Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 210 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Husnaniah B. Sukiman
Abstrak :
Katarak merupakan penyebab utama kebutaan terutama di negara berkembang. Di Indonesia dari hasil survei morbiditas Departemen Kesehatan tahun 1982, didapatkan angka kebutaan pada kedua mata sebanyak 1,2%, dimana 0,76% disebabkan oleh katarak, 0,13% kekeruhan kornea, 0,10% glaukoma, 0,06% refraksi, 0,03% retina dan 0,02% kekurangan giz (1). Dari kenyataan ini dapat dimengerti mengapa hampir setiap dokter mata lebih sering melakukan bedah katarak dibandingkan dengan bedah mata lainnya.(2) Penderita katarak datang kepada dokter mata bukan dengan maksud untuk mengangkat kataraknya melainkan dengan tujuan untuk dapat melihat lagi. Hal ini membuat dokter mata berkewajiban untuk lebih menyempurnakan prosedur operasinya dalam mengurangi risiko komplikasi (2). Salah satu komplikasi yang paling ditakuti adalah endoftalmitis pasca bedah. Meskipun dengan diagnosis yang cepat serta pengobatan yang agresif, mata yang telah terinfeksi ini sukar kembali normal.(3,4) Berbagai sumber infeksi dapat mencemari isi bola mata sewaktu dilakukan bedah katarak, salah satunya adalah flora normal dari jaringan mata penderita sendiri.(3,5,6,7) Locatcher-Khorazo, Seegal, Goodner (dikutip oleh Forster) dan Indrakesuma di Bagian Mata FKUI/RSCM, mendapatkan bahwa Stafilokokus epidermidis merupakan flora normal yang terbanyak terdapat pada jaringan mata penderita pra bedah katarak, disamping Stafilokokus aureus.(5,8) Forster dan Valenton menemukan Stafilokokus epidermidis dari isolasi kuman sebagai penyebab endoftalmitis pasca bedah katarak, sedangkan Allen menemukan Stafilokokus aureus disamping Pseudomonas aeruginosa dan miselaneus.(5,9,10) Dari keadaan tersebut diatas jelas tergambar bahwa flora normal pada jaringan mata penderita dapat mencemari isi bola mata sewaktu dilakukan bedah katarak. Dikatakan bahwa penggunaan antibiotika topikal pra bedah katarak .masih merupakan kontroversi. Hal ini karena efek toksis, resistensi kuman dan reaksi alergi, terutama bila antibiotika tersebut nantinya juga dipakai secara sistemik.(11, 12) Pemakaian povidon yodium sebagai antiseptik topikal merupakan pilihan lain untuk mencegah pertumbuhan kuman pra bedah katarak. Selain harganya yang cukup murah, yodium yang dilepas akan bekerja sebagai bakterisid berspektrum luas yang membunuh semua bakteri dalam waktu kurang dari satu menit, kecuali yang berbentuk spora akan lebih lambat dipengaruhi. Belum pernah dilaporkan adanya resistensi kuman terhadap povidon yodium, disamping itu penggunaannya tidak menyebabkan toksik terhadap kornea dan konjungtiva.(13,14,15,18)
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ailinda Theodora Tedja
Abstrak :
Kesesuaian antara reticulocyte hemoglobin equivalent (RET-He) dan reticulocyte hemoglobin content (CHr) untuk menilai status besi pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis (PGK-HD) belum diketahui. Penelitian ini bertujuan mendapat kesesuaian antara RET-He dan CHr, serta nilai cut off RET-He sebagai target terapi besi pasien PGK-HD. Desain penelitian potong lintang. Subyek 106 pasien PGK-HD yang diperiksa RET-He menggunakan Sysmex XN-2000 dan CHr dengan Siemens ADVIA 2120i. Didapatkan korelasi sangat kuat (r=0,91; p<0,0001) dan kesesuaian yang baik antara RET-He dan CHr (perbedaan rerata 0,5 pg). Nilai cut off RET-He 29,2 pg sebagai target terapi besi pasien PGK-HD memiliki sensitivitas 95,5%, spesifisitas 94%. ...... The concordance between reticulocyte hemoglobin equivalent (RET-He) and reticulocyte hemoglobin content (CHr) to assess iron status in chronic kidney disease patients undergoing hemodialysis (CKD-HD) was unknown. The aim of this study was to evaluate the concordance between RET-He and CHr, and to obtain the cut off value of RET-He as iron supplementation target in CKD-HD patients. A cross sectional study from 106 CKD-HD patients were analysed on both Sysmex XN-2000 and Siemens ADVIA 2120i. There was very strong correlation (r=0.91; p<0.0001) and good concordance between RET-He and CHr (mean bias 0.5 pg). The cut off value of RET-He 29.2 pg were obtained to assess iron supplementation target in CKD-HD patients with sensitivity and specificity were 95.5% and 94% respectively.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rohani Agustini
Abstrak :
