Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lisawati Susanto
"Ruang lingkup dan cara penelitian : Toxoplasma gondii adalah suatu protozoa yang hidup intraselular. Infeksi primer pada wanita hamil dapat menyebabkan abortus, kematian intrauterin dan kelainan kongenital pada. bayi, sedangkan pada penderita imunokompromais infeksi dapat berakibat fatal. Diagnosis toksoplasmosis biasanya dilakukan dengan pemeriksaan serologi, namun pemeriksaan ini tidak memuaskan, sedangkan pengobatan dini perlu dilakukan. Reaksi rantai polimerase (PCR) dengan target gen B1 dan gen P30 dengan cara ekstraksi DNA yang sederhana merupakan salah satu teknik yang dapat mengatasi masalah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi minimal DNA T.gondii yang masih terdeteksi dengan gen B1 dan gen P30. PCR dengan target gen B1 dilakukan pada berbagai konsentrasi DNA murni T.gondii yaitu : 5; 2,5; 1; 0,1; 0,01; 0,001; 0,0001 dan 0,00001 ng / 50 µl larutan PCR. Konsentrasi DNA murni T.gondii dalam DNA darah manusia sehat adalah 25; 10; 5; 2,5; 1; 0,1; 0,01; 0,001 dan 0,0001 ng / 50 µl larutan PCR. Berbagai jumlah takizoit dalam 100 µl darah manusia sehat adalah 1000; 100; 50; 40; 30; 20; 10; 5 dan 1 takizoit Untuk PCR dengan target gen P30 dipakai konsentrasi DNA murni T.gondii sebagai berikut : 1; 0,5; 0,25; 0,1; 0,01; 0,001 dan 0,0001 ng / 50 µl larutan PCR. Konsentrasi DNA murni T.gondii dalam DNA manusia sehat adalah : 10; 5; I; 0,25; 0,05; 0,01; 0,025 ng / 50 pl larutan PCR; serta jumlah takizoit dalam 100 µl darah manusia sehat adalah 1000; 100; 50; 40; 30; 20 dan 10.
Hasil dan kesimpulan : Dengan cara ekstraksi DNA sederhana konsentrasi minimal DNA T.gondii yang masih terdeteksi dengan target gen B1 adalah 0,0001 ng , untuk campuran DNA murni dengan DNA manusia sehat 0,001 ng dan untuk campuran darah manusia sehat dengan suspensi takizoit DNA dari 1 takizoit dengan target gen P30 terdeteksi DNA murni 0,001 ng, untuk campuran DNA murni dengan DNA manusia sehat 0,025 ng dan untuk campuran darah manusia sehat dengan suspensi takizoit DNA dari 20 takizoit.
Kesimpulan :
1. Dengan cara ekstraksi sederhana uji dengan target gen B1 lebih sensitif dari gen P30.
2. Jumlah siklus yang diperlukan pada penelitian ini adalah 50 siklus."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rochida Rasidi
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: W. kalimantani ditemukan pertama kali pada tahun 1980 oleh Palmieri dkk pada lutung P. cristatus di Kalimantan. Parasit ini mirip dengan W. bancrofti yang merupakan parasit filaria terpenting di dunia. Parasit ini hanya ditemukan pada manusia, tidak terdapat pada hewan, sehingga pengobatan, patologi dan imunologi penyakit filariasis ini tidak dapat dipelajari dengan baik (model hewan yang baik sampai sekarang belum ditemukan). Ditemukannya W. kalimantani pada lutung Presbytis memberikan landasan untuk memakai parasit dan hewan tersebut sebagai model wukereriasis. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perkembangan larva filaria W. kalimantani dalam nyamuk Ae. togoi sebagai vektor eksperimental. Nyamuk Ae. togoi yang dipelihara di laboratorium diinfeksi dengan mikrofilaria W. kalimantani dari lutung P. cristatus. Nyamuk disimpan dalam kamar dengan suhu 26° C dan kelembaban 80%. Setiap hari setelah infeksi 10 ekor nyamuk dibunuh, 5 ekor langsung dibedah dalam larutan garam faal untuk mempelajari perkembangan larva, dan 5 ekor lainnya dimasukkan dalam alkohol panas 70% untuk kemudian diwarnai dengan trikrom agar dapat diukur panjang, lebar dan ekor larva. Pengukuran dilakukan dengan mikrometer dengan pembesaran 100 dan 450 kali; setiap hari diukur ± 30 ekor larva.
