikan dengan kejadian diare pada balita di Maluku (nilai P=0,010).
Walaupun beberapa variabel tidak berhubungan dengan signifikan, variabel-variabel tersebut dapat meningkatkan risiko balita untuk mengalami diare. Oleh karena itu, pencegahan terhadap faktor risiko perlu dilakukan seperti menggunakan jamban yang memenuhi syarat, menggunakan sumber air minum yang layak, mengolah air minum sebelum dikonsumsi, dan memiliki fasilitas cuci tangan yang memadai

Diarrhea in under-five children is still one of the public health problems in Indonesia. The Special Region of Yogyakarta, South Sulawesi, and Maluku are the three provinces of several provinces in Indonesia which experienced an increase in the incidence of diarrhea from 2007 to 2013 and under-five children became the most at-risk population for diarrhea. The latrine facility, drinking water source, drinking water treatment and hand washing facilities are known to be risk factors for diarrhea.
This study used a cross-sectional design using secondary data from the Indonesian Demographic and Health Survey (IDHS) 2012 to determine the association between latrine facilities, drinking water sources, drinking water treatment and hand washing facilities with diarrhea occurrences among under-five children. The sample of the study was 0-59 months old children in Yogyakarta, South Sulawesi and Maluku which were samples of the IDHS 2012.
The results showed that the highest prevalence of diarrhea was found in South Sulawesi (20.5%) and the lowest was found in Yogyakarta Special Region (6.4%). In addition, there was a significant association between hand-washing facilities and the incidence of diarrhea among under-five children in the Special Region of Yogyakarta (P value=0.026). Drinking water sources were also found to be significantly related to the incidence of diarrhea among under-five children in South Sulawesi (P value=0.007). Hand washing facilities were significantly associated with the incidence of diarrhea among under-five children in Maluku (P value=0.010).
Although some variables do not have significant association, these variables may increase the risk of under-five children suffering from diarrhea. Therefore, prevention of risk factors needs to be done such as using improved latrines, using improved drinking water sources, treating drinking water before consumption, and having adequate handwashing facilities.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S68780
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Arsyad
"Program PHBS adalah salah satu kebijakan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 1997, program ini meliputi 5 settling yakni setting rumah tangga, tempat kerja, tempat umum, institusi sekolah dan tempat ibadah. Promosi kesehatan ini diarahkan kepada perubahan perilaku mengenai hidup bersih dan sehat, untuk itu dilakukan strategi-strategi yang dikenal dengan S2PHBS (Strategi Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat). Menurut L. Green (1984), promosi kesehatan merupakan kombinasi pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan, sumber daya organisasi dan upaya kesehatan lingkungan yang bertujuan untuk memunculkan perilaku yang menguntungkan kesehatan.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Eksperimen Sernu, Sekolah Dasar Negeri 008 Sidodadi Kecamatan Wonomulyo sebagai kelompok eksperimen dan Sekolah Dasar Negeri 003 Lampa Kecamatan Mapilli sebagai kelompok kontrol. Jumlah sampel pada kelompok eksperimen sebesar 122 murid dan kelompok kontrol 107 murid. Metode pendidikan kesehatan yang dipilih adalah metode ceramah, tanya jawab, alat peraga, bermain peran dan dinamika kelompok.
Hasil perlakuan program PUBS menunjukkan hubungan bermakna pada pengetahuan murid mengenai hidup bersih dan sehat pada kemaknaan < 0,05 dengan P-value sebesar 0,01 dan sikap P-value sebesar 0,01 < 0,05, sedangkan pada praktek secara statistik terbukti tidak adanya hubungan program PHBS terhadap perilaku murid mengenai hidup bersih dan sehat dengan kemaknaan ? 0,1 dengan hasil uji statistik P. value sebesar 0,13 menurut pengamatan orang tua dan 0,38 menurut pengamatan guru di sekolah.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa nilai pengetahuan murid mengenai perilaku hidup bersih dan sehat, minimum 28 dan maksimum 39 dengan rata-rata 35. Nilai sikap, minimum 10 dan maksimum 47 dengan nilai rata-rata 38,37 sedangkan nilai pada praktek menurut gum minimum 13 dan maksimum 26 dengan nilai rata-rata 22,37 dan menurut orang tua nilai minimum 14 dan maksimum 26 dengan nilai rata-rata praktek 21,96.
Dengan demikian penelitian ini menyarankan kepada institusi kesehatan agar melakukan strategi-strategi yang lebih mendalam seperti pembuatan model-model kepercayaan kesehatan yang lebih kondusif dalam usaha-suaha peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat pada setting institusi pendidikan.