Hiperglikemia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya nefropati diabetik pada pasien diabetes melitus tipe 2. American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan pemeriksaan albumin-to-creatinine ratio (ACR) setiap tahun untuk mendeteksi adanya nefropati diabetik. Pemeriksaan 1,5-anhydroglucitol (1,5-AG) merupakan salah satu pemeriksaan untuk monitoring kontrol glikemik. 1,5-AG merupakan penanda yang lebih sensitif untuk mengetahui adanya fluktuasi glukosa dan hiperglikemia postprandial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hiperglikemia yang terjadi secara intermiten lebih merusak endotel dibandingkan hiperglikemia yang stabil. Desain studi pada penelitian ini adalah potong lintang. Pada penelitian ini dilakukan analisis statistik untuk mendapatkan hubungan 1,5-AG dan HbA1c, 1,5-AG dan glukosa darah 2 jam PP, area under curve dan titik potong 1,5-AG sebagai indikator kontrol glikemik, dan perbedaan median kadar 1,5-AG serta HbA1c pada pasien dengan ACR < 30 mg/g dan ≥ 30 mg/g. Hasil penelitian ini didapatkan koefisien korelasi Spearman antara kadar 1,5-AG dan HbA1c pada pasien DMT2 adalah -0,74 (p<0,001), sedangkan nilai koefisien korelasi antara kadar 1,5-AG dan glukosa darah 2 jam PP pada pasien diabetes melitus tipe adalah -0,45 (p<0,001). Luas area under curve 1,5-AG sebagai indikator kontrol glikemik sebesar 87,1%. Titik potong 1,5-AG untuk indikator kontrol glikemik adalah 10,7 μg/mL. Pasien DMT2 dengan kadar ACR ≥ 30 mg/g memiliki median kadar 1,5-AG yang lebih rendah (6,4 μg/mL) dibandingkan pasien DMT2 dengan ACR < 30 mg/g (median kadar 1,5-AG 12,4 μg/mL), p = 0,007. Terdapat perbedaan median kadar HbA1c yang bermakna (p<0,001) pada pasien DMT2 dengan ACR < 30 mg/g dan ACR ≥ 30 mg/g. Pasien DMT2 dengan kadar ACR ≥ 30 mg/g memiliki median kadar HbA1c yang lebih tinggi (7,9%) dibandingkan kadar HbA1c pasien DMT2 dengan ACR < 30 mg/g (6,9%). Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan terdapat korelasi negatif kuat bermakna antara 1,5-AG dan HbA1c; dan korelasi negatif sedang bermakna antara 1,5-AG dan glukosa darah 2 jam PP. Terdapat perbedaan rerata kadar 1,5-AG dan HbA1c yang bermakna antara pasien diabetes melitus dengan ACR < 30 mg/g dan ≥ 30 mg/g. Titik potong 1,5-AG yang direkomendasikan sebagai indikator kontrol glikemik adalah 10,7 μg/mL.
Hyperglycemia is one of the risk factors for diabetic nephropathy in type 2 diabetes mellitus patients. American Diabetes Association (ADA) recommended annual albumin-tocreatinine ratio (ACR) screening to detect the presence of diabetic nephropathy. 1,5-anhydroglucitol (1,5-AG) is one of the parameters for monitoring glycemic control. 1,5-AG is a more sensitive marker to detect glucose fluctuations and postprandial hyperglycemia. Previous studies showed that intermittent hyperglycemia is more damaging to endothelials than stable hyperglycemia. The study design was cross sectional. In this study, the statistical analysis was performed to obtain the association between 1,5-AG and HbA1c, 1,5-AG and 2-hour postprandial blood glucose; the area under curve and the cutoff of 1,5-AG as an indicator of glycemic control; and the median difference of 1,5-AG and HbA1c value from patients with ACR <30 mg/g and ≥ 30 mg/g. In this study, the coefficient of correlation between the value of 1,5-AG and HbA1c in patients with T2DM is -0,74 (p<0,001), while the coefficient of correlation between 1,5-AG and 2-hour postprandial blood glucose in patients with diabetes mellitus type is -0,45 (p<0,001). The area under curve of 1,5-AG as a glycemic control indicator is 87,1%. The 1,5-AG cutoff point for the glycemic control indicator is 10,7 μg/mL. Patients with T2DM with ACR levels ≥30 mg/g had significantly lower median value of 1,5-AG (6,4 μg/mL) than patients with T2DM with ACR <30 mg/g (12,4 μg/mL). There was significant difference in median HbA1c value from patients with T2DM with ACR <30 mg/g and ≥ 30 mg/g. Patients with T2DM with ACR levels ≥30 mg/g had higher median HbA1c value (7,9%) than HbA1c patients with T2DM with ACR <30 mg/g (6,9%). In this study concluded that the there was a strong and significant negative correlation between 1.5-AG and HbA1c and a moderate and significant negative correlation between 1.5-AG and 2-hour postprandial blood glucose. There was a significant difference of median value of 1,5-AG and HbA1c between patients with diabetes mellitus and ACR <30 mg/g and ACR ≥ 30 mg/g. The cutoff of 1,5-AG which was recommended as a glycemic control indicator was 10,7 μg/mL.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agoeng Tjahajani Sarwono
Abstrak :
ABSTRAK
Ruang lingkup dan Cara penelitian : Karies gigi merupakan kelainan yang bersifat multifaktorial. S.mutans merupakan bakteri penting penyebab karies gigi dan fluor merupakan bahan pencegah karies. Mengingat : (1) di dalam rongga mulut individu yang sama dapat ditemukan lebih dari satu spesies S.mutans yang berbeda-beda; dan (2) formula fluor sebagai bahan aplikasi sangat menentukan efektivitas pencegahan karies, maka dilakukan penelitian eksperimental secara in vitro, terhadap peranan S.mutans FA-1 (ATCC 19645) pada email yang diberi aplikasi fluor. Peneiitian dilakukan terhadap 64 gigi yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok pengeraman 4 dan 8 minggu. Ke dalam tiap-tiap tabung reaksi berisi 20 ml media perbenihan cair yang terdiri atas tioglikolat, glukosa, bakteri dan gelatin gel dimasukkan masing-masing 2 gigi yang diberi aplikasi akuades atau fluor. Evaluasi dilakukan dengan memperhatikan terbentuknya bercak putih dan lapisan badan lesi.