Hasil dan Kesimputan:
1. Larva W. kalimantani menjadi bentuk infektif dalam nyamuk Ae. togoi daLam waktu 16 1/2-20 1/2 hari setelah infeksi. Panjang larva stadium III W. kalimantani tidak berbeda banyak dengan Larva stadium III W. bancrofti (1655,8-1648,7 μ).
2. Pola perkembangan larva W. kalimantani dalam nyamuk Ae. togoi menyerupai perkembangan Larva W. bancrofti dalam nyamuk Cx. guinquefasciatus. Kami berpendapat bahwa nyamuk Ae. togoi dapat dipakai sebagai vektor eksperimental di laboratorium.
"
1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Suarsini
"ASBTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Di Indonesia kasus infeksi oleh cacing Echinostoma spp. belum banyak dilaporkan, tetapi di beberapa tempat tertentu ditemukan secara endemi. Infeksi pada manusia terjadi secara kebetulan, yaitu bila manusia makan keong air yang mengandung metaserkaria dalam keadaan mentah atau setengah matang.
Tujuan umum penelitian ini adalah ingin mengetahui keadaan infeksi cacing Echinostoma spp. pada keong Bellamya javanica (Vivi para javanica) yang merupakan sumber infeksi bagi manusia di Indonesia. Sejumlah 2500 keong telah dikumpulkan, dan secara acak dipilih 500 ekor untuk dilakukan pembedahan dan pemeriksaan metaserkaria.
Metaserkaria yang dikumpulkan diinfeksikan terhadap mencit putih. Telah diinfeksi 30 ekor mencit- putih, masing-masing dengan 150 ekor metaser karia. Untuk keperluan identifikasi, cacing dewasa yang tumbuh dalam usus mencit dikumpulkan, kemudian dipulas dengan teknik pulasan 'trichrome' yang dimodifikasi.
Hasil dan Kesimpulan: Pada penelitian ini didapatkan angka infeksi metaserkaria Echinostoma, spp. setinggoi 100 % pada keong B. javanica. Rata-rata tiap keong mengandung 802 ekor metaserkaria. Infektivitas metaserkaria pada mencit cukup Tinggi, yaitu dari 30 ekor mencit terdapat 27 ekor {90%) positif, sedangkan jumlah produksi seluruhnya 133 ekor cacing. Jadi tiap mencit rata-rata mengandung 9 ekor cacing.
Hasil identifikasi spesies diperoleh 75 ekor (56,4%) E. recurvatum, 24 ekor (18,0%) E. ilocanum, dan 10 ekor (7,6%) E. revolutum; lainnya 24 ekor (18,0%) tidak dapat diidentifikasi. Dengan demikian dapat dikimpulkan bahwa keong B. javanica merupakan hospes perantara II cacing Echinostoma spp. yang sesuai dan berperan sebagai sumber infeksi potensial bagi manusia.

ABSTRACT
Scope and Method of Study: Cases of echinostomiasis are rarely reported in Indonesia, but in some places endemic foci have been found and are considered as of . public health importance. Human infections occurred accidentally, and man got the infection by way of consuming raw or half cooked snails which contained metacercariae. The general objective of this study is to know whether Echinostoma spp. larvae found in B. javanica (Vivipara javanica) snails are the potential source of infection for man in Indonesia. In this study 2500 snails were collected, and 500 snails were randomly selected for dissecting and searching for metacercariae. Experimental infection of 30 white mice were then carried out with 150 metacercariae for each mouse. For species identification, adult worms were stained by a modified trachoma staining technique.
