Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwiyanarsi Yusuf
"Latar Belakang: Insiden infetilitas semakin meningkat setiap tahunnya. Salah satu usaha untuk menangani infertilitas adalah dengan melakukan Fertilisasi In Vitro (FIV), namun angka keberhasilan FIV saat ini khususnya di Indonesia masih rendah. Salah satu penyebab rendahnya keberhasilan FIV adalah adanya aneuploidi, sehingga menurunkan kualitas dari embrio yang dihasilkan.
Metode: Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif untuk mengetahui hubungan antara berbagai faktor risiko dengan kejadian 3PN secara morfologi dan status kromosom. Data pasien yang mengikuti FIV di Klinik Yasmin RSCM diambil dari 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2016, kemudian sebanyak 33 blastokista diambil untuk dilakukan pengujian preimplantasi genetic testing for aneuploidi (PGT-A). Data kemudian dianalisis menggunakan SPSS.
Hasil: Dari 1644 pasien yang melakukan FIV di Klinik Yasmin selama 4 tahun, diperoleh sebanyak 827 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, dengan total 741 (89,6%) pasien dengan morfologi 2PN dan 86 (10,4%) pasien dengan morfologi 3PN. Nilai tengah usia maternal berturut-turut untuk 2PN dan 3PN, 36 (26-46) dan 35 (21-48). Sebanyak 55 subjek penelitian dengan usia > 35 tahun dengan morfologi 3PN (laju fertilisasi 56,1%) dan 31 dengan usia < 35 tahun (laju fertilisasi 56,5%). Didapatkan hubungan bermakna antara usia maternal dengan kejadian morfologi 3PN (p<0,05), sedangkan pada faktor pria, riwayat keguguran, riwayat gagal FIV, indikasi wanita dan indikasi pria tidak didapatkan hubungan yang bermakna. Sebanyak 33 blastokista dengan morfologi 3PN dari 15 pasien diambil dan dilakukan pengujian dengan PGT-A menggunakan metode NGS. Didapatkan 11 (33,3%) blastokista dengan hasil euploid dan 22 (66,7%) dengan hasil aneuploidi (monosomi, trisomi, mozaik dan chaotic). Dilakukan anilisi data, didapatkan hubungan antara usia maternal dengan kejadian aneuploidi pada blastokista (p<0,05), namun untuk faktor yang lainnya tidak didapatkan hubungan bermakna.
Kesimpulan: Usia maternal menjadi faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian 3PN yang dilihat secara morfologi maupun dengan teknik PGT-A.

Background: The incidence of infertility is increasing every year. One effort to deal with infertility is by conducting In Vitro Fertilization (IVF). Somehow, the current success rate of IVF especially in Indonesia is still low. One of the causes of the low success of IVF is the presence of aneuploidy, which decreases the quality of the embryo produced.
Methods: Design of this study was a retrospective cohort to determine the relationship between various risk factors with the incidence of 3PN morphologically and chromosomal status. Data on patients who took IVF at the Yasmin Clinic in RSCM were taken from January 1st, 2013 to December 31st, 2016. A total of 33 blastocysts were taken for preimplantation genetic testing for aneuploidy (PGT-A) testing. Data was analyzed using SPSS.
Results: 1644 patients who conducted FIV at Yasmin Clinic for 4 years, 827 patients met the inclusion criteria, with a total of 741 (89.6%) patients with 2PN morphology and 86 (10.4%) patients with 3PN morphology. Median of maternal age for 2PN and 3PN, 36 (26-46) and 35 (21-48) respectively. As many as 55 subjects aged more than 35 years old with the morphology of 3PN (fertilization rate was 56.1%) and 31 with age under 35 years old (with fertilization rate was 56.5%). There was a significant relationship between maternal age and 3PN morphological events (p <0.05); whereas for male factors, history of miscarriage, history of failed IVF, female and male indications had no significant relationship found. 33 blastocysts with 3PN morphology from 15 patients were taken and tested with PGT-A using NGS method. There were 11 (33.3%) blastocysts with euploidy results and 22 (66.7%) with aneuploidy results (monosomy, trisomy, mosaic and chaotic). Data was analyzed, the relationship between maternal age and the incidence of aneuploidy in the blastocyst was found (p <0.05) but for other factors no significant relationship was found
Conclusion: The maternal age is a risk factor associated with the incidence of 3PN which is seen with morphology and with the PGT-A technique."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Calysta Salma Nabilla
"Latar Belakang: Fertilisasi in vitro merupakan salah satu metode teknologi reproduksi berbantu dengan rasio keberhasilan yang rendah yang kian menurun seiring dengan bertambahnya usia pasien. Kegagalan fertilisasi in vitro disebabkan oleh beberapa etiologi, salah satunya adalah kejadian aneuploidi pada embrio pasien. Aneuploidi embrio terjadi akibat kelainan pada faktor paternal maupun maternal. Pada faktor paternal, diketahui bahwa usia tua pada ayah dapat menurunkan kualitas sperma, yang selanjutnya dapat meningkatkan risiko terjadinya aneuploidi embrio. Pada penelitian ini, penulis ingin mengetahui apakah kualitas sperma, yang dinilai berdasarkan konsentrasi serta motilitas progresifnya, dapat mempengaruhi kejadian aneuploidi embrio secara langsung. Tujuan: Mengetahui korelasi antara konsentrasi dan motilitas progresif sperma dengan kejadian aneuploidi embrio. Metode: Dikumpulkan 18 data profil sperma dari buku rekam medis pasien fertilisasi in vitro Klinik Yasmin RSCM Kencana serta 64 data hasil preimplantation genetic testing for aneuploidy (PGT-A). Kedua data dinyatakan sebagai variabel numerik. Hasil: Mean persentase aneuploidi embrio adalah sebesar 64,64% (0,00—100,00%). Uji korelasi Pearson menunjukkan nilai p = 0,065 untuk konsentrasi sperma, dengan median konsentrasi sebesar 28,00 (0,20–119,00) × 106 spermatozoa/ml, dan p = 0,642 untuk motilitas progresif sperma, dengan mean persentase motilitas progresif sebesar 53,24% (14,29–86,21%). Kesimpulan: Konsentrasi dan motilitas progresif sperma tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian aneuploidi embrio.

