Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 55 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amanda Tiksnadi
"Latar belakang: Penegakkan diagnosis gangguan pemusatan perhatianlhiperaktivitas (GPPH), suatu gangguan perilaku terbanyak pada anak usia SD, dilakukan secara subjektif. Anak GPPH menunjukkan berbagai spektrum gangguan kognitif yang sering menyebabkan kegagalan fungsi kehidupan sosial dan akademik. Pemeriksaan P300 event-related potential (ERP) merupakan teknik pemeriksaan neurofisiologis yang wring digunakan untuk meuilai fungsi kognitif secara objektif.
Tujuan: Untuk mengetahui profil pemeriksaan P300 pada anak GPPH.
Metoda: studi potong lintang pemeriksaan ERP auditorik diskriminasi 2 nada pada 75 anak GPPH yang memenuhi kriteria inklusi. Performa motorik dan gelombang ERP yang timbal terhadap nada target direkam dan dianalisis.
Hasil: Rerata kecepatan reaksi, hits, dan latensi gelombang P300 didapatkan berbeda bermakna antara tipe-tipe GPPH (inatentif, hiperaktif, dan kombinasi). Anak GPPH dengan komponen inatentif menunjukkan kecepatan reaksi dan latensi gelombang P300 yang memanjang (p<0.001), serta hits yang lebih rendah (p<0.01). Commission error cenderung lebih tinggi pada anak GPPH dengan komponen hiperaktif. Pada anak GPPH tipe hiperaktif juga taxnpak kecenderungan respon motorik yang mendahului terbentuknya gelombang P300. Amplitudo gelombang P300 pada sadapan frontal ditemukan lebih tinggi pada anak GPPH tipe inatentif.
Kesimpnlan: Pemeriksaan P300 auditorik diskriminasi 2 nada dapat digunakan untuk menilai fungsi kognitif anak GPPH. Inatentivitas dan hiperaktivitas rnempengarubi performa motorik dan latensi gelombang P300. Amplitudo yang tinggi di area frontal mungkin merupakan mekanisme kompensasi anak GPPH dalam upaya mengatasi gangguan atensi yang terjadi.

Background: Subjective behavioral assessment of attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD), the most common pediatric behavioral disorder in school-aged children, has norm to date. Children with ADHD commonly show some spectrums of cognitive dysfuction; accounting for many social and learning problems. P300 event-related potential (ERP), as a neurophysiological technique, provides measurements of speck cognitive domains objectively.
Objective: To investigate profiles of P300 ERP in school-aged children with ADHD.
Method: Auditory ERP two-tone discimination ('oddball') paradigms were recorded from 75 children diagnosed with ADHD (inattentive, hyperactive, and combined type). Motor performances and ERPs elicited to target stimul were analyzed for between-group differences. Results: Reaction times (RTs), hits, and P300 latency were significantly differ between groups. Slower RTs, poorer hits, and longer P300 latency were significantly recorded in groups with inattentive component (p
Conclusions: Auditoric P300 ERP two-tone discrimination paradigmn in ADHD children are capable to reveal disturbances in some aspects of cognitive domains. Inattention and hyperactivity-impulsivity impact the motoric performance and the P300 latency. Attenuated P300 amplitude in frontal region may reflect an attentional compensation mechanism in ADHD children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purnama Sidih
"Latar belakang. Kognitif merupakan proses berpikir akibat aktivitas sejumlah fungsi kompleks dari berbagai sirkuit di otak. Adanya gangguan kognitif menunjukkan terjadinya gangguan fungsi otak. MCI ( Mild Cognitive Impairment ) merupakan gangguan kognitif ringan yang sudah terjadi pada kelompok lanjut usia nondemensia. Berbagai studi menunjukkan gambaran dan prevalensi MCI pada lanjut usia nondemensia. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran fungsi kognitif dan prevalensi MCI pada kelompok lanjut usia nondemensia .
Metode. Penelitian ini menggunakan cara potong lintang dengan populasi semua lanjut usia nondemensia di Puskesmas Tebet dan Pasar Minggu yang memenuhi kriteria inklusi. Semua subyek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis , Dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif dengan menggunakan CERAD dan Trail Making Test - B. Diagnosis MCI menggunakan kriteria dari Petersen RC. Data diolah dengan menggunakan tes chi-square, Fisher's Exact dan memakai program SPSS versi 12
Hasil. Pada penelitian ini didapatkan 300 lanjut usia (> 60 tahun) nondemensia, rentang usia antara 60-76 tahun (rerata 63,5 ± 4,1 tahun) dengan kelompok usia terbesar 60 - 65 tahun (75,0%) , terdiri dari 177 (59%) wanita dan 123 (41%) pria. Sebanyak 269 subyek (89,6%) memenuhi kriteria MCI. Subkelas MCIa 22 kasus (7,3%), MClsdnm 81 kasus (27%) dan MCImd 166 kasus (55,3%). Gangguan kognitif terbanyak pada MCIa adalah Memori Rekognisi (81,8%) , pada MClsdnm adalah Fungsi Eksekutif (100%) dan pada MCImd adalah Fungsi Eksekutif (89,1%) beserta Memori Rekognisi (64,5%). Didapatkan hubungan bermakna antara MCIa dengan DM ( p = 0,038 ; OR 0,10 ; IK 95% 0,01;0,88 ) dan MCImd dengan pendidikan rendah ( SD dan SLP) (p = 0,000 ; OR 5,32 ; IK95% 2,12;13,31 ) dan DM (p = 0,008 ; OR 0,26 ; IK95% 0,10;0,70 ).
