Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rani Dwi Cahyaniputri
"Kehilangan gigi Molar pertama bawah memiliki prevalensi yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan gigi Molar pertama bawah merupakan gigi tetap yang pertama kali erupsi sekitar umur 6 - 7 tahun sehingga jika dilihat dari jangka waktu penggunaan, gigi ini adalah gigi yang paling sering rusak karena karies (70%) dan paling sering direstorasi. Salah satu dampak dari pencabutan gigi Molar pertama bawah yang diteliti adalah migrasi patologis dari gigi tetangga yaitu terjadinya kemiringan gigi Molar kedua bawah. Kemiringan gigi ke arah mesial atau mesial tipping adalah pergerakan yang berhubungan dengan perubahan inklinasi aksial menuju ke arah midline (mesial) dimana pergerakan mahkota gigi lebih besar daripada akar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan lama kehilangan gigi Molar pertama bawah terhadap kemiringan gigi Molar kedua bawah ke arah diastema (mesial). Penelitian ini menggunakan 16 model studi dan kuesioner dari mahasiswa FKG UI angkatan 2003-2007 dengan 19 kasus kemiringan gigi Molar kedua bawah yang memenuhi kriteria penelitian. Analisis statistik secara univariat berupa distribusi frekuensi dari variabel usia, lama kehilangan dan derajat kemiringan; serta uji bivariat Pearson. Pada uji korelasi Pearson didapat p = 0,005 dan r = 0,620 yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi bermakna (p < 0,05) dan kuat (r = 0,620) antara lama kehilangan gigi Molar pertama bawah dengan derajat kemiringan gigi Molar kedua bawah. Kesimpulan: Terbukti bahwa lama kehilangan gigi Molar pertama bawah yang tidak diganti mempunyai hubungan dengan kemiringan gigi Molar kedua bawah ke arah diastema.

The loss of lower first molar have a quite high prevalence. It is because the lower first molar is the first permanent teeth that erupt in age 6-7. Hence from the duration, this tooth is the most often damaged teeth because of caries (70%) and most often restored. One of the impact from the lower first Molar extraction that is going to be researched is the pathologic migration of adjacent tooth that is mesial tipping of lower second molar. Mesial tipping is a tooth movement which relates with axial inclination changes towards the midline, where the movement of the crown is bigger than the root. Sixteen study models with 19 cases of lower second Molar mesial tipping and questioners which fulfill the criteria were taken from Dental Students of Faculty of Dentistry - University of Indonesia Class 2003 - 2007 as the sample. Univariate statistical analysis includes age, loss teeth period and degree of mesial tipping was done in the form of distribution of frequency. The bivariate statistical analysis was done using the Pearson?s correlation method showed p = 0,005 and r = 0,620 which means there is a relationship (p < 0.05) with strong correlation between missing period of lower first Molar and the degree of mesial tipping of lower second molar. It was concluded that there is a relationship between missing period of unreplaced lower first molar with the degree of mesial tipping of lower second Molar."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Enamela Denta
"Pada kasus gigi tiruan penuh, salah satu faktor yang mempengaruhi prognosis perawatan adalah retensi dan stabilitas. Faktor anatomis yang mempengaruhi retensi dan stabilisasi gigi tiruan penuh rahang bawah adalah kedalaman ruang retromylohyoid. Kedalaman ruang retromylohyoid dapat diasumsikan sebagai ketinggian tulang alveolar bagian posterior rahang bawah. Berkurangnya ketinggian tulang alveolar berkaitan dengan resorpsi tulang alveolar yang dapat dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Penelitian ini menggunakan 70 kartu rekam medik pasien gigi tiruan penuh rahang bawah yang datang ke klinik Prostodonsia Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia periode Januari 2005-Juni 2007 yang memenuhi kriteria penelitian. Analisis univariat disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi variabel usia, jenis kelamin, dan kedalaman ruang retromylohyoid. Analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square dan uji Kolmogorov-Smirnov untuk melihat hubungan antara usia dan kedalaman ruang retromylohyoid serta perbedaan kedalaman ruang retromylohyoid antara kelompok perempuan dan laki-laki. Nilai p yang diperoleh adalah 0,334 dan 1,000 (p> 0,05). Kesimpulan: (1) Kondisi yang paling banyak ditemukan pada pasien GTP rahang bawah adalah ruang retromylohyoid dalam. (2) Kondisi ruang retromylohyoid dangkal lebih banyak ditemukan pada kelompok perempuan dibandingkan laki-laki. (2) Tidak terdapat hubungan antara usia dan kedalaman ruang retromylohyoid. (3) Tidak terdapat perbedaan kedalaman ruang retromylohyoid antara kelompok perempuan dan lakilaki.

