Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maha Decha Dwi Putri
"Kecemasan adalah suatu perasaan gelisah atau ketakutan terhadap sesuatu yang dapat dialami oleh semua individu, termasuk diantaranya lanjut usia. Pada lansia, kecemasan dapat disebabkan oleh perubahan kondisi fisik yaitu kondisi geriatrik, perubahan psikologis yaitu perubahan fungsi kognitif, perkembangan temprament individu, dan perubahan lingkungan seperti kemiskinan, seringnya terjadi kekerasan, pola adaptasi yang gagal, serta peristiwa hidup yang negatif. Kecemasan pada lansia dapat menyebabkan munculnya beberapa penyakit, diantaranya penyakit jantung, hipertensi, hingga berujung pada kematian.
Fenomena kecemasan ini cukup sering ditemui di usia lanjut. Di Indonesia, fenomena ini sering ditemui di beberapa kota dengan tingkat populasi lansia yang tinggi seperti di Kota Depok. Penelitian ini berusaha menjawab fenomena yang ada dengan memberikan intervensi psikologis kepada lansia yang berdomisi di Depok. Intervensi ini merupakan intervensi kelompok cognitive behavioral therapy (CBT) yang diberikan kepada 5 orang partisipan. Pegukuran dilakukan pada saat pra-intervensi dan pasca-intervensi untuk mengetahui perubahan tingkat kecemasan yang jelas pada masing-masing partisipan. Kelima partisipan yang mengikuti intervensi ini mengalami penurunan tingkat kecemasan yang diukur menggunakan skala PSWQ (Penn State Worry Questionaire) dan STAI (State Trait Anxiety Inventory). Penurunan pada kelima partisipan bervariasi tergantung dari masalah dan ketaatan partisipan saat mengikuti intervensi.
Kelima partisipan telah mengikuti teknik-teknik yang sudah diberikan selama proses intervensi seperti mengenali gejala, reaksi tubuh dan dampak cemas, membuat dan mengevaluasi rencana kegiatan, mengenali pikiran negatif, merekonstruksi pikiran negatif, mencari solusi dari masalah, dan berlatih relaksasi. Keberhasilan penelitian tergantung dari motivasi untuk sembuh, kepatuhan dalam mengikuti intervensi dan keinginan untuk melakukan teknik-teknik yang sudah diberikan selama intervensi.

Anxiety can be defined as a feeling of discouraged or frightened about something, occur in human beings, as well as to the old ages. For older people, anxiety can be caused by the changing of their physical condition e.g. geriatric condition, the changing of psychological condition e.g. the change of cognitive function, individual temperament development, the changing of their surroundings e.g. poverty, violence, the failure of adaptation pattern, and the negative side of life. Anxiety for the old ages may lead to some diseases such as coronary heart disease, high blood pressure which could lead them to death.
This anxiety phenomenon often appears in the old ages. In Indonesia, this phenomenon can be found in some cities with high population of the old ages such as in Depok. This research was trying to figure out the answer by giving a psychological intervention for old aged individual living in Depok. The intervention was group cognitive behavioral therapy (CBT) given to 5 participants. The measurement was done at pre intervention and post intervention to find the changing of anxiety level of each participant.
All participants who joined this intervention experienced decrease of anxiety level which was measured by PSWQ scale (Penn State Worry Questionnaire) and STAI (State Trait Anxiety Inventory). Various result was found depends on problems and the obediency of the participant during the intervention. The success of this research may be influenced the motivation of healing, obedient, and willingness to do the techniques given by participants.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
T31084
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hutauruk, Indah S.
"Penelitian ini berangkat dari fenomcna transeksual atau dalam bahasa awam biasa disebut dengan waria. Sebenamya transeksual itu bisa terjadi pada pria ataupun wanita Memuat penelitian, dari jumlah kasus transeksual yang ada, temyata jumlah pria transeksual Iebih banyak daripada wanita transeksual. Umumnya mereka' merasa bahwa mereka adalah wanita meskipun tubuh mereka atau sejak lahir mereka memiiiki jenis kelamin Iaki-Iaki. Untuk itu perlu adanya penelitian untuk melihat hal ini. Penelitian ini dihubungkan juga dengan tes Wartegg yang mempunyai nilai stimulus feminin dan maskulin.