The Effect of Improving Health Behaviour Program for Knowledge, Attitude and Practice about Improving Health Behaviour on State Primary School 008 Sidodadi pupils Wonomulyo District Polewali Mamasa Regency South Sulawesi Province by the year 2000.Program for Improving Health Behavior was one of policy of The Center for Health Education, Health Department Republic of Indonesia by year the 1997, this program involved home setting, schools, health institution, work place, and public place. The health promotion focussed for behavior changing how to improve health behavior, therefor have been done strategy for improving health behavior (Known with S2PHBS). According L. Green (1998), said that health promotion form health education combination, health service, organization resource, and health environment effort, which have objective for appearance a conducive health behavior.
This research use Quasi Experimental, State Primary School 008 Sidodadi Wonomulyo District Polewali Mamasa Regency was intervention group and State Primary School 003 Lampa Mapilli District Polewali Mamasa Regency was control group. Intervention group 122 respondents, control group 107 respondents. Health and group dynamic.
Intervention shown relationship on pupils knowledge about improving health behavior < 0,05 p = 0,01 and attitude P = 0,01 while practice by statistic no relationship with improving health behavior with significant > 0,1 p =0,13 according to teacher and p=0,38 according to pupils' parents.
Researched known report pupils knowledge about how to improve health behavior, according to pupils' teacher minimum 28 and maximum 39 with average 35. Attitude, minimum 10 and maximum 47 with average 38,37, while practice minimum 13, maximum 26, average 22,37. According to pupils' parents minimum 14, maximum 26 with average 21,96.
This research recommendation for health department will do strategies making health models more conducive by strategy for improving health behavior in school setting and education institution.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairiyah Anwar
"Penyakit Hepatitis B merupakan penyakit infeksi yang disebabkan virus dan telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebagai daerah yang termasuk kelompok endemis tinggi, saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 11 juta pengidap penyakit hepatitis B di Indonesia. Penularan virus hepatitis B melalui berbagai cara, akan tetapi penularan secara vertikal, dari orang tua pengidap penyakit hepatitis B kepada anaknya cukup besar (45,9%).
Untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit hepatitis B sejak dini, maka WHO telah merekomendasikan program imunisasi hepatitis B untuk semua bayi (Universal childhood immunization against Hepatitis B). Sebagai implementasinya, pemerintah Indonesia memasukkan program imunisasi hepatitis B ke dalam program imunisasi rutin secara nasiona] sejak tahun 1997. Hingga saat ini program imunisasi hepatitis B masih terus berjalan walaupun banyak kendala yang dihadapi, misalnya belum tercapainya target cakupan imunisasi dan indek pemakaian vaksin yang rendah.
Melalui pelaksanaan program imunisasi rutin dengan 7 jenis vaksin, diharapkan dapat menekan prevalensi kasus penyakit-penyakit tersebut. Namun dengan semakin banyaknya jumlah vaksin yang diberikan maka secara iangsung akan berdampak terhadap meningkatnya kebutuhan biaya kesehatan. Dan karena itu perlu diupayakan pelaksanaan program imunisasi yang efektif dan efisien, salah satunya adalah melalui pengendalian biaya khususnya pemilihan vaksin dan alat suntik.
PeIaksanaan imunisasi hepatitis B di Indonesia saat ini masih menggunakan alat suntik yang bersifat dapat digunakan kembali (reuseable) dan alat suntik disposable (sekali pakai). Dan segi keamanan dan nilai ekonomis kedua alat suntik tersebut masih rendah, sehingga keduanya tidak efisien dan mengakibatkan biaya operasional kegiatan imunisasi menjadi lebih mahal.
Studi tentang penggunaan alat suntik yang berbentuk uniject telah dilakukan dalam program imunisasi hepatitis B di D.I. Yogyakarta. Namun belum diketahui berapa besar efektifitas alat suntik tersebut dibandingkan alat suntik disposable.
Penelitian ini merupakan evaluasi ekonomi yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang biaya yang paling efektif dari penggunaan alat suntik disposable dan Uniject. Rancangan penelitian bersifat cross sectional, dengan mengambil kasus di Kabupaten Bantul D.I. Yogyakarta. Penelitian melibatkan 26 Puskesmas yang melakukan kegiatan imunisasi rutin termasuk hepatitis B. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah ditinjau dan sisi pemerintah (provider) dengan menggali biaya yang dikeluarkan oleh puskesmas dalam pelaksanaan imunisasi hepatitis B tahun 1999 dan 2000.
Hasil penelitian menunjukkan, besarnya total biaya dalam pelaksanaan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable 17,93% lebih mahal dibandingkan dengan alat suntik uniject. Komponen biaya terbesar dalam pelaksanaan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable adalah biaya operasional (rata-rata per puskesmas 97,36%, kemudian biaya investasi 2,56% dan biaya pemeliharaan 0,08%. Sedangkan pada pelaksanaan imunisasi dengan alat suntik uniject rata-rata per puskesmas untuk biaya operasional adalah 99,31%, biaya investasi 0,58%, dan biaya untuk pemeliharaan 0,11%.