Anatomic factor that influences the retention and stability of the mandibular denture is the depth of retromylohyoid space. The depth of retromylohyoid space can be assumed as the height of alveolar ridge in posterior region of the mandible. The decrease of the height of alveolar ridge caused by alveolar ridge resorption that is influenced by age and sex. This test used 70 medical records of mandibular complete denture patients who came to Prosthodontic Clinic of Dental Hospital Faculty of Dentistry University of Indonesia within January 2005 - June 2007 period that fulfilled the criteria. Univariate statistical analysis is presented in the frequency distribution of age, sex, and the depth of retromylohyoid space. Bivariate statistical analysis using Chi-Square test and Two Sample Kolmogorov-Smirnov Test was done to analyze the relationship between age and the height of retromylohyoid space, also the difference of the depth of retromylohyoid space in female and male. The result showed that significance values are 0,334 and 1,000 (p > 0,005). It was concluded that (1) A deep retromylohyoid space is the most condition occurred between the patients (2) A shallow retromylohyoid space is occured more in female than male. (3) There is no relationship between age and the depth of retromylohyoid space. (4) There is no difference of the depth of retromylohyoid space in female and male."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Nurhidayanti
"Keberhasilan perawatan gigi tiruan penuh dipengaruhi oleh retensi dan stabilitas. Retensi merupakan kemampuan gigi tiruan untuk tahan terhadap gaya gravitasi, sifat adhesi makanan, dan gaya-gaya yang berhubungan dengan pembukaan rahang, sedangkan stabilitas adalah kemampuan gigi tiruan untuk tetap stabil atau tetap pada posisinya saat digunakan. Salah satu faktor yang berperan dalam retensi dan stabilitas adalah ketinggian perlekatan dasar mulut. Perlekatan dasar mulut perlu diperhatikan karena hubungannya terhadap puncak alveolar sangat penting pada pasien yang akan memperoleh perawatan gigi tiruan penuh rahang bawah. Penelitian ini menggunakan 71 kartu status milik Klinik Departemen Prostodonsia Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Fakultas Kedikteran Gigi Universitas Indonesia yang memenuhi kriteria penelitian. Analisis statistik secara univariat berupa distribusi frekuensi dari variabel jenis kelamin, usia, ketinggian pelekatan dasar mulut dan analisis bivariat dengan uji kolmogorov-smirnov. Nilai p yang didapat dari hasil penelitian > 0,05. Kesimpulan : (1) Perlekatan dasar mulut normal adalah yang paling banyak ditemukan baik pada pasien perempuan maupun lakilaki. (2) Tidak terdapat hubungan antara pertambahan usia dengan ketinggian perlekatan dasar mulut. (3) Tidak terdapat perbedaan ketinggian perlekatan dasar mulut yang signifikan antara pasien perempuan dan laki-laki.