Hasil dan kesimpulan : Pada kelompok pengeraman 4 dan 8 minggu ditemukan pembentukan bercak putih dan lapisan badan lesi dengan jumlah yang sedikit meningkat. Pengamatan terhadap pengukuran hasil rata-rata kedalaman lapisan badan lesi ditemukan adanya perbedaan. Hal-hal tersebut di atas diperjelas dengan gambaran ultra struktur.

Pengujian statistik menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok. Berdasarkan hasil pengamatan disimpulkan bahwa secara in xitro S.mutans FA-1 (ATCC 19645) dapat menyebabkan karies email dan aplikasi fluor dapat menghambat terjadi karies.
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anthony Susanto
Abstrak :
ABSTRAK
Pada kehamilan terjadi perubahan metabolisme karbohidrat yang bertujuan menunjang pertumbuhan janin. Dari penelitian dinyatakan adanya diabetes gestasional akan meningkatkan angka penyulit bagi ibu maupun janin. untuk mengatasi hal ini dibutuhkan pengenalan dan diagnosis dini kasus diabetes gestasional.

Tujuan penelitian ini yaitu ingin mengetahui tentang nilai normal TTGO, HbA1 dan fruktosamin pada wanita hamil trimester II dan III serta perubahannya.

Dalam pelaksanaan penelitian dilakukan TTGO dengan beban glukosa 75 g, pemeriksaan kadar gula darah dilakukan secara otomatis dengan alat Autoanalyzer Technican I yang berdasarkan prinsip reduksi; pemeriksaan HbA1 dengan kit produksi Human yang

berdasarkan metode ion exchange chromatography dan pemeriksaan fruktosamin dengan kit dari Boehringer Mannheim dengan prinsip reduksi NBT.

Sebagai subyek penelitian diperoleh 53 wanita hamil normal yang memeriksakan kehamilannya di poliklinik obstetri Bagian Obstetri Ginekologi FKUI/RSCM, yang memenuhi kriteria penelitian. Pemeriksaan pertama kali dilakukan pada kehamilan trimester II dan kedua kali pada trimester III. Sebagai kelompok kontrol, diperoleh 25 wanita tidak hamil yang memenuhi kriteria penelitian.

Hasil pemeriksaan kelompok wanita hamil trimester II untuk TTGO ialah: kadar gula darah puasa = 46,0-85,2 (65,7) mg/dL; kadar gula darah 1 jam setelah pemberian glukosa 75 g - 112,0-135,4 (123,7) mg/dL; kadar gula darah 2 jam setelah pemberian glukosa 75 g = 94,2-113,5 (103,9) mg/dL. HbA1 = 3,7-5,2 (4,4)`7.. Fruktosamin = 182,9-224,7 (218,8) umol/L.

Hasil pemeriksaan kelompok wanita hamil trimester III untuk TTGO ialah: kadar gula darah puasa = 46,0-81,4 (63,8) mg/dL; kadar gula darah 1 jam setelah pemberian glukosa 75 g = 126,4-148,3 (137,4) mg/dL; kadar gula darah 2 jam setelah pemberian glukosa 75 g = 103,9-133,1 (118,5) mg/dL. HbA1 = 4,8-6,7 (5,8) %. Frukosamin = 163,4-243,2 (203,3) umol/L.

Kadar gula darah puasa lebih rendah pada kehamilan trimester II dan III dibandingkan dengan kelompok kontrol. Ditemukan perbedaan tidak bermakna antara kadar gula darah puasa hamil trimester II dan III. Terjadi penurunan toleransi glukosa selama kehamilan yang lebih nyata pada kehamilan trimester III dibandingkan trimester II. HbA dan fruktosamin lebih rendah pada kehamilan trimester II dan III dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Ditemukan korelasi yang buruk antara nilai HbA1 maupun fruktosamin dengan kadar gula darah puasa, 1 jam dan 2 jam setelah pemberian glukosa pada saat yang sama. Juga ditemukan korelasi yang buruk antara nilai HbA1 dan fruktosamin balk pada kehamilan trimester II maupun trimester III.