Findings and Conclusions: The infection rate of Echinostoma in B. javanica was found to be 100 %, with a mean number of 802 metacercariae for each snail. The infectivity of metacercariae for white mice is quite high: of 30 mice infected, 27 (90%) were positive. A total of 133 adult worms were found; the worms found in each mouse varied from 1 - 27, with a mean of 5 worms per mouse. Identification results: 75 (56.5%) were identified as E. recurvatum, 24 (18.2%) E. ilocanum, 10 (7.6%) E. revolutum, and 24 (18.2%) could not be identified. Thus, based on this evidence, the snail B. javanica could be considered as a potential host for Echinostoma spp.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wirya Dharma K. Liman
"Ruang lingkup dan cara penelitian Toxocara canis dan T. cati merupakan penyebab utama visceral larva migrans. Penyakit ini dikaitkan dengan adanya hubungan erat antara manusia dengan peliharaannya yaitu anjing dan kucing. Banyak kasus visceral larva migrans dilaporkan di luar negeri sedangkan di Indonesia sampai sekarang belum ada laporan mengenai penyakit tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi Toxocara pada anjing dan kucing yang merupakan sumber infeksi bagi manusia dan melakukan studi deskriptif mengenai morfologi Toxocara yang ditemukan di Indonesia. Pengumpulan sampel dilakukan secara selektif dan pemeriksaan tinja anjing dan kucing dilakukan dengan teknik langsung dan cara sedimentasi. Anjing dan kucing yang tinjanya positif dengan telur Toxocara diberi obat pirantel pamoat untuk memperoleh cacing dewasa. Kemudian dilakukan pemeriksaan telur dan cacing dewasa guna mempelajari morfologinya.
Hasil dan Kesimpulan: Telah diperiksa 60 ekor anjing dan 100 ekor kucing. Prevalensi T. canis pada anjing 38,3% dan T. cati pada kucing 26,0%. Tidak ditemukan infeksi campur antara kedua jenis cacing balk pada anjing maupun pada kucing. Ukuran telur T. canis 90,25 + 5,95 u x 78,8 + 5,4 u dan telur T. cati 77,39 + 4,6u x 65,57 + 8,07 U. Telur T. canis lebih besar daripada telur T. cati. Hasil pemeriksaan morfologi cacing dewasa: panjang tubuh T. canis jantan lebih panjang daripada panjang tubuh T. cati jantan; alae T. cati lebih lebar daripada alae T. canis; esofagus, ventrikel dan spikula T. cati lebih panjang. Kesimpulannya ialah prevalensi T. canis 38,3% dan T.'cati 26,0%; tidak terdapat infeksi campur; morfologi telur dan cacing dewasa T. canis dan T. cati berbeda.

Scope and Method of Study: Toxocara canis and Toxocara cati are the principal etiology of visceral larva migrans. This disease in man is due to the existence of a close relationship between man and domestic animals, namely dogs and cats. In the literature many cases of visceral larva migrans have been reported, but up to now, there is no report of this disease in Indonesia.
The aim of this study is: to determine the pre-valence rate of Toxocara infection in dogs and cats which are the source of human, to carry out a descriptive study and to compare the morphology of the eggs and the adult worm of Toxocara found in this study. Sampling were done selectively. Faecal specimens from each animal were examined by direct and sedimentation methods. Those dogs and cats whose faeces showed positive Toxocara eggs were given pyrantel pamoate to obtain the adult worms. The morphology of the eggs and adult worms of Toxocara canis and Toxocara cati were studied.
