Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Since the development of 23G vitrectomy in 2004, the technique has revolutionized retinal surgery by overcoming a number of the problems associated with 20G and 25G systems and offering significant improvements in surgical capability and fluidics. This important book first discusses the instruments and equipment employed in 23G vitrectomy and then explains, step by step, the various surgical techniques with the aid of informative diagrams and many high-quality photos. In addition, videos are included that document the different procedures, from the straightforward to the demanding. "
Berlin : Springer, 2012
e20426391
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Gilbert W.S.
"Terdapat banyak laporan mengenai biaya-efektifitas di bidang ilmu penyakit mata, tetapi laporan biaya-efektifitas vitrektomi antara bius lokal dibandingkan bius umum belum ditemukan di literatur nasional/internasional. Penelitian ini bermanfaat untuk pengambil kebijakan, penyedia jasa kesehatan dan asuransi. Untuk menjawab hal ini, peneliti melakukan penelitian kohort retrospektif di dua rumah sakit dengan jumlah 100 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Efektifitas dihitung sebagai perbaikan tajam 2 skala logMAR atau lebih, dan biaya dihitung berdasarkan data yang diperoleh dari wawancara dan dikonfirmasi dengan surat keterangan yang berwenang. Hasil yang diperoleh adalah dibutuhkan biaya sebesar Rp. 23.959.000,- untuk mencapai efektifitas operasi (Perbaikan) sebesar 32% dengan bius umum. Sebesar Rp. 15.950.200,- diperlukan untuk mencapai efektifitas operasi (Perbaikan) sebesar 80 % dengan bius lokal. Interpretasi data ini butuh kehatian-hatian, juga untuk diterapkan secara umum (extrapolation). Penghematan biaya yang terjadi adalah sebesar 50,21% dengan bius lokal dibandingkan bius umum. Faktor yang berpengaruh secara multivariat terhadap perbaikan setelah operasi dan biaya adalah lamanya retina lepas (RR 1.85) bila lepas < 4 minggu, dan bius lokal (RR 2.58). Waktu tunggu (antara pertama kali berobat hingga dioperasi) lebih singkat di bius lokal (p 0.00) dan tindakan membrane peeling lebih banyak di bius lokal (p 0.00) merupakan dua hal yang berbeda bermakna. Dapat disimpulkan bahwa operasi vitrektomi untuk retina lepas dapat dilakukan dengan bius lokal dengan efektifitas lebih baik dan biaya lebih sedikit.

There were reports on cost-effectiveness in ophthalmology, but so far none of report on cost-effectiveness of vitrectomy between local and general anesthesia for rhegmatogenous retinal detachment, either in national or international journal. Meanwhile, this report is beneficial for health policy decision maker, health provider and insurance. To answer this limitation, we conduct retrospective cohort study in two hospitals with 100 subjects that fulfill inclusion and exclusion criteria. Effectiveness was visual acuity improvement in two or more logMAR scale after vitrectomy, and units cost data were given by both hospitals. The amount of Rp. 23.959.000,- was needed to achieve effectiveness 32% in general anesthesia. The amount of Rp. 15.950.200,- was needed to achieve effectiveness 80% in local anesthesia. These data interpretation and extrapolation should be done cautiously. There is cost-minimization 50,12% when doing vitrectomy under local versus general anesthesia. Multivariate analysis of effectiveness and cost showed that variables of detachment duration if less than 4 weeks (RR 1.85) and of local anesthesia (RR 2.58) were contributing for better surgical outcome. Shorter waiting time (time needed for surgery after diagnosed), and more membrane peeling done in local anesthesia group were different variabels (p 0.00) between two groups significantly. As conclusion, vitrectomy for rhegmatogenous retinal detachment can be done under local anesthesia with higher effectiveness and lower cost."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2013
D1412
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salmarezka Dewiputri
"ABSTRAK
Tujuan tesis ini adalah membandingkan pemberian metilprednisolon oral dengan plasebo terhadap insiden dan derajat membran epiretina pasca vitrektomi pars plana pada ablasio retina regmatogen. Desain penelitian ini adalah uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Empatpuluh enam mata yang memenuhi kriteria inklusi
dirandomisasi untuk mendapatkan metilprednisolon oral atau plasebo. Keluaran primer adalah insiden dan derajat membran epiretina yang dinilai pada 4 minggu dan 8 minggu pasca vitrektomi dengan menggunakan spectral domain Optical Coherence Tomography. Empat minggu pasca vitrektomi didapatkan insiden membran epiretina 47,6 % pada kelompok metilprednisolon dan 58,8 % pada kelompok plasebo. Delapan minggu pasca vitrektomi didapatkan insiden membran epiretina 47,6 % pada kelompok metilprednisolon dan 56,2 % pada kelompok plasebo. Empat minggu pasca vitrektomi pada kelompok metilprednisolon didapatkan 60 % derajat 0; 0 % derajat 1; dan 40 % derajat 2, sementara pada kelompok plasebo didapatkan 60 % derajat 0; 10 % derajat 1; dan 30 % derajat 2. Delapan minggu pasca vitrektomi pada kelompok metilprednisolon didapatkan 40 % derajat 0; 0 % derajat 1; dan 60 % derajat 2, sementara pada kelompok plasebo 55,6 % derajat 0; 11,1 % derajat 1; dan 33,3 % derajat 2. Simpulan penelitian ini adalah insiden dan derajat membran epiretina antara kedua kelompok baik pada 4 minggu ataupun 8 minggu tidak berbeda bermakna secara statistik. Insiden membran epiretina pada kelompok metilprednisolon cenderung lebih rendah daripada kelompok plasebo.

