Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Darel Domu Abadi
Abstrak :
ABSTRAK
Perkembangan teknologi dalam bidang biomedik merupakan kemajuan penting bagi umat manusia. Salah satu dari teknologi tersebut adalah biomaterial mampu luruh untuk stem tulang, yang saat ini sedang dikembangkan dengan berbasis logam Fe. Penelitian ini membahas pengaruh albumin terhadap material Fe-Mn-C, yang difabrikasi melalui metode metalurgi serbuk, dengan memvariasikan kadar unsur Mn dan albumin terlarut. Kemudian dilakukan karakterisasi material Fe-Mn-C serta pengujian korosi material Fe-Mn-C dan larutan hasil perendamannya. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa kehadiran protein albumin dan penambahan kadar albumin pada larutan ringer menurunkan laju korosi. Hasil produk korosi pada larutan hasil pencelupan material Fe-Mn-C didapatkan masih pada batas aman konsumsi harian tubuh manusia, yang menandakan material Fe-Mn-C biokompatibel untuk diterapkan secara biomedik.
ABSTRACT
Biomaterial technology has been a very important progress of human race. One of the most helpful biomaterial technology is biodegradable material for human bone-stem, which currently being developed with iron-based. This thesis discusses the effects of albumin towards Fe-Mn-C material, which has been fabricated with metallurgy powder method, through varying levels of dissolved Mn and albumin elements. Afterwards, Fe-Mn-C material is characterized and examined for its corrosion, along with the marinating solutions. This research shows result that the existence of albumin protein by adding the level of albumin in ringer solution has decreased the corrosion rate. The corrosion result product in the solution for marinating Fe-Mn-C material is still in a safe zone for daily consumption of human body, which indicates Fe-Mn-C material biocompatible to be applied in biomedical.
2016
S63467
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Agustia Rahma Putri
Abstrak :
Latar belakang: Kanker saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama di dunia. Insidensi kanker ginekologi di Indonesia masih tinggi. Aspek nutrisi merupakan salah satu aspek yang paling sering mengalami kelainan pada pasien dengan kanker. Patient Generated-Subjective Global Assessment (PG-SGA) merupakan modalitas skrining nutrisi yang mengombinasikan data kualitatif dan semi-kuantitatif. Proses inflamasi sistemik yang terjadi pada pasien kanker dapat mengakibatkan penurunan kadar albumin dan prealbumin. Namun, belum banyak penelitian sebelumnya yang mencari bagaimana korelasi kadar albumin dan prealbumin terhadap skor PG-SGA. Tujuan: Mengetahui parameter yang paling baik dalam mendeteksi malnutrisi untuk pasien dengan onkologi ginekologi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang (cross sectional). Subjek dari penelitian ini adalah pasien yang didiagnosis dengan kanker ginekologi yang berobat ke Poliklinik Onkologi Ginekologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan direncanakan atau telah menjalani terapi pada Oktober 2020 - September 2021. Pasien dengan riwayat keganasan primer selain keganasan ginekologi, menerima terapi kortikosteroid oral atau intravena, riwayat pembedahan saluran cerna yang memengaruhi absorpsi/asupan nutrisi, dan riwayat penyakit liver akut atau kronik dan alkoholisme dieksklusi dari penelitian. Hasil: Didapatkan sebanyak 90 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian. Secara keseluruhan, nilai rerata albumin yaitu 4,19 g/dL, rerata prealbumin yaitu 39,1 mg/dL, dan rerata skor PG-SGA yaitu 3 atau kategori A. Terdapat korelasi positif lemah antar kadar albumin dengan prealbumin (r=0,378, p=0,000), Terdapat korelasi negatif lemah antara kadar albumin terhadap skor PG-SGA (r=-0,313, p=0,003), sedangkan tidak terdapat korelasi kadar prealbumin terhadap skor PG-SGA (r=-0,145, p=0,173). Kesimpulan: Didapatkan korelasi antara albumin terhadap skor PG-SGA, namun tidak didapatkan korelasi antara prealbumin terhadap skor PG-SGA. ......Background: Cancer is still one of the major health problems in the world. The incidence of gynecological cancer in Indonesia is still high. Nutritional aspect is one of the most frequent aspects of abnormalities in patients with cancer. Patient Generated-Subjective Global Assessment (PG-SGA) is a nutritional screening modality that combines qualitative and semi-quantitative data. Systemic inflammatory process that occurs in cancer patients can result in a decrease in albumin and prealbumin