The success of prosthodontic treatment is influenced by retention and stability. Retention is quality inherent in the denture which resist the force of gravity, the adhesiveness of foods, and the forces associated with the opening of the jaws, and stability is denture`s ability of being firm, steady and constant in position when forces is applied to it. One important factors in retention and stability is the height of mouth floor. The mouth floor needs to be concerned because its relationship to alveolar ridge which is very important to a patient who will get mandibular complete denture treatment. As the sample test, seventy one medical records of the Prosthodontic Clinic in Dental Hospital Faculty of Dentistry University of Indonesia which qualify the criteria were used. Univariat statistical analysis is in the form of frequency distribution from the variables of sex, age, height of mouth floor and bivariat analysis with kolmogorov-smirnov test. The result showed (p>0, 05). It was concluded that (1) Normal height of mouth floor is the most common occurrence in male and female. (2) There was no relationship between age and the height of mouth floor. (3) There was no difference between the height of mouth floor in male and female."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pinta Marito
"Kehilangan gigi Molar pertama bawah memiliki prevalensi yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan gigi Molar pertama bawah merupakan gigi tetap yang pertama kali erupsi sekitar umur 6 - 7 tahun sehingga jika dilihat dari jangka waktu penggunaan, gigi ini adalah gigi yang paling sering rusak karena karies (70%) dan paling sering direstorasi. Salah satu dampak dari pencabutan gigi Molar pertama bawah yang akan diteliti adalah ekstrusi gigi Molar pertama atas. Ekstrusi adalah pergerakan gigi keluar dari alveolus dimana akar mengikuti mahkota. Ekstrusi dapat terjadi karena tidak adanya kontak oklusi yang dapat menahan saat mengunyah, dan akibatnya adalah gigi kehilangan stimulasi normal regularnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan lama kehilangan gigi Molar pertama bawah yang tidak diganti dengan ekstrusi gigi Molar pertama atas antagonis. Penelitian ini menggunakan 16 model studi dan kuesioner dari mahasiswa FKG UI angkatan 2003 - 2007 dengan 18 kasus ekstrusi gigi Molar pertama atas yang memenuhi kriteria penelitian. Analisis statistik dilakukan secara univariat berupa distribusi frekuensi dari umur, lama kehilangan, dan nilai ekstrusi. Selain itu, secara bivariat dengan uji korelasi Pearson dimana didapat p = 0, 001 dan r = 0,711 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan korelasi yang bermakna (p < 0,05) dan kuat antara lama kehilangan gigi Molar pertama bawah dengan nilai ekstrusi gigi Molar pertama atas. Simpulan: Terdapat hubungan antara kehilangan gigi Molar pertama bawah yang tidak diganti dengan nilai ekstrusi gigi Molar pertama atas antagonis.

Tooth loss of lower first Molar has high prevalence. It is because the lower first Molar is the first permanent teeth that erupted at age 6th- 7th, therefore if it seen from its duration, this tooth is the most often tooth that destroyed because of caries and restored. One of the impacts from the loss of lower first Molar that will research is the extrusion of antagonist upper first Molar. Extrusion is tooth movement goes out from the alveolus where root follows the crown. Extrusion can be happened because of lost contact occlusion that can not hold it when masticating and the result is tooth will lost its normal stimuli. The purpose of this research is to identify the relationship between missing periods of unreplaced lower first molar with the height of extrusion of antagonist upper first molar (related with Prosthodontic treatment). 16 Study models and questioners that fulfill the criteria were taken from dental students of Faculty of Dentistry - University of Indonesia class 2003 - 2007 with eighteen (18) cases of extrusion of upper first Molar as the sample. Univariate statistical-analysis includes age, tooth loss period and amount of extrusion upper first Molar was done in the form of distribution of frequency. Bivariate statistical-analysis was done using Pearson`s correlation method, showed p = 0, 001 and r = 0,711 which means that there is a relationship (p < 0,05) with strong correlation between missing period of lower first Molar with amount of extrusion upper first Molar. It was concluded: that there is a relationship between missing periods of unreplaced lower first molar with the height of extrusion of antagonist upper first molar."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jovian Purnomo