ABSTRACT
The purpose of this study was to compare oral methylprednisolone and placebo toward the incidence and severity of epiretinal membrane post pars plana vitrectomy in rhegmatogenous retinal detachment. The study design was double-blind randomized controlled clinical trial. Fourty-six subjects who met inclusion
criteria were randomized to receive oral methylprednisolone and placebo within 14 days. Primary output was incidence and severity of epiretinal membrane,
measured by spectral domain Optical Coherence Tomography at 4 and 8 weeks post vitrectomy. Four weeks after vitrectomy incidence of epiretinal membrane were 47,6 % and 58,8 % in methylprednisolone group and placebo group,
respectively. Eight weeks post vitrectomy incidence of epiretinal membrane were 47,6 % and 56,2 % in methylprednisolone group and placebo group, respectively.
At 4 weeks the grade of epiretinal membrane in methylprednisolone group were 60%, 0%, 40% in grade 0, 1, and 2 respectively. Meanwhile, in placebo group were 60%, 10%, 30% in grade 0, 1, and 2 respectively. Eight weeks postvitrectomy the grade of epiretinal membrane in methylprednisolone group were 40%, 0 %, 60% in grade 0, 1, and 2 respectively. Meanwhile, at placebo group
were 55,6 %, 11,1 %, and 33,3 % in grade 0, 1, and 2 respectively. In conclusion, there were no significant differences in incidence and severity of epiretinal
membrane at 4 and 8 weeks among 2 groups (p> 0.05). Oral methylprednisolone had a tendency to lower the incidence of epiretinal membrane compared to placebo.
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nova Diana
"ABSTRAK
Tujuan: Mengetahui efektifitas nepafenac dibandingkan dengan prednisolon asetat terhadap derajat inflamasi bilik mata depan, skala nyeri (visual analogue scale), dan ketebalan makula sentral pasca vitrektomi pada pasien rhegmatogenous retinal detachment (RRD). Metode: Penelitian ini adalah prospektif, uji klinis acak tersamar tunggal membandingkan dua kelompok, yaitu yang mendapat tetes mata prednisolon asetat 1% dan tetes mata nepafenac 0,1% selama 4 minggu pasca vitrektomi. Sebanyak 46 subyek RRD dirandomisasi menjadi dua kelompok. Dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan dengan koreksi (TPDK), tekanan intraokuler (TIO), dan pemeriksaan status oftalmologis lainnya. Pasca vitrektomi, dilakukan pemeriksaan derajat inflamasi bilik mata depan, skala nyeri, ketebalan makula sentral, TIO dan TPDK pasca vitrektomi pada 1 hari, 1 minggu, 2 minggu, dan 4 minggu. Hasil: Inflamasi bilik mata depan pada follow up 1 minggu lebih rendah pada kelompok prednisolon asetat (sel +2) dibandingkan kelompok nepafenac (sel +3) namun perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik (p>0.05). Pada follow up 2 dan 4 minggu, tidak ada perbedaan bermakna inflamasi bilik mata depan antara kedua kelompok. Skala nyeri (VAS) tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok pada setiap follow up (p>0,05). Median ketebalan makula sentral pada kelompok nepafenac yaitu 206 μm (rentang 131-299) dan pada kelompok prednisolon asetat yaitu 208 μm (rentang 129-451) pada follow up 1 hari (p>0.05). Pada follow up 4 minggu, tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p>0.05). Simpulan: Nepafenac 0,1% memiliki kemampuan yang sama dengan prednisolon asetat dalam mengatasi inflamasi bilik mata depan, skala nyeri, dan mempertahankan ketebalan makula sentral pasca vitrektomi.

