Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2093 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ayu Suwardi
"ABSTRAK
Artikel ini membahas partisipasi politik Teman Ahok dalam Pemilihan Kepala Daerah Pilkada DKI Jakarta 2017. Teman Ahok adalah organisasi partisan yang dibuat untuk mendukung Petahana Basuki Tjahja Purnama Ahok , yang pada awalnya berencana maju melalui jalur independen pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Dengan menggunakan analisis ranah politik Bourdieu, studi ini berusaha untuk menjawab beberapa pertanyaan. Pertama, bagaimana Ahok mempertahankan posisinya sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam kontestasi politik elektoral? Kedua, apa arti keberadaan Teman Ahok bagi Ahok? Ketiga, strategi apa yang digunakan oleh organisasi partisan Teman Ahok dalam mendukung Ahok mempertahankan posisinya? Dengan menggunakan metode kualitatif melalui wawancara mendalam dan studi dokumen, artikel ini menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, Ahok memilih jalur independen untuk mempertahankan posisinya. Sebagai calon independen, Ahok memerlukan Teman Ahok sebagai kendaraan dan pengumpul dukungan politik. Kedua, Teman Ahok ndash;melalui partisipasi politik ndash; mengonversi aneka modal menjadi modal politik bagi Ahok. Konversi modal tersebut dilakukan melalui sejumlah strategi modern, dan dipandu oleh suatu habitus modernis yang telah terbentuk sejak tahun 2012. Ketiga, Teman Ahok berhasil memperkuat posisi tawar Ahok di mata partai politik. Hal tersebut dapat dilihat dari datangnya dukungan sejumlah partai politik seperti PDIP, Partai Golkar, Partai Hanura dan Partai Nasdem terhadap Ahok.
This article discusses the political participation of Ahok 39 s Friends in the Jakarta Gubernatorial Election in 2017. Teman Ahok is a partisan organization created to support incumbent Basuki Tjahja Purnama Ahok , who initially planned to be inpendent candidate. Using Bourdieu rsquo s Field Theory, this study attempts to answer some questions. First, how does Ahok maintain his position as Governor of DKI Jakarta in electoral political contestation Second, what does Ahok 39 s existence mean to Ahok Third, what strategy is used by Ahok 39 s partisan organization in supporting Ahok to maintain his position Using qualitative methods through in depth interviews and document studies, this article yields several conclusions. First, Ahok opted for an independent path to defend his position. As an independent candidate, Teman Ahok as an alternative political machine. Second, Teman Ahok through political participation converts various capital into political capital for Ahok. The capital conversion is done through a number of modern strategies, and is guided by a modernist habitus that has been formed since 2012. Third, Ahok 39 s friends succeeded in strengthening Ahok 39 s bargaining position in the eyes of political parties. This can be seen from the coming of support from various political parties such as PDIP, Golkar Party, Hanura Party and Nasdem Party."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Subhan
"Disertasi ini menganalisis rivalitas elite dalam konflik etno-religius yang timbuul saat pemekaran daerah di Mamasa, Sulawesi Barat. Pada 2002, sebagai bagian dari kerangka besar kebijakan otonomi, Mamasa menjadi daerah otonom, dimekarkan dari Kabupaten Polmas. Dalam pelaksanaannya muncul perbedaan antara kelompok pro dan kelompok kontra pemekaran. Rivalitas kelompok pro versus kelompok kontra semakin runyam karena merepresentasikan kontestasi antara kabupaten induk versus kabupaten pemekaran Kabupaten Polmas mendukung kelompok kontra yang ingin tetap bergabung dengan kabupaten induk. Sebaliknya Kabupaten Mamasa memberi dukungan kepada kelompok pro. Rivalitas dua kelompok tersebut menimbulkan kekacauan dalam sistem pemerintahan karena terjadi dualisme pemerintahan, yang membuat penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan normal sehingga mengganggu pelayanan publik.
Penelitian disertasi ini menggunakan metode kualitatif. Data lapangan diperoleh melalui teknik wawancara mendalam, observasi lapangan, dan data sekunder. Berbagai studi menunjukkan bahwa otonomi dapat memicu konflik karena persaingan elite dalam perebutan posisi-posisi politik, sumber daya ekonomi, dan ruang kekuasaan lainnya. Namun, berbeda dengan studi-studi literatur sebelumnya yang lebih bertumpu pada konflik politik atau konflik etnik, penelitian ini menunjukkan politisasi identitas etno-religius sebagai instrumen yang menimbulkan konflik antara dua etnik berbeda agama, Mandar-Islam versus Toraja-Kristen. Pemekaran daerah mengubah konstelasi dominasi sosio-politik. Mandar-Islam yang mayoritas berubah menjadi minoritas, sebaliknya Toraja-Kristen yang tadinya minoritas menjadi mayoritas.