Findings and Conclusions: In this study faecal specimens from 60 dogs and 100 cats have been examined. The prevalence rate of T. canis in dogs was 38,3% and that of T. cati was 26,0.- No mixed infection could be found. T. canis eggs measured: 90,25 + 5,97 u by 78,8 + 5,40 u, while T. cati were 77,39 + 8,07 u. Thus the T. canis eggs were larger than the eggs of T. cati. the results of the morphological study of the adult worms were as follows: the body length of males T. canis was longer than the males of T. cati, T. cati alae were broader than those of T. canis, while the length of the esophagus of T. cati was longer than that of T. canis. It was concluded in this study that the prevalence rate of T. canis and T. cati was respectively 38,3% and 26,0%. No mixed infection of T. canis and T. cati could be found in dogs as well as in cats. The result of the morphological study of T. canis eggs and adult worms differed from that of T. cati.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wahyuningsih
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Aspergillus merupakan jamur yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Salah satu di antaranya adalah alergi, yang mempunyai manifestasi klinik asma bronkial. Di Indonesia peran Aspergillus dalam menimbulkan serangan asma bronkial belum diketahui. Untuk itu dilakukan pemeriksaan sputum terhadap adanya Aspergillus pada 75 orang penderita asma dan 62 orang sehat. Pengambilan sputum dilakukan pada saat serangan dan satu minggu sesudahnya. Sputum dibatukkan ke dalam cawan Petri steril; dilakukan pemeriksaan langsung dan biakan. Biakan dianggap positif bila tumbuh jamur Aspergillus satu koloni atau lebih. Hasil pemeriksaan kelompok penderita asma pada saat serangan dibandingkan dengan hasil pemeriksaan satu minggu sesudah serangan. Juga dibandingkan antara kelompok asma dan kelompok sehat. Selain itu dilakukan pemeriksaan tes imunodifusi dengan antigen Aspergillus untuk mencari zat anti terhadap Aspergillus.
Hasil dan Kesimpulan: Hasil pemeriksaan sputum pada 53 orang (yang kembali) penderita asma pada saat serangan dan satu minggu sesudahnya memberi hasil 27 orang positif pada saat serangan dan negatif sesudahnya. Pengujian statistik menunjukkan adanya ketergantungan antara Aspeuillus dan serangan asma (p<0,01). Tujuh puluh lima orang penderita asma diperiksa pada saat serangan dengan cara langsung, 22 orang positif (23%) dan dengan biakan 45 orang positif (60%). Pada orang sehat dengan cara yang sama didapatkan 6 orang (9,6%) dan 9 orang (14,5%) positif. Uji statistik menunjukkan adanya hubungan antara serangan asma dan Aspergillus (p<0,01). Odds ratio 8,8 menunjukkan Aspergillus memang mampu menyebabkan penyakit. Perbandingan hasil pemeriksaan sputum satu minggu sesudah serangan dan orang sehat menunjukkan adanya perbedaan bermakna, hal ini berarti bahwa satu minggu sesudah serangan belum menggambarkan keadaan normal. Hasil pemeriksaan tes imunodifusi menunjukkan bahwa sebagian besar tidak ada invasi Aspergillus ke dalam jarigan."
1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robiatul Adawiyah
"Latar Belakang: Kriptokokosis meningeal merupakan infeksi oportunistik yang muncul pada penderita terinfeksi HIV di Indonesia. Penyebab utama kriptokokosis adalah Cryptococcus neoformans. Laporan terkait karakteristik klinis, mikologis dan laboratorium klinis pada pasien AIDS dengan kriptokokosis meningeal belum ada di Indonesia. Tujuan: Mengetahui karakteristik klinis, mikologis dan laboratoris pasien AIDS dengan kriptokokosis meningeal di Jakarta. Metode: Penelitian deskripsi retrospektif dengan desain potong lintang ini dilakukan di RSCM dan RSKO untuk data klinisnya dan pemeriksaan laboratoriumnya dilakukan di laboratorium departemen Parasitologi FKUI dan Westerdijk Fungal Biodiversity Institute, Utrecht, the Netherlands. Hasil: Gejala klinis utama adalah sakit kepala. Pasien yang hidup lebih banyak dari yang meninggal di RS. Isolat Cryptococcus sp. seluruhnya memproduksi melanin, membentuk empat fenotipe koloni, memiliki dua jenis mating-type dan empat genotipe (AFLP1, AFLP1 A, AFLP2 dan AFLP3). Terdapat infeksi campur mating-type dan genotipe pada satu pasien. Hitung CD4 mayoritas rendah.
