Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Scott, James C.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000
305.563 Sco s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Marhaeni Pudji Astuti
Abstrak :
ABSTRAK
Subsektor agroindustri merupakan salah satu sektor penting untuk pertumbuhan ekonomi di luar sektor lain. Setidaknya dipandang dari sumbangannya terhadap ekonomi secara makro inaupun kesempatan kerja yang diciptakannya. Agroindustri minyak kayu putih di Gundih Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. merupakan salah satu contoh yang menarik dalam melihat salah satu fenomena, yaitu pergeseran kesempatan kerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian. Agroindustri minyak kayu putih milik Kesatauan Pemangkuan Hutan (KPH) Gundih ini merupakan satusatunya di Jawa Tengah dan pemasok kebutuhan minyak kayu putih pada 19 perusahaan di samping perorangan yang membutuhkan.

Luas lahan kayu putih di KPH Gundih 3.167.30 ha menghasilkan minyak kayu putih tiap tahun rata-rata 57.209,17 liter, dan menyerap lebih dari 900 tenaga kerja. Namun kesemuanya itu tergantung dari fluktuasi musim. Termasuk dari tenaga kerja itu adalah perempuan penduduk sekitar sebagai buruh borongan.

Proses kerja dalam agroindustri minyak kayu putih ini meliputi perawatan persemaian, pengurutan, dan pembuatan briket. Aktivitas kerja tersebut dilakukan pada dua tempat yang berbeda, yaitu di hutan dan di sekitar pabrik. Satu ciri khas yang menonjol dalam proses kerja di kedua tempat tersebut (hutan dan pabrik) adalah sifat labour .intensive, yang dii.si oleh angkatan kerja utama peremperempuan, adanya pembagian kerja antara buruh laki-laki dan perempuan. Berta hubungan kerja mereka.

Lokasi produksi berada di wilayah pedesaan. memberikan penjelasan bahwa keberadaan agroindustri ini memanfaatkan keuntungan komperatif dari pasar tenaga kerja yang murah. Masuknya angkatan kerja perempuan desa sebagai mayoritas buruh dalam agroindustri minyak kayu putih inidapat dijelaskan melalui mekanisme penawaran dan perm.intaan tenaga kerja. Secara umum terjadi kondisi surplus tenaga kerja perempuan di pedesaan, akibat pertambahan penduduk dan keterbatasn kesempatan kerja di sektor pertanian, karena sempitnya lahan dan ketidaksuburan tanah. Dari sisi penawaran, penawaran yang ada secara historis telah didefinisikan menjadi pekerjaan bersifat feminin. Mengenai pembagian kerja antara buruh laki-laki dan buruh perempuan di agroindustri minyak kayu putih -- yaitu perempuan sebagai perawat persemaian, pengurut daun dan pembuat briket, sedangkan buruh laki-laki mengoperasikan mesin dan tukang pangkas -- bisa dilihat dengan teori pembagian kerja secara seksual yang melestarikan perbedaan laki-laki dan perempuan dari sudut biologis ke dunia kerja.

Kombinasi dari kondisi, tersebut menyebabkan buruh perempuan dalam agroindustri ini menjadi marginal dan berupah rendah. Dalam kurun waktu 25 tahun (1970 - 1995) tingkat upah buruh perempuan di unit usaha ini secara nominal meningkat, tetapi daya belinya merosot.

Kondisi upah yang rendah tersebut disertai Pula dengan kondisi kerja tidak memenuhi syarat-syarat kerja. Gambaran seperti ini umumnya terjadi pada unit-unit perusahaan. Dari segi upah meski tergolong besar untuk ukuran sumbangan mereka pada ekonomi rumah tangga. namun masih di bawah upah minimum regional (untuk Jawa Tengah). Kecuali bagi pengurut daun yang mau bekerja seharian akan memperoieh hasil banyak, karena dibayar berdasarkan hasil timbangan. Upah Minimum Regional (UMR) Jawa Tengah pada tahun 1995 adalah sebesar Rp 2.700, sedangkan penerimaan perempuan buruh perawat persemaian Rp 2.500 per hari dan buruh laki-laki Rp 3.000 per hari. Perempuan pembuat briket juga dibayar sesuai dengan yang dihasilkan.