Rivalitas elite memperebutkan ruang kekuasaan di daerah otonom baru dengan menggunakan politik identitas yaitu sentimen identitas etno-religius berdasar perubahan konstelasi dominasi dan hegemoni sosio-politik di Mamasa. Akibatnya, orang Mandar-Islam (orang PUS) menolak pemekaran yang dianggap sebagai bentuk proyek Kristenisasi. Menurut Fox (1999), apabila kerangka religius yang ditantang maka responnya adalah sikap defensif yang cenderung konflik. Sebab, agama menyangkut sistem kepercayaan yang mengandung ketaatan pada nilai-nilai, memiliki standar dan tata aturan, membangun kohesivitas di antara penganutnya, sekaligus melegitimasi setiap tindakan para aktornya.

Pemekaran daerah which literally means territorial split or administrative fragmentation whereby new provinces and districts are created by dividing existing ones and which ironically strengthens the sense of identity based on race, ethnic group, religion, and other communal identity is one that triggers such conflicts. This study discusses the rivalry of the elites in the ethno-religious conflicts that erupted during the process of territorial split of Mamasa district of West Sulawesi, Indonesia, in 2002. Mamasa, which was once part of the mother district of Polmas, was established into an autonomous district. Not only was the district divided but people in this region also had differing opinion on the idea of territorial split. Supporters of the administrative fragmentation were dubbed pro while opponents were called kontra. The conflict between the two factions had escalated because the conflict itselt was also the representation of conflict between the mother district and the newly-established district. The government of Polmas ditrict was with the kontra while the government of Mamasa gave their full support for the pro. The rivalry between the two parties had brought chaos to the government system. The government was divided (government dualism).
This research uses qualitative method. The data were collected through in-depth interviews, field observations, and secondary data. Studies reveal that autonomy is the potential cause of conflicts because it allows for competition among the contending elites who fight for political positions, economic resources, and other aspects of power. Unlike previous literature studies that put an emphasis on political conflicts and ethnic conflicts, this research focuses on ethno-religious conflicts involving two contending ethnic groups practicing two different religions: the Mandar who are predominantly Muslims and the Toraja who are Christians. The territorial split has indeed changed the socio-political constellation. The Mandar who was once the dominant ethnic group is now a minority and the Toraja have now become the dominant ethnic group.
The competition among elites in the newly-established autonomous district by using the sentiment of ethno-religious identity has changed the constellation of socio-political hegemony and domination in Mamasa. As a result, the Muslim-Mandar (the PUS people) voiced their opposition to the territorial split which they consider part of Christian mission. Fox (1999) states that when a religious framework is challenged, the response will be the defensive action that is prone to conflict. This is due to the fact that religion is a belief system that organizes adherents to the values, has standards and norms, builds cohesiveness among its followers, and legitimate the actors."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
D2811
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasim
"Pertumbuhan penduduk perkotaan, seperti Jakarta dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, merupakan realita yang penting untuk dicermati. Pentingnya permasalahan tersebut, bukan hanya karena berhubungan dengan mekanisme pembagian dan pemanfaatan sumber daya yang ada. Namun, juga menyangkut persoalan penyediaan lapangan pekerjaan yang produktif bagi mereka. Kecenderungan selama ini, menunjukkan bahwa perkembangan lapangan pekerjaan pada sektor formal kurang mampu mengimbangi laju pertumbuhan angkatan kerja. Tanpa disadari kondisi tersebut berdampak terhadap tumbuhnya secara cepat kegiatan/usaha perekonomian sektor informal di perkotaan.
Sektor Informal sebagai istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan aktivitas perekonomian berskala kecil, mempunyai keterkaitan yang erat dengan masalah kemiskinan di perkotaan. lronisnya justru seiring dengan maraknya program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan beberapa tahun terakhir ini, kegiatan/usaha ekonomi sektor informal sebagai sumber penghidupan mayoritas masyarakat miskin di perkotaan tidak terakomodasikan secara memadai. Sehingga hampir keseluruhan program pemberdayaan masyarakat dalam kerangka pengentasan kemiskinan bersifat bias terhadap eksistensi kegiatan/usaha perekonomian dimaksud.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Jadi dalam pelaksanaannya tidak menguji suatu teori atau pun hipotesis tertentu. Melainkan hanya mempelajari hubungan antara kategori yang menjadi fokus kegiatan penelitian ini. Dalam rangka mencapai maksud tersebut, dipergunakan pendekatan fenomenologis.
Adapun sasaran penelitian ini yaitu masyarakat miskin di perkotaan yang beraktivitas/usaha ekonomi sektor informal, khususnya para penerima manfaat program pemberdayaan dalam konteks pengentasan kemiskinan, dengan satuan kajian keluarga. Sedangkan proses pengumpulan informasi/ data ditempuh melalui studi dokumentasi, pengamatan, dan wawancara.
Hasil penelitian mununjukkan bahwa latar belakang sosial sebagian besar mereka yang terlibat kegiatan/ usaha perekonomian sektor informal di perkotaan merupakan masyarakat urban. Karenanya memiliki tingkat mobilitas sosial yang tinggi, meskipun baru terbatas pada mobilitas sosial secara horizontal. Sebab pada kenyataannya, hanya sebagian kecil diantara mereka yang mengalami peningkatan status sosialnya.
