Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pradewi Indriyastuti
"ABSTRAK
Amputasi anggota gerak bawah, merupakan keadaan yang mempengaruhi kehidupan pasien yang tidak terpikirkan sebelumnya. Amputasi dilakukan akibat trauma , infeksi, keganasan atau gangguan metabolisme selain itu amputee juga bisa terjadi akibat kelainan kongenital. Untuk penanggulangan penderita amputee, banyak disiplin kerja yang terkait agar dapat tercapai kemampuan fungsional yang mandiri, antara lain peranan dokter, perawat, psikolog, pekerja sosial medik & pembuat protesa. Peran mereka sangat besar dalam usaha membuat seseorang mandiri ini.
Dengan melakukan latihan-latihan amputee anggota gerak bawah dapat mencapai kemandirian. Kemampuan penderita amputasi untuk mencapai kemandirian, perlu melalui beberapa tahapan. Beberapa tahapan (fase) yang perlu ditempuh seorang amputee yaitu : fase I : selama di Rumah sakit, persiapan pasien yang diamputasi dari segi medis, psikososial dan prostetik yang disebut fase urus diri (selfcare);fase III setelah pulang dari Rumah sakit disebut fase penyesuaian diri yaitu penyesuaian pemakaian protesa, untuk dapat melakukan kegiatan sehari - hari (?ADM') secara optimal untuk komunikasi luas, fase III meningkatkan kemampuan lebih luas untuk mengatasi keterbatasan (handicap) melalui berbagai jenis kegiatan sehari-hari, bergaul dan beradaptasi, sehingga tercapai kepuasan diri seperti sebelum amputasi atau bahkan lebih.
(1) Hal ini telah lama mendapat perhatian para ahli (pakar) dan sampai saat ini masih terus merupakan tantangan, baik bagi setiap amputee, maupun pakar-pakar untuk mencapai cita-cita ini. Banyak penderita amputasi yang belum dapat melakukan kemampuan-kemampuan ini, sehingga kemampuan ini dapat digunakan sebagai contoh bagi amputee lainnya.
Di Indonesia belum ada data mengenai cacat amputasi. Di RSCM sendiri baru tercatat 40 kasus amputee sejak tahun 1986-1989.terdiri dart Laki-laki . 37 kasus (93 %),dan perempuan 3 kasus (7%). Etimologi amputasi adalah sebagai berikut : kongenital 4 kasus (.O%), trauma 21 kasus (52%), vascular 3 kasus (8%), dan yang sampai mendapatkan protesa 12 amputee (30%).
Salah satu usaha yang dapat dilakukan bagi penderita amputee untuk mencapai peningkatan kemampuan untuk mencapai kemandirian ialah melalui latihan kesegaran jasmani berupa latihan-latihan aerobik; latihan ini dipakai untuk menentukan tingkat kemampuan jalan penderita amputee dengan mempergunakan protesa, sehingga dapat tercapai kesegaran jasmani dengan penilaian secara kardiologis dan penilaian kecepatan berjalan menurut jenis amputasi pada penderita amputee ini. Kemampuan ini yang diteliti dan dinilai.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu para pakar untuk mencapai usaha menolong "amputee" pada segi kemandiriannya dalam waktu yang secepatnya.
Penelitian ini hanyalah merupakan penelitian pasca amputasi, baik atas lutut maupun bawah lutut.
Yang dianalisa adalah :
--Berapa lama penderita mencapai fase self care (fase urus diri) di rumah sakit.
--Alat bantu yang diperlukan setelah fase urus diri di rumah sakit.
--Mencari patokan aktivitas sehari-hari di rumah pada fase II (penyesuaian diri) dengan keadaan panjang puntung dengan menggunakan protesa, dalam kegiatan aktivitas sehari-hari untuk mendapatkan panjang puntung yang optimal dengan"menentukan banyak langkah permenit yang sesuai dengan jenis amputasi?
akan berlangsung lama dan sudah dapat dijadikan pelajaran untuk melakukan tindakan yang tepat di kemudian hari. Penulis mempunyai kesimpulan bahwa instrumen Stock Index Option LQ-45 dengan kontrak Call option dapat diperdagangkan di BEJ. Syarat untuk meluluskannya adalah dibuat transaksi dengan harga patokan lebih variatif lagi. Diperkenaikan juga transaksi kontrak dengan Put Option. Pencarian terhadap strategi-strategi hedging juga alcan menjadi motivator untuk diperdagangkannya instrumen Stock Index Option LQ-45 di Bursa Efek Jakarta.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zecky Eko Triwahyudi
"Jumlah kasus tumor muskuloskeletal di Indonesia semakin meningkat. Di antara pilihan tata laksana yang ada, tindakan amputasi masih menjadi salah satu modalitas utama. Penelitian ini bertujuan untuk enilai hubungan antara faktor-faktor klinis dan demografis dengan kualitas hidup dan luaran fungsional pasien-pasien dengan tumor ekstremitas bawah yang menjalani amputasi Penelitian ini merupakan studi analitik observasional potong lintang dengan subjek seluruh pasien tumor ekstremitas bawah di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo selama 2014-2019. Kualitas hidup dan luaran fungsional diukur menggunakan instrumen SF-36 dan MSTS. Total 72 pasien memiliki rerata usia 31 tahun dan 65% pria, 33 di antaranya teridentifikasi hidup. Mayoritas subjek memiliki diagnosis osteosarkoma (58%), dilakukan amputasi transfemoral (50%) dan lokasi tumor di distal femur (44,4%). Rerata SF-36 adalah 61,63, sementara skor MSTS adalah 35%. Hanya 1 pasien yang menggunakan prosthesis, di mana skor SF-36 pasien tersebut paling baik (74) di antara subjek lain. Rerata SF-36 lebih baik pada pria dibandingkan wanita (p=0,011). Skor MSTS lebih baik pada tingkat pendapatan menengah ke atas (p=0,04). Kesintasan 3 tahun pasca amputasi sebesar 45,8%. Tidak ada perbedaan kesintasan antara osteosarkoma dan tumor lain. Kualitas hidup berkaitan dengan faktor jenis kelamin dan penggunaan alat bantu gerak, sementara luaran fungsional berkaitan dengan tingkat pendapatan.

The number of musculoskeletal tumors in Indonesia is increasing. Among all treatment options, amputation is still frequently performed. The purpose of this study is to identify demographical and clinical characteristics associated with quality of life and functional outcome of patients with lower extremity tumor who underwent amputation. This study was a cross-sectional study with subjects from all lower extremity tumor patients who underwent amputation in Cipto Mangunkusumo Hospital during the 2014-2019. Quality of life and functional outcome were measured using SF-36 and MSTS questionnaires.There were 72 subjects, consisted of 65% men and have average age of 31 years. Among the patients, 33 of whom were identified alive and interviewed. Mean SF-36 score is 61.63, while mean MSTS score is 35%. There was only 1 patient who wore prosthesis, scoring the best SF-36 of 74. Mean SF-36 of male is better than female (p=0.011). Better MSTS score was found in subjects with better education level (p=0.04). The 3-year survival rate of our patients was 45.8%. There was no difference of survival rate between patients with osteosarcoma and other diagnosis. Quality of life is associated with gender and use of walking aids, while functional outcome is associated with level of income."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library