Jumlah cakupan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable adalah 16.417 suntikan, dengan rata-rata 631 per puskesmas dari indek pemakaian vaksin 66,4%. Sedangkan dengan uniject cakupan mencapai 16.474 suntikan, dengan rata-rata cakupan per puskesmas adalah 644 bayi dan IP vaksin 100%.
Besarnya biaya satuan aktual untuk pelaksanaan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable adalah Rp. 31572,-, sedangkan dengan alat suntik uniject sebesar Rp. 27.553,-. Apabila komponen gaji dikeluarkan dari perhitungan total biaya, maka besarnya biaya satuan untuk imunisasi hepatitis B dengan disposable menjadi Rp.17.342; (turun 48,34%), sedangkan dengan uniject menjadi Rp. 13.627,- atau turun 50,54%. Perbedaan besarnya biaya satuan dipengaruhi oleh tingkat efisiensi alat suntik, jenis biaya yang dihitung dan cakupan imunisasi.
Mengacu pada besarnya biaya satuan aktual maka dapat disimpulkan, penggunaan alat suntik uniject jauh lebih cost effective dibandingkan alat suntik disposable. Dengan demikian biaya yang dikeluarkan untuk mencapai sasaran imunisasi hepatitis B dalam jumlah yang sama, akan jauh lebih murah apabila digunakan alat suntik uniject dari pada menggunakan alat suntik disposable.

Cost Effectiveness Analysis of Hepatitis B Vaccination Using Uniject and Disposable Syringe in Bantul District, Year 2000Hepatitis B is an infection disease caused by hepatitis B virus (VHB) which remains as public health problem globally, especially in Indonesia. With more than I1 million carriers, Indonesia is classified into high endemic group of countries. Among different mode of VHB transmission, vertical transmission from carrier to newborns is important in Indonesia (45,9%).
In objective of decreasing the morbidity and mortality of hepatitis B, WHO recommend "Universal Chilhood Immunization againt Hepatitis B" operationally, Indonesia integration hepatitis B vaccination into the routine program since 1997. Problems identified are lower level of coverage and higher wastage rate.
The Indonesia immunization program is now concentrating in providing 7 antigens all children in decrease the prevalens of targeted deseases. The increasing number of discs of vaccine required will result in increase of health budget. Immunization program therefore, will have to be more effective and efficient by selecting the right type of vaccine and syringe.
Currently reusable plastic syringe and disposable syringe are the types of syringe for hepatitis B vaccinetion in Indonesia. In form of safety and economic scale, both types of syringes are considered low quality and inefficient, which result in higher operational cost.
Study on the use of uniject had been carried out in province of yogyakarta, but the effectiveness of unijct compared to disposable syringes in not known.
This study an economic evaluation wich aims at providing information about the most cost effetive injection equipment between disposable syringe and uniject. A cross sectional study was designed for Bantul District, covering 26 Health Centres which implement routine immunization services including hepatitis B vaccination of hepatitis B vaccination. Data used in this study were facility-based data, complimented with primary data on the expenses related to the implementation of hepatitis B vaccination year 1999 and 2000.
The result of the study shows that the total cost hepatitis B vaccination using disposable syrunge was 17.93% higher than the total cost using uniject. The largest cost component for disposable syringe was operational cost (on average 97.36% per Health Center), investment cost 2.56%, maintenance cost 0,08%. where as for uniject, operational cost was 99.31%, investment cost 0.58% and maintenance cost 0.11%.
The hepatitis B coverage using disposable syringe was 16,417 or 637 per Health Center and vaccine utilization index was 66,4%. the hepatitis B coverage using uniject was 16,474 or 644 per Health Center with vaccine utilization index of 100%.
The actual unit cost of hepatitis B vaccination using disposable syringe was Rp. 33,572, compered to Rp. 27,553 for uniject. It the study excluded salary from the cost component, the actual unit cost for disposable would be Rp. 17,342 (reduced by 48.34%) and for uniject weld be Rp. 13,627 (reduced by 50.54%). The difference in cost unit is influenced by the unit price of injection equipment, cost variables and level of vaccination coverage.
Based on the actual unit cost, uniject is more cost effective than disposable syringe. So, the spend of budget for giving immunization hepatitis B in the same target with uniject more cheaper than disposable.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T590
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amy Trenggana
"ABSTRAK
Peningkatan mutu pelayanan kesehatan sudah menjadi tuntutan masyarakat dengan demikian harus dilaksanakan oleh jajaran Departemen Kesehatan. Kabupaten Sumedang telah melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi kebijakan di bidang kesehatan, dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dilakukan dengan berbagai upaya agar dapat memberikan pelayanan kesehatan dasar yang berkualitas yaitu pelayanan yang sesuai standar pelayanan kesehatan.