1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana DK Horasio
Abstrak :
ABSTRAK
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit yang banyak diderita penduduk dunia dari segala tingkatan sosial. Di Indonesia prevalensi DM cukup tinggi yaitu berkisar antara 1,37%.-2,3%. Dengan menurunnya insiden penyakit infeksi diIndonesia, DM sebagai penyakit degeneratif kronis cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan akan merupakan masalah kesehatan di kemudian hari. Banyak penyulit yang akan dialami oleh penderita DM antara lain nefropati diabetik, yang proses perjalanannya progresif menuju stadia akhir berupa gagal ginjal dan akan menyebabkan kematian. Gejala dini penyakit ini dapat dikenai dengan peningkatan ekskresi albumin urin yang lebih besar .dari pada normal, tetapi belum dapat dideteksi dengan Cara konvensional. Keadaan ini disebut mikroalbuminuria atau secara klinis disebut nefropati diabetik insipien. Pada stadium ini kelainan masih bersifat reversibel dan bila dilakukan penatalaksanaan yang baik maka proses nefropati diabetik (ND) yang akan berlangsung dapat dicegah. Dengan demikian, dapat diperpanjang harapan hidup penderita DM.

Penelitian ini bertujuan mendapatkan data kadar albumin urin kelompok kontrol sehat dan penderita NIDDM, membuktikan bahwa ekskresi albumin pada penderita NIDDM lebih besar dari pada kantrol sehat, serta ada korelasi antara lamanya DM dan peningkatan ekskresi albumin urin.

Penelitian dilakukan terhadap 25 orang kontrol sehat dan 100 penderita DM yang dibagi menjadi 4 kelompok, tiap kelompok 25 orang, menurut lamanya penderita diabetes yaitu kelompok DM I (<2 tahun), kelompok DM II (2-5tahun), kelompok DM III (5-10 tahun) dan kelompok DM IV (> l0 tahun). Urin kumpulan 12 jam (semalam) diperiksa terhadap albumin (makroalbumin) dengan carik celup Combur-9, kadar albumin kuantitatif dengan Cara RIA dan juga dihitung kecepatan ekskresinya. Sebelumnya dilakukan pemeriksaan penyaring untuk menyingkirkan faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan peningkatan proteinuria.

Pada kelompok kontrol sehat didapatkan rata-rata kadar albumin urin (KAU) adalah 3,45 ug/ml (SD3,65 ug/ml; rentang nilai 2,02 - 4,90 ug/ml) dan rata-rata kecepatan ekskresi albumin urin (KEAU) 2,74 ug/menit {5D=2,60 ug/menit, rentang nilai 1,72-3,76 ug/menit), sedangkan pada kelompok DM didapatkan nilai rata-rata yang lebih besar dari pada kelompok kontrol sehat dan secara statistik ada perbedaan bermakna (p<0,05). Dari 100 penderita NIIDM yang diperiksa dengan carik celup Combur-9 didapatkan 91 penderita memberikan basil negatif dan 9 penderita positif. Dan dari 91 penderita ini bila diperiksa dengan RIA ternyata ada 10 penderita (11%) berdasarkan KAU dan 21 penderita (23,1%) berdasarkan KEAU telah menunjukkan mikroalbuminuria. Dari keseluruhan 100 penderita NIIDM berdasarkan KAU didapatkan 617. normaalbuminuria, 14% mikroalbuminuria dan 5x makroalbuminuria. Sedangkan berdasarkan KEAU didapatkan 70% normoalbuminuria, 26% mikroalbuminuria dan 4% makroalbuminuria.

Hasil pemeriksaan KAU dan KEAU pada penderita DM sangat bervariasi, namun dapat dilihat bahwa rata-rata KAU dan KEAU makin meningkat dengan bertambah lamanya menderita DM dan pada perhitunaan statistik ada korelasi antara lamanya DM dan meningkatnya eksxresi albumin urin (r=0,36). Juga didapatkan bahwa dengan bertambah lamanya DM, prevalensi mikroalbuminuria makin meningkat. Antara lamanya DM dan tingginya kadar glukosa darah tidak

ada korelasi (r=0,04), sedangkan antara tingginya kadar glukosa darah dengan KAU dan KEAU didapatkan adanya korelasi yang cukup bail: yaitu r=0,47 an 0,56).

Prevalensi mikroalbuminuria didapatkan lebih tinggi bila dinyatakan dengan KEAU dari pada KAU, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan berdasarkan KEAU Iebih sensitif dari pada KAU. Oleh karena itu dianjurkan memeriksa KEAU untuk menentukan adanya mikroalbuminuria?
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
E. M. Hidayat
Abstrak :
ABSTRAK
Hipertensi esensial secara umum telah dikenal sebagai penyebab utama kelainan vaskuler yang dapat mengakibatkan stroke, gagal jantung, penyakit jantung koroner, kelainan mata dan gagal ginjal. Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan didapatkan hipertensi pada kira-kira 70-901 kasus perdarahan otak dan pada lebih kurang 501 penderita infark miokard. Kombinasi hipertensi dengan faktor risiko PJK lainnya meningkatkan risiko PJK beberapa kali lipat. Namun karena hipertensi sendiri berlangsung tanpa gejala, sering kali hipertensi baru disadari setelah timbul penyulit.

