Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hartika Guspayane
Abstrak :
[ABSTRAK Penggunaan zat aktif dalam bentuk kombinasi pada sediaan obat merupakan hal yang sangat lazim ada dalam proses produksi sediaan obat. Namun zat aktif yang dikombinasikan dapat berinteraksi secara fisik satu sama lain. Asetaminofen merupakan zat aktif yang sering dikombinasikan dengan zat aktif yang lain dalam sediaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis interaksi pada campuran biner asetaminofen dan klorfeniramin maleat dengan menggunakan metode Differential Scanning Calorimetry (DSC). DSC merupakan metode yang umum digunakan dalam menganalisis perubahan fisik pada suatu material. Perubahan fisik yang dimaksud adalah perubahan pada fenomena-fenomena termal seperti jarak lebur, entalpi peleburan serta pembentukan campuran eutektik. Hasil analisis DSC didukung dengan melakukan analisis menggunakan X-Ray Diffractometry (XRD) dan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FT-IR). Campuran biner asetaminofen-klorfeniramin maleat dibuat dalam perbandingan (50:50) dan (99,5:0,5) dengan menggunakan metode triturasi dan spatulasi. Campuran biner asetaminofen-klorfeniramin maleat pada perbandingan berat 50:50 mengalami interaksi fisik yang ditandai dengan perubahan bentuk kurva endotermik dan penurunan kristalinitas yang teramati pada hasil analisis DSC dan XRD. Sedangkan campuran biner asetaminofen-klorfeniramin maleat pada perbandingan berat 99,5:0,5 tidak mengalami interaksi.
ABSTRACT , The use of active pharmaceutical ingredients in combination is very prevalent in the production of dosage forms. However, the active drug pharmaceutical ingredients in combination can physically interact with each other. Acetaminophen is the active pharmaceutical ingredients which are often combined with other drugs in the dosage form. This study aimed to identify and analyze the interaction of the binary mixture of acetaminophen and chlorpheniramine maleate using Differential Scanning Calorimetry (DSC). DSC is a common method used in analyzing physical change in materials. Physical changes in question are a change in the thermal phenomena such as melting point, the enthalpy of fusion and the formation of eutectic mixture. To support the results of DSC analysis was also performed the analysis using X-Ray Diffractometry (XRD) and Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FT-IR). The binary mixtures of acetaminophen-chlorpheniramine maleate were made in the ratio of (50:50) and (99.5: 0.5) by using trituration and spatula. Binary mixture of acetaminophen - chlorpheniramine maleate in a weight ratio of 50:50 undergo physical interactions which were characterized by changes in endothermic curve shape and crystallinity decrease observed in DSC and XRD analysis results. Whereas the binary mixtures of acetaminophen-chlorpheniramine maleate in a weight ratio of 99.5 : 0.5 did not experience any interaction. ]
2015
S60411
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartini Apriliyana Virgine
Abstrak :
Parasetamol merupakan salah satu obat yang paling banyak dikonsumsi masyarakat. Keterbatasan asam asetat anhidrida (AAA) sebagai bahan baku sintesis parasetamol memicu pengembangan reaksi alternatif berbahan baku asam asetat glasial (AAG) dengan memanfaatkan katalis berbasis bentonit alam. Pengembangan reaksi alternatif ini diawali dengan preparasi katalis, karakterisasi katalis, penentuan katalis terbaik, dan penentuan kondisi operasi dengan melakukan variasi kondisi meliputi suhu, perbandingan molar p-aminophenol (PAP) dan AAG, dan waktu reaksi. Preparasi bentonit ini menghasilkan 4 jenis katalis, yaitu BA (bentonit alam), BS (bentonit sintetis), HB (H-bentonit), dan ZnB (Zn-Bentonit). Berdasarkan persentase terkonversi, diperoleh dua katalis terbaik untuk reaksi alternatif pada sintesis parasetamol, yaitu BA (dengan konversi PAP 71,79 %) dan BS (dengan konversi PAP 58,20 %). ......Paracetamol is commonly and widely used by people as analgesic and antipyretic. The lack of acetic anhydride (AAA) as material in synthesis of paracetamol encourage an alternative method in reaction using acetic acid glacial (AAG) as primary reacting material with natural bentonite as catalyst. The alternative reaction consist of catalyst preparation, characterization of catalyst, choice of best catalyst, and choice of operation condition with all variation condition in temperature, molar ratio of p-aminophenol and AAG, and reaction time. Preparation of bentonite gets four kinds of catalyst, which are BA (natural bentonite), BS (activated bentonite), HB (H-bentonite), and ZnB (Zn-bentonite). Concerning the percentage conversion, two best catalysts for this alternative reaction are BA (71.79 %-conversion based on PAP) and BS (58.20 %-conversion based on PAP).