Tujuan penelitian ini adalah melakukan uji coba standar pelayanan kesehatan melalui pelatihan Standar Pelayanan Kebidanan (SPK) Antenatal bagi bidan Puskesmas, memakai desain quasi experimental. Sampel penelitian adalah 10 orang bidan Puskesmas yang diukur kepatuhannya sebanyak 100 kali pemeriksaan ibu hamil(seorang bidan diukur kepatuhannya sebanyak 10 kali). Sampel ibu hamil 100 orang ibu yang berkunjung ke Puskesmas, diukur kepuasan dan pengetahuannya dengan cara wawancara. Lokasi penelitian adalah 10 Puskesmas diwilayah Kota dan Tanjungsari. Sampel kelompok kontrol adalah bidan dan ibu hamil dengan jumlah sama dengan kelompok pelatihan yang berkunjung ke 10 Puskesmas di Wilayah Conggeang dan Tomo.
Rerata skor kepatuhan SPK petugas dan skor pengetahuan/kepuasan ibu sebelum pelatihan 'pada kedua kelompok dalam keadaan setara. Pasca pelatihan dengan uji t menunjukan bahwa pelatihan meningkatkan kepatuhan pada kelompok pelatihan dengan rerata skor beda kepatuhan sebesar 29.57 dengan p=0,0001, rerata skor beda pengetahuan 28.51 dengan p=0.0001 dan rerata skor beda kepuasan 15,7 dengan p=0001.
Uji regresi menunjukan bahwa yang berpengaruh terhadap kepatuhan petugas adalah pelatihan SPK Antenatal dan supervisi Dinas Kesehatan Kabupaten. Peningkatan pengetahuan ibu dipengaruhi selain oleh pelatihan standar pelayanan kebidanan { SPK Antenatal) kepada petugas, juga oleh tingkat pendidikan ibu. Sedang yang berpengaruh terhadap kepuasan ibu adalah pelatihan standar pelayanan kebidanan { SPK Antenatal) kepada petugas dan pengalaman hamil sebelumnya. Kcsimpulannya petugas yang mendapat pelatihan SPK Antenatal mempunyai kepatuhan lebih tinggi dibandingkan sebelum pelatihan dan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat pelatihan. ibu hamil yang dilayani petugas yang telah mendapat pelatihan SPK Antenatal mempunyai pengetahuan dan kepuasan lebih tinggi dibandingkan ibu yang dilayani petugas yang tidak mendapat pelatihan SPK Antenatal.
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kepatuhan SPK dengan mengembangkan pengukuran kepatuhan melalui pemantauan pelaksanan proses pemeriksaan kehamilan di Puskesmas baik bagi bidan Puskesmas maupun bidan di Desa

ABSTRACT
The Trial Test of Standar Antenatal Maternity Service in Kabupaten Sumedang The Year 2000.The improvement of quality health service has become the demand of community, so the Health Department must execute such qualify service. Kabupaten Sumedang, which status is an autonomy district now, has decentralized its health service policy and made efforts to improve the quality of health services to Fulfil the quality basic health service according to standard health service.
The objective of this study is to trial test the antenatal maternity service standar by training the Community Health (Puskesmas) midwives with quasi experimen design. The trained group consisted of 10 Puskesmas midwives in 10 Puskemas and 100 pregnant women that attended to 10 Puskesmas in Kota and Tanjungsari. The untrained control group, was compossed of midwives and pregnant women with the same and quality, with attended 10 Puskesmas in Conggeang and Tomo areas.
The pre training average scorres of midwives compliance to ante natal care standard, knowledge and satisfaction of pregnant women were similar in both group. Post training t test training indicated that the training had improved the avarage compliance score differentce of 29.57 with p = 0.0001 and the avarage satisfaction and knowledge score difference with p= 0.0001.
The regretion test indicated that the influential factors for the midwives compliance were the training and supervision. Meanwhile rather than the aspect of occupation, age and social status, the factors that influence the improvement of mother knowledge were midwives training and mother education. The factors that influence the improvement of mother satisfaction werw midwives training and the mother pregnancy experience.