Dalam penelitian ini yang berusaha ditampilkan adalah gambaran respon pria transeksual sehubungan dengan nilai stimulus pada tes Wartegg. Sebagai bahan pembanding, penelitian ini juga memberikan gambaran respon pria normal. Gambaran ini diberikan karena aspek tersebut merupakan salah satu sasaran bagi upaya menambah perbendaharaan hasil interpretasi pada tes Wartegg sehiugga akhimya dapat mengenali respon-respon pria transeksual di Jakarta. Gambaran respon yang diberikan dilihat dari urutan mercspon, keadelcuatan respon serta isi gambar. Penelitian ini hanya memberikan gambaran rcspon yang berhubungan dengan nilai-nilai feminin dan maskulin dari tes Wartegg.
Hasil studi kcpustakaan rnenunjukkan bahwa. pda transeksual mempunyai sifat-sifat yang lebih feminin dibandingkan dengan pria transeksual Untuk itu penelitian ini berusaha untuk melihat hal itu melalui media tes Wartegg.
Penelitian ini dilakukan terhadap 30 orang pria transeksual dan sebagai pembanding, 30 orang pria normal. Semua subyek berada di Jakarta Tes dilakukan secara bcrsamaan denganjumlah maksimal 5 orang setiap kali pengambilan tes.
Pada analisis didapati hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam urutan merespon stimulus-stimulus feminine maupun maskulin pada pria transeksual dan pria nomial. Dari SDR, tcrlihat bahwa ada lebih banyak subyek pria transeksual yang merespon stimulus feminine secara adekuat dibandingkan dengan pria normal Namun setelah melalui uji statistik, pcrbedaan im tidak terbukti signiiikan. Sedangkan dari isi gambar (conlenl), penelitian ini hénya memberikan gambaran saja tanpa ada uji statisnk terhadap perbandingan yang ada karena kurangnya referensi yang dapat mernbagi isi gambar menjadi dua kelompok maskulin dan feminin.
Dani semua hasil penelitian ini diharapkan selanjutnya dapati dijadikan bahan pendekatan untuk membantu untuk pengembangan alat diagnostik tes Wartegg serta untuk lebih memabami serta mengenali respon-respon pria transeksual."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Julianti Widury
"Penyakit kronis merupakan penyakit yang bertahan dalam waktu yang lama dan biausanya tidak dapat disembuhkan. Salah satu penyakit yang termasuk ke dalam kategori tersebut, yaitu Lupus Erilemalosus Sistemik (SLE). SLE juga termasuk penyakit autoimun yang belum banyak diketahui masyarakat awam karena jumlah penyandangnya relaiif sedikit dan sulit untuk didiagnosa Para penyandang SLE rnemiliki gejala lisik dan psikologis, oleh karena itu peneliti tertaiik untuk mengetahui kondisi psikologis para penyandang SLE, Alai ukur psikologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah MMPI (ll/Hnnesota Multiphasfc Personality Inventory), Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kondisi psikologis para penyandang SLE yang pemah rernisi dan belum remisi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif Pengumpulan data menggunakan material tes MMPI dan wawancaru. Subjek peneliiian selumhnya adalah penyandang SLE, berjenis kelamin perempuan, berusia sekitar 16 hingga 45 tahun, dan berpendidikan minimal SMA. Jumlah sarnpel pada penelitian ini berjumlah 8 orang, 4 orang tergolong pemah remisi dan 4 orang tergolong belum remisi Penelitian dilakukan dalam 2 tahap, tahap pertama melakukan tes MMPI dan tahap kedua mewawancarai subjek penelitian berdasarkan profil yang diperoleh Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan bentuk narrative presentation.
Hasil penelitian pada penyandang SLE yang pemah remisi menggambarkan skala Pd (Psychopathic Deviate), skala Si (Social Imroversionj. skala R (Repression), skala Hs (Hypachondriasis), dan skala Es (Ego Strength) sebagai skala MMPI yang paling menonjol Pada penyandang SLE yang belum remisi, skala-skala MMPI yang paling menonjol pada penelitian ini adalah skala Hy (Hysteria). Selain ilu, diketahui bahwa kondisi psikologis yang berbeda anlara penyandang SLE yang pemah remisi dan belum remisi pada penelitian ini terutama dalam hal kesediaan untuk menerima satan, pendapat, sena mempercayaj orang Iain; keluhan Hsik yang disampaikan; serta kepercayaan dan kepuasaan pada diri sendiri.