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S52267
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Roseline
Abstrak :
Emerging contaminants (ECs) merupakan polutan yang menjadi sedang menjadi perhatian. Parasetamol merupakan salah satu emerging contaminant yang dapat menyebabkan pencemaran di badan air serta memiliki toksisitas yang dapat mempengaruhi kesehatan dan lingkungan. Adsorpsi merupakan alternatif metode penyisihan ECs yang menjanjikan karena cukup efisien, hemat biaya, dan mudah untuk dioperasikan. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan efektivitas proses adsorpsi senyawa parasetamol dengan berbagai jenis adsorben, mengevaluasi pengaruh parameter operasional pH terhadap efektivitas proses adsorpsi, dan mengevaluasi potensi penggunaan kembali adsorben. Kuantifikasi parasetamol dilakukan dengan COD metode spektrofotometri dan metode separasi solid-liquid yang digunakan adalah metode separasi dengan syringe filter. Penyisihan parasetamol menggunakan berbagai adsorben, yaitu powdered activated carbon (PAC), zeolit alam, fly ash, lumpur alum nonaktivasi, lumpur terkalsinasi, dan lumpur teraktivasi asam. Analisis proses adsorpsi parasetamol dengan adsorben PAC dilakukan berdasarkan pengaruh konsentrasi adsorben, konsentrasi polutan dan pH. Berdasarkan hasil penelitian, PAC efektif menghilangkan parasetamol dengan efisiensi penyisihan COD sebesar 70,30%. Sedangkan adsorben lainnya kurang efektif karena efisiensi penyisihan COD bernilai negatif. Adsorpsi dengan PAC efektif menyisihkan parasetamol pada pH netral dan asam. Adsorben PAC memiliki potensi penggunaan kembali sebanyak dua kali dengan nilai efisiensi penyisihan >40%. ......Emerging contaminants (ECs) is a pollutant that is becoming a concern. Paracetamol is an emerging contaminant which can cause pollution in the body of water as well as have toxicity that can affect health and environment. Adsorption is an alternative method of ECs removal which is quite promising because it is highly-efficient, cost effective, and easy to operate. This study was conducted to compare the effectiveness of paracetamol adsorption process by various types of adsorbents, evaluate the effect of pH operational parameters on the effectiveness of the adsorption process, and evaluate the potential reuse of adsorbents. Quantification of paracetamol was carried out by COD spectrophotometric method and the solid-liquid separation method used was the separation method with a syringe filter. Removal of paracetamol used various adsorbents, namely powdered activated carbon (PAC), natural zeolite, fly ash, alum sludge, calcined sludge, and acid activated sludge. Analysis of the paracetamol adsorption process with PAC adsorbent was carried out based on the effect of the concentration of the adsorbent, the concentration of pollutants and pH. Based on the results of the study, PAC effectively removes paracetamol with COD removal efficiency of 70.30%. While other adsorbents are less effective because the efficiency of COD removal is negative. Adsorption with PAC effectively removes paracetamol at neutral and acidic pH. PAC adsorbent has a potential for reuse as much as one time with the allowance efficiency value > 40%.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Rizky Shadrina
Abstrak :