Conclusion the trained midwives have higher compliance score if compared with the untrained group. Pregnant women, who were serves by trained midwives, had more knowledge and satiscfaction than the untrained group. We need more studies to know the antenatal via supervisions of pregnancy inspections which conducted by Puskesmas midwives or midwive in the village.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chandra Ilham El Anwary Junior
"Remaja merupakan kelompok usia yang penting bagi bangsa. Namun, remaja rentan mengalami masalah mental, salah satunya gangguan mental emosional. Dari data Riskesdas 2018, didapatkan prevalensi gangguan mental emosional usia remaja 15-24 tahun sebesar 10%. Angka ini diatas angka prevalensi nasional. Sementara itu, Provinsi Jawa Barat yang memiliki jumlah usia produktif tertinggi sei-Indonesia termasuk ke dalam 10 besar Provinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi seIndonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor yang berhubungan dengan kejadian gangguan mental emosional pada remaja usia 15-24 tahun di Jawa Barat pada tahun 2018. Desain studi yang digunakan adalah studi cross-sectional dengan data lanjutan dari hasil Riskesdas 2018. Sampel yang digunakan pada penelitian ini ialah seluruh penduduk di wilayah Provinsi Jawa Barat yang berusia 15-24 tahun yang telah diwawancara dalam Riskesdas 2018 dan memiliki data lengkap. Total sampel pada penelitian ini, yaitu sebesar 10561 sampel. Hasil penelitian ini menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional pada remaja usia 15-24 tahun di Jawa Barat sebesar 11,2%. Prevalensi gangguan mental emosional tertinggi ditemukan pada remaja berjenis kelamin perempuan (13,3%), tingkat pendidikan rendah (11,7%), telah bercerai (12,2%), tidak bekerja (11,5%), status gizi yang kurus (13,8%), memiliki riwayat penyakit tidak menular (22,4%), mantan perokok (16,4%), dan mengonsumsi alkohol (27,0%). Berdasarkan hasil analisis multivariat, faktor yang paling dominan memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian gangguan mental emosional, ialah konsumsi alkohol (PR = 2,43, 95%CI: 1,92-3,06). Kemudian, diikuti dengan jenis kelamin, perilaku merokok, riwayat penyakit tidak menular, dan status pekerjaan.

Adolescents are an important age group for the nation. However, adolescents are prone to experiencing mental problems, one of which is emotional mental disorders. From the 2018 Riskesdas data, the prevalence of mental emotional disorders in adolescents 15-24 years was 10%. This figure is above the national prevalence rate. Meanwhile, West Java Province, which has the highest number of productive ages in Indonesia, is among the top 10 provinces with the highest prevalence of emotional mental disorders in Indonesia. This study aims to determine the relationship between factors associated with the incidence of emotional mental disorders in adolescents aged 15-24 years in West Java in 2018. The study design used was a cross-sectional study with follow-up data from the results of the 2018 Riskesdas. Samples used in this study are all residents in West Java Province aged 15-24 years who have been interviewed in Riskesdas 2018 and have complete data. The total sample in this study, amounting to 10561 samples. The results of this study indicate the prevalence of emotional mental disorders in adolescents aged 15-24 years in West Java by 11.2%. The highest prevalence of mental emotional disorders was found in female adolescents (13.3%), low education level (11.7%), divorced (12.2%), unemployed (11.5%), underweight nutritional status (13.8%), had a history of non-communicable diseases (22.4%), were former smokers (16.4%), and consumed alcohol (27.0%). Based on the results of multivariate analysis, the most dominant risk factor has a significant relationship with the incidence of mental emotional disorders, is alcohol consumption (PR = 2,43, 95%CI: 1,92-3,06). Then, followed by gender, smoking behavior, history of non-communicable diseases, and employment status."
Depok: 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Olivia Esrana
"Penyakit campak sangat menular terutama menyerang anak-anak yang tidak mempunyai kekebalan terhadap penyakit campak. Penyakit campak merupakan masalah kesehatan yang cukup serius baik di negara maju maupun negara berkembang, walaupun dapat dicegah dengan imunisasi namun KLB masih sering terjadi. Di Indonesia imunisasi campak dimulai tahun 1983 dan cakupan campak 80 % telah dicapai pada tahun 1990 dan dapat dipertahankan sampai sekarang. Namun cakupan tinggi belum terdistribusi merata sampai ke desa, sehingga masih terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) campak yang sering mengakibatkan kematian khususnya pada anak dengan gizi buruk. Cakupan tinggi menyebabkan terjadinya pergeseran umur penderita campak, bukan hanya pada balita tetapi mulai tinggi pada anak sekolah. Perubahan pola epidemi campak merubah strategi program. Serta mengacu kepada sidang WHA untuk menurunkan angka insidens campak sebesar 90% dan angka kematian campak sebesar 95%, dan sidang WHO 1996 yang menyatakan kemungkinan penyakit campak dapat dieradikasi karena pejamu hanya manusia. WHO membuat target global eradikasi campak pada tahun 2005 - 2010 dan menilai kinerja setiap negara terhadap upaya pengendalian campak. Berdasarkan kriteria WHO, maka Indonesia saat ini masuk dalam phase reduksi kasus dan pencegahan KLB campak. Namun strategi pencapaian diserahkan pada kemampuan keuangan masing-masing negara. Untuk mengantisipasi hal tersebut selain irunisasi rutin bayi, pada tahun 2000 telah diberikan imunisasi campak tambahan pada anak sekolah kelas 1 - 6 SD (catch up) di 2 propinsi (DKI Jakarta & Jawa Barat), serta crash program campak anak balita di desa rawan campak (resiko tinggi) di 13 propinsi di Indonesia. Sebelum mengadop kegiatan catch up ke propinsi lain serta mengingat keterbatasan keuangan negara, maka diperlukan evaluasi ekonomi analisis biaya hasil (cost effectiveness analysis) dari kegiatan campak tambahan tersebut. Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mendapatkan gambaran tentang model kegiatan imunisasi campak yang paling "cost effective" dalam upaya pengendalian campak, mengetahui biaya satuan per kegiatan serta komponen biaya terbesar, juga untuk mengetahui kecenderungan penurunan kasus setelah imunisasi campak tambahan dilaksanakan.
Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor di 56 puskesmas yang terdiri dari 28 Puskesmas Desa UCI yang melaksanakan imunisasi rutin dan catch up (model-2) dan 28 Puskesmas Desa Non-UCI yang melaksanakan imunisasi rutin, catch up dan crash program (model-3) pada tahun 2000 dan sebagai pembanding adalah puskesmas yang soma (tahun 1999) yang hanya melaksanakan imunisasi rutin (model-1). Rancangan penelitian studi operasional (OR) evaluasi ekonomi analisis biaya efektif (CEA). Berdasarkan jenis data retrospektif dengan analisa deskriptif. Hasilnya adalah biaya satuan: rutin Rp.8.141, catch up Rp.3.275, crash program Rp. 3.552. Biaya satuan yang paling cost effective adalah pada kegiatan masal catch up yaitu 40% dari biaya satuan rutin. Komponen biaya yang terbesar dari 3 kegiatan dan model imunisasi adalah pada biaya operasional (96,50% - 99,96%). Sedang jenis biaya terbesar pada biaya operasional imunisasi rutin adalah biaya vaksin, gaji, alat suntik dan transport lapangan. Hanya pada daerah sulit, transport lapangan lebih tinggi dart biaya alat suntik. Untuk kegiatan catch up dan crash program biaya operasional terbesar adalah biaya vaksin, alat suntik dan gaji. Terjadi penurunan kasus campak yang bermakna pada puskesmas yang sama, dengan membandingkan kegiatan imunisasi model-2 dan model-3 (tahun 2000) terhadap model-1 (1999). Penurunan kasus di puskesmas model-2 sebesar 49,5% dan di puskesmas model-3 sebesar 59,4%, sedangkan di Kabupaten Bogor penurunan kasus campak sebesar 65,3%. Pada tahun 2000 dikedua kelompok model penelitian dan di Kabupaten Bogor tidak terjadi KLB campak, dimana selama 9 tahun (1991-1999) selalu terjadi KLB campak.
Proporsi penurunan kasus terbesar terjadi pada kelompok umur balita yaitu di puskesmas model-2: umur < 1 tahun (66,2%), dan umur l - 4 tahun (68,3%). Di puskesmasmodel-3: umurcl tahun (50%) dan 1 - 4 tahun (75,1%). Soma dengan di,Kabupaten Bogor penurunan kasus campak terbesar pada kelompok umur balita yaitu < 1 tahun (72,5%) dan umur 1 - 4 tahun (76,2%). Berdasarkan hasil CE-ratio dart kedua model imunisasi campak tambahan, model yang paling cost effective adalah model-2 yaitu imunisasi rutin bayi dan catch up anak SD. Model-2 ini efektif untuk menurunkan kasus dan mencegah terjadinya KLB berarti dapat memutuskan transmisi virus dari anak sekolah kepada anak balita dirumah, namun demikian untuk menghilangkan desa rawan campak kegiatan crash program harus tetap dilakukan di desa-desa dengan cakupan rendah 2-3 tahun.

Measles is a serious infectious disease afflicted predominantly children under five who are susceptible to the disease. In most developing countries, measles is still one of the leading causes of children morbidity and mortality. Instead of significant achievement of EPI Program, outbreaks of measles are still frequently occurred. Measles vaccine was introduced and included into routine EPI in 1983 and UCI coverage (> 80 %) was achieved in 1990, and has been sustained until now. The problem that we are facing is the UCI coverage is not equally distributed which leads to the occurrence of measles outbreaks in pocket villages. The outbreaks claim many deaths among malnourished children. High coverage of measles vaccination has shifted the age of the cases to the right, where older children are affected and not only children under five. The changes of this disease pattern calls for revision of the EPI program strategy. The changes of the strategy is also revered to WHA resolution which has set the target of measles disease reduction by 90% and mortality reduction by 95%. Due to the natural history of disease, with potent vaccine measles could be eradicated like smallpox and polio. WHO has set the global target for measles eradication in 2005 - 2010 and plays a great roles in evaluating the performance of it's member countries towards measles eradication. WHO has conducted external evaluation and considered Indonesia is now at the stage of measles reduction and prevention of measles outbreaks occurrence. WHO member countries implemented different strategies in achieving their measles reduction target, it is very much depend on the available resources of each country. Indonesia, beside routine basic immunization program to infant has also in the year 2000 introduced additional measles vaccination to school children year 1 -- 6 elementary school in DKI Jakarta and West Java which is known as catch-up activities. Crash program for children under five was also introduced in measles high risk areas in 13 provinces. The introduction of catch-up campaign and crash program was based on epidemiological evidence. Cost effectiveness analysis need to be undertaken before deciding to adopt catch-up campaign and crash program approaches as national policy. The objectives of the cost effectiveness analysis study are to get better picture and better understanding of the most cost effective model of measles vaccination, unit cost for each activity, the biggest budget component, trend of measles reduction after additional measles vaccination been implemented.