Beberapa saran unluk penelitian selanjutnya adala|1 agar Iebih memperhalikan homogenttas sampek. memperbanyak jurnlah sampel, meneliti secara khusus skala Sc (Schizophrenia) pada MMPI menggunakan tes inventori lainnya (Edwards Personal Prekrence Schedule), dan melakukan Studi banding anlara hasil MMPI para penyandang SLE dengan subjek normal."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Diantika
"Ketika anak memasuki usia sekoiah (middle childhood), anak akan menerima lebih banyak umpan balik negatif dan mulai membandingkan dirinya dengan anak-anal: lain seusianya. Anak yang tidal: mampu mener-ima umpan balik negatif dari orang lain akan membentuk pikiran-pikiran negatif dan mcnilai diri secara negatif (Eccles, 1999). Hal yang demikian menyebabkan anak cemas dan takut dalam menghadapi situasi sosial baru.
Kesulitan dalam memasuki lingkungan baru yang asing bagi anak adalah salah satu karakteristik anak pemalu. Tingkah laku pemalu merupakan salah satu bentuk tingkah Iaku menghindari situasi sosial baru yang disebabkan olch tcrfokusnya sweorang pada opini atau evaluasi dari orang lain mengenai dirinya (Rubin 8: Asendorpf, 1993). Salah satu pcnyehab terbentuknya tingkah laku pemalu pada anak adalah rendahnya sebfeszeem pada anak dan penilaian diri yang negatif (Zolten & Long, dalam www. parenting-ed.org, 1997).
Pada kasus Ad, Ad merasa khawatir teman-teman tidak mau mengajaknya berkenalan. Ad pun mengatakan bahwa ia takut melakul-can kesalahan saat berbicara dengan teman-teman yang belum dikenalnya. Dengan perkataan lain, Ad menilai dirinya secara negatifyaitu Ad merasa tidak mampu berinteraksi dengan orang-orang yang belum dikenalnya. Ad pun mcrasa takut teman-teman tidak man mengajaknya berkenalan. Pikiran-pikiran negatifpada Ad mernbuat Ad mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan berinteraksi dengan orang-orang yang belum dikenalnya. Terapi yang akan dilakukan dalam penelitian ini menggunakan prinsip cognitive behavior therapy (CBT), yaitu suatu teknik terapi yang mengubah kekeliruan pola berpikir pada individu dengan cara melakukan rcstruktmisasi kognitiff.
Hasil dari terapi mcnunjukkan bahwa program ini cukup efektif untuk menangani tingkah laku pemalu pada anak, sehingga pola pikir dan tingkah laku pun berubah menjadi lcbih baik.

When child enters middle childhood, hefshe will receive more negative feedback from others and starts to compare his/her self with others. Child who can not accept the negative feedback fiom others will have negative thoughts and perceived their selfnegatively (Eccles, 1999). Furthermore, child will have anxiety and shows some fears in new social situation.
The difficulty when entering new social situation is one of the characteristics of children with shyness. Shyness is one form of social withdrawal that is motivated by social evaluation concerns, primarily in novel setting (Rubin & Asendorf, 1993). There may be a specitic cause for shyness in some children, wlule in others shyness may occur for a number of different reasons. One ofthe reason why children beoorne shy is having low self esteem and negative opinion of oneself (Zolten & Long, on wwwwparenting-ed.org, 1997).
Our study presents a case that shows shyness in a child (Ad). Ad wonied that people do not want to become her friends. Ad also said that she has trouble thinking of what to say in social situation and afraid doing something wrong talking with others. Ad views herselffnegatively. She feels uncomfortable in unfamiliar situation and thinks that she can not deal with new social situation. Furthermore, these negative thoughts have become her difliculties to adapt in new situation and interact with others.