Kesimpulan. Prevalensi MCI pada lanjut usia nondemensia ( > 60 tahun ) ditemukan sebesar 89,6% .Rana kognitif yang paling banyak terganggu adalah Memori Rekognisi dan Fungsi Eksekutif . Faktor risiko terbanyak adalah pendidikan rendah dan DM

Background. Cognitive function is the process of several complex functions of various circuits in the brain. Mild Cognitive Impairment (MCI) is a transition state between normal and probable dementia. The aim of this study was to describe the cognitive impairment profile and the prevalence of MCI in non demented elder
Methods. This was an analytical cross sectional study which included all non demented elder patients who fulfilled the inclusion criteria. Medical history, physical and neurology examination were performed.. The patient's cognitive function was examined using neurophsycology test of CERAD and Trail Making Test-B. Diagnostic criteria of mild cognitive impairment were confirmed by using criteria from Petersen RC (< 1.5 SD below normative value ). The data were analyzed using chi-square, Fisher' exact and using SPSS for Windows ver. 12.
Result. There were found 300 non demented elder ( age > 60 years old ), 177 (59%) subjects were female and 123 (41%) were male , range of age was 60-76 years old (mean 63,5 ± 4,1 years old ) with largest age group were 60-65 years old ( 75,0%). There were 269 (89,6%) subjects fulfilled the MCI criteria with MCIa 22 (7,3%) , MClsdnm 81 (27%) and MCImd 166 (55,3%) . The most affected cognitive domain in MCIa was Recognition Memory ( 81,8%) in MClsdnm was Executive Function (100%) and in MCImd were Recognition Memory (64,5%) together with Executive Function (89,1%) . In addition, a significant correlation was found between the MCIa and DM ( p=0.038;OR 0,10; CI95% 0,01;0,88) and between MCImd with poor education (p=0.000;OR 5,32; C195% 2,12;13,31) and DM (p=0.008;OR 0,26; CI95% 0,10;0,70.
Conclusion. Prevalence of MCI in non demented elder (> 60 years old ) 89,6% . The most affective cognitive domains were Recognition and Executive Function . The most risk factors were poor education and DM
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18185
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Faulina Sjarifuddin
"Latar Belakang :
Event-related potensial (ERP), terutama P300, merupakan perubahan potensial otak yang menggambarkan proses pengolahan stimulus yang diterima. Pemeriksaan ERP merupakan salah satu tekhnik neurofisiologis yang non-invasive, tetapi objektif, yang sexing digunakan untuk mengevaluasi aktivitas kognitif seseorang, terutama yang berkaitan dengan atensi, persepsi memori, fungsi eksekutif, dan kontrol perilaku.
Metode :
Pemeriksaan ERP auditorik diskriminasi 2 nada dilakukan pada 81 anak asimptomatik yang memenuhi kriteria inklusi dari 3 sekolah dasar swasta di Jakarta. Rerata performa motorik (kecepatan reaksi, hits, dan commission error) serta iatensi dan amplitude komponen-komponen ERP (N I00, N200, dan P300) yang timbul terhadap nada target direkam dan dianalisa berdasarkan faktor usia dan jenis kelamin.
Basil :
Kecepatan reaksi, hits, dan latensi P300 secara statistik berbeda bermakna berdasarkan faktor usia. Terdapat korelasi negatif dengan kekuatan sedang antara faktor umur dan kecepatan reaksi dan latensi P300 (p<0.0l). Sedangkan faktor usia dan hits berkorelasi secara positif dengan kekuatan sedang. Tidal( didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik antara performa motorik maupun latensi dan amplitudo P300 terhadap faktor jenis kelamin.
Kesimpulan :
Perkembangan fungsi kognitif anak tampaknya berkaitan dengan maturasi otak sejalan dengan pertambahan usia, dan tidak berkaitan dengan faktor jenis kelamin. Perneriksaan ERP auditorik diskriminasi 2 nada dapat digunakan untuk menilai perkembangan fungsi kognitif anak.

Background :
Event Related Potentials (ERPs), especially P300, are electrical changes generated in the brain in association with stimuli processing. They can provide a non-invasive but objective means to evaluate the activity of human brain associated with attention, perception, memory, decision making, and control of behavior.
Methods:
Auditory ERP two-tone discrimination (`oddball ) paradigm was presented to 81 healthy asymtomatic school aged children of three private elementary schools in Jakarta. Motor performances (reaction time, hits, and commission error) and latency and amptlitude of ERP components (N100, N200, and P300) elicited to target stimuli were recorded and analyzed for between group difference (age and sex).