levels. However, there have not been many previous studies looking at the correlation between albumin and prealbumin levels on the PG-SGA score. Objective: Knowing the best parameters in detecting malnutrition for gynecological oncology patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Methods: This study used a cross-sectional method. The subjects of this study were diagnosed with gynecological cancer who went to the Gynecological Oncology Polyclinic of RSUPN Dr. Dr. Cipto Mangunkusumo and planned or already undergoing therapy during October 2020 - September 2021. Patients with a history of primary malignancy other than gynecological malignancy, receiving oral or intravenous corticosteroid therapy, history of gastrointestinal surgery affecting nutrient absorption/intake, and history of acute or chronic liver disease and alcoholism was excluded from the study. Results: There were 90 subjects who were included in this study. Overall, the average level of albumin was 4.19 g/dL, the average level of prealbumin was 39.1 mg/dL, and the average of scored-PG-SGA was 3 or category A. There was a weak positive correlation between albumin and prealbumin levels (r=0.378, p=0.000). This study showed a weak negative correlation between albumin level and scored-PG-SGA (r=-0.313, p=0.003), whereas there was no correlation between prealbumin levels and scored-PG-SGA (r=-0.145, p=0.173). Conclusion: A weak negative correlation was found between albumin and the scored-PG-SGA, but no correlation was found between prealbumin and the scored-PG-SGA.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zatira Novyanti Tasya Elfizri
Abstrak :
ABSTRACT
Pendahuluan: Penduduk pemukiman kumuh dan nonkumuh memiliki pola pajanan pathogen yang berbeda sehingga diduga menyebabkan perbedaan profil imun. Rasio albumin globulin dan komplemen C3, fraksi β-globulin yang berfungsi sebagai pusatkonvergensi sistem komplemen yang merupakan sistem imun bawaan, diduga memiliki profil yang berbeda berdasarkan tipe pemukiman dan pola pajanannya. Metode: Studi potong lintang ini melibatkan masing-masing 20 orang dari penduduk sekitar TPU Bantar Gebang yang mewakili populasi kumuh dan civitas Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi, Jakarta yang mewakili populasi nonkumuh. Nilai rasio albumin globulin diukur dengan cara membandingkan nilai albumin dengan selisih antara protein total dengan albumin. Komplemen C3 diukur menggunakan metode radial immunodiffusion. Hasil: Populasi kumuh memiliki nilai rasio albumin globulin lebih rendah signifikan dibanding populasi nonkumuh (p =0,004). 65% populasi kumuh memiliki ekspresi komplemen C3 tinggi (>1275,0) sedangkan 70% populasi nonkumuh memiliki ekspresi komplemen C3 rendah (≤1275,0) (p = 0,027). Rasio albumin globulin dan komplemen C3 memiliki tren korelasi negatif (R= −0,251, p = 0,062). Lima puluh persen populasi kumuh memiliki rasio albumin globulin rendah (≤1,38) dan ekspresi komplemen C3 tinggi (>1275,0) (p = 0,018). Kesimpulan: Terdapat perbedaan rerata rasio albumin globulin dan perbedaan proporsi ekspresi komplemen C3 yang signifikan pada populasi kumuh dan nonkumuh. Terdapat tren hubungan terbalik antara rasio albumin globulin dan ekspresi komplemen C3. Proporsi rasio albumin globulin rendah dan ekspresi komplemen C3 tinggi lebih banyak
ABSTRACT
Introduction: Slum and non-slum dwellers have different pathogenic exposure patterns that are thought to cause differences in immune profile. The ratio of albumin globulin and C3 complement, the β-globulin fraction that functions as a center convergence of the complement system which is the innate immune system, is thought to have a different profile based on the type of settlement and its exposure patterns. Method - This cross-sectional study involved 20 people from each population around the Bantar Gebang TPU which represents the slum population and the Yarsi University Faculty of Medicine community, Jakarta representing the non-slum population. The value of albumin globulin ratio is measured by comparing the value of albumin with the difference between total protein with albumin. C3 supplements are measured using the radial immunodiffusion method. Results: Slum populations have significantly lower albumin globulin ratios compared to non-slum populations (p = 0.004). 65% of the slum population has high C3 complement expression (> 1275.0) while 70% of the non-slum population has low C3 complement expression (≤1275.0) (p = 0.027). The ratio of albumin globulin and complement C3 has a negative correlation trend (R = −0.251, p = 0.062). Fifty percent of the slum population had a low albumin globulin ratio (≤1.38) and high C3 complement expression (> 1275.0) (p = 0.018). Conclusion- There is a significant difference in the ratio of albumin globulin and a significant difference in the proportion of C3 complement expression in slum and non-slum populations. There is a trend of an inverse relationship between albumin globulin ratio and C3 complement expression. The proportion of albumin globulin ratio is low and the expression of high C3 complement is higher