The study was conducted in Bogor Regency involved 56 health centres, consists of 28 health centres have achieved village UCI coverage in 2000, which are implementing routine immunization and catch-up campaign (model-2) and 28 health centres who have not achieved village UCI coverage in 2000 which are implementing routine immunization, catch-up as well as crash program (model-3) control health centres were the same health centres who in 1999 implemented routine immunization (model-1) only. The study design was operational research (OR), economic evaluation cost effectiveness analysis (CEA). Using retrospective data with descriptive analysis. From data analysis it is evidence that the unit cost for different approaches are the following:
- Routine immunization Rp. 8141
- Catch-up campaign Rp. 3275
- Crash program Rp. 3552
The most cost effective is catch-up campaign which is only 40% of the cost of routine immunization. The biggest component of those three different approaches comes from the operational cost which is 96,5% - 99,96% of the total cost. In routine, the biggest cost of the operational cost is for vaccine, salaries, syringes and transportation. Only in remote different areas cost for transportation is bigger than cost for syringes. In catch-up campaign and crash program the biggest operational cost are for vaccines, syringes, salaries. It is evidence that there has been significance reduction of measles cases in model-2 and model-3 approaches (2000) as compare to model-1 (1999). Measles reduction in health centres for model-2 approach 49,5%, model-3 approach 59,4%, while for the whole Bogor Regency the measles reduction was 65,3%. It is also found that in 2000, measles outbreaks was not occurred in the study areas and in the Bogor Regency where in the last 9 years (1991-1999) measles outbreaks has always been occurred.
If we look at the age distribution the significant reduction was found in underfive group. Health centres model-2: < 1 year (66,2%), 1 - 4 years (68,3%). In health centres model-3: < 1 year (50%), I - 4 years (75,1%). Similar figure is also found in Bogor Regency where significant measles reduction was in underfive age group; < 1 year (72,5%), 1 - 4 years (76,2%). Finally, based on CE-Ratio calculation, model-2 was the most cost effective which include routine immunization and catch-up campaign for elementary school children. In conclusion model-2 is effective to reduce cases and to prevent measles outbreaks and is capable to cut the viral transmission from school children to children under five in their respective households. Hence, to reduce the number of high risk villages, crash program should be implemented continuously in low coverage villages at least for
"
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutanto Priyo Hastono
"ABSTRAK
Kualitas hidup dan produktivitas kerja akan tercapai dengan baik/optimal bilamana tubuh dalam kondisi sehat. Sementara itu kondisi tubuh sehat sangat erat kaitannya dengan kecukupan gizinya. Banyak faktor yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keadaan gizi seseorang. Diantaranya adalah kemajuan di bidang ekonomi. Dengan meningkatknya kemakmuran masyarakat, ternyata merubah pola gaya hidup yang semula mengikuti pola tradisional yang banyak mengkonsumsi sayuran dan serat berubah ke pola makanan yang sangat sedikit konsumsi seratnya seperti terlalu banyak unsur lemak, protein, gula dan garam.
Banyak faktor sosio demograf yang dapat mempengaruhi status gizi, diantaranya adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan dan kebiasaan merokok. Disamping itu faktor keturunan, tingkat hormon dan emosi seseorang juga sangat berperan dengan status gizi. Tujuan penelitian ini adalah akan menggali faktor-faktor yang berkaitan dengan status gizi melalui pemodelan Multiple regression Linier. Pemodelan Multiple Regression linier sebenarnya sudah lama digunakan untuk indentifikasi suatu kejadian. Namun demikian kebanyakan hasil analisis yang didapat kurang memuaskan dan cenderung keliru. Dalam menggunakan analisis Multiple Regression Linier diperlukan beberapa persyaratan (asumsi) yang harus dipenuhi, diantaranya adalah harus memenuhi asumsi Homoscedasticity, existence, independence, linearity, dan normality.
Penelitian mengambil sampel penduduk dewasa yang tinggal di Surakarta Jawa Tengah dengan jumlah sampel 307 orang. Penelitian dilakukan dengan menganalisis data sekuder tentang Pola makan pada latar belakang sosial ekonomi yang berbeda di Surakarta Jawa Tengah tahun 1996, Variabel indepeden yang dianalisis dalam data tersebut adalah variabel umur, pendidikan, jenis kelamin, merokok dan penghasilan.Variabel dependenya adalah status gizi dengan menggunakan pendekatan nilai IMT. Hasil analisis menghasilkan bahwa semua asumsi yang dipersyaratan analisis Multiple Regression linier sudah terpenuhi, sehingga tidak perlu dilakukan transformasi data. Dari kelima variabel yang dianalisis ternyata hanya variabel jenis kelamin dan penghasilan yang berhubungan dengan status gizi (IMT). Wanita lebih tinggi nilai IMT-nya dibandingkan laki-laki. Penghasilan mempunyai hubungan positip terhadap IMT, artinya semakin tinggi penghasilannya akan semakin tinggi nilai IMT-nya. Dan kedua variabel tersebut yang paling kuat hubungannya dengan IMT adalah jenis kelamin."
