Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Wening Pamungkasningsih
"Latar belakang: Zat beracun utama dalam rokok elektronik yang ditemukan juga pada rokok konvensional adalah nikotin.Hasil utama metabolisme nikotin berupa kotinin yang terdapat di plasma, urin dan saliva. Kotinin dapat digunakan sebagai penanda hayati penggunaan nikotin pada perokok elektronik. Nikotin juga bersifat adiktif yang menyebabkan ketergantungan, yang dapat menjadi salah satu faktor kendala dalam upaya berhenti merokok. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar kotinin urin dan tingkat ketergantungan nikotin pada laki-laki perokok elektronik reguler.
Metode: Penelitian potong lintang secara consecutive sampling dilakukan pada kelompok laki-laki perokok elektronik reguler dan bukan perokok di tahun 2018. Semua subjek penelitian dilakukan wawancara dan pemeriksaan kadar kotinin urin menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Kuesioner Penn State Nicotine Dependent Index (PSNDI) hanya diisi oleh kelompok perokok elektronik reguler untuk menentukan tingkat ketergantungan nikotin.
Hasil: Kadar kotinin urin perokok elektronik pada kelompok tidak ada ketergantungan didapatkan lebih rendah dibanding kelompok ketergantungan sedang-tinggi (p=0,008). Kadar kotinin urin kelompok ketergantungan rendah lebih kecil dibanding kelompok ketergantungan sedang-tinggi (p=0,029).Median kadar kotinin urin kelompok perokok elektronik reguler lebih tinggi dibanding kelompok bukan perokok (276,11 [58.01-284.15] ng/mL vs 5.21 [4.65-23.72] ng/mL, p<0.001). Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar kotinin urin perokok elektronik dan bermakna secara statistik adalah usia (p=0.041), kadar nikotin cairan rokok elektronik (p=0.013) dan aroma cairan rokok elektronik (mentol dan non mentol) (p=0.040). Sebanyak 76.5% laki-laki perokok elektronik reguler mempunyai ketergantungan nikotin.
Kesimpulan: Kadar kotinin urin dan tingkat ketergantungan nikotin pada laki-laki perokok elektronik reguler memiliki hubungan yang bermakna secara statistik. Kadar kotinin urin pada laki-laki perokok elektronik reguler lebih tinggi dibandingkan bukan perokok dan bermakna secara statistik. Faktor-faktor yang secara bermakna mempengaruhi kadar kotinin urin adalah usia, kadar nikotin dan aroma cairan rokok elektronik.

Introduction: The main toxic substance in electronic cigarettes (e-Cig), also found in conventional cigarettes, is nicotine. The main product of nicotine metabolism is cotinine which can be found in plasma, urine and saliva. Cotinine can be used as a biomarker for nicotine in electronic cigarette users. Nicotine is also addictive which causes dependence, thus serves as one of problems in smoking cessation program. This study aims to determine the correlation of urine cotinine and nicotine dependence level in the regular e-Cig male users.
Method: This cross-sectional study consecutively included regular e-Cig male users and non-smokers. All subjects were interviewed and were measured for its urinary cotinine levels (uCOT) were examined using an enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method. The Penn State Nicotine Dependent Index (PSNDI) questionnaire was filled by regular e-Cig users.
Results: The uCOT of e-Cig users in the non-dependency group was lower than the medium-high dependency group (p=0.008). The uCOT of e-Cig users in the low dependency group was lower than the medium-high dependency group (p=0.029). The median uCOT of the regular e-Cig users was higher than the non-smokers group (276.11 [58.01-284.15] ng/mL vs 5.21 [4.65-23.72] ng/mL, p<0.001). Factors influencing uCOT of e-Cigs users were age (p=0.041), nicotine level of e-Cig liquid (p=0.013) and flavor of e-Cig liquid (e.g. menthol or non-menthol) (p=0.040). Nicotine dependence was found in 76.5% regular e-Cig male users.
Conclusion: The uCOT and nicotine dependence level on the regular e-Cig male users was significantly correlated. The uCOT of regular e-Cig male users was significantly higher than non-smokers, of which age, nicotine level and flavor of e-cCig liquid significantly influenced the uCOT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hapsari Retno Dewanti
"Latar Belakang: Kanker paru menjadi penyebab kematian utama akibat keganasan pada laki-laki sebesar 31% dan perempuan sebesar 27%. Pada pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi pada exon 20 T790M memberikan respons yang buruk terhadap terapi EGFR-TKI generasi pertama maupun generasi kedua.
Tujuan: Mengetahui profil serta angka tahan hidup 1 tahun pasien kanker paru jenis Adenokarsinoma dengan mutasi exon 20 T790M primer.