Pesatnya perkembangan kegiatan/ usaha perekonomian sektor informal pada masa kini, merupakan manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di perkotaan. Terutama bagi tenaga kerja yang berpendidikan rendah serta mempunyai kualifikasi kemampuan dan keterampilan terbatas. Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja pada sektor dimaksud yang cenderung mengarah ke sistem sosial-ekonomi tradisional. Perkembangan sektor informal juga mempunyai dampak sosial yang cukup berarti terhadap sistem kehidupan perkotaan secara menyeluruh. Bukan hanya perubahan yang menyangkut aspek sosial-ekonomi, tetapi termasuk politik dan budaya.
Sejauh ini, peran kelembagaan terhadap kegiatan/ usaha perekonomian sektor informal masih sangat bias. Ketidak jelasan itu ada hubungannya dengan persepsi masyarakat terhadap pemahaman dan penggunaan istilah "sektor informa.? Meskipun demikian, apabila dicermati secara teliti, kebijakan yang diterapkan oleh berbagai lembaga, baik pemerintah kota setempat, instansi teknis terkait, swasta maupun NGO, dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pada satu pihak bersifat promotif, serta di pihak lain sifatnya represif. Dalam banyak kasus, munculnya kebijakan yang kontradiktif itu membingungkan masyarakat. Akibatnya justru memperburuk kondisi kesejahteraan sosial masyarakat secara lebih luas.
Kondisi di lapangan memperlihatkan bahwa pola-pola yang ditempuh oleh lembaga pemberdaya untuk mengembangkan kegiatan/ usaha ekonomi sektor informal belum mampu menembus kebijakan pembangunan perkotaan yang cenderung deskriminatif terhadap aktivitas dimaksud. Bentuk pekerjaan/ usaha sebagai hasil program pemberdayaan yang diupayakan juga masih menampakkan wujud kegiatan ekonomi yang bersifat subsistensi. Demikian pula langkah-langkah yang dijalankan belum sepenuhnya mengarah pada pentingnya kelembagaan sebagai "kendaraan pengangkut" yang akan mewadahi berbagai hal dalam proses transformasi. Disamping pola sikap dan prilaku masyarakat pendukungnya juga belum menampakkan tanda-tanda perubahan yang mengarah pada melemahnya proses sosialisasi budaya kemiskinan (culture of poverty) di kalangan mereka. Dalam keadaan seperti itu, masyarakat akan tetap mengalami keterbatasan untuk dapat mengakses sumber daya, sehingga dapat dibilang bahwa strategi yang ditempuh itu, masih jauh dari harapan untuk dapat mengatasi permasalahan kemiskinan di perkotaan secara tuntas.
Berdasarkan hasil penelitian tadi, dipandang penting bagi semua pihak untuk dapat menyamakan persepsi terhadap eksistensi kegiatan/ usaha ekonomi sektor informal. Dengan begitu, bisa diharapkan tercipta komunikasi, kerjasama dan koordinasi yang, produktif dalam rangka ,pembinaannya, dengan tetapi memperhatikan dimensi pemberdayaan, guna menunjang upaya pengentasan kemiskinan di perkotaan secara kontinue dan terintegrasi. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T2514
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Muhammad Ahmadi
"Pesantren yang merupakan subkultur bangsa Indonesia tentunya mempunyai struktur sosial sendiri yang unik. Kiai adalah tokoh sentral pesantren yang memimpin dan berdiri sebagai imam, guru juga pemilik lembaga pendidikan yang bernama pesantren. Sehingga kiai memiliki otoritas yang penuh terhadap persantren yang dipimpinnya. Tak berlebihan kalau kemudian kiai disebut sebagai salah satu dari agen perubahan sosial yang ada dalam pesantren dan juga cultural broker bagi pesantren. Sebagai sebuah organisasi, pesantren tidak hanya kiai yang disebut aktor. Ada beberapa aktor dalam pesantren, salah satunya adalah ibu nyai yaitu istri kiai pemilik atau pengasuh pesantren.
Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta adalah pesantren salaf yang didalamnya tradisi Islam NU sangat kental. Pendidikan klasikal masih menjadi metode pendidikan dalam pesantren tersebut. Peran kiai masih dominan sebagaimana layaknya pesantren pada umumnya. Tetapi ada beberapa ibu nyai dalam pesantren ini juga memiliki peran yang tidak kalah dengan kiai. Sebab ibu nyai tidak digambarkan sebagai pendamping kiai saja tetapi ada peranan yang ibu nyai mainkan karena ibu nyai termasuk dalam elit pesantren yang tentunya memiliki power sebagaimana layaknya elit sosial dalam masyarakat.