Effective treatments for shyuess exist One ofthe treatments is using the techniques of Cognitive Behavior Therapy (CBT). CBT is the therapy that change individual?s cognitive by doing cognitive restructuring. On this study, we will use CBT techniques for overcoming the shyness in child (Ad).
The result of this program shows that the application of CBT techniques is effective for overcoming shyness in child, so that the cognitive and behavior will change into better."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T38435
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqina Permatasari Ardiwijaya
"Riset tentang kontribusi kualitas pengasuhan orangtua terhadap perkembangan Executive Function (EF) anak sudah banyak dilakukan. Hanya saja, dari riset tersebut belum bisa diketahui dengan jelas jenis pengasuhan mana yang lebih efektif untuk mendukung perkembangan EF. Di samping itu, penelitian terkait peran pengasuhan ayah juga masih terbatas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kontribusi pengasuhan ayah (Autonomy Support dan Control) dan kondisi perkembangan anak (Tipikal dan Autism Spectrum Disorder) terhadap EF. Terdapat 31 orang partisipan ayah dan anak berusia 48-96 bulan (22 orang anak dengan perkembangan tipikal dan 9 orang anak dengan Autism Spectrum Disorder) yang ikut terlibat dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya kondisi perkembangan anak yang memberikan kontribusi terhadap EF. Selain itu, pengasuhan control ayah dan kondisi perkembangan anak berkontribusi terhadap komponen cognitive flexibility. Hasil dari penelitian ini dapat memperkaya informasi untuk orangtua terkait penerapan pengasuhan yang efektif dalam meningkatkan kemampuan EF anak sesuai dengan kondisi perkembangannya.

Numerous research on the contribution of parenting quality to child's Executive Function (EF) has been carried out. However, those researches did not show which type of parenting that promotes child's EF development. Furthermore, research related to the role of father's parenting has not been thoroughly investigated. This study was conducted to determine the contribution of the father's parenting (autonomy support and control) and the child's developmental condition (typically developed and Autism Spectrum Disorder) on the EF. A total of thirty-one father and child participated in this study (22 typically develop children and 9 children with Autism Spectrum Disorder). The study found that only child's developmental conditions was significantly contributing to EF. In addition, the father's parenting control and child's developmental conditions has significant contribution to cognitive flexibility. This result can enrich the information for parents related to types of parenting style that is effective in improving the child's EF in accordance with the child's developmental conditions."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T53460
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Aisha Maghfira
"Remaja rentan mengalami masalah kesehatan mental karena banyak perubahan yang terjadi di fase ini, serta berkaitan erat dengan kemampuan penyesuaian diri remaja dalam menghadapi tantangan. Fleksibilitas kognitif berperan penting dalam penyesuaian diri remaja dan menarik untuk dieksplorasi karena pemikiran remaja ditemukan unik dibandingkan dengan tahapan perkembangan lainnya. Penelitian sebelumnya juga menemukan hasil yang belum konsisten antara hubungan fleksibilitas kognitif dan penyesuaian diri di konteks yang berbeda, kemungkinan karena adanya faktor lain yang memediasi kaitan di antara keduanya, yaitu resiliensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran resiliensi sebagai mediator pada hubungan antara fleksibilitas kognitif dan penyesuaian diri remaja. Penelitian ini adalah penelitian cross-sectional, menggunakan instrumen Brief Adjustment Scale-6 (BASE-6) untuk mengukur penyesuaian diri, Cognitive Flexibility Inventory (CFI) untuk mengukur fleksibilitas kognitif, dan Resiliency Scales for Children and Adolescents (RSCA) untuk mengukur resiliensi. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 377 orang partisipan berusia 12─18 tahun. Hasil analisis mediasi menunjukkan bahwa resiliensi yang dilihat melalui sense of mastery dan emotional reactivity memediasi secara penuh hubungan antara fleksibilitas kognitif dan penyesuaian diri, sedangkan sense of relatedness memediasi secara sebagian hubungan antara keduanya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan intervensi berbasis resiliensi bagi remaja.

