Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 723 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heri Purwoko
"Dinamika sosial budaya yang terjadi di Papua membuat banyak pihak larut dalam dilema dan perjuangan yang berkelanjutan tanpa penyelesaian yang jernih sejak masa integrasi dengan Indonesia hingga kini. Film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja menampilkan paradoks akan makna perjuangan. Di satu sisi berjuang adalah dengan mengangkat senjata, di sisi lain dimaknai sebagai usaha untuk kehidupan yang lebih baik tanpa kekerasan. Film ini menghadirkan ambiguitas dan ketidakajegan dalam posisi ideologi yang direpresentasikan melalui karakter-karakter dalam film. Melalui film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, penulis mengelompokkan setidaknya terdapat tiga identitas yang direpresentasikan, yaitu: (a.) identitas negara atau pemerintah pusat Republik Indonesia yang ditunjukkan melalui tokoh Perempuan, serta kehadiran dan fungsi aparat militer, (b) identitas Organisasi Papua Merdeka yang diperlihatkan aktifitas mereka dalam Kongres Papua II, bendera Bintang Kejora, pengidolaan tokoh Theys Eluay, dan sebagian rakyat Papua yang mendukung atau bersimpati terhadapnya, serta (c) sebagian penduduk Papua yang berada di antara, direpresentasikan melalui tokoh Arnold dan Ibu. Untuk melihat apakah ada indikasi keberpihakan atas persoalan identitas nasional Papua dan Indonesia, maka penulis menggunakan cultural studies dengan pendekatan analisis tekstual dan teori representasi. Penulis menitikberatkan pada kode-kode visual sinematik berupa mise-en-scene, karakter, gestur, dialog, dan jalinan antar shot dalam film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja untuk mengetahui politik identitas yang direpresentasikan dalam film tersebut.

The socio-cultural dynamics occurring in Papua have left many parties immersed in ongoing dilemmas and struggles without clear resolution since the period of integration with Indonesia until now. The film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (I Want to Kiss You Only Once, 2002) displays the paradox of the meaning of struggle. On the one hand, fighting is by taking up arms, on the other hand interpreted as an effort to a better life without violence. This film presents ambiguity in the ideological position represented through the characters in the film. Through the film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, the writer groups at least three identities that are represented: (a) the identity of the state or central government of the Republic of Indonesia shown through women character, as well as the presence and function of the military apparatus, (b) the identity of the Free Papua Organization which were shown their activities in the Second Papuan Congress, the Morning Star flag, the idolizing of Theys Eluay, and some Papuans who supported or sympathized with him, and (c) some Papuans who were in between, represented through the figures of Arnold and Mother. To see if there are indications of alignments on the issue of Papuan and Indonesian national identity, the authors use cultural studies with textual analysis and representation theory approaches. The author focuses on cinematic visual codes in the form of mise-en-scenes, characters, gestures, dialogues, and interwoven shots in the film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja to find out the identity politics represented in the film."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niknik Mediyawati
"Serial Lupus karya Hilman Hariwijaya sebagai hasil karya sastra popular dipilih untuk diteliti dengan tujuan menganalisis:
1) karakter tokoh remaja dalam serial Lupus,
2) cara Hilman Hariwijaya menyajikan serial Lupus sehingga secara tidak langsung dapat menjadi dokumen sosial remaja perkotaan, dan
3) fungsi sosial serial Lupus bagi pembacanya, khususnya remaja perkotaan.