Seberapa ibu nyai dalam pesantren Al Munawwir ini turut serta untuk memberikan arti dalam perjalanan pesantren. Dimana ibu nyai turut berperan serta dalam pengambilan kebijakan-kebijakan pesantren. Peran ibu nyai yang menonjol dalam pesantren merupakan basil dari proses yang berlangsung dalam diri ibu nyai. Adanya persepsi yang dimilikinya dan struktur sosial pesantren yang saling berinteraksi ditambah dengan adanya motif dan situasi serta kondisi yang mendukung membuat ibu nyai dapat melakukan reproduksi dan memainkan perannya dengan kesadarannya sendiri. Tak dapat dinafikan adanya dorongan dari aktor-aktor lain dalam pesantren yang mendorong ibu nyai.
Human capital yang dimiliki oleh ibu nyai membuat ibu nyai dapat memberdayakan dirinya dan membuatnya lebih berperan dalam komunitas pesantren. Saat ibu nyai telah mendapatkan tempat dan legitimasi dari komunitas pesantren sebagai alit ibu nyai dapat membawa angin perubahan bagi pesantren. Ibu nyai sebagai perempuan sanggup mengalokasikan power dalam tindakan sosialnya. Otoritas power yang dimiliki ternyata dimanfwkan sedemikian rupa oleh ibu nyai walaupun ibu nyai mendapatkan tantangan sebagai konsekuensi logis ketika ada sekelompok orang yang bplum siap.
Pesanlren salaf tidak seperti dibayangkan selama ini sebagai sesuatu yang ortodok dan kaku yang mengkungkung peran dan kebebasan perempuan. Di pesantren ini peran ibu nyai ternyata tidak lepas dari legitimasi yang diberikan oleh komunitas pesantren terlebih adanya kiai yang memberikan legitimasi tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T156
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juri Ardiantoro
"Penelitian ini secara umum berusaha menggambarkan dan menganalisis konteks perubahan politik Indonesia, khususnya pemilu yang diselenggarakan tahun 1999. Secara khusus penelitian ini menganalisis hubungan-hubungan dinamik dalam Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 1999, yang menyangkut unsur-unsur negara dengan aktor-aktor dan struktur-struktur politik lain dalam penyelenggaraan pemilu di era transisi.
Penelitian mencakup empat isu utama yang tercermin dalam tujuan penelitian, yakni: (1) Pemilu'99 dalam konteks transisi politik Indonesia; (2) kelembagaan penyelenggara Pemilu di Indonesia, khususnya KPU Pemilu 1999; (3) bekerjanya unsur-unsur negara dalam struktur kelembagaan dan kinerja KPU Pemilu 1999; dan (4) peranan politik demokratik KPU'99 dalam meletakan landasan yang kokoh bagi pembaharuan (reformasi) kelembagaan politik di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mendasarkan pada paradigma konstruktivisme. Sedangkan Iandasan teoritiknya menggunakan teori dialektika agensi-struktur dalam teori strukturasi Anthony Giddens. Dan, metode pengumpulan data yang digunakan adalah mengkombinasikan metode wawancara mendalam, studi dokumentasi dan observasi.
Penelitian ini berhasil mengajukan dun kesimpulan utama, yaitu kesimpulan praktik politik dan teoretik. Kesimpulan praktik secara umum menggambarkan bahwa perubahan politik (menuju demokrasi) selalu menghasilkan polarisasi kekuatan-kekuatan politik, baik di tingkat negara maupun di akar rumput (grass roots). Pada konteks yang lebih lanjut, perubahan ini tentu saja menyulut terjadinya ketegangan, konflik, dan tarik menarik kepentingan antara aktor-aktor politik yang bermain.
Pada lingkup yang lebih mikro di KPU, polarisasi politik tidak saja bersumber dari latar belakang ideologi, kultur dan sikap politik masa Ialu aktor-aktor tersebut. Oleh karena di era transisi politik ini terjadi ketidakpastian mengenai apa yang akan terbentuk dan terlembagakan, maka, polarisasi kekuatan politik jug bersumber dad usaha-usaha memperebutkan peluang sekaligus mengukuhkan pengaruhnya pads konstruksi politik yang akan terbentuk nantinya. Cara yang ditempuh antara lain terlibat dalam mempengaruhi pembuatan dan implementasi segala perangkat aturan. Karena, peraturan-peraturan yang akan muncul akan sangat menentukkan sumber sumber mana yang secara sah boleh dikerahkan ke arena individual dan politik, serta pelaku-pelaku mana yang diperkenankan masuk dan terlibat.
Apa yang terjadi di KPU adalah cerminan bagaimana masing-masing aktor itu menggunakan legitimasi dan kebenaran yang dimilikinya untuk memainkan peranan politik tersebut. Akibatnya, aturan yang di satu sisi memberikan dasar legitimasi bagi keberadaan dan kinerja KPU, tetapi pada sisi yang lain telah menyumbang berbagai kontroversi dan kontradiksi politik.