Demam merupakan suatu respons fisiologis apabila terjadi peningkatan suhu tubuh di atas suhu tubuh normal seseorang. Demam dapat ditangani dengan pemberian parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik. Namun, telah diketahui bahwa parasetamol memiliki produk degradasi utama yaitu p-aminofenol yang bersifat toksik bagi tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh metode analisis simultan parasetamol dan p- aminofenol yang tervalidasi menggunakan KCKT dengan detektor UV-Vis serta mengetahui beyond use date (BUD) dari sirup parasetamol yang beredar di pasaran. Analisis pada penelitian ini menggunakan kolom YMC-Triart C-18, (250 mm x 4,6 mm, 5 μm), fase gerak metanol – dapar dinatrium hidrogen ortofosfat 0,01 M pH 5,0 (30:70), mode elusi isokratik, laju alir 1,0 mL/menit, panjang gelombang analisis 232 nm. Waktu retensi untuk parasetamol yaitu 5,460 menit dan waktu retensi p-aminofenol 3,436 menit. Pada penelitian ini koefisien korelasi parasetamol dan p-aminofenol secara berurutan sebesar 0,9995 dan 0,9993 yang menunjukkan hasil linearitas yang baik. Metode ini akurat dengan perolehan kembali 98,13-101,55% untuk parasetamol, 99,22-101,91% untuk p-aminofenol. Metode ini memenuhi parameter validasi yang dipersyaratkan oleh ICH Q2 (2005) dan Harmita (2015) sehingga dapat digunakan untuk menganalisis kadar dari sirup parasetamol. Penetapan BUD dilakukan dengan menganalisis kadar selama 38 hari dan ditetapkan melalui hasil perhitungan t90 untuk keseluruhan sampel yang diuji, yaitu mencapai 52 hari. ......Fever is a physiological response when the body temperature is increased above normal. Fever can be treated by giving paracetamol as an analgesic and antipyretic. However, it is known to have the main degradation product, namely p-aminophenol, that is toxic to the body. This study aims to obtain a validated simultaneous analytical method of paracetamol and p-aminophenol using HPLC with UV-Vis detector and to determine the beyond use date (BUD) of paracetamol syrup that are sold on the market. The analysis of paracetamol and p-aminophenol was conducted using YMC-Triart C-18 (250 mm x 4.6 mm, 5 μm) column with a mobile phase of methanol – disodium hydrogen orthophosphate buffer 0.01 M pH 5.0 (30:70), isocratic elution mode, a flow rate of 1.0 mL/min with UV detection at 232 nm. The retention time for paracetamol was 5.460 minutes, while for p- aminophenol was 3.436 minutes. The correlation coefficient of paracetamol and p- aminophenol was 0.9995 and 0.9993, respectively, which indicated good linearity. This method was considered accurate with the recovery of 98.13-101.55% for paracetamol and 99.25-101.91% for p-aminophenol. This method meets the validation parameters required by ICH Q2 (2005) and Harmita (2015), and thus can be used to analyze the concentration of paracetamol syrup. Determination of BUD was carried out by analyzing the concentration amount for 38 days and determined through the results of the t90 calculation for the entire sample tested, which is 52 days.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Yosep Dhimas
Abstrak :
Konsumsi obat-obatan seperti parasetamol yang tinggi berkontribusi terhadap jumlah limbah farmasi di perairan. Di sisi lain, proses pengolahan limbah farmasi menjadi tantangan krusial karena beberapa hambatan. Microbial Fuel Cell (MFC) muncul sebagai alternatif menjanjikan dengan kemampuannya mendegradasi limbah farmasi tanpa memerlukan energi eksternal, bahkan menghasilkan listrik. Penelitian ini bertujuan merancang model skema dan persamaan MFC kompartemen ganda degradasi parasetamol yang valid. Metode penelitian ini ialah pembuatan model MFC kompartemen ganda berbentuk tiga dimensi menggunakan model kinetika Monod-Butler-Volmer. Hasil estimasi parameter model MFC degradasi parasetamol menunjukkan nilai parameter KPCT rata-rata sebesar 2,94 × 10-3 mol/m3; KOksigen 3,34 × 10-3 mol/m3; kAnoda 1,76 × 10-3 mol/(m3·s); dan kKatoda 3,20 × 10-3 mol/(m3·s). Hasil perbandingan data simulasi dengan eksperimen menunjukkan AARD rentang 1,9-3,21%. Perolehan parameter kinetika tertinggi pada pH yang bervariasi terdapat pada data simulasi variasi pH kompartemen anoda 8,2, yaitu KPCT sebesar 1,43 × 10-3 