"Gangguan sendi temporomandibula mencakup perubahan morfologi atau fungsi permukaan artikulasi sendi rahang (intrinsik) dan perubahan fungsi sistem neuromuskular (ekstrinsik). Etiologi gangguan ekstrinsik adalah penggunaan otot yang berlebihan seperti pada kebiasaan clenching dan salah satu gejala yang biasa dilaporkan adalah nyeri kepala. Nyeri kepala yang dirasakan oleh penderita gangguan temporomandibula merupakan nyeri alih. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan clenching dengan terjadinya gejala nyeri kepala pada 128 mahasiswa FKG UI program akademik, umur 18-22 tahun, yang terdiri dari 114 subyek perempuan dan 14 subyek lakilaki dengan mengisi kuesioner. Analisis secara univariat berupa distribusi frekuensi variabel jenis kelamin, gejala nyeri kepala, kebiasaan clenching saat marah, dan kebiasaan clenching saat konsentrasi penuh. Analisis statistik secara bivariat dengan uji Fisher menunjukkan nilai p = 0,019 (p < 0,05) untuk kebiasaan clenching saat marah dan p = 0,755 (p > 0,05) untuk kebiasaan clenching saat konsentrasi penuh. Sedangkan analisis secara bivariat dengan uji Chi-Square menunjukkan nilai p = 0,003 (p < 0,05) untuk kebiasaan clenching saat marah dan p = 0,381 (p > 0,05) untuk kebiasaan clenching saat konsentrasi penuh. Dari kedua uji tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kebiasaan mempertemukan gigi atas dan gigi bawah (clenching) saat marah dengan terjadinya gejala nyeri kepala, tidak ada hubungan antara kebiasaan mempertemukan gigi atas dan gigi bawah (clenching) saat konsentrasi penuh dengan terjadinya gejala nyeri kepala.

Temporomandibular disorders involve alterations to either the morphology or function of the mandible with respect to its articulation to the skull (intrinsic) and its neuromuscular function (extrinsic). An etiology of extrinsic disorder is muscle hyperactivity in a patient who suffers clenching habit. One of the most common symptoms that have usually been reported by patients was headache. This symptom was a referred pain. The purpose of this study was to know the relationship between clenching and headache on 128 subjects who are students of the Faculty of Dentistry, University of Indonesia. The subjects consisted of 144 female subjects and 14 male subjects, aged between 18-22 years old. Univariate statistical analysis included sex, headache symptoms, clenching habit when angry, and clenching habit when fully concentrated. Bivariate statistical analysis was done using the Fisher and Chisquare method to show the relationship between clenching habit and headache in two different criteria. The results using fisher method showed that the value was significant, p = 0.019 (p < 0.05) for clenching habit when angry and 0.755 (p > 0.05) for clenching habit when fully concentrated. The results using Chi-Square method showed that the value was significant, p = 0.003 (p < 0.05) for clenching habit when angry and 0.381 (p > 0.05) for clenching habit when fully concentrated. From both methods, it was concluded that there was a relationship between clenching when the subjects are being angry and headache, but the relationship between clenching when the subjects are being fully concentrate and headache could not be proven."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutajulu, Puji Sarah
"Kehilangan gigi Molar pertama bawah memiliki prevalensi yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan gigi Molar pertama bawah merupakan gigi tetap yang pertama kali erupsi sekitar umur 6 - 7 tahun sehingga jika dilihat dari jangka waktu penggunaan, gigi ini adalah gigi yang paling sering rusak karena karies ( 70% ) dan paling sering direstorasi. Salah satu dampak dari pencabutan gigi Molar pertama bawah yang akan diteliti adalah migrasi dari gigi tetangga yaitu terjadinya pergerakan gigi Premolar kedua bawah. Pergerakan ini terdiri dari kemiringan ke arah distal dan rotasi gigi Premolar kedua bawah. Kemiringan gigi ke arah distal dan rotasi adalah suatu istilah yang digunakan baik untuk fenomena fisiologis migrasi gigi-geligi maupun untuk kejadian dimana terdapat kehilangan gigi dan terjadi pergerakan ke arah diastema tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara lama kehilangan gigi Molar pertama bawah terhadap pergerakan gigi Premolar kedua bawah. Penelitian ini menggunakan enam belas model studi dan kuesioner dari mahasiswa FKG UI angkatan 2003 - 2007 dengan sembilan belas kasus pergerakan gigi Premolar kedua bawah yang memenuhi kriteria penelitian. Analisis statistik secara univariat berupa distribusi frekuensi dari variabel usia, lama kehilangan gigi Molar pertama bawah, nilai rotasi dan kemiringan gigi Premolar kedua bawah; serta uji bivariat Pearson. Hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara lama kehilangan gigi Molar pertama bawah dengan pergerakan gigi Premolar kedua bawah. Nilai p yang didapat pada hasil penelitian menunjukkan korelasi tidak bermakna dengan kekuatan korelasi sedang (p > 0,05).