Results:
Reaction times, hits, and P300 latency were significantly different between age groups (pcO.01). There were also moderately negative correlation between age groups and reaction limes and P300 latencies (p<0.01). Moderately positive correlation were noted between hits and age (p <0 01). None of motor performances nor latencies and amplitudes of P300 were different between sex groups (p>0.05).
Conclusions:
Maturation of cognitive brain functions in children are related to age development despite of sex gender. Auditory ERP two-tone discrimination ERPs are excellent tools for the study of cognitive brain functions in humans and the developmental time course of these functions in childhood.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18175
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Husein Barnedh
"ABSTRAK
Latar belakang: Gangguan keseimbangan merupakan salah satu masalah neurologis yang penting pada lansia, sedangkan penelitian tentang hal tersebut belum banyak dilakukan di Indonesia.Beberapa faktor yang diduga berhubungan dengan gangguan keseimbangan adalah aktivitas fisik, tingkat independensi,umurjenis kelamin, demensia, gangguan visus dan gangguan proprioseptif.
Tujuan: Untuk mengetahui proporsi gangguan keseimbangan dan jatuh, rerata skala keseimbangan Berg serta faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan pada lansia.
Metodologi. Penelitian menggunakan desain potong lintang. Subyek yang mengikuti penelitian berjumiah 300 orang, terdiri dari 244 wanita dan 56 pria, usia berkisar antara 60-88 tahun. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan neurologis umum, proprioseptif, dan visus, pemeriksaan MMSE serta pemeriksaan keseimbangan menggunakan skala keseimbangan Berg. Kriteria gangguan keseimbangan adalah bila nilai skala keseimbangan Berg < 46. Variabel-variabel yang diduga berperan dalam gangguan keseimbangan diuji statistik menggunakan analisis bivariat dan multivariat. Hash Penelitian. Proporsi gangguan keseimbangan adalah 28,7%. Proporsi jatuh 10,3%.Subyek dengan gangguan keseimbangan mempunyai OR 2,2 (95% CI 1,06-4,80) untuk mengalami jatuh (p<0,05) Rerata skala keseimbangan Berg 50.Pada analisis bivariat didapatkan 6 variabel yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan, yaitu: aktivitas fisik, tingkat independensi, usia, demensia, gangguan visus dan gangguan proprioseptif. Pada analisis multivariat 4 variabel, yaitu aktivitas fisik (OR 2,61; 95%CI 1,75-3,87), tingkat independensi (OR 13,15;95%Cl 3,77-45,82), usia (OR 1,86; 95%CI I,01-3,45) dan gangguan proprioseptif (OR 3,88; 95% CI 1,63-9,21) didapatkan berhubungan dengan gangguan keseimbangan (p<0,05). Jenis kelamin ditemukan tidak berhubungan bermakna dengan gangguan keseimbangan.
Kesimpulan: Aktivitas fisik, tingkat independensi, usia dan gangguan proprioseptif merupakan faktor risiko untuk gangguan keseimbangan pada lansia.

Background. Disequilibrium is one of the major neurological problems in elderly people, unfortunately there are only few studies about postural balance in elderly , especially in Indonesia. Physical activity, functional disability, age, gender, demensia, visual acuity decline and proprioceptive decline might be related to disequilibrium in elderly and need further explorations.

ABSTRACT
Objective. To determine proportion of disequilibrium dan falls, mean of Berg Balance Scale and risk factors related to disequilibrium in elderly.
Methods. This study was a cross sectional study. Three hundreds subjects , 244 women and 56 men, age 60-88 years old, participated in this study. History taking, general neurological examination, proprioceptive and visual acuity examination, MMSE and Berg Balance scale (BBS) was performed on every subject. Criteria for disequilibrium was BBS < 46. All variables was analyzed statistically by bivariate and multivariate analysis.
Results. Disequilibrium proportion was 28.7 %. Falls proportion was 10.3 %. Subjects with disequilibrium had OR 2.2 (95% CI: 1.06-4.80) for falls (p'(0.05). Mean value of BBS was 50. Variables which had correlation with disequilibrium on bivariate analysis was physical activity, functional disability, age, demensia, visual acuity decline, and proprioceptive decline. Multivariate analysis showed 4 variables related to disequilibrium: physical activity (OR 2.61; 95% CI: 1.75-3.87), functional disability (OR 13.15; 95% Cl: 3.77-45.82), age (OR 1.86; 95%CI: 1.01-3.45) and proprioceptive decline (OR 3.88; 95% Cl: 1.63-9.21) with p<0.05. Gender was not significantly related to disequilibrium.
Conclusion. Physical activity, functional disability, age and proprioceptive decline are the risk factors for disequilibrium in elderly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Banon Sukoandari
"Latar Belakang
Meningkatnya pertumbuhan populasi usia lanjut, mengharuskan untuk memberikan perhatian besar kepada penyakit degeneratif atau penyakit dengan awitan usia lanjut. Penyakit Parkinson merupakan salah satu penyakit degeneratif tersebut.
