Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yulika Harniza
"Tujuan: Menilai perubahan latensi dan amplitudo P100 PRVEP pada kelompok yang
diberikan suplementasi sitikolin oral dibandingkan dengan terapi oklusi saja.
Metode: Penelitian ini merupakan studi double masked randomized clinical trial
Proses randomisasi membagi pasien menjadi 2 kelompok yaitu kelompok dengan
pemberian sirup sitikolin 500 mg (n: 15 S-ambliopia) dan sirup placebo (n: 15 Pambliopia).
Jumlah subjek pada akhir follow-up bulan ke-3 sebanyak 12 subjek
kelompok sitikolin dan 11 subjek kelompok plasebo. Pemeriksaan oftalmologi
lengkap dan PRVEP (checkerboard 15 min arc dan 60 min arc) dilakukan sebelum
intervensi, follow up bulan ke-1 dan follow up bulan ke-3.
Hasil: 23 subjek dilibatkan dalam penelitian ini. Dari seluruh subjek, 65,2% adalah
perempuan dan 34,8% adalah laki-laki dengan usia rata-rata 9,1 ± 2,11 tahun. Tidak
terdapat perbedaan bermakna secara statistik perubahan nilai amplitudo (15 min arc
p=0,806; 60 min arc p=0,975) dan latensi (15 min arc p=0,218; 60 min arc p=0,734)
P100 PRVEP pada follow up ke-3 pada kelompok sitikolin dibandingkan dengan
kelompok plasebo.
Kesimpulan: Perubahan nilai amplitudo dan latensi P100 PRVEP serta proposional
kenaikan tajam penglihatan pada kelompok sitikolin tidak berbeda dibandingkan
dengan kelompok plasebo. Tidak adanya korelasi antara perubahan amplitudo dan
latensi terhadap proporsional kenaikan tajam penglihatan pada pasien ambliopia.
......Objectives: To assess the changes in amplitude and latency P100 PRVEP in the group
given oral citicoline supplementation compared to occlusion therapy alone.
Methods: This study was a double-masked, randomized clinical trial. The
randomization process divided patients into two groups, namely the group with 500
mg of citicoline syrup (n: 15 C-amblyopia) and placebo syrup (n: 15 P-amblyopia).
The number of subjects at the end of the 3rd-month follow-up was 12 subjects in the
citicoline group and 11 subjects in the placebo group. Complete ophthalmological
examination and PRVEP (checkerboard 15 min arc and 60 min arc) were performed
before the intervention, a month follow-up, and a three-month follow-up.
Results: 23 subjects were included in this study. Of all the subjects, 65.2% were
female, and 34.8% were male with a mean age of 9.1 ± 2.11 years. There was no
statistically significant difference in changes in the amplitude (15 min arc p=0,806;
60 min arc p=0,975) and latency (15 min arc p=0,218; 60 min arc p=0,734) values of
the P100 PRVEP 3rd-month follow-up in the citicoline group compared to the placebo
group.
Conclusion: Changes in the amplitude and latency values of the PRVEP P100 and
the mean proportional improvement in visual acuity in the citicoline group were not
different compared to the placebo group. There was no correlation between changes
in amplitude and latency with a mean proportional improvement in visual acuity in
amblyopia patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Neni Anggraini
"Tujuan : Mengetahui prevalensi ambliopia dan sebaran faktor ambliogeniknya serta mengetahui hubungan antara faktor risiko terhadap kejadian ambliopia pada murid Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Jakarta.
Metode : Survei epidemiologi dengan disain potong lintang, dengan penggunaan kuesioner untuk menilai faktor risiko sosial ekonomi, pendidikan, pengetahuan, perilaku dan pemanfaatan fasilitas kesehatan dari orang tua murid.
Hasil : Ambliopia didefinisikan sebagai tajam penglihatan dengan koreksi <619 yang tidak disebabkan oleh kelainan struktur bola mata maupun jalur penglihatan posterior dan didasari oleh adanya suatu faktor ambliogenik. Dari 948 murid berusia lebih atau sama dengan 6 tahun, ditemukan 26 murid dengan ambliopia (2,7%). Faktor ambliogenik pada murid SDN di Jakarta seluruhnya didasari oleh kelainan refraksi (defocused eye). Sebaran faktor ambliogenik terbanyak adalah isoametropia (69,2%), diikuti dengan anisometropia (23%) dan campuran dengan strabismus (7,8%). Faktor risiko tingkat perilaku orang tua secara bermakna mempengaruhi kejadian ambliopia (p<0,01). Faktor risiko sosial ekonomi, pendidikan, pengetahuan, perilaku dan pemanfaatan fasilitas kesehatan dari orang tua tidak terbukti secara berrnakna mempengaruhi kejadian ambliopia.
Kesimpulan : Prevalensi ambliopia pada populasi murid SDN di Jakarta sesuai dengan prevalensi ambliopia anak usia sekolah di berbagai negara, namun lebih tinggi dibandingkan di negara-negara yang sudah melakukan skrining penglihatan secara rutin.

Objectives : To elucidate the prevalence of amblyopia, ambliogenic factors distribution and the association of risk factors and amblyopia in Jakarta public elementary school children.
ethods : Epidemiology survey cross sectional study. Questionnaires asking about socioeconomic status, educational level, knowledge and behavior, and utilization of health facility were sent to the parents and the results were analyzed statistically in finding the association with amblyopia.
Results : Amblyopia was defined as corrected visual acuity < 619 in the affected eye not attributable to any underlying structural abnormality of the eye or visual pathway, together with the presence of an amblyogenic risk factor. Of 948 pupils, 26 were recorded to have amblyopia. The prevalence of amblyopia in Jakarta public elementary school children were 2,7%. Arnbliogenic factors in all amblyopia cases were refractive errors. The major types of amblyopia were ametropic amblyopia (69,2%), anisometropic amblyopia (23%) and mixed amblyopia with strabismus (7,8%). Parent's behavior was the only risk factor which associated statistically significant with amblyopia (p<0,01). Other risk factors such as socioeconomic status, level of parents? education, knowledge and utilization of health facility were not associated with amblyopia.
Conclusions : The prevalence rate of amblyopia in this population of Jakarta public elementary school children were the same as other countries, but higher than those reported in countries who already have routine visual screening program.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21259
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library