Metode: Penelitian menggunakan desain kohort terhadap pasien-pasien adenokarsinoma paru stadium IV dengan mutasi exon 20 T790M primer dari bulan September 2015 sampai Desember 2017 di RSUP Persahabatan. Variabel yang diteliti adalah karakteristik klinis dan angka kesintasanberdasarkan kurva Kaplan Meier. Hasil analisis dinyatakan berbeda bermakna apabila nilai p<0,05.
Hasil: Didapatkan 27 subjek penelitian dengan rerata usia 58,5 tahun dan berjenis kelamin laki-laki (70,6%). Keluhan utama berupa sesak napas (73,5%) dan nyeri dada (55,9%). Mutasi genetik tunggal pada Exon 20 T790M (64,7%), sedangkan mutasi Exon 20 T790M dengan Exon 21 L858R (11,8%) dan mutasi Exon 20 T790M dengan 21 L861Q (8,8%). Organ target metastasis adalah efusi pleura (73,5%), tulang (26,5%) dan otak (20,6%). Angka kesintasan 360 dan 990 hari sebesar 35% dan 20% dengan median kesintasan sebesar 213 hari.
Kesimpulan: Mutasi exon 20 T790M pada adenokarsinoma paru memegang peranan penting terhadap kesintasan dan prediktor responsterhadap terapi yang diberikan.

Background: Lung cancer causes mortality in men (31%) and in women (27%). Lung adenocarcinoma patients with exon 20 T790Mepidermal growth factor receptor(EGFR) mutation showed poor response to the first generation and second generation of EGFR tyrosine kinase inhibitor (TKI) therapy.
Purpose: This study aims to reveal the characteristics and one year survival rate of lung adenocarcinoma patients with primary exon 20 T790M EGFR mutations treated at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia.
Methods: The cohort study involved patients with primary exon 20 T790M EGFR mutation between September 2015 to December 2017 in Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia. The survival rate was observed from Kaplan Meier estimator curve and was statistically analyzed.
Results: There were 27 subjects with mean age of 58.5 years and were predominated male (70.6%). The most common chief complaints were shortness of breath (73.5%) and chest pain (55.9%). The EGFR mutations detected were exon 20 T790M (64.7%), exon 20 T790M with exon 21 L858R (11.8%) and exon 20 T790M with exon 21 L861Q (8.8%). Metastatic target organs were pleural effusions (73.5%), bone (26.5%) and brain (20.6%). Survival rate of 360 and 990 days was 35% and 20% respectively with median survival rate was 213 days.
Conclusion: Exon 20 T790M EGFR mutation in lung adenocarcinoma was revealed to be an important factor in survival and in predicting response to EGFR TKI chemotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafiz
"Latar belakang dan tujuan: Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) merupakan salah satu penyebab terbanyak batuk kronik dan menjadi faktor risiko terjadinya eksaserbasi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), menurunkan kualitas hidup dan memperparah gejala respirasi dan pencernaan. Total 40 pasien diikutkan pada penelitian ini. Pasien diambil secara konsekutif dari poliklinik asma PPOK di RSUP Persahabatan dimulai dari bulan Mei 2017. Diagnosis PPOK berdasarkan GOLD 2017 yaitu nilai spirometri VEP1/KVP pasca bronkodilator < 0.7. Diagnosis PRGE menggunakan endoskopi saluran cerna bagian atas apabila ditemukan kerusakan mukosa esofagus. Kriteria eksklusi yaitu eksaserbasi dan kelainan esofagus yang sudah diderita sebelumnya.
Metode: Penelitian ini adalah potong lintang pada pasien PPOK stabil yang berkunjung ke poli asma-PPOK di RSUP Persahabatan mulai bulan Juli sampai Nopember 2017. Sebanyak 40 pasien dipilih secara konsekutif sejak bulan Mei 2017. Pemeriksaan berupa wawancara, spirometri dan endoskopi dilakukan pada semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Subjek yang mengikuti penelitian sebanyak 40. Prevalens PRGE pada PPOK adalah 40% (16/40). Tidak ada perbedaan bermakna diantara kedua grup berdasarkan usia, jenis kelamin, Indeks Brinkman (IB) dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Keterbatasan aliran udara yang lebih berat dan nilai spirometri pascabronkodilator yang lebih rendah memiliki kecenderungan terjadinya PRGE lebih besar walaupun secara statistik tidak bermakna. Rerata pasien berusia lanjut dan mempunyai riwayat merokok. Eksaserbasi dan skor CAT berhubungan secara bermakna (p < 0.05) dengan kejadian PRGE. Penggunaan obat-obatan PPOK seperti LABA, LAMA dan SABA tidak berubungan bermakna dengan PRGE. Gejala dada terbakar (heartburn) bermakna secara statistik (p < 0.05) sebagai tanda PRGE.