Obyektif
Menyediakan data dasar penderita penyakit Parkinson sesuai pokok-pokok pada SPTPP (Skala Penilaian Terpadu Penyakit Parkinson)
Metoda
Merupakan penelitian deskriptif cross sectional dengan subyek penderita penyakit Parkinson yang berobat ke poliklinik saraf RSCM, dalam kurun waktu Oktober-Desember 2005. Pengolahan data dengan menggunakan SPSS versi 10.0
Hasil Penelitian
Terdapat 42 subyek yang masuk kriteria inklusi, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan yang hampir sama (1,03:1), rata-rata berusia 63,62 tahun (stand dev 10,95), sebagian besar tidal( bekerja dan tinggal bersama keluarga. Usia awitan sakit rata-rata 57,55 tahun (stan dev 9,92) dengan durasi sakit rata-rata 6,10 tahun (stand dev 5,23). Levodopa dan antikolinergik merupakan obat anti Parkinson yang paling banyak dipergunakan oleh subyek (97,63% dan 80,97%), yaitu dalam bentuk kombinasi keduanya.
Rata-rata hasil pemeriksaan SPTPP adalah skor sub skala I 2,98 (stand dev 2,77), skor sub skala II 14,10 (stand dev 9,76), skor sub skala III 17,93 (stand dev 11,02), sub skala IV 3,02 (stand dev 3,27). Rata-rata derajat keparahan subyek adalah stadium 2,417 menurut skala Hoehn-Yahr, dan-rata-rata skala Schwab-England adalah 71,43% (stand dev 22,59)
Gejala kardinal terbanyak pada subyek adalah rigiditas dan bradikinesia; sedangkan subyek dengan skala schwab-England rendah memiliki skor instabilitas postural dan bradikinesia yang tinggi. Gejala motorik yang berhubungan dengan terapi yang terbanyak adalah freezing, diikuti fluktuasi klinis dan distonia. Gangguan mentasi-intelektual merupakan gejala non motorik yang meiicolok pada subyek.
Aktifitas utama sehari-hari yang paling banyak terganggu adalah mengenakan baju dan berjalan. Mengenakan baju juga gangguan yang paling banyak memerlukan bantuan orang lain. Terdapat kecenderungan antara durasi sakit dan SPTPP; semakin lama durasi sakit semakin besar skor SPTPP dan Hoehn-Yahr serta semakin rendah skor Skala Schwab-England. Di samping itu terdapat pula kecenderungan antara basil pemeriksaan gejala motorik dan basil pemeriksaan kemampuan subyek.
Kesimpulan
Adanya trend bahwa semakin lama durasi sakit semakin berat gangguan mentasi, perilaku dan mood; semakin berat gejala motorik, semakin tinggi derajat keparahan serta semakin banyak komplikasi pengobatan. Semakin lama durasi saki! juga menunjukkan semakin berat ketidakmampuan melakukan aktifitas sehari-hari dan semakin besar ketergantungan pada orang lain. Terdapat trend bahwa semakin berat gejala motorik dan semakin parah derajat sakit semakin buruk fungsi subyek penelitian. Terdapat asumsi pada status gejala motorik yang sama, subyek menunjukkan fungsi aktifitas sehari-hari yang lebih buruk dibanding subyek penelitian lain di luar negeri.

Background
The increasing number of elderly people necessitates considerable attention to degenerative disease or late-age onset disease; Parkinson disease constitutes one of the degenerative disease
Objective
To provide basic data on Parkinson patients based on UPDRS (Unified Parkinson Disease Rating Scale = SPTPP Skala Penilaian Terpadu Penyakit Parkinson)
Method
A descriptive cross-sectional study that involved Parkinson patients that presented to the outpatient clinic of RSCM from October to December 2005. SPSS version 10,0 was used for the data processing
Result
42 subjects met the inclusion criteria with the almost similar ratio of male - female patients (1.03 : 1), with the mean age 63,62 (stand deviation 10.95) and most of them were unemployed and lived with their families. The mean morbid age was 57.55 (stand dev 9.92) with the mean morbid duration 6.10 years (stand dev 5.23), Levodopa and anticholinergic agent were the most common medicines taken by subjects (97.63% and 80.97%) in the combination therapy.
The mean result of UPDRS 1 SPTPP examination were sub-scale I score 2.98 (stand dev 2.77), sub-scale II score 14.10 (stand dev 9.76), sub-scale III score 17.93 (stand dev 11.02) and sub-scale IV score 3.02 (stand dev 3.27). The mean severity degree of the subjets was at stage 2.417 based on I-Ioehn-Yahr scale and the mean Schwab-England scale was 71.43% (stand dev 22.59)
The most frequently found cardinal symptom in the subjects were rididity and bradykinesia; whereas subjects with low Schwab-England scale had high postural instability and bradykinesia score. The most common motoric symptom found correlated with the therapy were freezing; clinical fluctuation and dystonia. Mental - intelectual disturbance was the most conspicuous non -- motorik symptom in subjets
The most disturbed daily activities were putting on clothing and walking. Putting on clothing was the activity that need most help from the most significant members of the family.