Diskusi: Mating-type terbanyak adalah α- α karena lebih virulens. Genotipe yang ditemukan sesuai laporan di dunia. Infeksi campur mating-type dan genotipe diduga karena jamur yang menginfeksi memiliki mating-type dan genotipe yang berbeda.
Kesimpulan: Sakit kepala merupakan gejala klinis terbanyak. Genotipe terbanyak adalah AFLP1. Terdapat infeksi campur mating-type dan genotipe pada satu pasien.

Background: Meningeal cryptococcosis is an opportunistic infection in HIV-infected patients. The main cause of cryptococcosis is Cryptococcus neoformans. Reports related to clinical, Mycological and laboratory characteristics in AIDS patients with meningeal cryptococcosis do not yet exist in Indonesia. Objective: To determine the clinical, Mycological and laboratory characteristics of AIDS patients with meningeal cryptococcosis in Jakarta. Methods: This retrospective description study with cross-sectional design was conducted at RSCM and RSKO for clinical data and laboratory tests were carried out in the laboratory of the department of Parasitology FKUI and Westerdijk Fungal Biodiversity Institute, Utrecht, the Netherlands. Results: The main symptom is headache. Patients live more than those who died in the hospital. All isolates of Cryptococcus sp. produce melanin, forming four colony phenotypes, having two types of mating-type and four genotypes (AFLP1, AFLP1 A, AFLP2 and AFLP3). There were a mixed mating-type and genotype infection in one patient.
Discussion: Most mating-types are α- α because they are more virulent. Genotype found is the same with reported in the world. The mixed mating-type and the genotype because suspected infecting fungi have different mating-types and genotypes.
Conclusion: Headache is the most symptom. Most genotypes are AFLP1. There was a mixed mating-type and genotype infection in one patient.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57643
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emma Mardliyah Hidayat
"Infeksi parasit masih merupakan masalah di dunia, terutama di daerah endemis. Adanya pandemi menyebabkan kemungkinan terjadinya misdiagnosed ataupun late diagnosed dari infeksi parasit karena gejala klinis yang mirip. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penegakan diagnosis dan tatalaksana infeksi parasit pada pasien dengan koinfeksi COVID-19. Metode yang dilakukan adalah dengan tinjauan pustaka sistematis pada berbagai laporan kasus yang dipublikasikan. Penelusuran artikel dilakukan sesuai dengan alur pada diagram Prisma secara online melalui PubMed, Google Scholar, Hindawi, Cochrane library, Science direct, DOAJ, Public Library of Science (PLoS). Kata kunci yang digunakan yaitu parasite infection, COVID-19, parasite coinfection covid, intestinal parasite, helminthiasis, protozoa infection, ascariasis, trichuriasis, hookworm, strongyloidiasis, filariasis, schistosomiasis, amebiasis, giardiasis, malaria, typanosomiasis, leishmaniasis. dengan menggunakan quoatation mark “ “ dan Boolean operator “OR” “AND”. Hasil penelusuran didapatkan 700 artikel kemudian dilakukan penapisan dan telaah sehingga didapatkan 14 artikel yang sesuai untuk dianalisis. Dari 14 artikel tersebut didapatkan 17 kasus infeksi parasit, yaitu 2 kasus strongyloidiasis, 1 kasus filariasis, 11 kasus malaria, 2 kasus chagas disease, dan 1 kasus visceral leismahniasis. Penegakan diagnosis infeksi parasit pada pasien koinfeksi COVID-19 58,8% terlambat dilakukan. Tatalaksana infeksi parasit sudah sesuai dengan diagnosis, tetapi perlu diperhatikan adanya interaksi obat. Pemeriksaan diagnostik untuk infeksi parasit pada koinfeksi COVID-19 hendaknya dilakukan secara dini agar penyakit dapat teratasi dengan baik.