Gejala dini adanya penyulit pada ginjal diduga berupa adanya peningkatan ekskresi albumin dalam urin yang lebih banyak dari normal, tetapi belum dapat dideteksi dengan cara pemeriksaan konvensional. Keadaan ini dikenal sebagai mikroalbuminuria. Deteksi dini mikroalbuminuria diharapkan dapat membantu upaya pencegahan terhadap timbulnya morbiditas dan mortalitas akibat timbulnya penyulit berupa gangguan faal ginjal. Pencegahan dini diharapkan dapat memperpanjang masa hidup penderita.

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya mikroalbuminuria pada penderita hipertensi esensial, dan apakah ada korelasi antara lama dan beratnya hipertensi dengan derajat mikroalbuminuria.

Penelitian dilakukan terhadap 74 orang penderita hipertensi esensial dan 23 orang kelompok kontrol. Penderita hipertensi dibagi dalam beberapa kelompok berdasarkan derajat dan lama hipertensi yaitu hipertensi ringan (HR) terdiri dari HR (5 tahun 17 orang, HR 5-10 tahun 9 orang, HR 10-15 tahun 15 orang, HR >15 tahun 14 orang, dan hipertensi sedang (HS) terdiri dari HS (5 tahun 11 orang dan HS 10-15 tahun 8 orang).

Bahan berupa urin kumpulan 12 jam (malam). Kadar albumin kuantitatif diperiksa dengan cara RIA dan dihitung kecepatan ekskresi albumin (KEAU). Sebelumnya dilakukan pemeriksaan penyaring untuk menyingkirkan faktor-faktor yang meningkatkan protein urin.

Pada kelompok kontrol didapatkan nilai KEAU rata-rata 2.48 ug/men (5D 2.39 ug/men). Pada masing-masing kelompok HR berturut-turut didapatkan nilai KEAU 2.33 ug/men (SD 1.85 ug/men), 2.40 ug/men (SD 1.19 ug/men), 4.70 ug/men (SD 5.00 ug/men), 12.58 ug/men (SD 15.13 ug/men dan pada kelompok HS masing-masing 4.2 ug/men (SD 4.8 ug/men ) dan 14.0 ug/men (SD 14.2 ug/men). Nilai kontrol ternyata lebih rendah dari nilai peneliti lain. Pada kelompok hipertensi untuk kelompok HR kurang dari 10 tahun belum dijumpai mikroalbuminuria namun tampak adanya kecenderungan peningkatan ekskresi albumin dengan bertambah lama dan beratnya hipertensi. Mikroalbuminuria ditemukan pada kelompok HR 10-15 th, HS 10-15 th dan HR >15 th, masing-masing 1, 2 dan 3 orang atau 8.11 dari 74 penderita. Didapatkan adanya korelasi sedang (r = 0.47) antara meningkatnya ekskresi albumin dengan lamanya hipertensi, tetapi tidak dijumpai korelasi dengan tingginya tekanan diastolik dan sistolik (r = 0.24 dan 0.18).