Kesimpulan: Prevalens PRGE cukup tinggi pada pasien PPOK dan bahkan lebih tinggi dibandingkan pasien bukan PPOK dengan gejala dispepsia di Jakarta. Dokter harus mempertimbangkan kemungkinan PRGE sebagai salah satu komorbid yang penting pada PPOK. Penelitian kohort dan strategi pencegahan disarankan untuk dilakukan selanjutnya.

Background/Aim: Gastroesophageal reflux disease (GERD) is one of the most common causes of chronic cough and is a potential risk factor for exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease (COPD), decreasing quality of life in COPD patients, aggravating symptoms both respiratory and gastro-intestinal. Total 40 patients were recruited consecutively from the outpatient of Asthma and COPD clinic at Persahabatan hospital Jakarta started from May 2017. The diagnosis of gastroesophageal reflux disease (GERD) was based on the mucosal break on the esophageal lining through endoscopic examination. Exclusion criteria were COPD exacerbation and known esophageal disease.
Methods: This is a cross sectional study among stable COPD patients who visited asthma-COPD clinics at Persahabatan Hospital from July to November 2017. 40 patients were recruited consecutively started from May 2017. Interview, spirometry and endoscopy performed to all subjects who meet the inclusion criteria.
Results: A total 40 subjects were enrolled in our study. Prevalence of GERD in COPD was 40%. There was no significant difference between the two groups regarding age, sex, Index Brinkman (IB) and Body Mass Index (BMI), although in the RE group has a slightly higher BMI. More severe airflow obstruction tends to increase in GERD group although no significant statistical difference Most patients were elderly and smoker/ex. Exacerbation and CAT score were significantly associated with GERD (p<0.05). Post BD spirometry showed greater airway and severe COPD tends to also had GERD similar to results of other studies. Respiratory medication such as ICS + LABA, LAMA and SABA statistically insignificant with GERD. Heartburn as a symptom showed statistically significant to predict GERD (p < 0.05).
Conclusion: Prevalence of GERD was high in COPD patient and even higher than previously reported in general patient with dyspepsia syndrome in Jakarta. Physician should consider GERD as one of the most important comorbidities in COPD. Cohort study and preventive strategy are warranted in the future.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Pranandrari
"Latar belakang: Kejadian obstructive sleep apnea (OSA) dipengaruhi kebiasaan tidur dan pekerjaan. Profesi perawat berhubungan dengan rotasi kerja yang mempengaruhi waktu tidur. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalens dan faktor-faktor yang berhubungan dengan OSA pada perawat RS Persahabatan Jakarta menggunakan kuesioner penapisan dan polisomnografi (PSG).
Metode: Perawat dilakukan penapisan OSA menggunakan kuesioner Berlin dan STOP-Bang dan dilakukan pemeriksaan PSG untuk mengetahui prevalens OSA. Karakterisik demografis, pekerjaan dan kebiasaan dianalisis untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan OSA.
Hasil: Penelitian yang melibatkan 168 perawat ini menunjukkan prevalens OSA adalah 32,74% (55/168) berdasarkan kuesioner Berlin dan 16,67% (28/168) berdasarkan kuesioner STOP-Bang. Indeks massa tubuh, lingkar leher (LL) dan status gizi merupakan faktor risiko OSA berdasarkan penapisan Berlin. Indeks massa tubuh, LL, status gizi, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jam kerja dan jam tidur merupakan faktor risiko OSA berdasarkan penapisan STOP-Bang. Subjek dengan risiko OSA berdasarkan kuesioner Berlin menunjukkan hasil skor STOP-Bang lebih besar terhadap subjek tanpa risiko OSA dengan skor >2 (p<0,000). Pemeriksaan PSG menunjukkan 10 subjek menderita OSA.
Kesimpulan: Prevalensi OSA adalah 32,74% berdasarkan kuesioner Berlin dan 16,67% berdasarkan kuesioner STOP-Bang. Indeks massa tubuh, LL dan status gizi merupakan faktor risiko OSA berdasarkan kedua kuesioner tersebut. Subjek dengan risiko OSA berdasarkan kuesioner Berlin menunjukkan skor STOP-Bang >2.

Background: Obstructive sleep apnea (OSA) is associated with sleep habits and occupation. Nurses are subject to lengthy night working shift which deprives sleep. This study reveals the prevalence and the related factors of OSA among the nurses of Persahabatan Hospital Jakarta using screening questionnaire and polysomnography (PSG).