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prinka Diaz Adyta
Abstrak :
Pendahuluan: Malnutrisi dan hipoksia merupakan faktor yang mempengaruhi kegagalan terapi pada KNF stadium lokal lanjut. Kadar albumin merupakan salah satu pemeriksaan status nutrisi. Hipoksia menyebabkan radioresistensi terhadap radiasi.Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara kadar albumin praradiasi, hipoksia terhadap respon radiasi. Metode penelitian: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif menggunakan data sekunder terhadap 40 pasien kanker nasofaring stadium lokal lanjut yang memenuhi kriteria inklusi di Departemen Radioterapi dan Departemen Patologi Anatomi RSUP Dr Cipto Mangunkusumo dari Desember 2012 sampai Agustus 2013. Dilakukan pencatatan kadar albumin praradiasi, berat badan serta CT scan sebelum dan sesudah radiasi. Kemudian dilakukan analisa HIF1α dengan pulasan imunohistokimia. Sel yang positif hipoksia dihitung per 10 lapang pandang besar. Setelah itu, dilakukan penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria Recist. Hasil: Rerata kadar albumin praradiasi sebesar 3,9 +/- 0,5 g/dL, dan median persentase hipoksia sel yaitu 24,7(1-100)%. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar albumin praradiasi terhadap respon radiasi (p≥0,05). Terdapat hubungan yang bermakna anatara hipoksia terhadap respon radiasi (p<0,05). Korelasi antara kadar albumin praradiasi dan hipoksia menunujukkan korelasi yang lemah dan tidak bermakna (r=-0,24, p=0,324). Kesimpulan: Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa albumin praradiasi tidak berhubungan dengan respon radiasi pada KNF stadium lokal lanjut. Terbukti bahwa hipoksia meningkatkan radioresistensi dan menurunkan respon radiasi. Tidak terdapat korelasi antara albumin praradiasi dan hipoksia. ......Introduction: Malnutrion and hypoxia had been shown to cause irradiation failure. Albumin is one of the nutritional status examination. Hypoxia caused radioresistance to irradiation. The purpose of this study was to evaluate the correlation of albumin, hypoxia towards radiation response in locally advanced nasopharyngeal carcinoma. Methods: This is a retrospective cohort study using secondary data from Departement of Radiotheraphy and Departement of Pathology Cipto Mangunkusomo hospital of 40 patients locally advanced nasopharyngeal cancer who meet the inclusion criteria from December 2012 to August 2013. Albumin preirradiation, body weight and CT scan before and after radiation were recorded. We examined the expression of HIF1 α by immunohistochemistry staining. Hypoxia cell was asessed by cell counting. Radiation response was determined by Recist criteria. Results: The mean of serum albumin is 3.9 + / - 0.5 g /dL, and the median percentage of hypoxia was 24,7(1-100)%. There was no statistically significant relationship between albumin and radiation response (p≥0.05). There was a statistically significant relationship between hypoxia and radiation response (p<0,05). There were no correlation between albumin and hypoxia (r=-0,24, p=0,324). Conclusion: This study showed that there was no correlation between albumin preirradiation and response in locally advanced nasopharyngeal cancer. It was proven that hypoxia increased radioresistance in locally advanced nasopharyngeal cancer. There was no correlation between albumin preirradiation and hypoxia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59152
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatia Sinta Murti