A parasitic infection has always been a global issue, especially in an endemic area. The occurrence of pandemic increases the possibility of either misdiagnosed or late-diagnosed of parasitic infection due to the similarity of clinical manifestation. This study was aimed at determining the diagnosis and management of parasitic infection in COVID-19 co- infection patients. The method used in this study was a systematic literature review of various published case reports. Article searches were executed based on the flow on the Prism diagram online through PubMed, Google Scholar, Hindawi, Cochrane library, Science direct, DOAJ, Public Library of Science (PLoS). The keywords used were parasite infection, COVID-19, parasite co-infection covid, intestinal parasite, helminthiasis, protozoa infection, ascariasis, trichuriasis, hookworm, strongyloidiasis, filariasis, schistosomiasis, amebiasis, giardiasis, malaria, trypanosomiasis, leishmaniasis, applying the quotation mark “ ” and the Boolean operator “OR” “AND”. The search results gathered 700 articles which were filtered and analyzed that narrowed to 14 journals suitable for the analysis. Out of these 14 journals, 17 cases of parasitic infection were found, namely 2 cases of strongyloidiasis, 1 case of filariasis, 11 cases of malaria, 2 cases of Chagas disease, and 1 case of visceral leishmaniasis. About 58.8% of patients coinfected with COVID-19 were diagnosed late. The management of parasitic infection has been done in accordance with the diagnosis, but drug interaction must be considered. Early diagnostic examination for patients coinfected with COVID-19 is highly suggested to ensure that the disease is treated well."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Elyn Dohar Idarin
"Infeksi protozoa usus pada kelompok usia anak masih merupakan masalah kesehatan di negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Di Indonesia dilaporkan prevalensinya berkisar antara 6,1-57,0%. Namun, infeksi protozoa usus pada anak seringkali tidak terdiagnosis karena gejala seringkali sudah tidak khas akibat berbagai pengobatan yang diberikan, terutama di rumah sakit tersier. Hasil negatif palsu juga dapat ditemukan pada kelompok pasien ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi terkait profil klinis pasien anak dengan kecurigaan diagnosis infeksi parasit usus serta hubungannya dengan hasil pemeriksaan spesimen feses. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi infeksi protozoa usus pada anak di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo serta mengetahui karakteristik klinis dan faktor yang berhubungan dengan deteksi protozoa usus. Penelitian dilakukan secara potong lintang retrospektif, menggunakan data rekam medis pasien anak usia <18 tahun dari RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo yang diperiksa fesesnya di Laboratorium Parasitologi FKUI. Data demografi, status gizi, riwayat penyakit, riwayat pemberian obat antiparasit, status HIV dan nilai CD4, dan hasil pemeriksaan feses diekstraksi dari rekam medis. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antarvariabel terhadap deteksi protozoa usus. Dari total 251 rekam medis pasien yang tercatat pada tahun 2018 hingga 2020, terdapat 97 sampel yang memenuhi kriteria eligibilitas penelitian dan dilakukan analisis. Hasil penelitian menunjukkan proporsi infeksi protozoa usus sebesar 10,3% (10/97). Infeksi Blastocystis hominis paling banyak ditemukan (6/10), diikuti Cryptosporidium spp. (3/10), Giardia duodenalis (2/10), Cyclospora sp. (1/10) dan Entamoeba histolytica (1/10). Kelompok usia sekolah, status HIV positif, dan nilai CD4 <200 sel/μl merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan deteksi protozoa usus pada studi ini.