Kesimpulan: Pada penelitian ini belum dapat dibuktikan adanya hubungan antara lama kehilangan gigi Molar pertama bawah dengan nilai pergerakan gigi Premolar kedua bawah pada mahasiswa FKG UI angkatan 2003-2007.

The loss of lower first Molar has a quite high prevalence. It is because the lower first molar is the first permanent teeth that erupt in age 6-7. Therefore from the duration, this tooth is the most often damaged teeth because of caries (70%) and most often restored. One of the impacts from the lower first Molar extraction that is going to be researched is adjacent tooth migration that is movement of lower second Premolar. This movement consists of distal tipping and rotation of lower second Premolar. Distal tipping and rotation is a term that is used for physiologic migration phenomenon of teeth and also for a condition where there is loss of tooth and a movement to the diastema occurred.
The purpose of this research is to identify the relationship between missing period of lower first Molar with the movement of lower second Premolar. Sixteen study models with nineteen cases of lower second Premolar movement and questioners which fulfill the criteria were taken from Dental Student of Faculty of Dentistry - University of Indonesia Class 2003-2007 as the sample. Univariate statistical analysis includes age, missing period of lower first Molar, the degree of distal tipping and rotation of lower second Premolar was done in the form of distribution of frequency. The bivariate statistical analysis was done using the Pearson?s correlation method. The result showed that there was no relationship between missing period of lower first Molar and the movement of lower second Premolar ( p > 0.05 ).
It was concluded that the relationship between missing period of lower first molar and movement of lower second Premolar on college student of faculty of Dentistry University of Indonesia couldn?t have been proven yet.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bey, Astira
"Perawatan dengan gigi tiruan cekat merupakan perawatan yang cukup banyak dilakukan untuk mengatasi kasus kehilangan gigi. Salah satu perawatan dengan gigi tiruan cekat adalah gigi tiruan jembatan. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan perawatan dengan gigi tiruan jembatan. Preparasi gigi merupakan hal yang paling penting karena preparasi gigi akan menghasilkan bentuk untuk menjadi fondasi bagi gigi tiruan tersebut. Preparasi gigi penyangga yang optimal untuk pembuatan gigi tiruan jembatan sukar dilakukan dengan sempurna. Pada preparasi gigi penyangga, syarat mekanis untuk mendapatkan retensi dan resistensi yang baik adalah pembentukan dinding aksial dengan derajat kemiringan/konvergensi tertentu. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat derajat konvergensi mesiodistal pada preparasi gigi penyangga berdasarkan lokasi gigi di RSGMP FKG UI. Data diperoleh dari 20 model kerja yang didapat dari pasien gigi tiruan jembatan di klinik Prostodonsia RSGMP FKG UI secara konsekutif. Penelitian dilakukan terhadap 40 gigi penyangga yang telah dipreparasi dengan satu kali pengamatan terhadap sudut konvergensi mesiodistal menggunakan kamera digital. Setelah itu dihitung rata-rata sudut konvergensi mesiodistal yang dibentuk dan dikelompokkan berdasarkan lokasi gigi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sudut konvergensi mesiodistal yang paling kecil dibentuk adalah pada preparasi gigi anterior rahang atas kiri dan sudut konvergensi mesiodistal yang terbesar adalah pada preparasi gigi molar rahang atas kiri. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin posterior lokasi gigi yang dipreparasi, semakin besar derajat konvergensi mesiodistal yang dibentuk. Hal ini mungkin disebabkan karena akses untuk gigi posterior lebih sulit, yaitu berkaitan dengan visualisasi yang terbatas. Selain itu, gigi posterior memiliki bentuk anatomis dengan keliling/diameter permukaan yang lebih besar dibanding dengan gigi anterior sehingga sulit untuk mendeteksi sudut dengan derajat kecil.