ABSTRACT
Purpose: Comparing the efficacy of postoperative topical nepafenac 0,1% with prednisolon acetate 1% as anti-inflammatory agents in eyes undergoing pars plana
vitrectomy. Method: This is prospective, single blind, randomized single center clinical study. A total of 46 eyes from 46 subjects undergoing vitrectomy surgery. The subjects were randomized to receive either topical nepafenac 0.1% (23 eyes) or prednisolon acetate 1% (23 eyes). Eyes were evaluated for day 1 postoperative and 1-, 2-, and 4-week. Grading of anterior chamber inflammation was using the standardized classification.
Grading of ocular pain was done using Visual Analogue Scale (VAS). Central macular thickness was measured using optical coherence tomography (OCT). Result: Anterior
chamber inflammation of grade 2 (range 1-4) noted in prednisolon acetate group and grade 3 (range 0.5-4) in nepafenac group at day 1 (p>0.05). During the follow up, both group nepafenac and prednisolon acetate did not have a significant difference related to the grade of anterior chamber inflammation (p> 0.05). Pain perception was not significant different in both group (p > 0.05). The nepafenac and prednisolon acetate groups had median central macular thickness of 206 μm (range 131-299) and 208 μm (range 129-451) at 1 day (p> 0.05). At 4 week, there was no statistically significant difference in the
mean central macular thickness between the nepafenac group (174.9 ±30.7 μm) and nepafenac group (185.5 ± 50.1 μm) (p> 0.05). Conclusion: Postoperative topical
nepafenac was equal to prednisolon acetate in reducing postoperative inflammation in eyes undergoing pars plana vitrectomy.
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Anggarani Idham
"ABSTRAK
Edema makula diabetik (EMD) merupakan salah satu penyebab utama kebutaan pada pasien diabetes. Saat ini terapi utama pada pasien edema makula diabetik adalah injeksi intravitreal anti VEGF. Pada beberapa keadaan, hal ini menjadi kendala karena 50% pasien yang menjalani rangkaian injeksi intravitreal anti VEGF memiliki edema makula yang refrakter. Vitrektomi pars plana dan internal limiting membran (ILM) peeling diharapkan dapat menjadi alternatif terapi pada EMD refrakter. Penelitian ini bertujuan menilai hasil terapi tindakan vitrektomi dan ILM peeling pada pasien non proliferative diabetic retiopathy (NPDR) dengan EMD refrakter. Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis dengan intervensi single arm. Subjek dengan NPDR dan EMD refrakter menjalani tindakan vitrektomi dan ILM peeling. Nilai ketebalan makula sentral (CMT) dan tajam penglihatan diukur sebelum, 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan sesudah tindakan. Komplikasi pasca tindakan juga dinilai pada setiap kunjungan yang direncanakan. Rentang usia 62,5 (39-72) tahun, lama menderita diabetes 10 (3-18) tahun, kadar HbA1C 6,4 (5,5 -10,8)%. Nilai CMT sebelum, 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan sesudah tindakan adalah [492,0 (303-895) : 277,5 (97-809) : 264 (147-608) : 264,0 (142-660) µm] (p=<0,001). Tajam penglihatan terbaik adalah [1,02 (0,60-1,30) : 1,04 (0,60-1,70) : 1,06 (0,52-2,00) : 1,04 (0,52-2,00) LogMAR] (p=0,635). Terdapat komplikasi pasca tindakan pada pengamatan bulan kedua meliputi retinal detachment dan macular hole. Pada penelitian ini, tindakan vitrektomi dan ILM peeling pada pasien NPDR dengan EMD refrakter memberikan perubahan CMT yang bermakna. Tidak terdapat perubahan yang bermakna secara statistik pada nilai tajam penglihatan namun mayoritas subjek menunjukkan stabilitas tajam penglihatan.