Adolescence is a critical period marked by numerous changes, making it a vulnerable phase for mental health problems. The ability of adolescents to adjust and cope with the challenges they face is crucial for their overall well-being. One cognitive aspect that has been suggested to play a significant role in their adjustment is cognitive flexibility, which intriguing to explore because adolescents’ thinking is found to be unique compared to other developmental stages. However, previous research has yielded inconsistent findings regarding the direct relationship between cognitive flexibility and adjustment in various contexts. This may be due to the presence of mediating factors, such as resilience, which also plays a vital role in adolescents' adjustment. The present study aims to investigate the mediating role of resilience in the association between cognitive flexibility and adolescents’ adjustment. To achieve this, a cross-sectional research design was employed, utilizing three standardized instruments: the Brief Adjustment Scale-6 (BASE-6) to assess adolescent adaptation, the Cognitive Flexibility Inventory (CFI) to measure cognitive flexibility, and the Resiliency Scales for Children and Adolescents (RSCA) to evaluate resilience. A total of 377 participants, aged between 12 and 18 years, were recruited for this study. The results of the mediation analysis revealed that resilience, as observed through its components, namely, sense of mastery and emotional reactivity, fully mediated the relationship between cognitive flexibility and adolescent adaptation. Moreover, the sense of relatedness partially mediated this relationship. The study's implications lie in the potential development of targeted interventions based on resilience to promote positive adjustment among adolescents."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ekaputri Nugrahani
"Ketika seseorang memasuki usia dewasa muda yaitu usia antara 20-30 tahun
(Santrock, 2002) maka ia akan menjalani tugas perkembangan tertentu. Misalnya seperti
memulai suatu karir, kemudian memilih pasangan hidup, belajar menyesuaikan diri dan
hidup harmonis dengan pasangan hidup, rnulai membentuk Suatu keluarga, mengasuh
dan membesarkan anak-anak dan sebagainya, Salah sam tugas terpenting adalah mencari
pasangan hidup. Salah satu caranya adalah dengan menjalin hubungan pacaran dengan
|awan jenis.
Yang dimaksud dengan hubungan pacaran aclalah proses pemilihan pasangan
hidup yang ditandai dengan adanya hubungan yang eksklusif dan perrnanen Bntara dua
orang yang berlalnan jenjs kelamin (Duvall&Miller, 1985). Ketidakpuasan dalam
menjalin hubunngan pacaran akan mengakibatkan munculnya konflik antar pasangan
yang akhimya tenj adi pemutusan hubungan.
Ketika suatu hubungan pacaran berakhir, biasanya diikuli dengan rasa sakit dan
penderitaan yang mendalam (Baumeister & Wotrnan, 1992). Ketika seseorang melakukan
hal yang menyakiti orang lain, hubungan diantara keduanya menjadi buruk. Salah satu
altematif cara untuk mencegah atau mengatasi hubungan yang buruk tersebut adalah
dengan forgiveness (memaafkan). Yang dimaksud dengan forgiveness aclalah suam
perubahan rnotivasional, menurunnya molivasi untuk balas clendam dan unruk
menghindari orang yang telah menyakili (Mc.Cullough, Worthington, & Rachal (1997).
Dengan memaafkan, diharapkan seseorang mampu merubah emosi negatifnya menjadi
lebih positif, sehingga ia mampu menyelesaikan rnasalahnya dengan cara yang lebih
konstruktif
Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu bagaimana garnbaran memaafkan
pada dewasa muda yang rnengalami pulus hubungan pacaran. Mengingat masalah
penelitian yang dibahas membutuhkan penghayatan individu dan tergolong sensitif; maka
peneliti menggunakan metode kualitatii Dalam penelitian ini, subyek yang digzmakan
sebanyak 4 orang dengan karekteristik usia antara 20-30 tahun.