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang : Kekuatan genggam tangan (KGT) merupakan metode pemeriksaan yang mudah, murah, cepat dan dapat digunakan secara bedside pada pasien yang dirawat. Data mengenai hubungan KGT dengan parameter status nutrisi lain selama perawatan di rumah sakit di Indonesia belum tersedia Tujuan : Mengetahui hubungan KGT dengan nilai subjective global assessment (SGA), antropometri, analisis bioimpedans dan biokimia pada awal dan akhir perawatan. Metode : Ini merupakan penelitian potong lintang pada pasien yang dirawat inap di ruang perawatan penyakit dalam RS. Cipto Mangunkusumo. Status nutrisi dinilai berdasar SGA. Indeks masa tubuh (IMT), corected arm muscle area (cAMA), arm fat area (AFA) dihitung secara antropometri. Masa otot dan masa lemak tubuh didapat dari analisis bioimpedans. Analisis statistik menggunakan uji anova, pearson dan uji T. Hasil : Terdapat 131 pasien terdiri dari 102 laki-laki dan 29 perempuan dengan rerata umur 45,6 ± 14.2 tahun. Pada awal dan akhir perawatan didapatkan perbedaan KGT yang bermakna antara status nutrisi baik dan malnutrisi sedang maupun malnutrisi berat tetapi tidak ada perbedaan KGT antara malnutrisi sedang dan malnutrisi berat (p<0.001). Kekuatan genggam tangan berkorelasi dengan cAMA (r=0,47 dan 0,49), masa otot tubuh (r=0,67 dan 0,55) dan albumin (r=0,23 dan 0,28). Tidak ada hubungan antara KGT dengan AFA, masa lemak tubuh dan IMT. Tidak ada perbedaan KGT antara pasien yang mencapai target nutrisi berdasar SGA dan yang tidak (p=0,81). Kesimpulan : Terdapat perbedaan KGT yang bermakna antara status nutrisi baik dan malnutrisi sedang dan antara nutrisi baik dan malnutrisi berat. Tidak ada perbedaan KGT antara malnutrisi sedang dan malnutrisi berat. Nilai KGT berkorelasi dengan cAMA, masa otot tubuh dan albumin tetapi tidak berkorelasi dengan AFA, masa lemak tubuh dan IMT. Tidak ada hubungan antara pencapaian target nutrisi berdasar SGA dengan nilai KGT
ABSTRACT
Background : Hand grip strength (HGS) is an easy, cheap and quick method and can be used bedside in hospitalized patient. Data about HGS correlation with other nutrition status parameters in hospital are not yet provided in Indonesia Objective : To find relation among HGS with the value of subjective global assessment (SGA), anthropometry, bioimpedance analysis and albumin at the beginning and end of hospitalization. Methods : This is a cross-sectional study from hospitalized patients at medical ward Cipto Mangunkusumo Hospital. Nutritional status assessed by SGA. Body mass index (BMI), corected arm muscle area (cAMA), arm fat area (AFA) were calculated by anthropometry. Muscle mass and a body fat obtained from the bioimpedance analysis. Data were analyzed using ANOVA, Pearson and T test. Results : There were 131 patients consisted of 102 men and 29 women with mean age of 45.6 ± 14.2 years. At the beginning and end of the hospitalization there is significant HGS differences between good nutritional status with moderately malnourished and severely malnourished, but no HGS differences between moderately malnourished and severely malnourished (p <0.001). Hand grip strength was correlated with CAMA (r=0.47 and 0.49), muscle mass (r=0.67 and 0.55) and albumin (r=0.23 and 0.28) and was not correlate with AFA, body fat and BMI. There was no HGS difference between patients who achieved nutrition targets based on SGA and who did not (p=0.81). Conclusion : There are significant HGS differences between good nutritional status and moderate malnutrition and good nutritional status and severe malnutrition. There is no HGS differences between moderately malnourished and severely malnourished. Hand grip strength was correlated with cAMA, muscle mass and albumin but did not correlate with the AFA, body fat and BMI. There was no corelation between nutritional achievement based on SGA with HGS value
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noviyanti
Abstrak :
Platelet rich plasma (PRP) sebagai bahan suplemen medium kriopreservasi, mengandung plasma yang merupakan bagian dari darah dan mengandung banyak sekali albumin. Albumin diketahui sebagai CPA ekstraseluler alami yang bekerja dengan cara menstabilkan membran sel yang dapat terganggu akibat kriopreservasi. Bahan suplementasi medium kriopreservasi selama ini menggunakan bahan yang berasal dari hewan. Penggunaan bahan suplementasi dari hewan telah diketahui memiliki berbagai kendala seperti tersandung dengan komunitas perlindungan hewan dan juga dapat mencetuskan reaksi immunologi jika digunakan pada manusia. Karena itu, perlu dicari alternatif lain untuk bahan suplementasi medium kriopreservasi. Penelitian ini meneliti apakah PRP dapat digunakan sebagai alternatif FBS sebagai medium kriopreservasi sel punca asal tali pusat manusia dengan menilai viabilitas, morfologi dan proliferasi sel punca pasca kriopreservasi. Penelitian diawali dengan isolasi dan propagasi sel punca asal tali pusat manusia dari satu buah tali pusat manusia yang memenuhi kriteria dengan metode eksplan. Sel punca kemudian disubkultur sampai mencapai jumlah sel yang dibutuhkan untuk kriopreservasi. Kriopreservasi sel punca dilakukan dalam delapan protokol kriopreservasi dengan variasi bahan suplemen, konsentrasi bahan suplemen dan konsentrasi sel. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan antara FBS dan PRP dalam mempertahankan viabilitas dan morfologi sel bahkan PRP lebih baik ketika dilihat dari ukuran dan proliferasi pasca kriopreservasi. Sebagai kesimpulan, penelitian ini menunjukkan bahwa PRP dapat digunakan sebagai alternatif penggunaan FBS dalam medium kriopreservasi sel punca asal tali pusat manusia. ...... Platelet rich plasma ( PRP ) as supplemental material cryopreservation medium , containing plasma which is part of the blood and contains a lot of albumin. Albumin is known as a natural extracellular CPA works by stabilizing cell membranes that can be disrupted by cryopreservation .One of the materials in cryopreservation medium that is used nowadays is derived from animals. Use of animal derived metarial has been known to pose various problems such as facing the animal protection community and also can trigger immunological reactions when used in humans. So it is necessary to find an alternative for animal derived material in cryopreservation medium. This study examined whether PRP could be used as an alternative to FBS as cryopreservation medium for human umbilical cord stem cells by assessing the viability, morphology and proliferation of stem cells after cryopreservation. The study began with the isolation and propagation of human umbilical cord stem cells from one human umbilical cord that meets the criteria using explant method. Stem cells then subcultured to achieve the required number of cells for cryopreservation. Cryopreservation of stem cells was done in eight cryopreservation protocols with various supplements, concentrations of the supplements, and cell concentrations. The results showed no difference between FBS and PRP in maintaining cell viability and morphology. PRP was even better when viewed from the size and proliferation of the cells after cryopreservation . In conclusion, this study shows that PRP can be used as an alternative to FBS in cryopreservation medium for human umbilical cord stem cells.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58929
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bonita Effendi
Abstrak :
Penegakkan diagnosis sepsis lebih dini perlu dilakukan agar tepat dalam inisiasi penatalaksanaan sepsis, terutama saat di instalasi gawat darurat. Insidens sepsis cenderung meningkat, di Indonesia mortalitas pada tahun 2000 mencapai 84,5%. Penyebab dari sepsis bersifat multifaktorial. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor yang memengaruhi peningkatan risiko mortalitas berdasarkan jumlah sumber infeksi, asal infeksi (komunitas atau nosokomial), jumlah komorbid, sistem skor, albumin, kalium, dan kreatinin darah pada pasien terdiagnosis sepsis. Desain studi adalah kohort retrospektif dengan data rekam medis RSCM dan penelitian sepsis Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Kriteria inklusi meliputi pasien dewasa berusia > 18 tahun terdiagnosis sepsis sesuai kriteria Surviving Sepsis Campaign 2012 (SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS) tahun 2012 dan dirawat inap di RSCM dari Januari 2014?Desember 2015. Studi dianalisis dengan SPSS ver 12.0. Dari 286 pasien, 75,9% memiliki jumlah sumber infeksi tunggal dan 53,5% berasal dari infeksi nosokomial. Selain itu, 80,8% dilaporkan dengan jumlah komorbid multipel. Dari pemantauan selama 28 hari, peningkatan kalium, skor qSOFA > 2, dan skor MSOFA > 11 meningkatkan risiko terjadinya mortalitas akibat sepsis dengan HR kalium > 5,0 mEq/l 1,91 (IK 95% 1,32?1,78, p 0,001) ; HR qSOFA > 2 1,19 (IK 95% 0,92-1,54, p 0,17) dan HR MSOFA > 11 1,38 (IK 95% 0,96?1,98, p 0,07). Median lama rawat inap dari pasien dengan sepsis hari ke-3 (IK 95% 2,53?3,47). Semakin lama pemantauan, maka probabilitas kesintasan akan semakin menurun. Kalium darah, skor qSOFA, dan skor MSOFA merupakan faktor yang memengaruhi mortalitas pasien sepsis di IGD dan dirawat di RSCM selama pemantauan 28 hari. ......Early diagnosis of sepsis is essential to initiate sepsis management especially in emergency room. Sepsis incidence rate tends to increase, in Indonesia the mortality rate year 