Pada saat negara menjadi bagian yang ikut bennain dalam pertarungan tersebut yang lebih paralel dengan arus utama (mainstream) politik publik justeru gagal meyakinkan sebagian besar politisi di KPU untuk mengambil sikap dan tindakan politik yang sejalan. Sebabnya, negara tidak sepenuhnya mampu mengontrol dinamika politik yang ada dengan sumber-sumber alokatif maupun kekuatan ototritatif dan kapasitas organisasionalnya di satu sisi, sementara itu,di pihak negara pun kekuatannya terfragmentasi, tidak utuh. Sementara pada saat yang sama, para aktor di KPU justru dengan bebasnya memainkan dan menginterpretasikan kepentingannya.
Sedangkan kesimpulan teoretik dalam penelitian ini dapat menggambarkan temuan-temuan teoretik yang pads dasarnya konfirmasi atau penguatan terhadap "kebenaran" teori tersebut. Namun demikian, modifikasi atas beroperasinya teori ini juga nampak.
Tidak adanya dominasi baik antara agen-agen politik yang bertarung, maupun struktur-struktur politik yang tersedia dan diproduksi di KPU selama penyelenggaraari Pemilu'99 membuktikan bahwa Giddens dalam hal ini besar: determinasi terhadap proses sosial (politik), bukan terletak pads salah satunya, tetapi keduanya saling mengandaikan. Sehingga kekuasaan atau power yang dapat terbentuk, diraih atau dikuasai juga terbukti pada sejauhmana para pelaku (actor) politik itu menguasai dan memproduksi struktur-struktur (baik legitimasi, dominatif, maupun signifikansi) yang ada.
Dengan memahami dinamika di KPU, apa yang disebut relasi agensi-struktur sangatlah bersifat relatif. Artinya, apa yang disebut agensi pada beberapa kasus dapat bertindak sebagai struktur; demikian juga sebaliknya. Bahkan pada saat ia bertindak pada salah satunya, dalam waktu yang bersamaan dapat secara otomatik bertindak atas yang lainnya. Agensi, termasuk negara juga seringkali bukanlah sebuah entitas yang tunggal, namun terfragmentasi sedemikian rupa, demikian juga sebaliknya.
Path pain-inilah peneliti kemudian mengajukan kritik terhadap teori Giddens. Sesungguhnya relasi agensi-struktur bukan saja bersifat komplementer sehingga dikatakan struktur dapat memediasi (mediating) tindakan agensi, tetapi masing-masing sesungguhnya saling melekatkan (embeddeding). Penyamaan aktor dalam praktik-praktik sosial tidaklah dapat diterima sepenuhnya, karena, seringkali diantara aktor- aktor itu menegasikan aktor lain (yang lebih rendah "strata"), terutama menyangkut keputusan atau kebijakan. Selain itu, teori ini belum juga memberikan penjelasan lebih detail mengenai praktik-praktik politik yang tidak tunggal atas isu yang sama, pads ruang (space) dan waktu (time) yang sama pula; padahal baik ruang maupun waktu menurutnya bukanlah arena atau panggung atau tindakan melainkan unsur konstitutif dan pengorganisasian."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, [2003;2003, 2003]
T209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Ali
"Pemerintahan dalam hal ini meliputi seluruh institusi negara menjalankan beberapa fungsi untuk menjamin adanya keteraturan dan keadilan sosial bagi keseluruhan masyarakat. Salah satu fungsi tersebut adalah pelayanan (service) yakni menyediakan pelayanan yang secara kolektif tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat, pada sisi lain ada pelayanan yang tidak mungkin diserahkan kepada pihak non pemerintah atau akan lebih baik apabila dilaksanakan oleh pemerintah sendiri (civil service).
Sebuah anggapan masyarakat Kabupaten Wajo khususnya Kecamatan Tanasitolo, bahwa pegawai negeri dianggap sebagai pembuktian standar perilaku yang tinggi, sehingga terkadang pegawai negeri bersikap dan berkeinginan untuk dihormati oleh masyarakat umum, apalagi semangat aristokrasi masih mewarnai dan diyakini oleh semua lapisan masyarakat setempat, dimana aparat yang mereka sebut sebagai pamong praja mendapat posisi yang sama dengan mereka yang masuk dalam golongan "Ands, Karaeng"
Tesis ini memberikan fokus perhatiannya tentang bagaimana -persepsi masyarakat terhadap 8 (delapan) aspek, yaitu: Kreatifitas (X1), Kesopanan (X2), Kepedulian (X3), Kedisiplinan (X4), Kepekaan (X5), Kepemimpinan (X6), Sikap altruistik (X7), inovatif (X8) kemampuan Individu, sementara persepsi masyarakat terhadap kualitas pelayanan meliputi dari 9 aspek yaitu: keandalan (Y1), terjamin (Y2), bukti langsung (Y3), kepahaman (Y4), murah (Y5) bermutu (Y6), kecepatan (Y7), adil (Y8) dan tersedia ketika diperlukan (Y9) .
Dengan menggunakan jenis penelitian survey kemudian berusaha menjelaskan bagaimana persepsi masyarakat terhadap, kemampuan aparat dalam menyelesaikan tugasnya, sesuai dengan standar moralitas.