Intestinal protozoa infection in the child age group is still a health problem in developing countries, one of which is in Indonesia. In Indonesia, the reported prevalence ranges from 6.1% to 57.0%. These infections tended to be undiagnosed due to nonspecific clinical and laboratory findings, as the patients might have been exposed to various antimicrobial treatments prior to examination. Thus, a study on the relationship between patients’ clinical profiles and stool specimen results needs to be performed. The current study aimed to identify the proportion of intestinal protozoan infection in pediatric patients at Cipto Mangunkusumo General Hospital and the associated factors of the infection. The research was a retrospective, cross-sectional study on patients aged <18 years. Data on patients’ medical records were retrieved: demography, nutritional status, past medical history, treatment history, HIV status, CD4 levels, and results of the fecal examination. Bivariate analysis was performed to identify the associated factors of intestinal protozoan infection. A total of 251 medical records from patients admitted in years 2018 through 2020 were obtained, among which 97 fulfilled the eligibility criteria and underwent final analysis. The proportion of intestinal protozoan infection was 10.3% (10/97), the most prevalent being Blastocystis hominis (6/10), followed by Cryptosporidium spp. (3/10), Giardia duodenalis (2/10), Cyclospora sp. (1/10) and Entamoeba histolytica (1/10). Current study results demonstrated that being school-age children, being HIV-positive, and having CD4 <200 cells/μl contributed to intestinal protozoan infection."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Masyithah Darlan
"Infeksi Strongyloides stercoralis adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing nematoda usus pada manusia. Pada individu dengan imunokompromais, S.stercoralis menyebabkan morbiditas yang berat hingga kematian. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh infeksi S.stercoralis pada individu dengan imunokompromais. Penelitian ini menggunakan rancangan studi kasus kontrol dan dilaksanakan pada Maret - Juni 2013. Subyek merupakan pasien dengan kondisi imunokompromais dan imunokompeten berasal dari rumah sakit dan laboratorium di Jakarta. Bahan klinis (feses) yang berasal dari subyek dikirim ke laboratorium Departemen Parasitologi FKUI. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik consecutive sampling. Seluruh bahan klinis (feses) diperiksa dengan pemeriksaan langsung sediaan basah dan dilanjutkan dengan kultur Harada Mori. Kondisi imun pasien tersebut diketahui dengan menggunakan rekam medik/ surat pengantar yang ada. Total feses yang berhasil dikumpulkan sebanyak 170 feses; Laki-laki sebanyak 108 dan perempuan 62 orang. Kisaran umur pasien yaitu 2-80 tahun dengan rata-rata 33,41 ± 22,65. Pasien dengan imunokompromais sebanyak 31 (18,2%, 31/170) dan imunokompeten 139 (81,8%, 139/170). Sebanyak 18 (10,6%, 18/170) feses positif larva S.stercoralis; 11 (10,2%, 11/108) laki-laki dan 7 (11,3%, 7/62) perempuan. Dari subyek yang positif infeksi S.stercoralis diperoleh 6 (19,4%, 6/31) yang mempunyai status imunokompromais sedangkan pada imunokompeten 12 (8,6%, 12/139). Pada studi ini diperoleh OR 2,54 dengan P-value 0,082 (95% CI: 0,871 - 7.043). Hal ini menunjukkan bahwa status imunokompromais mempunyai hubungan yang positif terhadap infeksi S.stercoralis walaupun secara statistik tidak ada perbedaan signifikan. Dari hasil studi ini dapat menjadi masukan bagi klinisi untuk dasar pengambilan kebijakan untuk meningkatkan penatalaksanaan infeksi dengan keluhan diare terutama pada penderita imunokompromais.