2000 reached 84.5%. The cause of sepsis is multifactorial. The objectives are to determine factors associated with increased mortality risk based on single/multiple infection sources and comorbidity, community/nosocomial infection, scoring system, albumin/potassium/creatinine concentration in patients with sepsis. This is a cohort retrospective study based on medical records and research tree of sepsis from Division of Tropic and Infection, Internal Medicine Department, FMUI-RSCM. Inclusion criteria includes patients aged > 18 years diagnosed with sepsis based on Surviving Sepsis Campaign 2012 (SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS), hospitalized in RSCM within January 2014- December 2015. Analysis is based on SPSS ver 12.0. From 286 patients, there were 75.9% suffered from single source of infection and 53.5% due to nosocomial infection. There were 80.8% of septic patients had > 1 comorbidities. Within 28 days, increased potassium, qSOFA score > 2, and MSOFA score > 11 tended to increase mortality risk due to sepsis with HR of potassium > 5,0 mEq/l 1.91 (95% CI 1.32?1.78, p .001) ; HR qSOFA > 2 1.19 (95% CI 0.92?1.54, p .17) dan HR MSOFA > 11 1.38 (95% CI 0.96?1.98, p .07). Median lifetime within 28 days was 3 days (95% CI 2.53?3.47). The longer the duration of survival analysis, the lower the probability of survival. Potassium, qSOFA and MSOFA scoring system were factors associated with increased risk of mortality in patients with sepsis admitted in emergency room and hospitalized in RSCM within 28 days of survival analysis.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T46259
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahrul Islam
Abstrak :
Kromium adalah logam berat yang banyak digunakan dalam kegiatan industri. Penggunaan kromium pada industri pelapisan logam dapat berisiko terhadap kesehatan pekerja yang berasal dari pajanan kromium di udara lingkungan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kadar kromium dalam urin dengan kadar albumin dalam urin sebagai biomarker kerusakan ginjal. Penelitian ini dilakukan pada 33 pekerja terpajan dan 33 pekerja tidak terpajan dengan sedain cross sectional. Sampel urin diambil untuk menilai kadar kromium dan kadar albumin. Kadar kromium dalam urin diukur menggunakan metode metode Atomic Absorption Spectrometry (AAS) dengan teknik pembakaran (flame, FAAS) dan kadar albumin dalam urin di ukur dengan cara immunoturbidimetric assay. Nilai tengah (median) kadar kromium dalam urin pada pekerja terpajan sebesar 5 μg/L dan pada pekerja tidak terpajan juga sebesar 5 μg/L. Nilai tengah (median) kadar albumin dalam urin pada pekerja terpajan sebesar 2,5 mg/g kreatinin lebih tinggi dari kadar albumin pada pekerja tidak terpajan yaitu sebesar 1,5 mg/g kreatinin. Setiap kenaikan kadar kromium 1 μg/L terjadi kenaikan kadar albumin sebesar 3,82 mg/g kreatinin setelah dikontrol variabel riwayat diabetes, riwayat hipertensi, kebiasaan merokok, lama kerja, dan konsumsi alkohol. Hasil penelitian dapat disimpulkan ada pengaruh pajanan kromium dengan gangguan fungsi ginjal (p > 0,05). ...... Chromium is a heavy metal that is widely used in industrial activities. Use of chromium in the metal plating industry pose a risk to workers' health comes from exposure to chromium in the air working environment. This study aimed to analyze the relationship between chromium levels in urine levels of albumin in the urine as a biomarker of kidney damage. This study was conducted on 33 workers exposed and 33 unexposed workers with cross sectional sedain. Urine samples were taken to assess levels of chromium and albumin. Chromium levels in urine were measured using the method Atomic Absorption Spectrometry (AAS) with burning techniques (flame, FAAS) and albumin in urine is measured by means of immunoturbidimetric assay. A middle value (median) level of chromium in the urine of workers exposed at 5 g/L and the unexposed workers are also at 5 ug/L. A middle value (median) level of albumin in the urine in workers exposed at 2.5 mg/g creatinine higher than the levels of albumin in the unexposed workers is equal to 1.5 mg/g creatinine. Any increase in the chromium content of 1 ug/L occurred rising levels of 3,82 mg albumin/g creatinine after the controlled variable history of diabetes, history of hypertension, smoking habits, length of employment, and consumption of alcohol. The results of this study concluded there was an effect of chromium exposure with impaired renal function (p> 0.05).