mol/m3; KOksigen 2,09 × 10-3 mol/m3; kAnoda 1,46 × 10-3 mol/(m3·s); dan kKatoda 1,43 × 10-3 mol/(m3·s). Data simulasi menunjukkan penurunan profil konsentrasi parasetamol linear, sehingga sistem MFC diproyeksi dapat menjadi metode alternatif untuk mendegradasi parasetamol. ......The consumption of pharmaceuticals such as paracetamol, which remains high every year, contributes to the amount of pharmaceutical waste in water bodies. The process of treating pharmaceutical waste presents a crucial challenge due to several obstacles. Microbial Fuel Cells (MFCs) have emerged as a promising alternative with their ability to degrade pharmaceutical waste while generating electrical energy without requiring external energy. This study aims to design a valid model scheme and equations for a dual-chamber MFC for paracetamol degradation. This research was conducted with the aim of designing a valid dual compartment MFC schematic model and equation for paracetamol degradation in a 3D dual-chamber MFC model using the Monod-Butler-Volmer kinetic model. The parameter estimation results showed average parameter values of KPCT at 2.94 × 10-3 mol/m3; KOxygen at 3.34 × 10-3 mol/m3; kAnode at 1.76 × 10-3 mol/(m3·s); and kCathode at 3.20 × 10-3 mol/(m3·s), with AARD in the range of 1.9-3.21%. The highest kinetic parameter values for varying pH were found in the simulation data for anode pH variation 8.2, with KPCT at 1.43 × 10-3 mol/m3; KOxygen at 2.09 × 10-3 mol/m3; kAnode at 1.46 × 10-3 mol/(m3·s); and kCathode at 1.43 × 10-3 mol/(m3·s). Simulation data shows a linear decrease in the paracetamol concentration profile, so that MFC system is projected to be an alternative method for degrading paracetamol.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nafisa Thahira
Abstrak :
Lemak biji tengkawang berpotensi digunakan sebagai basis supositoria karena kelebihan yang dimiliki yaitu, titik leleh lemak biji tengkawang berada pada rentang 35-39°C yang dapat meleleh pada suhu tubuh manusia, mengeras pada suhu kamar, dan tidak mudah teroksidasi. Lemak biji tengkawang termasuk kedalaman bahan baku yang berasal dari dalam negeri dan merupakan keuntungan terbesar dari segi biaya maupun non biaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakterisasi dan konsentrasi lemak biji tengkawang sebagai basis supositoria serta untuk mengembangkan formula sediaan supositoria dengan lemak biji tengkawang sebagai basisnya dan parasetamol sebagai model obatnya. Terdapat tiga formula (F1,F2, F3) sediaan supositoria yang dibuat dengan metode cetak tuang, yaitu metode pembuatan supositoria dimana basis supositoria yang sudah dilelehkan di dispersikan dengan zat aktif kemudian dituang kedalam cetakan supositoria, dibiarkan mendingin, dan dikeluarkan dari cetakan setelah mengeras. Kemudian, dilakukan karakterisasi lemak biji tengkawang sebagai basis supositoria dan sediaan supositoria. Berdasarkan pengujian, lemak biji tengkawang dapat digunakan sebagai basis supositoria karena jarak lebur lemak biji tengkawang berada pada rentang 31-39℃ sehingga dapat melunak dan meleleh pada suhu rektal, pH 6,6-6,7, stabil pada penyimpanan, tidak cepat teroksidasi, dan tetap dalam bentuk solid pada suhu ruang. F1 (parasetamol 250 mg, lemak biji tengkawang 81,48%, cera alba 4%, tween 2%, alfa tokoferol 0,02%) dipilih sebagai formula yang paling optimal untuk supositoria dengan model obat parasetamol karena sesuai dengan persyaratan dan memiliki karakteristik yang diinginkan yaitu, melunak dan meleleh pada suhu rektal, pH 6,8-6,9, dari aspek organoleptis yang paling baik, dan memiliki kesesuaian kadar paling tinggi yakni 100,39±0,09%. ......Tengkawang seed fat has the potential to be used as a suppository base because of its advantages, such as, the melting