Fixed prostheses is becoming more frequent and common treatment in field of dentistry for replacing a missing tooth. An example of such treatment is by utilizing a bridge. There are a number of factors that influences the successful outcome of bridge work treatment. Tooth preparation is considered as the most important stage in any dental restoration because it serves as the foundation in any restoration procedure. Optimal abutment tooth preparation in bridge construction is usually difficult and is rarely achieved perfectly. During abutment tooth preparation, mechanical requirements for good retention and resistance can be obtained by a form of convergence angle/taper. The objective of this study is to investigate the degree of mesiodistal convergence in abutment tooth preparation based on tooth location in Dental Hospital, Faculty of Dentistry, University of Indonesia. The data used are extracted consecutively from 20 working models developed for bridge patients in the hospital, and with 40 abutment teeth already prepared from a single observation of mesiodistal convergence angle using a digital camera. Mesiodistal convergence angle are measured in order to derive average values and, than, to be grouped based on teeth locations. This study reveals that the smallest mesiodistal convergence angle is formed in left upper jaw anterior tooth preparation, while left upper jaw molar tooth preparation produced the largest mesiodistal convergence angle. Based on the analysis derived in this study, it can be concluded that when the location of the treated tooth is more posterior, the angle of mesiodistal convergence will become larger. This may be due to the fact that posterior teeth are normally more difficult to be reached since visually it is more limited. In addition, posterior teeth have larger surface area due to wider circumference or diameter compared to anterior teeth and, hence, causing more difficulties in detecting angle with less degrees."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nova Novita Setiamy
"Perawatan dengan gigi tiruan jembatan yang merupakan restorasi cekat dapat menjadi sebuah pilihan tepat dalam mengatasi masalah kehilangan gigi. Keberhasilan perawatan dengan gigi tiruan jembatan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain desain preparasi gigi penyangga. Desain preparasi gigi penyangga harus memenuhi pertimbangan mekanis, biologis, dan estetis. Salah satu hal dari pertimbangan mekanis yang penting adalah retensi dan resistensi. Hal ini dapat diperoleh dengan cara membentuk gigi penyangga sedemikian rupa agar menghasilkan bentuk geometri morfologi sirkumferensial hasil preparasi yang serupa dengan morfologi alami gigi asli. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi dan frekuensi bentuk geometri morfologi sirkumferensial hasil preparasi gigi penyangga posterior pada perawatan dengan gigi tiruan jembatan di klinik Prostodonsia RSGMP FKG UI. Data diperoleh dari 20 buah model kerja dengan 34 hasil preparasi gigi penyangga posterior pada pasien yang telah dibuatkan gigi tiruan jembatan di klinik Prostodonsia RSGMP FKG UI periode Januari 2006 - September 2007 secara konsekutif dan hanya dilakukan oleh satu orang peneliti. Pemeriksaan dilakukan melalui pengamatan secara visual pada bentuk geometri sirkumferensial hasil preparasi gigi penyangga. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sebagian besar hasil preparasi gigi-gigi penyangga premolar dan molar memiliki bentuk spesifik geometri morfologi sirkumferensial yang serupa dengan morfologi alami gigi asli. Maka dapat disimpulkan bahwa mahasiswa profesi FKG UI telah menunjukkan kemampuannya dalam menghasilkan preparasi gigi penyangga posterior dengan bentuk spesifik geometri morfologi sirkumferensial yang sesuai dengan morfologi alami gigi asli.