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T53841
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miptah Farid Thariqulhaq
Abstrak :
Penyakit TB MDR merupakan salah satu penyakit infeksi yang prevalensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia dengan angka keberhasilan pengobatan 45%. Konversi kultur sputum merupakan suatu prediktor kuat dari awal keberhasilan terapi. Waktu konversi yang lambat akan memperpanjang periode penularan dan memprediksi tingkat kegagalan pengobatan yang tinggi. Terdapat beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan konversi kultur sputum pasien TB MDR. Penelitian terkait faktor risiko kadar albumin dengan waktu konversi kultur sputum masih sangat terbatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kadar albumin dengan waktu konversi kultur sputum di poli MDR terpadu RS Paru Dr M Goenawan Partowidigdo tahun 2022. Penelitian ini menggunakan studi cohort retrospektif dengan sampel yang diambil dari catatan rekam medis dan SITB pasien poli MDR. Variabel yang diteliti adalah kadar albumin < 3,5 gram/dl dan ≥ 3,5 gram/dl dengan variabel covariat usia, jenis kelamin, pendidikan, index masa tubuh, status merokok, gradasi sputum bta, komorbid, regimen pengobatan, dan kepatuhan minum obat . Hasil penelitian berdasarkan analisis multivariat menunjukkan kadar albumin < 3,5 mg/dl memiliki kecepatan waktu konversi 41,8% lebih lambat dengan (HR=0,582, 95% CI 0.344-0.984) untuk mengalami konversi dibanding dengan pasien TB MDR dengan kadar albumin ≥ 3,5 mg/dl setelah memperhitungkan status merokok dan kepatuhan minum obat. Perlunya memperbaiki kadar albumin yang rendah pada pasien TB MDR di rumah sakit dan memberikan penyuluhan kepada keluarga pasien agar turut berpartisipasi memantau asupan makan pasien yaitu makanan yang mengandung tinggi protein seperti ikan gabus serta ekstra putih telur untuk membantu meningkatkan kadar albumin pasien yang dapat berguna untuk terjadinya konversi kultur sputum. ......MDR TB disease is an infectious disease whose prevalence is increasing from year to year in Indonesia with a treatment success rate of 45%. Sputum culture conversion is a strong predictor of initial therapeutic success. Slow conversion time will prolong the period of transmission and predict a high rate of treatment failure. There are several risk factors associated with sputum culture conversion in MDR TB patients. Research related to risk factors for albumin levels and sputum culture conversion time is still very limited. The aim of this study was to determine the relationship between albumin levels and sputum culture conversion time at the integrated MDR polyclinic at Dr M Goenawan Partowidigdo Pulmonary Hospital in 2022. This study used a retrospective cohort study with samples taken from medical records and SITB patients at poly MDR. The variables studied were albumin levels < 3.5 mg/dl and ≥ 3.5 mg/dl with the covariate variables age, sex, education, body mass index, smoking status, sputum gradation, co-morbidities, medication regimens, and drinking adherence drug . The results of the study based on multivariate analysis showed that albumin levels < 3.5 mg/dl had a 41.8% slower conversion time (HR=0.582, 95% CI 0.344-0.984) to experience conversion compared to MDR TB patients with albumin levels ≥ 3.5 mg/dl after taking into account smoking status and medication adherence. It is necessary to improve low albumin levels in MDR TB patients at the hospital and provide counseling to the patient's family to participate in monitoring the patient's food intake, namely foods that contain high protein such as snakehead fish and extra egg whites to help increase the patient's albumin levels which can be useful for the occurrence of sputum culture conversion.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Leopold Jim