Dari hasil penelitian dengan 96 responden dari masyarakat maka penulis menggambarkan bahwa, perilaku aparat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat Nilai rata-rata analisis skor tersebut menunjukkan pesepsi masyarakat terhadap perilaku birokrasi termasuk dalam kategori baik (3,43), ini diperoleh dari nilai rata-rata setiap dimensi yang menunjukkan bahwa nilai rata-rata dimensi kreativitas (XI) adalah sebesar 3,43, dimensi kesopanan (X2) sebesar 3,44, dimensi kepedulian (X3) sebesar 3,53, dimensi kepekaan (X5) sebesar 3,45, dimensi tanggung jawab (X6) sebesar 3,35, dimensi sikap altruistik (X7) sebesar 3,517, dimensi inovatif (X8) sebesar 3,49. Nilai ketujuh dimensi tersebut dinyatakan baik, Sedangkan untuk dimensi kedisiplinan (X4) memiliki nilai sebesar 3,04 dinyatakan cukup baik, dan sub variabel perilaku aparat yang paling besar mendukung pelayanan kepada masyarakat adalah kepemimpinan,
Persepsi masyarakat terhadap pelayanan pubiik termasuk dalam kategori baik, (3,45), ini diperoleh dari rata-rata setiap dimensi menunjukkan bahwa, dimensi keandalan (Y1) memiliki nilai sebesar 3,413, dimensi terjamin (Y2) memiliki nilai sebesar 3,56, dimensi bukti langsung (Y3) sebesar 3,48, dimensi kepahaman (Y4) sebesar 3,55, dimensi kecepatan (Y7) sebesar 3,517, tersedia ketika di perlukan (Y9) sebesar 3,41, masuk kategori baik, untuk dimensi semakin murah (Y5) memiliki nilai sebesar 3,36, dimensi bermutu (Y6) sebesar 3,33, dimensi keadilan (Y8) sebesar 3,40. Nilai tersebut (Y5, Y6, dan Y8) setelah diproyeksikan terhadap kategori nilai skor, termasuk dalam kategori cukup baik. Dari hasil tersebut menunjukkan ada hal-hal tertentu yang belum optimal. yaltu peningkatan kedisiplinan aparat. Demkian pula dalam hal kwalitas pelayanan hal-hal yang perlu dioptimalkan adalah dimensi ekonomis, mutu, dan keadilan, karena dianggap belum maksimal.
Penegakan disiplin pegawai pada Kecamatan Tanasitolo Kabupaten. Wajo jugs harus tetap mendapat perhatian secara serius, bahkan perlu ditingkatkan dari hari ke hari, sehingga ketaatan pegawai akan semakin terbina. Penegakan disiplin pegawai ini hanya akan terwujud dengan baik jika penerapan aturan dan hukum tentang kepegawaian dilaksanakan secara transparan, konsisten dan kontinyu serta ditunjang dengan kesinambungan. Dalam penerapannya, aturan dan hukum kepegawaian itu sering kali tidak konsisten serta cenderung bersifat subjektif, dan untuk kualitas pelayanan yang belum ekonomis, dan mutu yang masih rendah, diharapkan agar dalam penetapan anggaran pelayanan, senantiasa memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat, dan mutu pelayanan senatiasa seimbang dengan kontribusi biaya yang dikeluarkan masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T165
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsul Arifin
"Masalah pokok yang mendasari penelitian ini adalah perbedaan paham keagamaan dua komunitas Islam; NU(tradisionalis) dan Muhammadiyah(modernis), yang terproyeksikan ke dalam pemilihan sistem pendidikan yang dianut, baik dari segi substansi maupun kelembagaannya. Dalam perkembangan awal, NU memnakai sistem pendidikan pesantren salaf, sedangkan Muhammadiyah memakai sistem pendidikan modern. Namun dalam proses selanjutnya ada semacam "sintesa" di antara keduanya, di mana NU mengadopsi sistem pendidikan modern ke dalam pesantrennya, sedangkan Muhammadiyah mengadopsi sistem pendidikan tradisional, dengan mendirikan pesantren.
Namun demikian, melalui lembaga pendidikan yang mereka kelola. kedua komunitas itu sama-sama memperkuat identitasnya secara tegas dan sama-sama mempunyai watak ambiguity. Di satu sisi sama-sama ingin meningkatkan mobilitas umat, sedangkan di sisi lain justru membangun ikatan-ikatan strukturalnya yang khas untuk kelestarian paham keagamaannya dan pengembangan organisasinya. Sehingga pendidikan yang mereka kelola masih bersifat populis dan tak ubahnya sebagai cagar yang menjamin terselamatkannya struktur dan identitasnya dart generasi ke generasi.