Objek penelitian ini yaitu tiga serial Lupus yang tergabung dalam Trilogi Lupus, yaitu Boys Don't Cry, Bunga Untuk Poppi, dan Candle Light Dinner. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, studi pustaka, dan dokumentasi. Serial Lupus dianalisis dengan pendekatan Sosiologi Sastra, sebuah pendekatan yang memusatkan hubungan antara karya, pengarang, dan masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa karakter tokoh remaja dalam serial Lupus mempunyai kemiripan dengan tokoh remaja perkotaan hasil survei Surindo, di antaranya terdapat tipe remaja "funky", "cool", "asal", dan "plin plan'. Tipe "funky" dan "cool" yang diwakili oleh tokoh Lupus dan Poppi adalah remaja yang selalu menghindari hal-hal negatif. Mereka sadar akan kelemahan dirinya, suka bergaul, dan memiliki kepedulian tinggi pada kondisi lingkungan sosial di sekitarnya. Kelompok ini memiliki rencana masa depan yang jelas dan realistis dalam menghadapi persoalan. Menurut penulis penggambaran kedua tokoh tersebut terlalu dibuat-buat sehingga terkesan kurang wajar, tidak sepeti karakter remaja pada umumnya. Lain halnya dengan tokoh seperti Rainbow, Fifi Alone, Adi Darwis, Boim, dan Gusur, mereka justru lebih digambarkan seperti karakter sebagian remaja perkotaan. Mereka mewakili segmentasi remaja "asal", yaitu remaja yang jauh dari orang tua, suka merokok, meminum minuman beralkohol, cenderung memilih sesuatu yang asing, dan kurang peduli terhadap lingkungan. Tokoh Boim dan Gusur juga mewakili segmentasi remaja "plin plan" yaitu remaja yang jauh dari bimbingan orang tua sehingga memiliki kebebasan, tetapi mereka mengandalkan segala sesuatunya dari orang tua. Mereka cenderung kurang peduli terhadap lingkungan sosial, dan mementingkan proses daripada hasil.
Selain mencerminkan karakter remaja di perkotaan, serial Lupus juga mencenninkan gaya hidup remaja perkotaan. Pengarang dengan jeli mengangkat trend yang sedang digemari remaja, khususnya tahun 1999 dan 2000, seperti trend remaja funky, trend waning tenda sebagai tempat bergaul remaja, trend musik mancanegara, trend internet, dan trend bacaan komik Jepang dan Eropa. Jika dihubungkan dengan hasil survei Surindo gaya hidup remaja dalam serial Lupus juga memiliki kemiripan yang membuktikan bahwa remaja di kota besar sangat peduli terhadap penampilan dan cenderung mengikuti trend. Selain itu ditemukan juga bahwa tentang penggunaan uang saku remaja yang banyak dipakai untuk bermain dan belanja di pusat perbelanjaan sekaligus memanfaatkan waktu luang mereka. Melalui gambaran tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa remaja tahun 1999 dan 2000 dapat diidentikkan dengan conspicuous consumption atau remaja yang konsumtif. Melalui penggambaran karakter remaja dan gaya hidupnya serial Lupus diharapkan dapat memiliki fungsi sosial sastra sebagai alat penghibur dan pendidik pembacanya, terutama remaja. Dengan humor dan parodi yang segar, serial Lupus mampu menghibur dan setidaknya bisa menyisakan memori di hati pembaca. Dengan pesan-pesan moral yang komunikatif dan dengan adanya penggambaran tokoh hitam dan putih, serial Lupus dapat juga mendidik pembacanya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T11009
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriah
"Penelitian ini merupakan penelitian filologis, yang bertujuan untuk menghasilkan edisi teks terhadap naskah Hikayat Nabi Mi 'raj (HNM). HNM adalah suatu hikayat tentang peristiwa isra dan mi?raj Nabi Muhammad yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan menggunakan aksara Jawi (Arab-Melayu). Tujuan edisi teks ini adalah untuk menyajikan teks yang bersih dari berbagai kesalahan, agar dapat dibaca dan dimanfaatkan oleh kalangan yang lebih luas.
Naskah yang dipergunakan sebagai obyek penelitian berjumlah 10 buah; 9 naskah terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), dan satu naskah terdapat di Perpustakaan Universitas Leiden, yang mikrofilmnya tersimpan di PNRI. Naskah yang dipilih sebagai dasar edisi teks adalah naskah yang mengandung teks yang tua dan yang lengkap dari segi isi cerita.