There was a trend between the morbid duration and UPDRS 1 SPTPP; the longer the morbid duration, the higher the SPTPP Hoehn-Yahr score were and the lower the Schwab-England scale was. In addition to that, there was a propensity between the motoric symptom assessment and the examination result of the subject's performance.
Conclusion
There was a trend thet showed the longer the morbid duration was, the more severe the mental, behavior and mood disturbances were; the more severe the motoric symptom, the higher the serety degree was as well as the higher need for the treatment of complications. The more prolonged morbid duration also revealed the more serious disability of conducting every day activities and the higher dependence on other people. There was propensity for the worse function of the trial subjects due to the more severe motoric symptom and higher degree of disease severity. There has been some assumption that at the same status of motoric symptom, the subjects showed worse function of daily activities compared with other trial subjects in other countries.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Octaviana
"Latar Belakang: Pada penderita epilepsi dapat terjadi gangguan memori dan dipengaruhi oleh etiologi, tipe kejang, usia saat awal bangkitan, frekuensi kejang, factor herediter, dan akibat pengobatan epilepsi. Cognitive Event Related Potentials (ERPs) atau pemeriksaan P300 merupakan salah satu metode pemeriksaan fungsi kognitif (seperti atensi, memori, fungsi eksekutif). Pemeriksaan ini cukup akurat untuk mendeteksi penurunan fungsi memori. Pada penelitian sebelumnya terdapat pemanjangan masa laten P300 auditorik penderita epilepsi dibandingkan individu normal.
Tujuan: Mengetahui rerata masa laten gelombang P300 auditorik pads penderita epilepsi umum sekunder dengan gangguan memori dibandingkan epilepsi umum sekunder tanpa gangguan memori.
Disain dan Metode: Studi potong lintang dengan perbandingan internal pada aspek pemanjangan masa laten gelombang P300 auditorik antara kelompok yang mengalami gangguan memori dan yang tidak mengalami gangguan memori,
Hasil: Dan 93 penderita didapatkan 21 (22,6%) penderita mengalami gangguan memori. Faktor yang berpengaruh terhadap gangguan memori adalah frekuensi kejang>4 kali per bulan (p=0,009). Rerata masa laten gelombang P300 auditorik pada penderita epilepsi 340,81±32,84 milidetik, pada pasien dengan gangguan memori 385,1±12,81 milidetik, dan pada pasien tanpa gangguan memori 327,89+24,53 milidetik. Terdapat perbedaan bermakna antara gangguan memori dengan rerata masa laten P300 auditorik (p=0,000), Faktor yang berpengaruh terhadap masa laten gelombang P300 secara independen adalah frekuensi bangkitan > 4 kali per bulan (p<0,05).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara gangguan memori pada penderita epilepsi sekunder dengan pemanjangan masa laten gelombang P300 auditorik.

Background: Memory impairment could be present in epilepsy, which is affected by etiology, seizure type, age at first seizure, seizure frequency, hereditary factors, and anti-epilepsy drugs, Cognitive Event Related Potentials (ERPs) or P300 examination is one of the methods to examine cognitive function (i.e. attention, memory, and executive function). This method is accurate enough, especially to detect reduction in memory function. Previous studies showed prolonged auditory P300 latency in epilepsy patients compared to normal population.
Purpose: To perceive the mean latency of auditory P300 in secondary generalized epilepsy with memory impairment compare to secondary general epilepsy without memory impairment.
Design and method: Cross sectional study with internal comparison in latency of auditory P300 aspect between group with and without memory impairment.
Result: From 93 patients, we have 21 (22.6%) patients suffering from memory impairment. The influencing fact to these circumstances is frequency of seizure which is more than 4 times per month (p=0.009). Mean latency of auditory P300 in secondary generalized epilepsy is 340,81±32.84 ms, in patients with memory impairment it is 385.1±12.81ms, and in patients without memory impairment it is 327.89+24.53ms. There is a significant correlation between memory impairment and mean latency of auditory P300 (p-O.000). The independently influencing facts to auditory P300 latency is frequency of seizure which is more than 4 times per month (p
Conclusion: A significant difference between memory impairment in secondary generalized epilepsy and elongation of auditory P300 latency is proven."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58452
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dessy Rakhmawati Emril
"Latar belakang: Sebuah skala prediktor yang dapat secara konsisten memprediksi keluaran pasien perdarahan intraserebral spontan (PIS) sangat diperlukan dalam penatalaksanaan pasien. Semakin cepat prognosis diketahui akan semakin baik karena sangat erat kaitannya dengan efektifitas terapi.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang berperan sebagai prediktor independen terhadap keluaran pasien perdarahan intraserebral spontan di supratentorial, dan membuat sebuah skala prediktor PIS yang sesuai dengan pola penderita PIS di RSCM
Disain dan Metode: Penelitian ini merupakan suatu studi kasus kontrol yang kemudian dilanjutkan dengan pembuatan skala prediktor berdasarkan variabel yang terbukti sebagai prediktor independen keluaran penderita PIS.