Dari hasil penelitian ini disarankan agar para penderita hipertensi untuk melakukan pemeriksaan albumin urin secara berkala untuk mendeteksi dini adanya mikroalbuminuria guna mencegah timbulnya penyulit pada ginjal. Untuk lebih memastikan dan melengkapi hasil penelitian ini perlu ditentukan prosedur baku untuk pemeriksaan mikroalbuminuria antara lain meliputi penentuan jenis sampel, cara pengumpulan dan penyimpanan sampel, serta metode pemeriksaan. Disarankan dilakukan penelitian lebih lanjut yang bersifat longitudinal, serta penelitian dengan jumlah sampel yang lebih banyak. juga penelitian antar pusat untuk memastikan korelasi derajat mikroalbuminuria dengan lama dan tingginya hipertensi.
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurul Qomariyah
Abstrak :
ABSTRAK Dalam upaya penatalaksanaan penderita penyakit kelenjar tiroid, harus dibuat diagnosis anatomik atau etiologik untuk mengetahui penyebab yang mendasari penyakit dan diagnosis fungsional untuk mengetahui status produksi hormon tiroid. Pemeriksaan laboratorium sangat berguna dalam membedakan fungsi kelenjar tiroid tersebut termasuk hipotiroid, eutiroid atau hipertiroid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemeriksaan TSH-sensitif metode IRMA dan ICMA dapat membedakan dengan jelas penderita hipertiroidisme dan kontrol eutiroid, dengan kata lain apakah pemeriksaan tersebut dapat dipakai sebagai uji saring untuk hipertiroidisme. Disamping itu ingin mendapatkan nilai rujukan TSH-IRMA dan ICMA yang dapat dipakai di UPF Patologi Klinik FKUI/RSCM. Subyek penelitian adalah 35 penderita hipertiroidisme, terdiri atas 25 orang wanita dan 10 orang laki-laki, berusia 21-59 {30,2) tahun. Sebagai kontrol adalah 70 orang yang mempunyai fungsi kelenjar tiroid eutiroid, terdiri atas 40 laki-laki dan 29 perempuan, berusia 15-73 (37) tahun. Kriteria diagnostik didasarkan pada temuan klinik dan hasil pemeriksaan laboratorium FT4I. Terhadap subyek penelitian dan kontrol dilakukan pemeriksaan T4 total, T3U, TSH-IRMA (DPC) dan TSH-ICMA (Amerlite). Hasil pemeriksaan kontrol: T4=4,1-15,1 (9,28) ug/dL; T3U = 19,3-33,0 (27,3)%; FT4I=0,81-3,59 (2,53); TSH-IRMA=O,25-3,60 (1,38) mIU/L dan TSH-ICMA=0,54-3,12 (1,34) mIU/L. Terdapat korelasi terbalik antara nilai T4 total, T3U dan FT4I dengan TSH-IRMA maupun TSH-ICMA. Tidak terdapat perbedaan nilai TSH kontrol laki-laki dan perempuan. Tidak terdapat hubungan antara umur dan nilai TSH. Nilai rujukan TSH-IRMA = 0,39-3,63 mIU/L, dan TSH-ICMA = 0,49-2,97 mIU/L.Hasil pemeriksaan penderita hipertiroid: T4 = 16,0->24 ng/dL; T3U=30,3-43,7 (38,3)7.; FT4I = 5,36->10,49; 31 (88,51.) orang mempunyai nilai TSH-IRMA dan ICMA tidak terukur dan, 4 Orang mempunyai nilai TSH-IRMA 0,09; 0,12; 0,16; 0,18 dan TSH-ICMA 0,06; 0,12; 0,13; 0,14. Nilai TSH-IRMA dan TSH-ICMA penderita hipertiroid berbeda bermakna dengan kontrol eutiroid. Terdapat korelasi antara nilai TSH-IRMA dengan TSH-ICMA (r = 0,9922). Nilai TSH-ICMA lebih rendah 6,6% dibanding TSH-IRMA. Nilai batas deteksi TSH-IRMA = 0,09 mIU/L dan TSH-ICMA = 0,04 mIU/L. Biaya per tes TSH-IRMA lebih mahal dibanding TSH-ICMA, karena pemeriksaan TSH-IRMA harus dilakukan in duplo. Pemeriksaan TSH-IRMA dan TSH-ICMA sensitif secara analitik dan klinik untuk diagnosis hipertiroidisme. Kesimpulan penelitian ialah pemeriksaan TSH-IRMA dan TSH﷓ICMA mampu membedakan dengan jelas penderita hipertiroidisme dan kontrol eutiroid, dan dapat dipakai sebagai uji saring hipertiroidisme. Batas deteksi pemeriksaan TSH-ICMA lebih rendah dari pada TSH-IRMA. Nilai rujukan TSH-IRMA berbeda dengan TSH-ICMA. Disarankan untuk melakukan penelitian serupa dengan subyek penelitian dan kontrol (penderita rawat tinggal dan rawat jalan) yang lebih banyak agar dapat ditentukan nilai batas TSH untuk diagnosis hipertiroidisme, dan mendapatkan nilai rujukan yang lebih memenuhi syarat. Disarankan pula untuk menilai kemampuan pemeriksaan TSH untuk memantau pengobatan hipertiroidisme dan pengobatan hormon tiroid.
In managing patients with thyroid diseases, an anatomical or etiological diagnosis should be made for knowing the basic causes, and functional diagnosis for knowing the thyroid hormone production. Laboratory tests are necessary to differentiate whether the condition is hypothyroid, euthyroid or hyperthyroid. The goal of this study was to know whether TSH-IRMA and ICMA tests can clearly differentiate hyperthyroid patients from euthyroid, and whether this test can be used as the first test for hyperthyroidism. More over, to determine the reference range of TSH-IRMA and ICMA which can be used in the Departement of Clinical Pathology, Dr Cipto Mangunkusumo hospital / Faculty of Medicine University of Indonesia. The subjects of this study were 35 patients with hyperthyroidism. They consist of 25 women and 10 men, who were 21-59 (30,2) years old. We took 70 people who were in euthyroid condition, about 15-73 (37) years old as controls. The criteria of diagnosis were based on clinical finding and FT4I test. Subjects and controls were examined for total T4, T3U, TSH-IRMA (DPC) and TSH-ICMA (Amerlite) levels. Values of the controls were T4 = 4,1-15,1 (9,28) ug/dL; T3U = 19,3-33,0 (27,3)%; FT4I = 0,81-3,59 (2,53); TSH-IRMA = 0,25-3,60 (1,3B) mIU/L and TSH-ICMA = 0,54-3,12 (1,34) mIU/L. There was negative correlation between total T4, T3U or FT4I level and TSH-IRMA or TSH-ICMA. There was no difference between TSH level in male and female controls. No correlation was found between age and TSH level. The reference value of TSH-IRMA was 0,39-3,63 mIU/L and TSH-ICMA was 0,49-2,97 mIU/L. The level of total T4, T3U and FT4I in hyperthyroid were 16,0->24 ng/dL, 30,3-43,7 (38,3)7 and 5,36-7.10,49 respectively. TSH-IRMA and TSH-ICMA value were undetectable in 