Abstrak :
Kejadian infeksi dengue dewasa di Indonesia tergolong tinggi. Komplikasinya adalah sindrom renjatan dengue (SRD) akibat kebocoran plasma. Untuk mengatasi kebocoran plasma, WHO menganjurkan pemberian cairan kristaloid isotonik atau koloid seperti albumin 5%. Penelitian in vitro memperlihatkan ikatan albumin dengan reseptor glikoprotein 60 (gp60) di sel endotel menstimulasi ekspresi caveolin-1 dan Src protein tyrosine kinase (PTK) yang meningkatkan perpindahan albumin ke ekstravaskular, namun secara in vivo belum diketahui pengaruh cairan albumin terhadap proses transitosis dan caveolin-1 urin. Penelitian ini merupakan open label randomized controlled trial sejak bulan November 2018 sampai dengan Januari 2020, di beberapa rumah sakit di Jakarta dan Banten. Dari 90 pasien, sebanyak 30 pasien memenuhi kriteria DD, dan 60 pasien memenuhi kriteria DBD. Alokasi secara acak dilakukan pada 60 pasien DBD, yang terdiri atas kelompok demam berdarah dengue yang diberikan ringer laktat (n = 30) dan kelompok demam berdarah dengue yang diberikan albumin (n = 30). Pasien DBD yang diberikan albumin 5%, caveolin-1 plasma menurun pada jam ke-12 (p = 0,016); Src PTK lebih rendah pada jam ke-12 (p = 0,048); hemokonsentrasi lebih ringan pada jam ke-12 (p = 0,022) dan ke-24 (p = 0,001); kadar albumin serum lebih tinggi pada jam ke-12 (p = 0,037) dan ke-24 (p = 0,001); albumin urin lebih ringan pada jam ke-24 (p = 0,006) dan ke-48 (p = 0,005); dan lama rawat lebih pendek (p < 0,001) dibandingkan dengan ringer laktat. Kesimpulan: pemberian cairan albumin 5% memperbaiki kebocoran plasma transitosis dan memperpendek lama rawat pasien DBD. ......The incidence of adult dengue infection in Indonesia is quite high. The complication is dengue shock syndrome (DSS) due to plasma leakage. To overcome plasma leakage, WHO recommends giving isotonic crystalloid solutions or colloids such as albumin 5%. In vitro studies have shown that albumin binding to the glycoprotein receptor 60 (gp60) in endothelial cells stimulates the expression of caveolin-1 and Src protein tyrosine kinase (PTK) which increases albumin transfer to the extravascular space, but in vivo the effect of albumin fluid on the process of transitosis and urine caveolin-1 is not known. This study is an open label randomized controlled trial from November 2018 to January 2020, in several hospitals in Jakarta and Banten. From 90 patients, 30 patients met the criteria for DD, and 60 patients met the criteria for DHF. Random allocation was made to 60 DHF patients, consisting of the dengue hemorrhagic fever group given Ringer's lactate (n = 30) and the dengue hemorrhagic fever group given albumin (n = 30). Patients who were given albumin 5%, caveolin-1 plasma decreased at 12th hours (p = 0.016); Src PTK was lower at 12 hours (p = 0.048); milder hemoconcentration at 12th (p = 0.022) and 24th (p = 0.001) hour; serum albumin levels were higher at 12th (p = 0.037) and 24 hours (p = 0.001); urinary albumin was milder at 24th (p = 0.006) and 48th (p = 0.005); and shorter length of stay (p < 0.001) compared to ringer lactate. Conclusion: administration of albumin 5% fluid improves transcytosis plasma leakage and shortens the length of stay of dengue infection patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>