Methods: Nurses were screened for OSA using Berlin and STOP-Bang questionnaires and were examined using PSG to reveal the prevalence of OSA. Demographic, work and habitual characteristics were analyzed to reveal related factor of OSA.
Results: The study, involved 168 nurses, shows prevalence of OSA is 32.74% (55/168) based on Berlin questionnaire and 16.67% (28/168) based on STOP-Bang questionnaire. Body mass index, neck circumference (NC) and nutrition status (NUT) is shown as risk factor of OSA from Berlin questionnaire. Body mass index, NC, NUT, sex, education level, working hour and sleeping hour is shown as risk factor of OSA from STOP-Bang questionnaire. Subjects with risk of OSA, as determined by Berlin questionnaire, exhibits STOP-Bang score >2 compared to subjects without risk of OSA (p<0.000). The PSG shows 10 subjects are OSA.
Conclusions: Prevalence of OSA is 32.74% based on Berlin questionnaire and 16.67% based on STOP-Bang questionnaire. Body mass index, NC and NUT serves as OSA risk factors from both of these questionnaires. Subject with risk of OSA, as determined by Berlin questionnaire, tends to exhibit STOP-Bang score >2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Nina Aspasia Harli
"Latar belakang dan tujuan: Tuberkulosis (TB) sampai saat ini merupakan tantangan dan ancaman besar bagi kesehatan masyarakat di dunia. Insidens TB paru di kota Bekasi tahun 2014 adalah 1359/2.510.951 penduduk dan 3099 total kasus selama tahun 2014. Defisiensi mikronutrien seperti retinol dapat terjadi akibat hilangnya nafsu makan, gangguan absorbsi usus halus yang menyebabkan keadaan imununosupresi sehingga meningkatkan risiko infeksi TB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar retinol serum dengan derajat bacterial TB paru kasus baru di tingkat pelayanan primer.
Metode: Penelitian mempergunakan desain potong lintang dengan 135 sampel yang diambil dengan cara cluster consecutive sampling di puskesmas wilayah kota Bekasi pada penderita TB paru kasus baru yang belum mendapatkan terapi obat anti tuberkulosis (OAT).
Hasil: Karakteristik subjek TB paru kasus baru di puskesmas menurut usia dengan nilai tengah 35,5 tahun (IQR 18-65), laki-laki 62,3%, perokok 44,9%, IMT gizi kurang 56,5%, hipoalbumin 17,4%, kadar retinol serum defisien 40,6%. Lesi kavitas 30,4?% dan derajat bacterial load mayoritas scanty dan +1 dengan persentase berturut-turut 10,1% dan 39,1%. Terdapat perbedaan bermakna kadar albumin, IMT, lesi kavitas dengan bacterial load dengan nilai p=0,003, p=0,014, p=0,011 namun tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar retinol serum dengan bacterial load.
Kesimpulan: Kadar retinol serum tidak berhubungan dengan derajat bacterial load pasien TB paru kasus baru di wilayah kerja kota Bekasi serta terdapat hubungan bermakna antara IMT, kadar albumin dan lesi radiologis dengan bacterial load.

Background: Tuberculosis (TB) remains a threat for community health across the globe including Indonesia. The incidence of pulmonary TB in Bekasi, Indonesia in 2014 is 1,395/2,510,951 people and there were 3.099 cases in 2014. Micronutrient deficiency such as retinol can be caused by loss of appetite and disorder in intestinal absorption which could lead to immunosuppressive condition that increased the risk of TB. This study aims to find the correlation between serum retinol level and semi-quantitative bacterial load in new case of pulmonary TB at a community health center.
Methods: This cross-sectional study involved 135 subjects collected through cluster consecutive sampling in a primary health care in Bekasi, Indonesia. The study included new pulmonary TB cases which had no history of taking any anti-TB drugs.
Results: The median age of the subjects was 35.5 years old (IQR 18-65) and most of subjects were males (62.3%), smokers (44.9%), had low body mass index (BMI) (56.5%), had hypoalbuminemia (17.4%), serum retinol deficient (40.6%), presented with cavity lesion (30.4%) and presented with scanty and +1 semi-quantitative bacterial load (10.1% and 39.1%, respectively). There was no significant correlation between serum retinol level and semi-quantitative bacterial load. However, there were significant correlations between serum albumin level, BMI and presence of cavity lesion and semi-quantitative bacterial load (p=0.003, p=0.014, and p=0.011, respectively).