Kesepuluh naskah HNM tersebut dicari melalui katalogus-katalogus naskah Melayu yang memuat naskah-naskah HNM, baik di dalam maupun di luar negeri. Setelah ditentukan naskah-naskah yang akan diteliti, naskah-naskah tersebut kemudian dideskripsikan dan diperbandingkan satu sama lain, baik dari segi eksternal maupun internal naskah, seperti keadaan naskah, usia naskah, nama penyalin dan tempat penyalinan, bahasa naskah, keutuhan naskah dan lain sebagainya, sehingga kemudian dapat ditentukan naskah yang mengandung teks yang tua dan yang lengkap isi ceritanya. Naskah itulah yang kemudian akan digunakan sebagai dasar untuk membuat edisi teks. Naskah yang dipergunakan sebagai dasar untuk edisi teks selanjutnya akan dikoreksi atau diadakan pembetulan apabila terdapat teks atau bagian yang salah. Selanjutnya dilakukan edisi teks.

This philological research aims at producing text edition to Hikayat Nabi Mi'raj (HNM). HNM is a story about Isra and Mi'raj the Prophet Mohammed which is written in Malay with Jawi characters (Malay-Arabic). The objective of text edition is to present free from errors of texts. So that the text will be able to be read and be used by broader parties.
The manuscripts used as object of research consists of 10 manuscripts; 9 manuscripts are available in Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), and the only rest one manuscript can be seen in University Leiden Library which the microfilm is stored in PNRI. The selected manuscripts as basis of text edition are the ones that are old texts and complete from story contain.
The tenth HNM manuscript searched by Malay script catalogues containing HNM manuscripts from local and abroad. After the manuscripts of research object have been determined, the manuscripts will be described and compared each other externally and internally. For instance, manuscripts condition, how old the manuscripts, name of copyist, place of copying, the language of manuscripts, scripts integrity and so on. As a result, the text containing old text and complete story contain can be identified. Then that manuscript will be used as basis in making text edition. The above-mentioned manuscript will be corrected if the text has error parts. After that the text edition can be conducted."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11027
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Murti Bunanta
""Adventures of Huckleberry Finn, possibly the greatest book in American Literature, has made many people uneasy. Every single aspect of the book has been subjected to approval and disapproval and it is likely that various controversies will persist. A good book is always more interesting to investigate than a poor one. This novel not only causes the controversy but it is also at the same time the victim of the controversy. As long as the novel is seen and used as adult reading,. it is unlikely that censorship will ever touch it. At the utmost people will condemn and critize the novel. But if the novel is seen as a children's book with the believe that books enjoyed and read by children can help to shape their values, attitudes, and understanding, then Adventures of Huckleberry Finn is likely to provoke censorship — the possibility of being removed from library shelves. Today, as in the past, adults select most of the books children read — teachers, libarrians, publishers, parents, reviewers, educators, school boards. It is always their judgement, not the children's, that decides whether or not a book is suitable for them. Their uncompromised and sometimes unfair indictment brings about the appraisal of the book which can lead to censorship, first, on moral grounds and later on racial grounds. By the standar of one hundred years ago, at the time the novel was published in 1885, the attacking of the novel was based on moral grounds that covered the ungram¬matical language used in the book; the picturing of Huck as unwashed, not going to school, not going to church, smoking, using bad language, dressing poorly ; the picturing of Pap Finn as rough, a drunkard ; the irreverence and the profanity shown in the novel; and the use of the word ""nigger"" (see Ch.3.3 and 5.5). Today the attack has shifted to racial grounds covering the portrayal of Jim and the other blacks in the novel as stereotypes who are superstitious and inferior; the dialectical speech ; the unpromising relationship between Jim and Huck ; the unconvincing attack against slavery; and the use of word ""nigger"" which is seen as insulting and demeaning to blacks""