31(88,5%) persons, and 4 persons have TSH-IRMA level of 0,09; 0,12; 0,16; 0,1B and TSH-ICMA level of 0,06; 0,12; 0,13; 0,14. TSH﷓IRMA and TSH-ICMA level in hyperthyroid were significantly lower than in euthyroid. There was a good correlation between TSH-IRMA and TSH-ICMA (r = 0,9922). T5H-ICMA was 6,6% lower than TSH-IRMA. The detection limit of TSH-IRMA was 0,09 mIU/L and TSH-ICMA was 0,04 mIU/L. One TSH-IRMA test was more expensive than one TSH-ICMA test, because TSH-IRMA test must be performed in duplicate. TSH-IRMA and TSH-ICMA assays were analytically and clinically sensitive and specific for diagnosing hyperthyroidism. In conclusion, TSH-IRMA and TSH-ICMA assays could clearly differentiate hyperthyroid from euthyroid patients, and suitable as screening tests for hyperthyroidism. The detection limit of TSH-ICMA was lower than T5H-IRMA. The reference range of TSH-IRMA was different from TSH-ICMA. Further study with more subjects is still needed to determine TSH lower limit value for diagnosing hyperthyroidism and a more acceptable reference value. We suggest another study to evaluate TSH values in controlling treatment of hyperthyroidism and thyroid hormones supplementation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Witono Santoso
Abstrak :
ABSTRAK
Talasemia β merupakan penyakit herediter yang dapat mengakibatkan terjadinya kelainan fisik maupun mental. Penyebaran penyakit ini terutama bersifat etnis dan adanya perkawinan antar bangsa menyebabkan angka kejadian semakin tinggi dan merata.
Penemuan penderita talasemia β heterozigot berdasarkan pemeriksaan analisis Hb dinilai mahal dan cukup sulit.
Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran pola kadar HbA2 dan HbF penderita talasemia β heterozigot serta gambaran parameter hematologis penderita talasemia β heterozigot dan talasemia β-HbE; mendapatkan fungsi diskriminasi yang dapat digunakan sebagai pemeriksaan penyaring talasemia β heterozigot serta menilai perubahan kadar HbA2 pada talasemia β heterozigot yang disertai defisiensi besi setelah pengobatan besi selama 3 bulan.
Dari bulan Maret 1988 sampai akhir tahun 1990 di UPF Bagian Patologi Klinik FKUI-RSCM telah dilakukan pemeriksaan analisis Hb terhadap 740 contoh darah penderita. Sejumlah 31,1% (230/740) didiagnosis sebagai talasemia β heterozigot dan sejumlah 2,2% (16/740) sebagai talasemia β-HbE. Rasio penderita wanita terhadap pria adalah 1,1:1 untuk talasemia β heterozigot dan 1,67:1 untuk talasemia β-HbE. Pola HbA2
normal HbF tinggi merupakan bentuk talasemia β heterozigot yang paling sedikit ditemukan, namun mempunyai gambaran parameter hematologis yang lebih berat dibandingkan pola lainnya.
Kadar Hb pada talasemia β heterozigot berkisar antara 5,8-16,5 g/dl dengan rata-rata 11,63 g/dl dan pada talasemia β-HbE antara 3,2-8,2 g/dl dengan rata-rata 6,10 g/dl. Nilai Ht pada talasemia β heterozigot berkisar antara 20,9-57,1% dengan rata-rata 35,48% dan pada talasemia β-HbE antara 9,4-26,5% dengan rata-rata 19,57%. Terdapat kadar Hb dan nilai Ht yang lebih rendah secara bermakna pada penderita talasemia β heterozigot dibandingkan talasemia bentuk HbA2 tinggi. Demikian juga halnya pada penderita wanita dibandingkan pria.
Hitung eritrosit pada penderita talasemia β heterozigot berkisar antara 2,20-8,27 juta/μl dengan rata-rata 4,67 juta/μl dan pada talasemia p - HbE antara 1,54-4,08 juta/μl dengan rata-rata 3,01 juta/μl. Pada penderita wanita hitung eritrosit lebih rendah dibandingkan penderita pria.
Nilai VER pada penderita talasemia β heterozigot berkisar antara 55-111 fl dengan rata-rata 76,9 fl, sedangkan pada talasemia β-HbE antara 52-80 fl dengan rata-rata 64,7 fl. Nilai HER pada penderita talasemia β heterozigot antara 15,1-33,5 pg dengan rata-rata 25,19 pg dan pada talasemia β-HbE 17,0-23,9 pg dengan rata-rata 20,27 pg. Kedua parameter ini berbeda bermakna dibandingkan dengan kontrol.
Hitung trombosit yang meningkat pada talasemia β heterozigot, dan talasemia β-HbE, karena peningkatan eritrosit mikrositik dan poikilosit yang terukur sebagai trombosit. Hitung retikulosit absolut yang meningkat dengan RPI normal menunjukkan terjadinya eritropoisis yang tidak efektif.
Pada 3 penderita talasemia β heterozigot dengan defisiensi besi setelah diobati besi diperoleh peningkatan kadar HbA2 dari rata-rata 2,56% sebelum pengobatan menjadi 4,95% pada akhir pengobatan disertai peningkatan kadar feritin serum.
Fungsi diskriminasi Hb+(4xHER)-(0,5xVER)-83, memberikan sensitifitas 73%, spesifisitas 95% dan efisiensi 76,3%. Fungsi diskriminasi 4,657.(0, lxHb)-SASARAN-MIKR, memberikan sensitifitas 92%, spesifisitas 100% dan efisiensi 95%. Dengan menggunakan gabungan kedua fungsi tersebut diperoleh peningkatan sensitifitas, spesifisitas dan efisiensi sampai 100%.
Kesimpulan penelitian ini adalah Talasemia β heterozigot pola HbA2 tinggi HbF normal merupakan pola paling banyak ditemukan. Talasemia β heterozigot dan talasemia β-HbE mengakibatkan terjadinya perubahan parameter hematologis. Perubahan ini meliputi kadar Hb, nilai Ht, nilai VER & HER, hitung trombosit dan hitung retikulosit absolut serta morfologi eritrosit pada sediaan hapus darah tepi. Pada penderita wanita perubahan parameter ini menjadi semakin nyata.
Kadar HbA2 dipengaruhi oleh anemia defisiensi besi. Dengan demikian pemeriksaan kadar HbA2 pada penderita dengan dugaan adanya anemia defisiensi besi, sebaiknya dilakukan setelah penderita diobati terlebih dahulu.
Fungsi diskriminasi yang terdiri dari parameter hematologis sebagai variabel dapat digunakan sebagai pemeriksaan penyaring talasemia β heterozigot. Karena fungsi diskriminasi berbeda antara satu alat dengan alat yang lain, maka dianjurkan mencari fungsi diskriminasi yang sesuai untuk masingmasing alat tersebut.