Fixed partial denture or Bridge work is a common treatment in replacement of missing teeth. One factor that influence the success rate of fixed partial denture or bridge work is abutment teeth preparation design. The teeth preparation design should fulfill the mechanical, biological, and esthetical considerations. Retention and resistance forms play an important role mechanically in supporting the bridge work optimally. These are achieved by such preparation of the abutment teeth that are resulted in a geometrically retentive form. This study was conducted to evaluate geometric forms as a result of abutment teeth preparation done by dental students of Faculty of Dentistry at the University of Indonesia from January 2006 - September 2007. Data were collected from 20 working models with 34 posterior abutment teeth prepared for bridge work. Evaluation done visually and found that most of premolar and molar abutment teeth prepared showed its geometrical form that similar to its natural teeth morphology. Therefore it could be concluded that the dental students showed their ability to gain the geometric forms of the posterior abutment teeth that they prepared in accordance with the natural teeth morphology."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Widyarini
"Jika sebuah atau beberapa gigi hilang, maka dibutuhkan perawatan untuk menggantikan gigi-gigi tersebut. Salah satu perawatannya adalah dengan Gigi Tiruan Jembatan. Untuk mendapatkan Gigi Tiruan Jembatan yang optimal dibutuhkan preparasi gigi penyangga yang optimal pula yang sesuai dengan prinsip preparasi, tanpa membahayakan pulpa dan jaringan sekitar. Salah satu prinsip yang harus diketahui adalah mengenai banyaknya pengambilan jaringan mahkota gigi penyangga. Mahasiswa profesi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia diharapkan dapat menerapkan pemahaman teori mengenai prinsip preparasi gigi penyangga pada perawatan dengan Gigi Tiruan Jembatan pada aplikasi klinis. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh hal ini dapat tercapai dengan melihat banyaknya pengambilan jaringan gigi penyangga. Data dikumpulkan dari 11 model studi dan 11 model kerja secara konsekutif, sehingga terdapat 21 elemen gigi penyangga yang dievaluasi. Penelitian dilakukan dengan satu kali pengamatan dan oleh satu orang peneliti. Hasil yang didapat adalah rata-rata pengambilan jaringan mahkota gigi posterior atas pada aspek aksial yaitu berkisar antara 0,6 sampai 1,4 mm; dan pada aspek oklusal berkisar antara 1,3 sampai 1,7 mm, sedangkan rata-rata pengambilan jaringan mahkota gigi posterior bawah pada aspek aksial berkisar antara 0,5 sampai 2,0 mm; dan pada aspek oklusal berkisar antara 1,5 sampai 1,8 mm. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar mahasiswa profesi belum mengaplikasikan prinsip dan teknik preparasi dengan benar, terutama mengenai banyaknya pengambilan jaringan gigi penyangga pada aspek aksial.