ABSTRACT
Diabetic macular edema (DME) is one of the leading causes of blindness in diabetic patients. The main therapy of DME, up until now is intravitreal injection of anti-vascular endothelial growth factor (VEGF). In certain situation, medical dilemma appeared as in such circumstances 50% patients that underwent series of intravitreal injection of anti VEGF experienced the refractory DME. Pars plana vitrectomy and internal limiting membrane (ILM) peeling is expected to be an alternative treatment in refractory DME. The aim of this study was to assess the result of vitrectomy and ILM peeling in patients with non-proliferative diabetic retinopathy (NPDR) with refractory DME. This study was a clinical trial with single arm intervention. The patients with NPDR with DME underwent vitrectomy and ILM peeling surgery. The assessment of the central macular thickness (CMT) and the visual acuity was conducted before the treatment and 1 month, 2 months and 3 months after. The complication after the treatment was assessed in each scheduled visit. The average age was 62.5 years old with range of 39-72 years old, the history duration of diabetes mellitus was 10 years (3-18) years, level of HbA1C was 6.4 (5.5-10.8)%. The CMT before treatment, 1 month, 2 months and 3 months after treatment were [492,0 (303-895) : 277,5 (97-809) : 264 (147-608) : 264,0 (142-660) µm] (p=<0,001). The best corrected visual acuity was [1,02 (0,60-1,30) : 1,04 (0,60-1,70) : 1,06 (0,52-2,00) : 1,04 (0,52-2,00) LogMAR] (p=0,635). The recorded complication after the treatment was retinal detachment and macular hole. These complications were found on the 2nd month. This study concluded that there was a significant CMT changes in patients with NPDR and refractory DME who underwent vitrectomy and ILM peeling. There was no statistically significant changes in the visual acuity yet majority of the subjects showed a stable visual acuity after the treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58740
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anggadria Iqbal Yulian
"Latar belakang. Insidens mual dan muntah pascaoperatif masih tinggi dan berkaitan dengan meningkatnya morbiditas. Vitrektomi merupakan operasi yang sering dilakukan dengan insidens mual muntah pascaoperatif yang cukup tinggi. Modifikasi teknik anestesi adalah salah satu cara mengurangi insidens mual muntah pascaoperatif. Kombinasi opioid dengan obat anestetik inhalasi merupakan pilihan dalam rumatan anestesia umum karena mempunyai efek sinergis. Salah satu kombinasi tersebut adalah kombinasi fentanil dan sevofluran. Perbandingan dosis kombinasi fentanil dan sevofluran terhadap timbulnya efek samping mual muntah pascaoperatif belum pernah dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan insidens mual muntah pascavitrektomi antara rumatan kombinasi sevofluran 1,2% - fentanil 1,2 µg/kg/jam dengan rumatan sevofluran 2%.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal terhadap pasien yang menjalani vitrektomi dengan anestesia umum di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan Mei sampai Juli 2015. Sebanyak 62 subyek diambil dengan metode konsekutif. Pengukuran mual muntah dilakukan dengan wawancara pada subyek penelitian. Analisis data dilakukan dengan uji Chi-square dan uji Fisher sebagai uji alternatif.
Hasil. Insidens mual antara kedua kelompok perlakuan berbeda bermakna pada periode 0-2 jam pascaoperasi (p=0,032) sedangkan pada periode 2-6 jam insidens mual antara kedua kelompok perlakuan tidak berbeda bermakna (p=0,238). Insidens muntah antara kedua kelompok perlakuan pada periode 0-2 jam dan 2-6 jam pascaoperasi (p=0,236; p=0,238). Tidak ada insidens mual muntah yang terjadi pada periode 6-24 jam pascaoperasi.
Simpulan. Insidens mual dalam 2 jam pertama pascavitrektomi pada kelompok rumatan sevofluran 1,2% - fentanil 1,2 µg/kg/jam lebih rendah dibandingkan dengan kelompok sevofluran 2%.
......
Background. Incidence of postoperative nausea and vomiting (PONV) is high and related with high morbidity. Vitrectomy has a high PONV risk. Opioid-inhalation gas combination has been used commonly as an anesthetic maintenance and reported to have a sinergystic effect. Comparison of fentanyl-sevoflurane in a relationship of PONV incidence has not been studied yet. This study was designed to determine the difference of PONV incidence between maintenance combination of sevoflurane 1,2% - fentanyl 1,2 µg/kg/hour and sevoflurane 2%.
Methods. This was a single blind randomized study in patients underwent vitrectomy in general anestheisa. The incidence of nausea and vomiting of 62 subjects were recorded. Data were collected by self report and analyzed by Chi-square and Fisher test.
Results. There was a significant difference of nausea incidence between two intervention groups within 0-2 hours postvitrectomy period (p=0,032) but no significant difference within 2-6 hours postvitrectomy period (p=0,238). There was no signicant difference between two intervention groups within 0-2 and 2-6 hours postvitrectomy period (p=0,236; p=0,238). There was no nausea and vomiting incidence within 6-24 postoperative period.
Conclusion. Incidence of postvitrectomy nausea within the first 2 hour postoperative period was lower in sevoflurane 1,2% - fentanyl 1,2 µg/kg/hour group than sevoflurane 2% group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library