Berdasar pada persoalan di atas, penelitian ini bertujuan untuk menelaah mengenai modal sosial(social capital) dan jangkauannya di pesantren Alhamidiyah(NU) dan Pesantren Darul Argom(Muhammadiyah). Peneliti menggunakan konsep keterlekatan sosial(social embededness) dalam tingkat mikro menurut Michael woollcock dan empat komponen social capital menurut Alex Inkeles. Tesis yang diajukan adalah social capital pesantren yang dikembangkan dengan baik akan akan meningkatkan kualitas output pesantren.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa social capital di kedua pesantren yang diteliti tidak berkembang baik. Kendatipun hubungan pesantren Alhamidiyah dengan komunitasnya dan pemerintah(Depag-Diknas) cukup baik, partisipasi wali santri juga cukup signifikan, serta peran pemerintah juga bask, namun di pesantren ini terjadi hubungan konfliktual dan tidak harmonis di antara para aktor-aktor internal pesantren. sering terjadi di pesantren Alhamidiyah.
Sementara itu, keadaan di pesantren Darul Arqom Iebih parah lagi. Karena aktor-aktor kunci seperti PWM(Pengurus Wilayah Muhanunadiyah) DKI dan direktur pesantren justru tidak melakukan perannya yang signifikan dalam mengembangkan pesantren ini. Akibatnya masalah yang dihadapi pesantren terus bertambah dan dan bisa dikatakan tidak ada masalah yang terselesaikan. Disamping itu, hubungan dengan komunitasnya terputus, karena mereka tidak percaya kepada pesantren ini yang telah mengajarkan paham NII(Negara Islam Indonesia) dan kasus tanah yang tidak selesai. Sementara partisipasi wali santri juga kurang baik, sedangkan peran pemerintah(Depag-Dikanas) terhadap pesantren ini nihil.
Penelitian ini dengan demikian melahirkan sebuah rumusan modal sosial, sebagai sebuah hubungan hubungan antar aktor-aktor dalam sebuah institus-institusi sosial yang mengarah kepada tercapainya tujuan-tujuan yang diinginkan oleh anggotaanggota komunitasnya.
Akhirnya, penelitian ini melahirkan rekomendasi untuk pengembangan kedua pesantren tersebut. Kedua pesantren itu perlu membangun social capital dengan memperbaiki manajemen pesantren terlebih dahulu. Dalam rangka membangun social capital ini kedua pesantren juga perlu menyusun strategi perencanaan pesantren kembali secara lebih akurat dengan meninjau kembali visi, misi, dan tujuan serta input, proses, output dan outcomes kedua pesantren sebelumnya. Karena perencanaan merupakan fungsi manajemen yang hares dilaksanakan terlebih dahulu sebelum fungsi-fungsi yang lain. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T495
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Arif Amien
"Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang ditularkan oteh nyamuk Aedes Aegypti merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sering menimbulkan wabah dan menyebabkan kematian pada banyak orang. Vaksin dan obat untuk mencegah penyakit DBD belum ada, Cara tepat untuk memberantas nyamuk Aedes Aegypti adalah dengan memberantas jentik di tempat berkembang biaknya. Selama ini ada kecenderungan bahwa masyarakat hanya mengharapkah bantuan dan menuntut pemerintah untuk melakukan pemberantasan penyakit DBD di lingkungan pemukiman mereka. Selain itu masih ada anggapan pada masyarakat bahwa kesehatan merupakan tanggung jawab pemerintah. Padahal Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengamanatkan pentingnya partisipasi masyarakat datam pembangunan kesehatan, namun sampai saat ini penyakit-penyakit menular yang berbasiskan kesehatan Iingkungan cenderung semakin tinggi, sehingga dapat diasumsikan partisipasi masyarakat di bidang kesehatan masih rendah.
Atas dasar hal itulah penelitian ini dilakukan, dengan tujuan ingin mengetahui faktor-faktor atau variabel apa raja yang mempengaruhi partisipasi masyarakat, dan faktor apa yang paling dominan. Dalam beberapa literatur diungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi seseorang, yaitu usia, lama menetap, pendidikan, pekerjaan, penghasilan (Angell, 1958; Ross & Lappin, 1967; Oscar Lewis, 1973; Andersen, 1995), intensitas informasi (Tjokroamidjojo, 1974; Depari, 1978) dan pengetahuan (Ross, 1970; Bambergers & Shams, 1989). Ketujuh faktor tersebut berhubungan secara positif terhadap partisipasi, artinya semakin tinggi faktor-faktor pengaruh tersebut, maka akan semakin tinggi pula partisipasi seseorang.
Pengumpulan data dilakukan melalui survai dengan teknik wawancara berstruktur, sampel penelitian adalah para ibu (istri) yang ditarik secara sistematis berdasarkan kerangka sampel yang telah dibuat sebelumnya, sedangkan analisis data menggunakan perhitungan regresi berganda logistik, dimaksudkan untuk memprediksi besamya peluang (probabilita) pengaruh ketujuh faktor diatas terhadap partisipasi.