point of tengkawang seed fat is in the range of 35-39°C which can melt at human body temperature, solidfy at room temperature, and resists oxidation. As a domestically sourced raw material, tengkawang seed fat offers significant cost and non-cost benefits. This study aims to determine the characterization and concentration of tengkawang seed fat as the basis of suppository and to develop a formula for suppository preparations with tengkawang seed fat as the base and paracetamol as the drug model. There are three formulas (F1, F2, F3) of suppository preparations made by the pour molding method, a suppository manufacturing method where the melted suppository base is dispersed with the active substance, poured into the suppository mold, allowed to cool, and removed from the mold after solidfication. Then, the characterization of tengkawang seed fat as a suppository base and the resulting suppository formulations were conducted. Based on the test, tengkawang seed fat can be used as a suppository base because the melting distance of tengkawang seed fat is in the range of 31-39 °C so that it can soften and melt at rectal temperature, pH 6.6-6.7, stable in storage, resists oxidation, and remains in solid form at room temperature. F1 (paracetamol 250 mg, tengkawang seed fat 81.48%, cera alba 4%, tween 2%, alpha-tocopherol 0.02%) was chosen as the most optimal formula for suppositories with the paracetamol drug model because it meets the requirements and has the desired characteristics, namely, softening and melting at rectal temperature, pH 6.8-6.9, from the best organoleptic aspect, and showed the highest content uniformity at 100.39±0.09%.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ocsyavina
Abstrak :

Latar Belakang: Kanker hati, khususnya karsinoma sel hati (KSH), adalah masalah kesehatan utama secara global, dengan rekurensi dan tingkat kematian yang tinggi. Peradangan kronis dan stres oksidatif adalah faktor utama dalam perkembangan KSH. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa parasetamol, obat anti-inflamasi umum, dapat mencegah KSH dengan menghambat jalur siklooksigenase (COX) dan mengurangi peradangan serta stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek hepatoprotektif asetaminofen terhadap insiasi KSH oleh Diethylnitrosamine (DEN) pada tikus jantan.

Metode : Tikus Jantan jenis Sprague-Dawley (usia 5-6 minggu, Berat badan 240-290gr) dibagi kedalam kelompok kontrol dan perlakuan (masing-masing 6 tikus tiap kelompok) kedua kelompok diinisiasi KSH dengan injeksi DEN (50mg/kgBB) intraperitoneal setiap minggu selama 10 minggu. Kelompok perlakuan diberikan asetaminofen 200 mg/kg/hari peroral 1 minggu sebelum diberikan DEN sampai 24 minggu. Dilakukan pemeriksaan biomarka fungsi hati (AST, ALT,AFP, Bilirubin dan albumin) dan dilakukan pemeriksaan histopatologi sel hati. Data dianalisis menggunakan SPSS. Normalitas data dinilai dengan uji Shapiro-Wilk. Setelah itu, dilakukan uji analisis numerik tidak berpasangan berupa uji T-test tidak berpasangan

Hasil : Kelompok asetaminofen (perlakuan) menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam nilai AST, ALT dan bilirubin dari waktu ke waktu serta nilai AST, ALT dan bilirubin yang lebih baik dari kelompok kontrol (p < 0.05). Tikus dalam kelompok kontrol mengalami kerusakan hati yang substansial dan kematian dini, sedangkan tikus dalam kelompok perlakuan menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup dan fungsi hati yang lebih baik. Analisis histopatologis mengungkapkan lebih sedikit perubahan nekrotik dan prakanker pada kelompok perlakuan. Selain itu, tingkat albumin berhubungan signifikan dengan manifestasi sirosis (p = 0.005), dan tingkat ALT serta bilirubin berkorelasi dengan kondisi prakanker (p < 0.05).