Dari hasil penelitian ini, diketahui bahwa tidak semua subyek mengalami
forgiveness, hal ini dikarenakan faktor penentu, seperti darnpak peristiwa yang
mernpengaruhi subyek, niat mantan pacar untuk meminta maaf dan empati yang
dirasakan oleh subyek pada pendenta
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi para dewasa muda yang
mengalami
hubungan pacaran, sehingga mampu mengembangkan forgiveness
untuk mengobati luka hatinya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T37910
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Savitri
"ABSTRAK
Penelitian ini berfokus pada penerapan program intervensi berbasis
Developmental-Individual-Relationship (DIR) yang dikembangkan oleh
Greenspan dan Wieder (1998, 2000, 2006) bagi anak penyandang autis. Aspek
Developmental memfokuskan pada tahap komunikasi fungsional yang akan
dikembangkan pada anak. Aspek Individual menekankan pada penerimaan
keunikan anak. Aspek Relationship menitikberatkan pada fokus relasi yang
interaktif antara orangtua dan anak. Dasar pemikiran menggunakan pendekatan
tersebut adalah autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif sehingga
anak mengalami kendala dalam aspek pemrosesan sensorik dan mengembangkan
kapasitas dalam komunikasi dan menjalin relasi sosial (social engagement).
Pendekatan DIR sifatnya menyeluruh yang mencakup intervensi pada aspek
pemrosesan sensorik dan social engagement. Tujuan dari penelitian ini agar anak
penyandang autis dapat mengembangkan kemampuan untuk melakukan ’shared
attention’, ’engagement’, dan ’purposeful emotional interaction’ yang merupakan
tahap awal dari perkembangan komunikasi fungsional. Penelitian ini termasuk
penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian ini adalah seorang anak laki-laki berusia 6,5 tahun yang
mengalami gangguan autis dengan derajat berat. Ia tergolong low funetioning.
Penelitian berlangsung selama 3 bulan dari Akhir September - Akhir Desember
2006. Program Intervensi pertama adalah pemberian terapi sensory intégration
yang diberikan oleh ahli terapi di bidangnya dari Awal Oktober hingga Minggu
kedua Desember 2006 di sebuah rumah sakit ibu dan anak selama 8 sesi.
Intervensi kedua adalah diet yang diawasi oleh seorang dokter ahli alergi yang
banyak menangani anak berkebutuhan khusus di rumah sakit yang sama. Program
diet dilakukan dari bulan Oktober Minggu ke 2 sampai pelaksanaan keseluruhan
intervensi selesai. Intervensi ketiga yaitu kegiatan floortime di rumah yang
dilakukan oleh peneliti selama 22 sesi yang berlangsung dari tanggal 14 Desember
- 20 Desember 2006. Dari 22 sesi tersebut, ibu dari Subjek juga dilibatkan untuk
bermain dengan pendekatan floortime bersama dengan subjek. Pengumpulan data
dilakukan dengan merekam proses intervensi secara audiovisual dan wawancara
dengan ibu. Analisis data secara kualitatif merujuk pada perilaku yang
menggambarkan masing-masing aspek dari komunikasi fungsional berdasarkan
panduan Greenspan dan Wieder. Dari analisis film dan wawancara dapat disimpulkan bahwa: 1) terapi sensory
intégration membantu S dalam melakukan shared attention atau pengembangan
kapasitas komunikasi fungsional tahap pertama. Terapi sensory intégration
memperbaiki fungsi pemrosesan informasi sensorik S sehingga S mulai dapat
menerima ragam sensasi dan mulai menyimak lingkungan; 2) Intervensi dengan diet memperbaiki fungsi pencernaan sehingga S mulai memiliki regulasi dalam
hal tidur. Diet juga membantu mengelola kebiasaan makan S menjadi teratur; 3)
Terapi Jloortime mempermudah S mengembangkan kapasitas komunikasi
fimgsionalnya baik dari shared attention, engagement, dan purposeful emotional
interaction. Dengan catatan: selama Jloortime peneliti juga memperhatikan profil
sensorik S sehingga terapis dapat mengatasi masalah perilaku yang terjadi dalam
proses terapi; 4) Terapi Sensory Integration saja tidak cukup kuat untuk
membantu S mengembangkan kapasitas komunikasi fungsionalnya. Terapi
sensory integration fokus pada kemampuan S menerima dan memproses berbagai
sensasi sehingga S dapat menyelesaikan tantangan selama terapi; 5) Terapi
Fioortime tanpa diawali dengan perbaikan integrasi sensorik dan fungsi
pencernaan juga sulit dilakukan karena perilaku S masih sulit diarahkan."
2007
T37866
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfa Indira Wahyuni
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T37640
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Natalia
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T37912
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>