Conclusion: There was no correlation between serum retinol level and semi-quantitative bacterial load in new cases of pulmonary TB patients. There were significant correlations between serum albumin level, BMI and presence of cavity lesion and semi-quantitative bacterial load.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eric Hermansyah
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit infeksi paru menjadi masalah utama kesehatan di Indonesia, termasuk mikosis paru yang disebabkan oleh infeksi, kolonisasi jamur maupun reaksi hipersensitif terhadap jamur. Bronkoskopi sebagai alat diagnostik untuk melihat gambaran lesi endobronkial dan mengambil bahan klinis seperti bronchoalveolar lavage BAL dan bilasan bronkus. Pemeriksaan biakan jamur dari bahan klinis bronkoskopi dapat membantu penegakan diagnosis mikosis paru.Metode: Studi deskriptif potong lintang pada pasien bronkoskopi yang dilakukan pemeriksaan biakan jamur dari BAL dan bilasan bronkus. Jumlah sampel adalah total sampling sejak Januari 2016 sampai dengan Desember 2017. Penelitian dilakukan di SMF Paru RSUP Persahabatan.Hasil: Bahan klinis dari bronkoskopi pada penelitian ini berupa bilasan bronkus sebanyak 67 buah dan BAL sebanyak 21 buah. Dari bahan klinis didapatkan hasil biakan tumbuh jamur sebanyak 35 buah dan tidak tumbuh jamur sebanyak 53 buah.Jenis jamur yang tumbuh adalahCandida sp. dengan spesies terbanyak Candida albicans sebanyak 30 isolat, Candida parapsilosis sebanyak 3 isolat, serta spesies Candida glabratadanCandida tropicalis masing-masing sebanyak 1 isolat.Kesimpulan: Bahan bronkoskopi BAL dan bilasan bronkus dapat digunakan untuk pemeriksaan biakan jamur.Kata Kunci: biakan jamur, bronkoskopi, bronchoalveolar lavage, bilasan bronkus.
Background: ABSTRACT
Lung infection diseases become health main problem in Indonesia, including lung mycosis caused by infection, fungal colonization or hypersensitivity reaction against the fungal. Bronchoscopy is used as diagnostic tool to see endobronchial lesion and to gain clinical specimens such as bronchoalveolar lavage BAL and bronchial washing. Fungal culture from clinical specimen of bronchoscopy can help diagnosing lung mycosis.Method: Cross sectional descriptive study of bronchoscopy patients with fungal culture assay from BAL and bronchial washing. Total sample is total sampling from January 2016 to December 2017. The study is in Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Persahabatan Hospital, JakartaResult: Clinical specimens from bronchoscopy in this study are 67 samples of bronchial washing and 21 samples of BAL. There are positive fungal growth in 35 samples and no fungal growth in 53 samples.All growing fungal come from Candida sp. with most species come from Candida albicans 30 isolates, followed by Candida parapsilosis 3 isolates, Candida glabrata and Candida tropicalis each one 1 isolate.Conclusion: Bronchoscopy samples of BAL and bronchial washing can be used forfungal culture assay examination."
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vonni Christiana Bionika
"ABSTRAK
Pendahuluan Kebakaran hutan di Provinsi Riau terjadi setiap tahun telah menjadi bencana nasional. Badan Penanggulangan Bencana Daerah pada bulan Agustus 2015 menyatakan terdapat 21 titik api di Kabupaten Kampar. Asap dari hasil pembakaran hutan mengandung karbon monoksida dan senyawa karsinogenik yaitu benzopirene dengan metabolit utamanya benzopirene diol epoxide BPDE yang bersifat mutagenik sehingga meningkatkan terjadinya keluhan respirasi dan risiko kanker paru. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kadar karbon monoksida ekspirasi dan benzopirene serum pada 2 populasi yaitu subjek kontrol dan pasca tiga bulan terpajan kebakaran hutan di Kabupaten Kampar. MetodePenelitian ini merupakan disain potong lintang yang dilakukan pada bukan Januari 2016 bertempat di Desa Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar Riau . Total sampel penelitian ini terdiri dari 97 subjek terpajan di desa Rimbo Panjang dan 15 subjek kontrol di kota Pekanbaru. Pengukuran kadar CO ekspirasi menggunakan CO Analyzer, benzopirene serum melalui pengambilan darah serta pengisian kuesioner untuk menilai keluhan respirasi. HasilPenelitian ini mendapatkan kadar CO ekspirasi tertinggi pada kelompok subjek terpajan sebesar 38 ppm, sedangkan pada seluruh subjek kontrol 0 ppm. Kadar CO ekspirasi memiliki hubungan bermakna dengan jenis kelamin p
Background
ABSTRACT