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1986
T39162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jugiarie Soegiarto
"Bougainville, karya F.Springer, bercerita tentang keterhatasan manusia dalam memberi dan menerima kebenaran cinta dan ketulusan pertemanan. Cerita berbingkai yang dikisahkan oleh tokoh Aku-Bo, bertutur tentang kehidupan Tommie Vaulant, sahabat tokoh Aku dan pergumulan Opa de Leeuw menghadapi kolonialisme. Dua segi bentuk Bougainville mengingatkan kita pada Max Ilavelaar karya Multatuli, yang disebut oleh tokoh cerita sebagai karya pelopor dan pengarang ideal. Selain Max Havelaar dan Multatuli, masih ada sejumlah karya dari nama besar lain, baik dari kalangan sastra maupun bukan, yang disehut dalam cerita ini. Oleh sebab itu, tesis ini menelaah jalinan unsur fiksi dan nonfiksi dalam cerita. Bagaimana kedua unsur itu berhaur dan dalam kombinasinya dengan bentuk cerita berbingkai mengaburkan batas antara kenyataan dan rekaan. Dalam mengkaji jalinan fiksi dan nonfiksi itu dipakai semiotik sebagai landasan teori. Analisis sintaktis dipakai dalam menelaah unsur-unsur kenyataan, sedang dalam pemberian arti dipakai kajian semantis. Dan kajian semiotis di atas diperoleh kesimpulan hahwa kenyataan dan kebenaran adalah dua hai yang sekaligus nadir dalam cerita. Iladirnya unsur fiksi dan nonfiksi dalam sebuah cerita sexing mengecoh pembaca. pembaca yang terlena dan kurang cermat mempercayai sebuah cerita yang fiksi sebagai sebuah kenyataan yang sungguh terjadi. Sehuah cerita yang meski menyampaikan kebenaran tetaplah hanya suatu sebuah rekaan yang dibangun oleh pengarang Temuan yang didapat dari kajian dan analisis data mengenai hierark:i persepsi kesantunan bahasa Inggris, adalah sebagai berikut,ini. Pertama, ada perbedaan urutan kesantunan direktif antara mahasiswa dan penutur asli. Perbedaan yang mengganggu adalah perbedaan urutan yang bersangkutan dengan PI, IK, dan PB. Kedua, ada tanda atau isyarat bahwa perbedaan itu disebabk.an oleh interferensi bahasa ibu terhadap bahasa rnggris yang sedang dipelajarinya. Ketiga, perbedaan itu tampaknya juga disebabkan oleh kurangnya pemahaman mereka terhadap kosakata ataupun gramatika bahasa Inggris. Contohnya adalah munculnya kata 'would' dalam PB, yang menurut mahasi.swa adalah tipe ujaran direktif yang paling santun. Keempat, ketaklangsungan ujaran direktif yang terlalu melengkung atau jauh akan ditafsirkan sebagai ejekan atau tamparan terhadap muka PEN. Tampaknya hal ini tersirat dari posisi IK, yang menempati peringkat enam..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1990
RB 00 J 427 b
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inayatul Chusna
"Objek dari penelitian ini adalah bagaimana makanan dapat menampilkan kompleksitas pembentukan identitas perempuan dalam novel Fasting Feasting. Melalui analisis wacana diperoleh hasil pembentukan identitas yang direpresentasikan dalam hubungan tokoh-tokoh perempuan dengan makanan. Dari pilihan-pilihan kata yang menunjukkan kedekatan tokoh perempuan dengan makanan menghasilkan identitas yang mengukuhkan stereotip perempuan yang dibentuk oleh masyarakat patriarki. Namun, pembentukan identitas tersebut juga dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan. Dua tokoh ibu dalam novel tersebut melanggengkan identitas perempuan yang stereotipik pada anak-anak mereka dengan cara bercerita dan membiasakan mereka melakukan ritual-ritual tertentu yang berhubungan dengan makanan.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa pembentukan identitas yang stereotipik tidak semata-mata dilakukan oleh masyarakat patriarki. Perempuan, yang menjadi objek dalam pembentukan identitas, turut aktif dalam membentuk identitas perempuan selanjutnya. Anita Desai sebagai penulis, menggunakan novel tersebut untuk menampilkan ideologinya yang mempertanyakan kembali posisi perempuan dalam pembentukan identitas. Melalui hubungan makanan dengan perempuan, Desai menunjukkan bahwa perempuan mampu bermain dengan posisi mereka dalam pembentukan identitas perempuan yang stereotipik.