Hasil: Faktor yang berperan sebagaai prediktor independent terhadap keluaran 30 hari pasien PIS adalah Skala koma Glassgow (p< 0.001), perluasan perdarahan ke intraventrikel (p= 0.001), dan volume lesi (p=-0.010). Skala prediktor PIS adala total nilai masing-rasing komponen yang terdiri Bari: SKG 34 (=2), 9-12 (=1), 13-15 (=0); IVH ya (=1), tidak (=0); volume Iasi ? 30 cc (=1), < 30 cc ff.)). Subyek dengan total skor 0, 1, 2, 3, 4, berturut-turut memiliki probabilitas meninggal 1.3%, 9.2-13.16%, 52.7-63.5%, 92:5-95.1%, dan 99.3%. Probabilitas keluaran meninggal meningkat sebanding dengan peningkatan total skala prediktor.
Kesimpulan: Faktor yang berperan sebagai prediktar keluaran 30 hari pasien PIS spontan supratentorial adalah Skala koma Glassgow, perluasan perdarahan ke intraventrikel, dan volume hematom. Berdasarkan prediktor independent tersebut dapat dibuat skala prediktor untuk memprediksi keluaran pasien. Probabilitas meninggal meningkat sebanding dengan peningkatan total skala prediktor.

Background. The predictor scale that predict consistently the outcome of patients with ICH is very important. Prognosis has strong relationship with effectiveness of treatment
Objective. To found the factors that act as the predictors of 30-day outcome for spontaneous intracerebral hemorrhage and to define a predictor scale or modified ICH scoring .
Methods. These was a case control study that continued by defined a predictor scale for ICH which use a criteria that was predictive of outcome.
Result. Factors independently associated with 30-day mortality were Glasgow Coma Scale score (p< 0.001), presence of intraveniricular hemorrhage (p0 001), and ICH volume (p=O.0I). The predictor scale of ICH was the sum of individual points assigned as follows: GCS score 3 to 8 (= 2 points), 9 to 12 (= 1 point), 13 to 15 point (41); Intraventricular hemorrhage yes (-I), no (41); ICH volume 30 cc (=1), < 30 cc (4). Thirty-day mortality rates for subjects with predictor scale of ICH of 0,1,2,3,and 4 were 1.3%, 9.2-13.6%, 52.7-63.5%, 92.5 - 95.1%, and 99.3% respectively. Thirty-day mortality increased steadily with predictor scale of ICI
Conclusions. Factors independently associated with 30-day mortality is Glasgow Coma Scale score, presence of intraventricular hemorrhage, and ICH volume. The ICH predictor scale can predict the risk stratification on patients with ICH. The use of a scale such ICH predictor scale could improve standardization of clinical treatment protocols.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Octaviany
"Latar Belakang. Disfungsi otonom merupakan salah satu gejala penyakit parkinson yang sering ditemukan clan berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas penderita penyakit parkinson. Disfungsi otonom memberikan gejala klinis yang seringkali tidak disadari penderita. Tujuan penelitian adalah mengetahui gambaran disfungsi otonom penyakit Parkinson menggunakan pemeriksaan Sympathetic Skin Response.
Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang deskriptif dengan populasi semua penderita penyakit parkinson yang memenuhi kriteria inklusi. Dilakukan pencatatan berupa identifikasi karakteristik penderita dan riwayat perjalanan penyakit, anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mencari gejala klinis-penyakit parkinsnn, gejala disfungsi otonom, jenis obat anti parkinson yang dipakai dan respon pengobatan . Diagnosis disfungsi otonom ditegakkan melalui pmeriksaan Sympathetic Skin Response (SSR). Data dianalisis menggunakan tes chi-square, fisher's exact dan t test dengan memakai program STATA.
Hasil. Pada penelitian ini didapatkan 34 pasien penyakit parkinson. Sebagian besar subyek berjenis kelamin pria (67,8%), dengan usia rata-rata 61.11+_10.01 tahun dan terbanyak pada kelompok usia 60-69 tahun ( 41.2%). Sebanyak 22 subyek (64.7%) mengalami gejala disfungsi otonom, dengan gejala yang tersering adalah disfagia (44%) ,diikuti gejala konstipasi (38.2%), dan hipersalivasi (35.3%). SSR abnormal dijumpai pada 23 subyek (67.6%). Rata-rata subyek dengan nilai SSR abnormal lebih tua dibandingkan dengan subyek dengan SSR normal. Rata-rata lama menderita parkinson untuk SSR abnormal adalah 6.52+_3.64 . Abnormalitas SSR dijumpai pada seluruh subyek yang menderita penyakit parkinson lima tahun atau lebih (p=0.0x4) dan pada semua subyek dalam periode non honeymoon (p=0.000). SSR cenderung abnormal dengan meningkatnya derajat keparahan penyakit berdasarkan skala Hoehn & Yahr. SSR abnormal lebih sexing ditemukan path subyek yang mengalami instabilitas postural clan subyek dengan skor bradikinesia, tremor dart rigiditas dari UPDRS yang lebih tinggi. Subyek yang mengalami gejala hipotensi postural simptomatik (p=0.023), konstipasi (p=0.402), hipersalivasi (p=0.043) dan disfagia (p=0.000) menunjukkan nilai SSR abnormal. Semua subyek yang mengalami dua (p-0.04) atau lebih gejala otonom (p=0,0001). Tiga subyek (13%) yang tidak mengalami gejala disfungsi otonon ternyata menunjukkan nilai SSR abnormal.