Forest Fire in Riau Province was happen every year that becomes asone of national disaster. The National Disaster Management on August 2015 said that there are 21 hotspot in kampar, Riau. Fog are contains of carbon monoxide and carcinogenic agents; metabolite benzopyrene diol epoxide BPDE which is mutagenic and increase the level of respiratory complaint and lung cancer risk. This research aim was to understand the CO expiration and BPDE serum on 2 subjects; controlled subject post exposed wildfire smoke. MethodsThis is a cross sectional study reseacrh, on January 2016 taking Place in Rimbo Panjang, Kampar Riau . The total sample of this research were 97 exposured subjects and 15 controlled subjects. The CO expiration measured by CO Analyzer and the subjects blood taken to measure the BPDE serum. Also, the whole subjects demanded to fill the questionnaire in case of finding out the respiratory complaint. Results From the methods used, it is known that the highest level of CO from the exposure subjects was 38 ppm. While on the controlled subjects was 0 ppm. The CO expirations level has a significant linkages within sex p"
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rambe, Seira Yuana Putri Boru
"ABSTRAK
Latar BelakangWorld Resources Institute WRI berdasarkan kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 2014, terdapat 3.101 titik api dipulau Sumatera dan 87 dari jumlah tersebut ditemukan di Provinsi Riau. Asap yang berasal dari kebakaran hutan menghasilkan senyawa karsinogenik yaitu Benzo a pyrene dengan metabolit utamanya Benzo a pyrene-diol epoxide BPDE yang bersifat mutagenik tinggi sehingga menyebabkan kerusakan DNA dan meningkatkan terjadinya risiko kanker termasuk kanker paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar BPDE serum pada petugas pemadam kebakaran pasca kebakaran hutan tahun 2015 di Provinsi Riau.MetodePenelitian dengan desain potong lintang yang dilakukan pada Mei 2016 bertempat di kantor pusat pemadam kebakaran kota Pekanbaru, terhadap 70 orang petugas pemadam kebakaran yang ikut memadamkan api kebakaran hutan di Provinsi Riau periode Agustus-Oktober 2015. Dilakukan pengambilan darah untuk pengukuran kadar BPDE serum, pengukuran kadar CO ekspirasi menggunakan alat CO analyzer, pengisian kuesioner data dasar, status merokok, keluhan respirasi, fagerstorm dan penggunaan APD.HasilNilai tengah kadar BPDE serum dan kadar CO ekspirasi yaitu 16 ng/ml 1,93-71,13 dan 9 ppm 0-54 . Kadar BPDE serum pada perokok 15,26 ng/ml 1,93-48,47 , bukan perokok 15,63 8,42-50,51 dan bekas perokok 22,07 13,46-71,13 nilai p = 0,025. Kadar BPDE serum pada kelompok yang tidak menggunakan APD dan yang menggunakan APD 17,15 ng/ml vs 15,63 ng/ml . Kadar CO ekspirasi pada perokok 11,52 ppm 0-54 , bukan perokok 7,02 ppm 0-45 dan bekas perokok 7,00 ppm 0-27 nilai p = 0,05. Keluhan respirasi terbanyak berupa dahak/reak sebanyak 44,3 .KesimpulanKadar BPDE serum lebih tinggi pada bekas perokok dan pada responden yang tidak menggunakan APD Kadar CO ekspirasi didapatkan lebih tinggi pada perokok Keluhan respirasi terbanyak adalah dahak/reak.Kata kunci : Benzo a pyrene diol epoxide, asap kebakaran hutan, pemadam kebakaran
BackgroundWorld ,hr> ABSTRACT
Resources Institute WRI based on the 2014 forest fires in Indonesia, showed 3.101 firespots in the Sumatera island and 87 of them were located in the Riau Province. Forestfire smoke produced carcinogenic compound, Benzo a pyrene, with its main metabolic which is Benzo a pyrene-diol epoxide BPDE . It had a high mutagenic characteristic and could cause damage to DNA and increased the risk of cancer, especially lung cancer. This study rsquo;s purpose was to know serum BPDE levels in firefighters after forestfire 2015 at Riau Province.Method A cross sectional study conducted in May 2016 at Pekanbaru rsquo;s Fire Departement, involve 70 firefighters who took part in extinguishing at the Riau rsquo;s forestfires between August-October 2015. Blood samples were taken to check the serum BPDE levels, the level of exhale carbon monoxide CO during expiration using a CO analyzer and filling questionaire about smoking status, respiratory symptoms, fagerstrom and universal precaution. ResultMedian for serum BPDE levels and CO expiration levels to be 16 ng/ml 1,93-71,13 and 9 ppm 0-54 . Serum BPDE levels in smokers 15,26 ng/ml 1,93-48,47 , non-smokers 15,63 8,42-50,51 and ex-smokers 22,07 13,46-71,13 with p=0,025. Serum BPDE levels in firefighters not using universal precautions were higher than the firefighters who did 17,15 ng/ml vs 15,63 ng/ml . CO expiration level was higher in smokers 11,52 ppm 0-54 , non-smokers 7,02 ppm 0-45 and ex-smokers 7,00 ppm 0-27 , with p=0,05. Sputum was the major respiratory symptoms 44,3 .ConclusionSerum BPDE levels are higher in firefighters who are ex-smokers and firefighters who not using universal precautions compared with those who use. CO expiration levels are higher in smokers and the major respiratory complaints is sputum."