The main objective of this research is how food can reflect the complexity of the forming of women identity in the novel Fasting Feasting by Anita Desai. The forming of women identity represented in the relationship of female characters with food is gained through discourse analysis. From the choice of words which shows the closeness relation of female characters with food, it exposes identities that support the stereotyped women identities which are formed by the patriarchal society. However, this forming is also done by the female characters. Two mother characters perpetuate the stereotyped of women identities to their children by telling stories and making them accustomed to rituals related with food in the family.
It can be concluded that the forming of stereotyped identities is not only done by the patriarchal society, but also by the women. Women, who are objected in the forming of their identities, are also active in creating the same identities to the next female generation. Anita Desai as the author uses the novel to reveal her ideology which questioning women position in the creation of their identities. Through the women relation with food, Desai demonstrates that women are capable of playing with their position in the forming of the stereotyped women identities.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T39663
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Ramli H.S.
"Dari pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut pemikiran kalam K. H. Bisri Mushthafa banyak persamaaannya dengan pemikiran kalam tradisional syariah. Persamaannya dengan pemikiran kelam Asyariah adalah pada permasalahan nama-nama dan sifat-sifat Allah, kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, keadilan Tuhan dan masalah melihat Tuhan di akhirat. Sedangkan masalah anthropomorphisme atau ayat-ayat ta. j4.ssu.m is berbeda dengan Asyariah. Masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah keduanya sama-sama mengakui dan meyakini bahwa Allah mempunyai nama-nama yang baik yang di sebut dengan al-Asmau al-Husna yang jumlahnya 99 nama. Keyakinannya itu keduanya dasarkan pada ayat 180 surat al-A'raf, ayat 110 surat al-Isra', ayat 24 surat al-Hasyr. Di sarnping Allah mempunyai nama-nama yang baik, menurutnya Allah juga mempunyai sifat-sifat yang wajib ada padaNya yang menurut K. H. Bisri Mushthafa berjum-lah 20 sifat, tetapi nenurut al-Asyari berjumlah 13 sifat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
T41370
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Syihabudin
"Nasakh mengandung dua pengertian pokok, yaitu "pembatalan" dan "pengkhususan". Yang dimaksud "pembatalan" adalah pemba talan suatu hukum (seluruh kemungkinan ketentuan yang dicakup oleh suatu hukum). Adapun "pengkhususan" adalah pembatalan sebagian ketentuan yang terdapat dalam suatu hukum. Nasakh "pengkhususan" meliputi tiga metoda analisis nash-nash yang secara permukaan menampakkan adanya ta'arudi (konntradiksi). Ketiga metoda tersebut dikenal dalam Ushul al-Figh dengan kaidah-kaidah takhsish al-'am (pengkhususan suatu hukum yang bersifat umum), taqyid al-muthlaqah (penetapan suatu hukum dengan syarat tertentu atau pembatasan suatu hukum dengan sifat tertentu) dan tabyin al-mujmal (penjelasan suatu hukum yang bersifat samar atau pembatasan suatu hukum yang mengandung kesamaran). Penerapan Nasakh "pembatalan" dipersyaratkan memenuhi ..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
T41368
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugeng Riyadi
"Perilaku-perilaku tak wajar seorang tokoh tertentu di dalam sebuah karya sastra atau film terkadang menimbulkan pertanyaan apakah perilaku-perilaku tersebut dapat dipercaya atau tidak. Terkadang memang tidak mudah untuk memahami alasan yang membuat tokoh tersebut berperilaku sebagaimana digambarkan dalam cerita di karya sastra atau film tersebut. Di sinilah pendekatan psikoanalisis bisa menjadi alat yang sesuai untuk memahami hal tersebut.
Kajian ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip psikoanalisis dapat digunakan untuk lebih memahami sebuah film yang berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet!, terutama tokoh utamanya, yaitu Adjeng. Secara lebih spesifik, tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah untuk menemukan bagaimana (1) unsur-unsur naratif dan sinematografis film ini mencerminkan prinsip-prinsip psikoanalisis Freud, dan (2) bagaimana gejala-gejalan neurosis tokoh utama di dalam film ini ditunjukkan di dalam film, dan bagaimana gejala-gejala tersebut terkait dengan masa lalunya.