Kesimpulan: Asetaminofen dengan dosis 200 mg/kg berat badan memiliki efek protektif pada hepatosit tikus terhadap kerusakan hati dan potensi karsinogenesis yang diinduksi oleh DEN. Studi ini dapat dikembangkan lebih lanjut untuk penelitian lanjutan yang mempertimbangkan penggunaan asetaminofen pada pasien dengan fibrosis hati yang menjalani reseksi hati untuk mencegah kekambuhan dan mengurangi peradangan pada pasien yang menjalani reseksi hati. ......Background: Liver cancer, particularly hepatocellular carcinoma (HCC), is a major global health issue, with high recurrence and mortality rates. Chronic inflammation and oxidative stress are key factors in the development of HCC. Previous studies have shown that paracetamol, a common anti-inflammatory drug, can prevent HCC by inhibiting the cylclooxygenase (COX) pathway and reducing inflammation and oxidative stress. This study aims to investigate the hepatoprotective effects of acetaminophen against diethylnitrosamine (DEN)-induced liver carcinoma in male rats.

Methods: Male Sprague-Dawley rats (5-6 weeks old, 240-290g) were divided into control and treatment groups (6 rats each). Both groups initiated HCC with DEN (50 mg/kg body weight) intraperitoneally once a week for 10 weeks. The treatment group additionally received acetaminophen (200 mg/kg/day) from one week before DEN administration until the 24th week. Liver function biomarkers (AST, ALT, AFP, Bilirubin and albumin) were measured, and liver tissues were histopathologically evaluated. Data were analyzed using SPSS, employing Shapiro-Wilk tests for normality and unpaired T-tests for comparisons.

Results: Acetaminophen group resulted in significant differences in Aspartate Aminotransferase (AST), Alanine Aminotransferase (ALT), and bilirubin values over time and had better AST, ALT, bilirubin levels compared to control group (p < 0.05). Control group rats exhibited substantial liver damage and early death, whereas the treatment group showed improved survival and liver function. Histopathological analysis revealed fewer necrotic and pre-cancerous changes in the treatment group. Albumin levels were significantly associated with cirrhosis manifestation (p = 0.005), and ALT and bilirubin levels correlated with pre-cancerous conditions (p < 0.05).

Conclusions: Acetaminophen at 200 mg/kg body weight has protective effect on rat hepatocytes against DEN-induced liver damage and potential carcinogenesis. This study can be further developed for future research to be considered for use in patients with liver fibrosis undergoing liver resection to prevent recurrence and reduce inflammation in patients undergoing liver resection.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Adriansyah
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Indometasin dan ibuprofen merupakan standar obat yang digunakan untuk menutup duktus arteriosus persisten dengan gangguan hemodinamik signifikan (hemodinamically significant patent ductus arteriosus, hs-PDA). Sediaan injeksi intravena dari kedua obat tersebut belum tersedia di Indonesia. Beberapa laporan kasus serial sebelumnya menunjukkan parasetamol intravena dapat menjadi alternatif pengobatan hs-PDA pada bayi prematur. Tujuan. Untuk mengevaluasi efek parasetamol intravena dalam penutupan PDA pada bayi prematur. Metode. Desain kuasi-eksperimental dilakukan mulai 15 Mei sampai 31 Agustus 2014 di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Kriteria diagnosis hs-PDA berdasarkan ekokardiografi dan diameter duktus diukur dari pandangan parasternal sumbu pendek atau pandangan suprasternal sumbu panjang. Bayi prematur usia 2-7 hari diberikan parasetamol intravena dosis 15 mg/kg tiap 6 jam diberikan selama 3-6 hari dan dipantau sampai usia kronologis 14 hari. Uji Fischer exact digunakan untuk menilai hubungan antara kelompok bayi dengan penutupan PDA. Uji t berpasangan digunakan untuk menilai perubahan diameter duktus antara sebelum dan sesudah intervensi. Hasil penelitian dinyatakan bermakna jika P<0,05. Hasil. Sebanyak 29 bayi diikutsertakan dalam penelitian. Rerata usia gestasi 30,8 minggu dan berat lahir 1347 gram. Sembilan belas berhasil menutup, 1 reopening, 9 gagal menutup, dan tidak ditemukan intoksikasi hati. Tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok bayi berdasarkan usia gestasi dan berat lahir dalam penutupan PDA. Rerata diameter duktus sebelum intervensi 3,0 mm dan saat pemantauan usia empatbelas hari 0,6 mm. Diameter duktus berkurang sebelum dan sesudah intervensi (P<0,0001). Kesimpulan. Parasetamol intravena efektif dalam penutupan PDA pada bayi prematur.