Kekhususan yang agak menonjol dari dinamika tenaga kerja di dalam agroindustri minyak kayu putih ini adalah adanya pembagian kerja yang sudah mapan, yaitu semua buruh perempuan menjadi perawat persemaian, pengurut daun dan pembuat brirket, sedangkan buruh laki-laki sebagai mandor, tukang pangkas dan megoperasikan mesin. Selain itu dinamika hubungan kerja mereka mempunyai kekhususan, di mana tukang pangkas tergantung tukang urut. demikian pula sebaliknya, karena gaji tukang pangkas di samping gaji bulanan juga diambilkan dari setiap kilogram daun yang ditimbang.

Namun dalam penelitian nampaknya ketergantungan itu tidak berlaku. Tukang urut lebih suka memangkas pohon kayu putih sendiri daripada menunggu dipangkaskan tukang pangkas.

Hal lain yang menonjol adalah berkaitan dengan kecilnya kesempatan kerja yang ada, terutama di luar sektor pertanian dan berkait pula dengan kebanyakan status inferior yang disandang buruh perempuan di sana. Ini menyebabkan hampir semua perempuan di desa sekitar hutan ramairamai memasuki peluang kerja di agroindustri minyak kayu putih. Didukung dengan status perkawinan mereka yang menikah pada usia muda. tingkat pendidikan rendah dan latar belakang dari keluarga miskin, makin memperlemah pasisi mereka dalam pasar tenaga kerja.

Marginalisasi dan feminisasi pekerjaan juga berlaku di agroindustri minyak kayu putih ini. Yakni semua pekerjaan yang memerlukan ketekunan, kesabaran, ketelitian dan berupah rendah dengan status harian lepas. semua dijabat oleh perempuan. Buruh perempuan ini juga babas direkrut dan diberhentikan kapan saja oleh mandor tergantung fluktuasi musim. Hal ini diperkuat oleh pandangan mandor (buruh laki-laki) bahwa yang cocok untuk men.jadi tukang urut, perawat persemaian dan pembuat biket adalah perempuan.

Mobilitas vertikal buruh dalam lingkungan kerja sangat terbatas. Buruh perempuan berapa pun lamanya is bekerja tetap sebagai buruh harian lepas, sementara untuk staf selalu dijabat oleh laki-laki. Dalam sistem ketenagakerjaan agroindustri ini terjadi segmentasi pasar tenaga kerja. antara buruh perempuan dan buruh laki-laki. Buruh perempuan yang merupakan buruh harian dapat diberhentikan saat volume kerja menururn dan direkrut kembali jika lahan kayu putih yang akan digarap meningkat. Sementara buruh laki-laki bekerja sepanjang perusahaan tersebut masih beroperasi.

Perekrutan tenaga kerja dilakukan oleh mandor sebagai perpanjangan tangan Perhutani. Pola hubungan social mandor-buruh di dalam lingkungan kerja berjalan paralel sebagai relasi patron-client di dalam komunitas mereka. Mandor secara tidak langsung berfungsi pula sebagai "polisi" yang mengawasi tingkah laku dan Cara kerja buruh. Dengan demikian perusahaan akan mendapat jaminan terrapai target perolehan daun kayu putih. Mandor pula yang menentukan jadwal buruh di hutan karena dia yang tabu kebutuhan di lapangan.