Kesimpulan. Disfungsi otonom penyakit parkinson ditemukan pada 67.6% penderita. SSR cenderung abnormal dengan meningkatnya derajat keparahan penyakit berdasarkan skala Hoehn & Yahr maupun berdasarkan skor UPDRS untuk tremor, rigiditas, bradikinesia dan stabilitas postural. Subyek yang mengalami gejala hipotensi postural simptomatik, konstipasi, hipersalivasi dan disfagia menunjukkan nilai SSR abnormal. Nilai SSR abnormal juga ditemukan pada semua subyek yang mengalami dua atau lebih gejala otonom.

Background. Autonomic dysfunction is one of the signs that is frequently found in PD, which influences the patient's morbidity and mortality. It also comprises some frequently neglected clinical manifestations.
Aim. The aim of this study is to review autonomic dysfunction in PD, using Sympathetic Skin Response test.
Methods. This is a descriptive cross-sectional study. Population of this study is PD patients that meet the inclusion criteria. Patient's characteristic was identified. History of illness was recorded and physical examination was done to indentify patient's signs and symptoms, autonomic dysfunctions, medications used, and the responses. Diagnosis of autonomic dysfunction was confirmed by using Sympathetic Skin Response (SSR) test. Chi-Square test, fisher's exact test, and t were used to analyze the data, using the STATA program.
Results. There were 34 PD patients identified. Most of the subjects are men (67,8%) with the mean age of 61,1+10,01 year-old and mostly within 60-90 year-old group age (41,2%). Twenty two subjects (64,7%) had autonomic dysfunction with the most presenting symptoms are dysphagia .04,8%), constipation (38,2%), and hypersalivation (35,3%). Abnormal SSR was found in 23 subjects (67,6%). Most subjects with abnormal SSR are older than subjects with normal SSR. The duration of PD in subjects with abnormal SSR is 6,52+3,64 years. Abnormal SSR was found in all subjects that have had PD for five years or more (p=0,004) and all subjects were in non-honeymoon period (p=0,000), SSR tends to be abnormal when the severity of the disease is higher, based on the Hoehn & Yahr scale. Abnormal SSR is more often found in subjects who suffer postural instability and whose IJPRDS score of bradikinesia, tremor, and rigidity is high. Subjects with symptomatic postural hypotension (p=0,023), constipation (p=0,002), hypersalivation (p=0,003) and dysphagia (p=0,000) show abnormal SSR. Every subject shows two or more autonomic symptoms (p=0,0001). Three subjects (13%) that didn't show autonomic dysfunction symptoms, however, had abnormal SSR
Conclusions. Autonomic dysfunction in PD was found in 67,6% subjects. SSR tends to be abnormal when the severity of the PD is high, based on the Hoehn & Yahr scale, UPRDS score of bradikinesia, tremor, and rigidity, and the presence of postural hypotension. Subjects with symptomatic postural hypotension, constipation, hypersalivation, and dysphagia show abnormal SSR. Abnormal SSR was also found in all subjects who had two or more autonomic symptoms.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfi Isra
"Latar Belakang: Cedera kepala merupakan penyebab kematian paling sering pada orang dewasa muda, Dari penelitian perkiraan keluaran pasien cedera kepala sudah dapat diprediksi dalam 3 hari perawatan. Klasifikasi diffuse injury berdasarkan tomografi komputer kepala saat pertama kali datang dengan melihat sisterna mesensefalika, derajat midline shift dan ada atau tidak rnassa intrakranial operatif dapat memprediksi kematian pasien cedera kepala. Skala diffuse injury dibagi menjadi 4 subgrup, makin tinggi skala diffuse injury-nya, makin tinggi angka kematiannya.
Tujuan: Menentukan derajat diffuse injury untuk memperkirakan kemungkinan kematian 3 hari pertama pasien dewasa cedera kepala sedang dan berat,
Desain dan Metode: Studi dengan disain nested case control yang bersarang pada penelitian prospektif tanpa pembanding. Pasien dewasa cedera kepala derajat sedang dan berat yang mengalami kematian dini akan dimasukkan sebagai kelompok studi, sedangkan kelompok kontrol akan diambil secara random dari pasien-pasien yang tidak mengalami kematian dini.
Hasil: Dari 103 subyek penelitian didapatkan 24 (23,3%) penderita mengalami CKB dan 79 (76,7%) penderita CKS. Terdapat 23 (22,3 %) penderita yang meninggal daiam 3 hari pertama. Faktor yang berpeng ruh terhadap kematian adalah SKG, diffuse injury, sisterna mesensefalika, mid/Inc shift 5 mm atau lebih, denyut nadi, frekuensi nafas, jumlah leukosit dan tekanan PC02. Hasil analisis muitivariat menunjukkan bahwa faktor resiko independen kematian 3 hari pertama adalah skala diffuse injury (p=0,005), midline shift 5 mm (p=0,000) dan denyut nadi (p=0,016).