ABSTRACT
Introduction. Indomethacin and ibuprofen are standard drugs for closing hemodynamically significant patent ductus arteriosus (hs-PDA) in premature babies. Intravenous injection for both drugs is not yet available in Indonesia. Some previous case series shown intravenous paracetamol can be used as an alternative treatment of hs-PDA in premature babies. Objective. To evaluate intravenous paracetamol effect on closure of PDA in premature babies. Methods. Quasi-experimental design was conducted from May 15th to August 31th 2014 in the Dr. Ciptomangunkusumo General Hospital. Echocardiographic diagnosis of PDA was measured from parasternal-short-axis-view or suprasternal-long-axis-view. The premature babies aged 2 to 7 days were administered intravenous paracetamol of 15 mg/kg every six hours for a-3 day cycle and followed up to chronological age of 14 days. Fischer exact test was used to assess the association between babies group and closure of PDA. Pair t test was used to evaluate duct diameter between before, after intervention, and a-14 day follow up. P<0.05 was considered as statistically significant. Results. Twenty-nine babies were included. Mean of gestational age was 30.8 weeks and birth weight was 1347 gram. Nineteen (65.5%) cases were successfully closed, 1 case reopening, 8 cases failed, and no hepatic intoxication seen. No significant differences between babies group on closure of PDA. The mean of duct diameter before, after intervention, and a-14 day follow up were 3.0 mm, 0.9 mm, and 0.6 mm, respectively (P<0.0001). Conclusion. Intravenous paracetamol is quite effective on closure of PDA in premature babies.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margaretha Gunawan
Abstrak :
Latar Belakang: Nyeri pascaoperasi menyebabkan penglepasan sitokin proinflamasi yang secara resiprokal dapat memodulasi sensitifitas nyeri. Asetaminofen merupakan analgetik yang sering digunakan dan bekerja pada susunan saraf pusat, sedangkan ibuprofen menghambat siklooksigenase dan diyakini dapat mengurangi penglepasan sitokin. Penelitian ini membandingkan ibuprofen intravena 800 mg dan asetaminofen intravena 1000 mg dalam mengurangi respons inflamasi pascaoperasi ekstremitas bawah dengan parameter konsentrasi IL-6 dan CRP sebagai penanda nyeri.Metode: Uji klinis acak tersamar ganda dengan kontrol aktif di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada Juli - November 2017. Setelah mendapatkan izin dari Komite Etik, 62 subjek yang menjalani pembedahan elektif ortopedi ekstremitas bawah dialokasikan secara acak menjadi 2 kelompok. Kelompok A Asetaminofen mendapatkan asetaminofen intravena 1000 mg sedangkan Kelompok I Ibuprofen mendapatkan ibuprofen intravena 800 mg masing-masing setiap 6 jam. Sampel darah untuk pemeriksaan respons inflamasi IL-6 dan CRP diambil sesaat sebelum selesai pembedahan sebelum obat dimasukkan, 4, 6, dan 24 jam setelah pemberian obat pertama kali. Derajat nyeri VAS saat istirahat maupun bergerak diukur pada saat setelah pasien tersadar dari pembiusan, 4, 6, 8 dan 24 jam pascaoperasi. Hasil: Serum IL-6 dan CRP tidak berbeda bermakna antara kelompok A dan I pada semua waktu pengukuran. VAS saat bergerak dan istirahat lebih rendah pada kelompok I pada 24 jam pascabedah p