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Gozali
"Latar Belakang: Beban penyakit paru obstruktif kronik PPOK terus menunjukkan peningkatan di seluruh dunia. Penyakit komorbid yang biasa muncul pada PPOK salah satunya adalah penyakit kardiovaskular contohnya aritmia. Prevalens aritmia pada PPOK berkisar antara 12-14 . Terdapat kesamaan faktor antara PPOK dan aritmia, antara lain usia tua dan perokok. Aritmia yang disebabkan oleh obat-obatan bronkodilator juga banyak menyita perhatian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di Poliklinik Asma- PPOK Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan pada bulan Januari-April 2018 untuk melihat prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil. Delapan puluh tiga pasien PPOK stabil di ambil untuk ikut dalam penelitian ini secara consecutive sampling. Pada semua pasien dilakukan anamnesis, pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan tekanan darah, elektrokardiografi EKG dan laboratorium.
Hasil: Sebanyak 83 pasien ikut serta dalam penelitian ini dengan subjek terbanyak laki-laki 95,2 . Usia rerata subjek adalah 66,58. Prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil sebesar 24,1 dengan distribusi sinus takikardia sebesar 9,64 , PVCs sebesar 8,43 , PACs sebesar 3,61 dan sinus bradikardia sebesar 2,41 . Ditemukan hubungan bermakna antara kadar klorida dengan kejadian aritmia pada pasien PPOK stabil. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara usia, jenis kelamin, kelompok PPOK, penggunaan obat-obat bronkodilator, kadar pO2 dan pCO2 dengan kejadian aritmia pada pasien PPOK stabil.
Kesimpulan: Prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil dalam penelitian ini adalah sebesar 24,1 . Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dengan lebih baik hubungan aritmia dengan faktor-faktor yang mempengaruhi.

Background:Chronic obstructive pulmonary disease COPD represents an increasing burden worldwide. One of the major comorbodities in COPD is cardiovascular events such as arrhythmias. The estimated prevalence of arrhythmias in COPD patients is 12-14 . Chronic obstructive pulmonary disease and arrhtyhmias have common risk factors, such as older age and smoking. Arrhythmias caused by bronchodilators have received considerable attentions. The aim of this study is to reveal the prevalence of arrhythmias in stable COPD patients.
Method: This study is a cross sectional study among stable COPD patients who visit asthma ndash; COPD clinic in Persahabatan Hospital on January to April 2018 to explore the prevalence of arrhythmias in COPD patients. Eighty three COPD patients were participating in the study on a consecutive sampling basis. All patients were interviewed, doing blood pressure, electrocardiography ECG and laboratory examination. Result: A total of 83 patients participated in this study with almost all of the subjects were males 95,2 . The mean age of the subjects was 66,58. The prevalence of arrhythmias in stable COPD patients was 24,1 with sinus tachycardia by 9,64 , PVCs by 8,43 , PACs by 3,61 , and sinus bradycardia by 2,41 . There was a significant association between chloride level and arrhythmias events in stable COPD patients. There was no significant association between sex, age, bronchodilator use, pO2 dan pCO2 levels with arrhythmias events in stable COPD patients. Conclusion: The prevalence of arrhythmias in stable COPD patients in this study is 24,1. Further study is needed to determine the association between arrhythmia and the affecting factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ticoalu, Deisy Christine
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan:Data mengenai pasien PPOK pada ras melanesia belum ada.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Mengetahui faktor risiko dan nilai uji jalan 6 menit pada pasien PPOK ras Melanesia di Kota Jayapura, Papua.