Dari hasil analisis unsur-unsur naratif film (tema, alur, penokohan, simbol, metafor, ironi, dan alegori) ditemukan bahwa semua unsur naratif tersebut sangat terkait dengan prinsip-prinsip psikoanalisis Freud. Keterkaitan yang sama juga ditemukan pada unsur-unsur sinematografisnya (gambar, gerakan, dan suara). Keterkaitan unsurunsur sinematografis ini mungkin tidak sejelas keterkaitan dengan unsur-unsur naratif. Meski begitu, unsur-unsur sinematografis tetap mempertegas keterkaitan antara struktur film ini dengan prinsip-prinsip psikoanalisis.
Sementara itu, analisis gejala-gejala neurosis pada tokoh utama film ini, Adjeng, menemukan adanya dua macam gejala neurosis yang diderita Adjeng, yaitu ketakutan akan keintiman dan ketakutan akan ditinggalkan (ditelantarkan). Gejala-gejala tersebut ditunjukkan oleh sekuen-sekuen yang menunjukkan hubungannya dengan orang-orang terdekatnya, seperti ibunya, kekasih-kekasihnya, dan teman-teman dekatnya. Gejala-gejala neurosis tersebut terkait erat dengan kejadian-kejadian traumatis yang dialami Adjeng ketika masih kecil dulu, khususnya saat ia mengalami kompleks Oedipus.

Uncommon behaviors of a certain character in a literary work or movie sometimes raise a question if such behaviors are really believable or not. In fact, it is sometimes difficult to understand why such character does the things s/he does in the story told by the literary work or movie. In this case, a psychoanalysis approach can be a very effective tool to understand such thing.
This study aims at showing how psychoanalysis principles can be used to get a better understanding of a movie entitled Mereka Bilang, Saya Monyet! (They Say, I am a Monkey!), in general, and its character(s), in particular. To be more specific, the objective of this qualitative research is to find out (1) how the narrative and cinematographic elements of this movie reflect Freud's Psychoanalysis principles and (2) how the neurosis symptoms of the main character in this movie, Adjeng, which are related to her childhood memories, are shown in the movie.
The analysis of its narrative elements (theme, plot, characterization, symbolism, metaphor, irony, and allegory) shows that all the elements are closely related to Freud's Psychoanalysis principles. The same finding also goes to the analysis of its cinematographic elements (picture, motion, dan sounds). Such relation might not be as vivid as the one found in its narrative elements, but cinematographic elements certainly give strong emphasis on such principles.
As for the neurotic symptoms of the main character, Adjeng, it is found that there are basically 2 kinds of neurotic symptoms that she suffers from; fear of intimacy and fear of abandonment. Such symptoms are shown by the sequences that show her relationship with the people she is close to, including her mother, her lovers, and her close friends. These neurotic symptoms are deeply rooted to her traumatic experiences in her childhood when Oedipus Complex took place.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T41375
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Mulbisah D.
"Karya Akhir ini adalah mengenai pengajaran puisi untuk siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Janten. Rancangan dibuat berdasarkan kendala yang terjadi dalam pengajaran puisi. Rancangan pengajaran puisi yang disusun adalah rancangan yang efektif, operasional, dan implementatif berisi silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan contoh langkah-langkah pengajaran di dalam kelas. Teks puisi dipilih dan dianalisis sebagai bahan pengajaran di kelas. Silabus yang dibuat merupakan penyempurnaan dari silabus yang ditawarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). RPP dijabarkan dengan langkah pengajaran di kelas dengan strategi pengajaran yang mengoptimalkan potensi siswa dan kerja sama.

This thesis is about the poetry lesson plan for the students of Janten State Junior High School (MTsN). It is designed for dealing with the problems aroused during poetry teaching process at school. The design is an effective and operational lesson plan to be implemented. It contains syllabus, operational lesson plan, and samples of teaching procedures in class. The selected poems are analyzed and will be used as teaching materials in class. The syllabus made is an improvement of the BSNP/Badan Standar Nasional Pendidikan (Board of National Education Standard) syllabus. The operational lesson plan is elaborated into class teaching procedures which optimize students' potentials and support strategy."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
T39662
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>