Agroindustri minyak kayu putih di KPH Gundih Kabupaten Grobogan Jawa Tengah memang mempunyai dampak menyediakan lapangan kerja yang cukup luas. Akan tetapi belum diikuti dengan perbaikan nasib buruh melalui peningkatan upah yang layak sekaligus dapat mendorong daya beli.
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Judhi Setianegara
Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1986
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kolff, G. H. van der
Abstrak :
Agricultural laborers are usually found used in connection with the industrial worker who must live on a wage in cash. Within this limited conception the significance of the subject for the Netherlands Indies is certainly much less than for states with a highly developed factory industrial system and a large working population, for the Netherlands Indies is primarily an agricultural country. In so far as one can or will speak of a working class amongst the agricultural population there are two things to be kept in mind. Who are carrying out jobs in native agriculture in various sorts of subordinate relationships or are working in the foreign estate agriculture the so-called “cultures”. This book includes : in the time of the old labour systems, the introduction of the Kedok System, forms of Labour in 1922, and forms of labour in 1936.
Amsterdam: The Institute of Pacific Relations, [19--?]
K 305.563 KOL h
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Harnendra Dwi Abikusumo
Abstrak :
Pelindungan hak-hak petani atas tanah secara normatif sudah ditegaskan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Namun secara empiris, petani masih belum mendapatkan kesejahteraan dari tanahnya. Sedangkan, kehidupan dan penghidupan mereka sangat tergantung dari sumber daya tersebut. Bahkan, beberapa petani memiliki luasan tanah yang sangat kecil sehingga mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Petani gurem semacam itu sangat membutuhkan Pelindungan terhadap hak-hak atas tanah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengamati ketentuan hukum di Indonesia yang mengatur tentang Pelindungan dan pemberdayaan petani. Selain itu juga mengamati implementasi kebijakan untuk melindungi dan memberdayakan petani gurem dalam kerangka reforma agraria. Metode yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah non-doktrinal dengan menggunakan pendekatan sosio-legal. Hal ini guna mengumpulkan data primer yakni melalui studi lapangan dan data sekunder melalui studi kepustakaan. Selanjutnya, data tersebut dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dinyatakan bahwa Pelindungan dan pemberdayaan petani dalam ketentuan hukum di Indonesia cenderung meluas dan seringkali terjadi tumpang tindih kewenangan. Selain itu pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja banyak mengancam hak-hak petani atas tanah. Selanjutnya pelaksanaan Pelindungan dan pemberdayaan petani melalui reforma agraria belum optimal dikarenakan penggunaan Hak Milik Bersama sebagai alas hak. Juga pemberdayaan petani yang melalui program pemerintah seringkali masih terpecah-pecah dan cenderung sektoral. ......The normative protection of farmers' rights to land has already been affirmed within Law Number 5 of 1960 concerning the Basic Principles of Agrarian Affairs. However, empirically, farmers are still not reaping prosperity from their land. Their lives and livelihoods, however, heavily rely on these resources. In fact, some farmers possess very small land holdings that do not sufficiently meet their basic needs. Farmers in such marginalized situations critically require protection for their land rights. The objective of this research is to examine the legal provisions in Indonesia that regulate the protection and empowerment of farmers. It also scrutinizes the implementation of policies to protect and empower marginalized farmers within the framework of agrarian reform. The method employed in this legal research is non-doctrinal, using a socio-legal approach to gather primary data through field studies and secondary data through literature review. Subsequently, the data is qualitatively analyzed. From the analysis results, it can be stated that the protection and empowerment of farmers within legal provisions in Indonesia tend to expand and often lead to jurisdictional overlaps. Furthermore, the regulations within Law Number 2 of 2022 concerning Job Creation significantly threaten farmers' land rights. Moreover, the implementation of protection and empowerment of farmers through agrarian reform has not been optimal due to the use of Collective Ownership Rights as a basis for rights. Also, government-led empowerment programs for farmers often remain fragmented and tend to be sectoral.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deasy Eka Dwivany