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di RSUD Dok II Jayapura.Pengambilan sampel dilakukan pada bulan September 2017.Hasil: Pada penelitian ini yang memenuhi kriteria inklusi sebesar 40 pasien PPOK.Faktor risiko pasien PPOK ras Melanesia yang merokok adalah 27 subjek 67,5 , pajanan biomass 18 subjek 45 , ISPA berulang 12 subjek 30 dan IMT kurang 6 subjek 15 , normal 33 subjek 82,5 , lebih 1 subjek 2,5 .Terdapat hubungan bermakna antara kelompok PPOK dengan ISPA berulang p=0,003 , OR 11,67 dengan IK 95 2,2-61,2 .Terdapat hubungan bermakna antara kriteria spirometri berdasarkan GOLD dengan rokok p=0,016 , pajanan biomass p=0,013 , OR 11,76 dengan IK 95 1,31-105,50 , ISPA berulang p=0,041, OR 0,16 dengan IK 95 0,03-0,785 dan IMT p=0,002 .Jarak tempuh uji jalan 6 menit terbanyak pada kelompok 200-300 m dengan 36 subjek 90 .VEP 1prediksi terbanyak adalah 50-80 dengan 30 subjek 75 dengan rerata 58,33 10,083 dan rerata VEP 1 ml adalah 1375 445,88.Pemeriksaan foto toraks pasien PPOK ras melanesia adalah normal sebanyak 38 subjek 95 dan emfisematous 2 subjek 5 .Skor CAT pasien PPOK ras melanesia di RSUD Dok II Jayapura < 10 sebanyak 36 subjek 90 dan > 10 sebanyak 4 subjek 10 dengan hubungan bermakna antara skor CAT dengan kelompok PPOK p=0,042 .Indeks brinkman IB pasien PPOK ras melanesia di RSUD Dok II Jayapura adalah ringan sebanyak 7 subjek 7 , sedang 12 subjek 44 dan berat 8 subjek 30 serta hubungan bermakna antara IB dengan hasil spirometri berdasarkan GOLD p= 0,005 .Faktor komorbid yang didapatkan pada pasien PPOK ras melanesia di RSUD Dok II Jayapura adalah gagal jantung sebanyak 2 subjek 5 . Nilai rerata uji jalan 6 menit m adalah 277,88 32,83 dan VO2 maks ml/Kg/mnt adalah 22,08 1,047 serta tidak terdapat hubungan bermakna antara kelompok PPOK ras melanesia di RSUD Dok II Jayapura dengan uji jalan 6 menit dan prediksi VO2 maks.Kesimpulan: ISPA berulang, pajanan biomass,rokok, IMT merupakan faktor yang berpengaruh pada PPOK ras melanesia. Uji jalan 6 menit pasien PPOK ras melanesia lebih rendah dibandingkan non melanesia.Kata kunci :Faktor risiko, PPOK, ras melanesia, uji jalan 6 menit.
ABSTRACT
Background and purpose:Data on patients with COPD on melanesian races is not present. The aim of this study was to determine the risk factors and 6-minute road test scores in patients with COPD Melanesia in Jayapura City, Papua.Method:This research is cross sectional study conducted in RSUD Dok II Jayapura. Sampling was conducted in September 2017.Result:In this study the inclusion criteria were 40 patients with COPD. Risk factors for COPD patients smoking Melanesia were 27 subjects 67.5 , biomass exposure 18 subjects 45 , recurrent lower inspiratory infection of 12 subjects 30 and BMI less 6 subjects 15 , normal 33 subjects 82.5 , more 1 subject 2.5 . There was a significant relationship between group of COPD with recurrent lower inspiratory infection p = 0,003, OR 11,67 with CI 95 2,2-61,2 . There was significant relation between spirometry criteria based on GOLD with cigarette p = 0,016 , biomass exposure p = 0.013, OR 11.76 with 95 IK 1.31-105.50 , recurrent lower inspiratory infection p = 0.041, OR 0.16 with CI 0.03-0.785 and IMT p = 0.002 . The distance of the 6-minute walking test was highest in the 200-300 m group with 36 subjects 90 .The FEV 1 predicted was 50-80 with 30 subjects 75 with mean of 58.33 10,083 and FEV 1 ml is 1375 445.88. The examination of chest X-rays of patients with COC melanesia is normal for as many as 38 subjects 95 and emfisematous 2 subjects 5 .The CAT scores of melanesian COPD patients in RSUD Dok II Jayapura 10 for 4 subjects 10 with significant association between CAT score and group COPD p = 0,042 . Brinkman index IB of COPD patient melanesia in RSUD Dok II Jayapura was mild s 7 subjects 7 , 12 subjects 44 and weight 8 subjects 30 and significant relationship between IB and spirometry based on GOLD p = 0,005 . The comorbid factor obtained in patients with COPD melanesia in RSUD Dok II Jayapura is a heart failure of 2 subjects 5 . The mean value of the 6-minute walking test m was 277.88 32.83 and the max VO2 ml / Kg / mnt was 22.08 1.047 and there was no significant association between the melanesian rape COPD group in RSUD Dok II Jayapura by testing 6 min walking test and prediction VO2 max.Conclusions: Recurrent acute lower respiratory infection, biomass exposure, cigarette, BMI is a contributing factor in COPD melanesia. The 6-minute road test of COPD patients of melanesia is lower than non melanesia. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58600
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>