When a tooth was missing in dental arch, treatment to replace that condition is needed. Fixed Partial Dentures is considered as one of the most popular treatment of choice in order to replace a missing tooth or teeth. To have a success Fixed Partial Dentures, an optimal abutment teeth preparation should meet the principal of tooth preparation, without dangering pulp and surrounding tissues. One of the principles that must be known is the depth reduction of abutment teeth. Dental student are expected to have the ability in implementation of their knowledge to the real clinical work. This study was conducted to investigate how much the depth of an abutment tooth/ teeth reduction done by dental student at Prosthodontics Departement of Faculty of Dentistry University of Indonesia. The data were collected from 11 study models and 11 working models concecutively, hence 21 abutment teeth were evaluated. The research was done by one time evaluation and by one researcher. From the data evaluated, it can be reported that the average depth of axial reduction of posterior maxillary abutment teeth is 0,6 - 1,4 mm and occclusal reduction ranged between 1,3 - 1,7 mm in comparison to the axial reduction of posterior mandibulary abutment teeth that ranged between 0,5 - 2,0 mm and occlusal reduction ranged between 1,5 - 1,8 mm. Therefore, it can be concluded that the knowledge they mastered for Fixed Partial Dentures regarding abutment teeth preparation has not been implemented optimally, especially for axial reduction."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yansen
"Bruxism adalah serangkaian aktifitas kontraksi otot rahang saat tidur yang bersifat ritmik, singkat, dan kuat, terjadi pada posisi sentris maupun eksentris rahang. Bruxism merupakan salah satu etiologi gangguan sendi temporomandibula (STM), namun bagaimana mekanisme dan hubungannya dengan gejala gangguan STM masih menjadi kontroversi dan belum jelas. Tujuan dari penelitian cross sectional ini adalah untuk mencari hubungan antara bruxism dan nyeri atau kaku STM pada mahasiswa preklinik FKGUI tahun 2007. Penelitian dilakukan di FKGUI, dimulai dari akhir November sampai minggu pertama Desember 2007, melibatkan 128 subyek penelitian yang dipilih berdasarkan random sampling. Subyek diminta menjawab 3 kuesioner yang diadaptasi dari RDC (Research Diagnostic Index), Diagnostic Index dan Oral Parafunction dan data kemudian dianalisa enggunakan uji Fisher.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi bruxism sebesar 15.6%, yang mengalami nyeri atau kaku STM 8.6%, yang sering mengalami kaku sesaat di sekitar STM pada pagi hari saat bangun tidur 3.1%, dan yang jarang 22.7%. Untuk bruxism dan gejala nyeri atau kaku STM, hasil analisis menunjukkan nilai p=0.376 (p>0.05) dengan demikian dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara bruxism dan nyeri STM. Hasil analisis hubungan antara bruxism dan kaku sesaat di sekitar STM pada pagi hari saat bangun tidur menunjukkan nilai p=0.498 (p>0.05), sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara bruxism dan kaku sesaat di sekitar STM pada pagi hari saat bangun tidur. Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara bruxism dan nyeri atau kaku STM pada mahasiswa preklinik FKGUI tahun 2007.

Bruxism is a sleep-associated series of rhythmic, brief, strong contractions of the jaw muscles occurring in either centric or eccentric jaw position. Bruxism is one of the etiologies of temporomandibular disorder (TMD), but the mechanism and its relationship with TMD symptoms are still controversial and unclear. The purpose of this cross sectional observation is to describe the relationship between bruxism and pain stiffness of TMJ in preclinical dental students of University of Indonesia in 2007. The observation was done from the end of November until the first week of December 2007 at the Faculty of Dentistry, University of Indonesia. One hundred and twenty eight subjects were selected by simple random sampling method and answered three questionnaires adopted from the RDC (Research Diagnostic Criteria), Diagnostic Index and Oral Parafunction. The data was analyzed by Fisher`s test.
The results showed that bruxism prevalence was 15.6%, TMJ pain or stiffness was 8.6%, often experienced jaw stiffness when waking up in the morning was 3.1%, and 22.7% seldom experienced this symptom. Result for testing the relationship between bruxism and TMJ pain or stiffness was p=0.376 (p>0.05), hence we can conclude that there is no relationship between bruxism and TMJ pain or stiffness. Result for testing the relationship between bruxism and jaw stiffness when waking up in the morning was p=0.498 (p>0.05), which means that there is also no relationship between bruxism and jaw stiffness when waking up in the morning. In conclusion, there was no relationship between bruxism and pain or stiffness of TMJ on preclinical dental students of University of Indonesia in 2007."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S40691
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>