Temuan penelitian menunjukkan hanya dua dari tujuh variabel yang signifikan, yaitu variabel pekerjaan dan intensitas informasi. Para ibu yang bekerja pada sektor formal berpeluang untuk berpartisipasi 4,1 kali dibandingkan para ibu yang bekerja pada sektor non formal, sedangkan para ibu yang intensitas informasinya banyak berpeluang untuk berpartisipasi 1,4 kali dibandingkan para ibu yang intensitas informasinya sedikit. Rekomendasi yang diusulkan adalah peningkatan pemahaman masyarakat melalui program peningkatan kualitas materi informasi, program penyediaan sarana informasi yang memadai, serta program penyusunan metode penyampaian informasi sesuai kelompok sasaran."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T591
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusran Anizam
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui secara lebih mendalam dan rinci mengenai permasalahan yang ada dalam rangka konflik etnis dan bagaimana upaya penanggulangannya. Dengan demikian dapat diformulasikan strategi dan program apa yang perlu dikembangkan untuk mengendalikan konflik.
Berdasarkan basil penelitian, diketahui beberapa permasalahan dalam rangka konflik etnis, serta dapat dipilah-uraikan menjadi permasalahan yang melatarbelakangi konflik terbuka secara mendasar, permasalahan antara, dan pencetus konflik terbuka itu sendiri. Pada awalnya, beberapa masalah bersifat personal dan bukan antar komuniti etnis. Namun dalam waktu yang lama, permasalahan tersebut ibarat snow-ball, sehingga cenderung bertumpang tindih dengan intensitas yang bervariasi diantara masing-masing masalah.
Dan penelitian ini juga diketahui bahwa upaya penanggulangan yang dilakukan terhadap konflik belum optimal dan tidak efektif, sehingga membawa korban dalam jumlah yang besar pada saat konflik terbuka dan hingga kini belum dapat direhabilitasi. Demikian halnya dengan kebijakan yang koersif; selama bertahun-tahun permasalahan konflik laten yang ada di masyarakat tidak dikendalikan menjadi penggerak perubahan sosial yang konstruktif. Bahkan permasalahan semakin kompleks dan rumit untuk diselesaikan, sehingga tidak tertutup kemungkinan akan memicu konflik terbuka kembali.
Oleh karenanya secara aspiratif dengan berlandaskan pada kajian konseptual, direkomendasikan beberapa strategi dan program pengendalian konflik, baik secara jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang terhadap masing-masing masalah, yang disertai dengan asumsi dan subyek yang berkompeten dalam merealisasikannya. Sehingga menjadi aplikatif bagi penanggulangan konflik etnis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T171
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afrizal Azhar
"Secara garis besar penelitian ini menjelaskan tentang Konflik yang terjadi antara Etnik Batak Toba dan Mandailing berhadapan dengan Etnik Minangkabau di Kinali Kabupaten Pasaman yang meletus pada bukan Juli tahun 2000. Konflik Kinali bukan merupakan konflik agama karena pihak yang bertikai adalah orang Batak yang Kristen dan orang Mandahiling yang Islam berhadapan dengan orang Minangkabau yang juga beragama Islam. Konflik di Kinali ini disebabkan oleh beberapa faktor budaya sehingga memunculkan kurangnya toleransi dalam hubungan antar etnik, pola interaksi yang cenderung disertai dengan stereotype, prejudice, kebencian dan dendam. Pola interaksi yang buruk yang dijalani selama ini sebenarnya disadari oleh masing-masing etnik tetapi tidak ada usaha untuk melakukan konsolidasi menjadikan hubungan yang ada menjadi lebih balk lagi. Maka konflik yang masih berupa tension dan disagreement ini akhirnya pecah menjadi konflik kekerasan.
Tesis ini juga menemukan fenomena baru tentang sikap orang Batak yang tidak adaptif dalam pola hubungannya dengan kebudayaan dominan yang ada di Kinali padahal beberapa penelitian oleh para ahli sebelumnya menganggap bahwa orang Batak adaptif terhadap kebudayaan dominan. Berdasarkan basil penelitian ini, hal ini disebabkan oleh sikap diskriminatif orang Minang Kinali terhadap orang Batak dalam berbagai segi kehidupan yang mereka jalani selama ini yang akhirnya berbuah keengganan untuk membaur dan bergaul secara normal dan wajar.
Konflik Kinali juga telah menyadarkan orang dan kelompok yang bertikai tentang berbahayanya kandungan konflik yang apabila muncul dan meletus menjadi konflik kekerasan akan mendatangkan kerugian yang begitu besar kepada semua pihak. Keadaan setelah konflik membuktikan hal tersebut dimana interaksi yang terjadi diantara pihak yang pernah bertikai menunjukkan keteraturan sosial yang berlaku yang ditandai oleh sikap saling menghargai dan toleransi. Tetapi seperti dipercayai oleh para penganut teori konflik bahwa keadaan harmoni adalah sesuatu yang temporer dan konflik akan selalu muncul menyertai keadaan yang harmoni. Maka tugas kita semualah untuk mampu menjaga keadaan harmoni sehingga tidak meletus menjadi sebuah konflik kekerasan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T173
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>