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara karakteristik migrandengan pola ikatan buruh wanita migran ke daerah asal serta hubungan ikatan migranterhadap daerah asalnya dengan pengambilan keputusan domestik migran wanita dalamkeluarga. Hasil penelitian ini yaitu jika jenis ikatan buruh migran berdasarkan kehadiranfisikmya, maka karakteristik buruh migran wanita yang dominan yaitu buruh migranwanita dengan beban sosial rendah. Sedangkan jika jenis ikatan buruh migranberdasarkan kontribusi ekonominya, maka karakteristik buruh migran wanita digambarkan dengan buruh migran wanita dengan beban sosial yang cukup tinggi. Semakindewasa usia buruh migran wanita, semakin rendah frekuensi untuk pulang ke daerah asaldan tingginya kontribusi ekonomi buruh migran wanita ke daerah asal dipengaruhi olehstatus pernikahan buruh migran wanita. Hubungan antara ikatan buruh migran wanitaterhadap daerah asal berdasarkan kehadiran fisik dengan pengambilan keputusandomestik yaitu, semakin tinggi tingkat kehadiran di daerah asalnya maka pengambilankeputusan domestik dalam keluarga dilakukan secara bersama dengan anggota keluarga.Hubungan antara ikatan buruh migran wanita terhadap daerah asal berdasarkan kontribusiekonomi dengan pengambilan keputusan domestik yaitu, semakin tinggi pengiriman uangke daerah asal maka pengambilan keputusan domestik dalam keluarga dilakukan secarabersama dengan anggota keluarga. Semakin tinggi ikatan buruh migran wanita dengandaerah asal, maka pengambilan keputusan dilakukan secara bersama. ......This study aims to analyze the relationship between the characteristics of migrants withthe pattern of female migrant worker bonds to the area of origin and the relationship ofmigrant ties to their home region with the decision of domestic migrant women in thefamily. The result of this research is that if the type of migrant worker bond is based ontheir physical presence, the dominant female migrant worker characteristic is femalemigrant worker with low social burden. Whereas, if the type of migrant worker bonds isbased on their economic contribution, the characteristics of female migrant workers areillustrated by female migrant workers with a high social burden. The more mature the ageof female migrant workers, the lower the frequency to return home and the high economiccontribution of female migrant workers to the area of origin is affected by the maritalstatus of female migrant workers. The relationship between female migrant workers 39 tiesto the origin region is based on physical presence with domestic decision making ie, thehigher the attendance level in the area of origin, the domestic decision making in thefamily is carried out jointly with the family members. The relationship between thefemale migrant worker 39 s bond to the origin region is based on the economic contributionto the domestic decision making ie, the higher the money transfer to the area of originthen the domestic decision making in the family is done together with the familymembers. The higher the ties of female migrant workers to the regions of origin, then thedecision making is done together.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amartya Elisa Siadari
Abstrak :
Rumah tangga buruh tani termasuk ke dalam rumah tangga miskin di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pendapatan buruh tani yang rendah dan tidak tetap. Beberapa penelitian mengenai kemudahan untuk mengakses pinjaman dapat meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan pinjaman yang diterima rumah tangga buruh tani terhadap pengeluaran rumah tangga buruh petani. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari IFLS (Indonesia Family Life Survey) gelombang 5 tahun 2014 serta data PODES (Potensi Desa) tahun 2014. Dalam survei IFLS terdapat bagian yang membahas data ekonomi responden yang berprofesi sebagai pekerja bebas di sektor pertanian. Data PODES memberikan informasi mengenai ketersediaan infrastruktur dan potensi yang dimiliki oleh wilayah-wilayah di Indonesia. Jumlah bank umum dan koperasi simpan pinjam dari data PODES digunakan untuk penelitian ini. Metode regresi OLS (Ordinary Least Square) digunakan dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini menunjukkan rumah tangga buruh tani yang memiliki pinjaman, mempunyai pengeluaran per kapita rumah tangga yang lebih besar dibandingkan yang tidak memiliki pinjaman. ......Farm labor households are among the poorest households in Indonesia. This is due to the low and irregular income of farm laborers. Several studies have shown that easy access to loans can improve the welfare of farmers through increased household income and expenditure. This study aims to examine the relationship of loans received by farm labor households to farm labor household expenditures. The data used in this study are secondary data obtained from IFLS (Indonesia Family Life Survey) wave 5 in 2014 and PODES (Potensi Desa) data in 2014. In the IFLS survey, there is a section that discusses the economic data of respondents who work as free laborers in the agricultural sector. PODES data provides information on the availability of infrastructure and the potential of regions in Indonesia. The number of commercial banks and savings and loan cooperatives from the PODES data is used for this study. The OLS (Ordinary Least Square) regression method is used in this study. The results of this study show that farm labor households with loans have higher per capita household expenditure than those without loans.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Semiarto Aji Purwanto
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
M. Taufik Mubarak
Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1983
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Nurpinudji
Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1984
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>