Background Postoperative pain causes release of proinflammatory cytokines that reciprocally modulate pain sensitivity. Acetaminophen is a commonly used analgesic and acts on central nervous system, whereas ibuprofen inhibits cyclooxygenase and is believed to reduce cytokine release. This study compared intravenous ibuprofen 800 mg and intravenous acetaminophen 1000 mg in reducing postoperative inflammatory responses in lower extremity surgery with IL 6 and CRP as pain indicator.Methods Double blind randomized clinical trial with active control at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in July November 2017. After obtaining approval from Ethics Committee, 62 subjects undergoing elective orthopedic surgery of lower extremities were randomly assigned to 2 groups. Group A Acetaminophen received 1000 mg intravenous acetaminophen while Group I ibuprofen received 800 mg intravenous ibuprofen every 6 hours respectively. Blood samples for inflammatory responses IL 6 and CRP were taken at the end of surgery prior to administration of study drug, 4, 6, and 24 hours afterward. Pain VAS at rest and with movement was assessed immediately after the surgery when patient recovered, 4, 6, 8 and 24 hours postoperative.Results There is no significant difference in serum IL 6 and CRP between group A and I at all time measurements. VAS at rest and with movement was lower in group I at 24 hours postoperative p.
Depok: Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhilah Amalina Putri Joni
Abstrak :
Jamu merupakan obat tradisional Indonesia yang telah dimanfaatkan masyarakat sejak dahulu. Beberapa orang menyalahgunakan jamu dengan cara menambahkan bahan kimia obat untuk meningkatkan efek terapi. Penggunaan bahan kimia obat pada jamu melanggar hukum yang ada serta berbahaya bagi masyarakat. Salah satu jamu yang sering ditambahkan bahan kimia obat adalah jamu rematik, dengan penambahan obat golongan anti inflamasi. Pada penelitian ini dilakukan validasi metode analisis dari Metampiron, Asam Mefenamat, dan Parasetamol di dalam jamu rematik menggunakan KLT Densitometri. Jamu yang telah diekstraksi dengan etanol dianalisis menggunakan KLT Densitometri dengan fase gerak toluen-etanol 6:4 . Batas deteksi dan kuantitasi metampiron, asam mefenamat, dan parasetamol berturut-turut 46,39 g/mL, 154,66 g/mL; 43,29 g/mL, 144,29 g/mL; dan 30,92 g/mL, 103,08 g/mL. Dari sepuluh sampel yang diperiksa, lima diantaranya positif mengandung parasetamol dengan kadar sampel WT 4,96 ,GS 3,98 , AK 5,95 , KJ 4,62 , dan MN 27,91. ......Jamu is a traditional medicine in Indonesia that has been used for centuries to maintain a good health. Some people add chemical drug into jamu to improve the therapeutic effect. This is a violation of the law and maybe harmful to health. Jamu for rheumatoid arthritis are often found contain added anti inflamatory drug. This study aims to validate analytical method of Methampyrone, Mefenamic Acid, and Paracetamol in jamu for rheumatoid arthritis by TLC Densitometry. The sample jamu was extracted ethanol is analyzed with TLC densitometry using toluene ethanol 6 4 as the mobile phase. This method was fulfilled the validation with limit of detection and limit of quantitation respectively for methampyrone, mefenamic acid, and paracetamol are 46.39 g mL, 154.66 g mL 43.29 g mL, 144.29 g mL and 30.92 g mL 103.08 g mL. Out of ten samples analyzed, five of them contained paracetamol at a concentration of WT 4.96 ,GS 3.98 , AK 5.95 , KJ 4.62 , and MN 27.91.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S68362
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>