Strongyloides stercoralis infection is an infection caused by the human intestinal nematode worms. In immunocompromised individuals, S.stercoralis cause severe morbidity and fatality. The purpose of this study was to determine the effect of S.stercoralis infection among individual with immunocompromised state. A case control study was conducted between March-June 2013. Subjects were patients with immunocompromised and immunocompetent condition came from hospitals and laboratories in Jakarta . Who submitted their fecal specimen to parasitology FKUI. Sampling method was done by consecutive sampling technique. Direct examination with wet preparation was performed on the whole specimens followed by filter paper tube Harada Mori culture technique. The patient's immune status was identified from the medical record. There were 170 samples obtained from patients aged 2-80 years old (mean 33,1 ± 22,7); consisted of 108 men and 62 women; immunocompromised patients with as many as 31 (18.2 %, 31/170) and 139 immunocompetent (81.8 %, 139/170). A total of 18 (10.6 %, 18/170) faecal specimens was positive larval S.stercoralis which was proportionately similar between male and female patients. It was found that 6 (19,4%, 6/31) with immunocompromised and 12 immunocompetent (8,6%, 12/139). The odd ratio (OR) was 2,54 with P-value of 0,082 (95% CI: 0,871 to 7,043). Suggesting that immunocompromised state has a positive association to infection S.stercoralis although no statistically significant difference. this study recommends the clinician to increase awarness on S. stercoralis infection and management of infection with symptoms of diarrhea, especially in immunocompromised patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fanny
"Latar belakang: Leukemia limfoblastik akut LLA merupakan jenis kanker tersering pada anak. Faktor penyakit dan kemoterapi dapat menyebabkan ketidakseimbangan nutrisi makro maupun mikro. Zinc adalah salah satu nutrien mikro yang memiliki banyak peran fisiologis dalam tubuh, namun kadarnya berkurang pada penyakit limfoproliferatif. Defisiensi zinc cenderung meningkatkan morbiditas pada anak LLA, salah satunya infeksi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mencari proporsi defisiensi zinc pada LLA anak serta hubungannya dengan kejadian infeksi.
Pasien dan metode: Disain penelitian potong lintang deskriptif-analitik, tempat pelaksanaan di Departemen Patologi Klinik dan Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Jumlah subjek 81 anak LLA, yang terdiri dari 26 pasien baru dan 55 pasien pada berbagai fase kemoterapi. Kadar zinc diukur menggunakan prinsip kolorimetri dengan alat spektrofotometer otomatis.
Hasil: Proporsi defisiensi zinc pada pasien yang baru terdiagnosis sebesar 65.4 n= 26 dan pada pasien kemoterapi sebesar 49 n= 55 . Terdapat hubungan bermakna antara defisiensi zinc dengan kejadian infeksi p= 0.003; RR= 3.2, 95 CI 1.33 ndash; 7.69
Kesimpulan: Defisiensi zinc ditemukan pada anak dengan LLA sebelum kemoterapi dimulai, maupun pada berbagai fase kemoterapi. Risiko infeksi lebih besar pada anak LLA yang mengalami defisiensi zinc. Suplementasi zinc dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan prognosis, namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitasnya.

Background: Acute lymphoblastic leukemia ALL is a most common malignancy in children. Disease factors and chemotherapy effects may cause both macro or micro nutritional imbalance. Zinc is one of the micro nutrients that has many physiological roles in the body, but the levels may decrease in ALL. Zinc deficiency tend to increase morbidity in children with ALL, including infection.
Objective: The present study was done in order to find the proportion of zinc deficiency in pediatric ALL patients and to identify its relationship with the incidence of infection.
Patients and methods: This cross sectional study was carried out in the Departement of Clinical Pathology and Department of Paediatric Health, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. We conducted 81 paediatric ALL patients, consisted of 26 newly diagnosed and 55 in various phases of chemotherapy. Zinc levels were measured using colorimetric method by an automatic spectrophotometer.
Results: The proportion of zinc deficiency is 65.4 in newly diagnosed patients and 49 in children with various chemotherapy phases. There is a significant association between zinc deficiency and the incidence of infection p 0.003 RR 3.2, 95 CI 1.33 ndash 7.69.
Conclusion: zinc deficiency was found in children with LLA, and has significant association with the risk of infection. Zinc supplementation may be considered to improve the prognosis, however futher study of safety and side effect is necessary.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>