Kesimpulan: Skala diffuse injury unfavorable dapat memprediksi kematian dalam 3 hari pertama. Midline shift 5 mm sebagai komponen skala berperan sebagai faktor resiko terjadinya kematian pasien dewasa cedera kepala sedang dan berat.

Background: Head injury is the most frequent cause of mortality in young adult. Previous studies showed that outcome of head injured patient could be predicted in the first 3 days from the on set. Classification of head injury based primarily on information gleaned from the initial computerized tomography (CT) is described. It utilizes the status of the mesencephalic cisterns, the degree ofmidiine shift in millimeters, and the presence of absence of one or more surgical masses could be predict mortality in trauma. The term `diffuse injury' is divided into four subgroups, and the higher mortality had a strong correlation with the higher scale,
Objective: To formulate prediction scale using `diffuse injury' to know the risk of moderate and severe head injury in the first 3 days.
Methods: It was cross sectional study and continued with nested case control without comparison between moderate and severe head injury patient. Patient who was died in the first 3 days were included as study group while control group has been consisted of patient who was not died in the first 3 days and selected randomly.
Result: from 103 subject, there were 24 (23,3%) severe head injury and 79 (76,7%) moderate head injury. There were 23 (22,3%) patients who was died in the first three days. Significant factor that had influence to the mortality were GCS, diffuse injury, mesencephalic cisterns, midline shift 5 mm or more, pulse rate, respiratory rate, leucocytes count and PCO2 . Multivariate analysis showed the independent risk factors to mortality in the first 3 days were diffuse injury (p=0,006), midline shift 5 mm or more (p=0,000) and pulse rate (p=0,016).
Conclusion: Diffuse injury could predict mortality in the first 3 days of head injury patient. Midline shift as one of diffuse injury components is the leading risk factor of mortality in moderate and severe head injury patients in this research.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58501
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firman Hendrik
"Latar Belakang: Stroke merupakan penyebab kecacatan fisik jangka panjang dan mental pada usia produktif sehingga akan berdampak pada keadaan psikologis dan sosioekonomi keluarga. Penderita stroke membutuhkan perawatan yang intensif serta memerlukan dukungan dari keluarga. Pemikiran utama setelah stroke bagi penderita dan keluarganya adalah prospek penyembuhan. Penelitian sebelumnya menunjukkan terdapat beberapa faktor yang memmpengaruhi keluaran pasca stroke seperti beratnya kelainan, tekanan darah, kadar gula darah, perawatan fase akut.
Tujuan: Mengetahui perbedaan derajat keterbatasan pada penderita pasca stroke terhadap tekanan darah sistolik fase akut, kadar gula darah fase akut, dan subtipe stroke.
Disain dan Metode: Studi potting lintang dengan perbandingan internal antara tekanan darah sistolik fase akut, kadar gula darah fase akut. dan subtipe stroke terhadap beratnya derajat keterbatasan setelah 6 bulan awitan stroke. Keluaran fungsional dinilai dengan menggunakan skala Rankin yang dimodifikasi (mRS).
Hasil: Dari 93 penderita didapatkan 80 (86%) penderita menunjukkan keluaran fungsional yang baik (skor mRS 0-2), terdiri dari 90.9% laki-laki dan 78,9% perempuan. Sebagian besar penderita (67,5%) yang mempunyai keluaran fungsional yang baik mengalami subtipe stroke sindroma lakunar (LACS), 48,75% penderita memiliki tekanan darah sistolik > 160 mmHg peda fase akut, dan 77,5% menunjukkan kadar gula darah fase akut 8-150 mgldL. Faktor yang berpengaruh terhadap keluaran fungsional setelah 6 bulan awitan stroke adalah subtipe stroke (p<0,05).
Kesimpulan: Subtipe stroke merupakan faktor yang berhubungan dengan keluaran fungsional stroke setelah 6 bulan.

Background: Stroke causes long term physical and mental disability in productive age and impacts on family's psychology and social economy. Stroke patients need intensive care and support from their family. The main question from the patients and their family is prospect to recovery. Previous study showed that there were many factors affecting outcome in stroke patients such as severity or disability, acute blood pressure, acute blood glucose level, and treatment in acute phase.
Purpose: To perceive the difference between degree of disability and acute systolic blood pressure, acute blood glucose level, stroke subtype.
Design and method: Cross sectional study with internal comparison in acute systolic blood pressure, acute blood glucose level, stroke subtype aspects between group with good and poor functional outcome. Functional outcome was assessed using modified Rankin Scale (mRS).
Result: From 93 patients, we have 80 (86%) patients with good functional outcome (mRS score 0-2). consist of 90.9% male and 78.9% female. Most of patients (67.5%) with good outcome had lacunar syndrome (LACS). 48.75% with systolic blood pressure > 160 mmHg, and 77.5% showed blood glucose level 8-1 50 mg/dI,. Factor that independently influenced functional outcome 6 months after stroke is stroke subtype (p<0.05).
Conclusion: Stroke subtype is significant factors to functional outcome 6 months after stroke."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58762
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>