1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tony Iman
Abstrak :
Penyakit jantung koroner (PJK) telah menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Selain mengakibatkan kematian, penyakit ini juga mempunyai daepak sosial dan ekonomi. Hal ini mengakibatkan diperlukannya suatu usaha penanggulangan yang dapat memasyarakat. Lipoprotein plasma serta lipid yang dibawanya, merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap timbulnya PJK. Latihan fisik yang teratur akan eempengaruhi metabolisme lipoprotein, sehingga diharapkan dapat mengurangi risiko terjadinya PJK. Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh latihan fisik yang teratur terhadap gambaran lipid plasma, dan juga faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap PJK. Selain itu juga diteliti adanya korelasi antara perubahan berat badan dan perubahan gambaran lipid. Penelitian dilakukan terhadap 36 siswa Kursus Lanjutan Perwira II Kesehatan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Pada awal pendidikan dibagikan kuesioner, sedangkan pengambiian darah, pengukuran beret badan dan tekanan darah dilakukan pada awal dan akhir pendidikan. Terhadap darah dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol total, kolesterol-HDL, trigliserida, glukosa, dan asam urat, sedangkan kadar kolesterol-LDL diperhitungkan dengan rumus Friedewald. Gambaran awal rata-rata lipid plasma para siswa tidak lebih baik dari keadaan populasi pada umumnya. Setelah latihan fisik teratur yang dilakukan 6 hari dalam seminggu selama 18 minggu, didapatkan penurunan nilai rata-rata kadar kolesterol total, kolesterol-LDL , trigliserida dan asam urat, meskipun secara statistik tidak bermakna. Sedangkan kadar glukosa menurun secara bermakna. Sebaliknya juga terjadi peningkatan bermakna kadar kolesterol-HDL, yang selanjutnya mengakibatkan penurunan bermakna rasio kolesterol total/kolesterol-HDL dan rasio kolesterol-LDL/kolesterol-HDL. Mengingat rasio kolesterol total/kolesterol-HDL dan rasio kolesteroI-LDL/kolesterol-HDL merupakan prediktor yang berbanding lurus dengan risiko kejadian PJK, serta kadar kolesterol-HDL adalah prediktor yang berbanding terbalik dengan kejadian PJK, dapat diharapkan bahwa latihan ini telah dapat menurunkan risiko PJK. Pada penelitian ini juga tampak bahwa perubahan gambaran lipid plasma lebih merupakan akibat dari latihan fisik teratur ketimbang perubahan berat badan. Sedangkan perubahan kadar kolesterol total setelah latihan lebih merupakan perwujudan perubahan kadar kolesterol-LDL.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>