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Atang Saputra
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Zaenal Arifin Tanaya
"Pada dekade belakangan ini populasi lanjut usia meningkat di negara-negara sedang berkembang, yang awalnya hanya terjadi di negara maju. Demikian halnya di Indonesia populasi lanjut usia juga mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut disertai dengan peningkatan prevalensi status gizi lebih, yang kemungkinan disebabkan oleh rendahnya aktivitas fisik. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Studi Evaluasi Program Kesehatan Usia Lanjut di Puskesmas DKI Jakarta tahun 1997, yang merupakan kerja sama Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dengan Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara aktifitas fisik dengan status gizi lebih pada lanjut usia di Jakarta Barat. Penelitian menggunakan Rancangan Potong Lintang (cross sectional) dengan pengambilan sampel secara kluster berdasarkan PPS (probability proportional to size). Sampel adalah lanjut usia yang berumur 55 tahun atau lebih sebanyak 120 orang. Faktor dependen yang dipilih adalah status gizi lebih, sedangkan faktor independen adalah aktivitas fisik. Untuk melihat pengaruh faktor konfonding, maka diuji faktor-faktor umur, jenis kelamin, status kawin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, status kesehatan, tingkat ekonomi, konsumsi energi dan kebiasaan merokok terhadap kemaknaan variabel tersebut. Data dianalisis dengan analisis univariat dan bivariat, serta diuji korelasi antar variabel dengan uji Spearman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi status gizi lebih lanjut usia adalah sebesar 44.2%. Prevalensi lanjut- usia dengan aktivitas fisik tingkat ringan sebesar 51.7%, sisanya dengan aktivitas fisik tingkat berat. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara aktivitas fisik dengan status gizi lebih. Setelah dilakukan pemisahan aktivitas fisik menjadi aktivitas kerja, aktivitas olahraga dan aktivitas waktu luang, ternyata terdapat hubungan antara aktivitas waktu luang dengan status gizi (Indek Masa Tubuh) yang dikontrol faktor wanita, faktor umur 55-59 tahun, faktor pendidikan SMU keatas serta faktor lanjut usia yang mempunyai 3 atau lebih keluhan sakit, menunjukkan hubungan yang bermakna. Kemudian model regresi linier dengan cara dilakukan analisis regresi liner serta dilakukan uji koefisien korelasi parsial yang akan mengetahui faktor yang lebih kuat hubungannya, hasil menunjukkan hanya faktor wanita yang berperan dalam model tersebut. Sebagai saran bagi perencana program pembinaan peningkatan kesehatan lanjut usia adalah: Pola aktivitas pada waktu luang perlu dilakukan perubahan intensitasnya terutama bagi lanjut usia wanita.

Relationship between Physical Activity and Elderly Nutritional Status under Community Health Center Management in West Jakarta in 1997During the last decade, population of the elderly in developing countries including Indonesia has increased due to the improvement of social welfare. Many cases indicated that most elderly people were in malnourished condition that caused the overweight or even obesity. Some studies reported that the elderly people were also lack of physical activities.
This research is aimed to identify the relationship between the physical activities and the overweight status of the elderly in west Jakarta. The research used the secondary data from the Evaluation Studies on the Elderly Health Program in the Public Health Center in Jakarta during 1997. The studies were carried out by Public Health Faculty The University of Indonesia as a joint worked with Jakarta Health Office. The secondary data were taken by cluster sampling through PPS (Probability Proportional to Size) includingmen and women of the age 55 or above. The sample size was 120 persons. The dependent factor was over weight status, and the independent factor was the physical activity. The confounding factors were considered include sex, age group, marital status, education level, health condition, and energy consumption. Data were analyzed using univariate and bivariate correlation test (spearman test). The results showed that the proportion of elderly with overweight was 44.2 % and with the physical activity was 51.7 %.
The result of bivariate analysis showed that there was no meaningful correlation between physical activity and overweight status. After categorizing the physical activity became to work activity, sport activity and leisure time activity it was shown that there was the meaningful correlation between the leisure time activity and the nutritional status (body mass index) after controlling with age of 55-59, high school education and over and the elderly with 3 and over illness complaints. Further more, the multiple liuier regression analysis that in stages made the model also it used the partial correlation coefficients test to the strength correlation. The result showed that only women factor was activity. Suggestions for action on planning the program of elderly health improvement are activity leisure time pattern need for the improvement the intensity of the women elderly.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutanto Priyo Hastono
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>