Background: In vitro fertilization (IVF) is an example of assisted reproductive technology (ART) with a low success rate which decreases even more as patients’ age increases. Failure in IVF can be caused by embryonic aneuploidy incidence, which occurs due to abnormalities in paternal or maternal factors. Paternally, the increase in age can reduce sperm quality, which in turn can increase the risk of embryonic aneuploidy. Aim: To determine the direct relationship between sperm concentration and sperm progressive motility on the incidence of embryonic aneuploidy. Methods: The author gathered 18 sperm profile recordings from the medical record book of Klinik Yasmin RSCM Kencana patients along with 64 PGT-A results. Both data were expressed as numeric variables. Results: The mean percentage of embryonic aneuploidy was 64.64% (0.00-100.00%). Pearson's correlation test showed p = 0.065 for sperm concentration, with a median concentration of 28.00 (0.20–119.00) × 106 spermatozoa/ ml, and p = 0.642 for sperm progressive motility, with a mean percentage of progressive motility of 53.24% (14.29–86.21%). Conclusion: Sperm concentration and sperm progressive motility is not associated with the incidence of aneuploidy in embryo."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Kemal Harzif
"Tujuan: Faktor embrio sangat mempengaruhi hasil dari fertilization in vitro (FIV). Salah satu metode untuk memastikan embrio tidak memiliki kromosom aneuploid adalah Prosedur Pengujian Genetik Praimplantasi untuk Aneuploidi atau Skrining Genetik Praimplantasi, yang melibatkan biopsi blastomer pada fase 8 sel atau trofektoderm pada fase blastokista. Prosedur ini merupakan prosedur yang invasif dan berpotensi membahayakan embrio.
Metode: Penelitian adalah penelitian cross-sectional pada pasien program FIV yang dilanjutkan dengan pemeriksaan kromosom dengan NGS di Pusat IVF RS Pondok Indah dan Pusat FIV Morula RS Bunda pada bulan Desember 2021 sampai dengan Desember 2022. Embrio yang mencapai stadium blastokista pada hari ke 5 atau 6 dibersihkan dan dimasukkan ke dalam tabung PCR selama seminggu; dilanjutkan dengan anotasi oleh embriologi untuk menentukan penilaian morfologi dan parameter morfokinetik menggunakan Microscopcopy Time-Lapse. Uji chi-square digunakan untuk menganalisis variabel bivariat.
Hasil: Seratus dua puluh empat sampel didapatkan pada hari ke 5 pasien yang menjalani prosedur FIV. Sebanyak 50,8% memiliki kromosom aneuploid, dan 49,2% adalah euploid. Median karakteristik morfokinetik yaitu 3,86 kali lipat. Ditemukan bahwa tingkat ekspansi, time to pro-nuclear fading, dan time to the synchrony of the third cell cycle berhubungan secara signifikan dengan status euploid (p = =0,000; 0,041 dan 0,036).
Kesimpulan: Tingkat ekspansi terbukti secara bermakna memiliki pengaruh dalam memprediksi status ploidi embrio.
Metode: Penelitian adalah penelitian cross-sectional pada pasien program FIV yang dilanjutkan dengan pemeriksaan kromosom dengan NGS di Pusat IVF RS Pondok Indah dan Pusat FIV Morula RS Bunda pada bulan Desember 2021 sampai dengan Desember 2022. Embrio yang mencapai stadium blastokista pada hari ke 5 atau 6 dibersihkan dan dimasukkan ke dalam tabung PCR selama seminggu; dilanjutkan dengan anotasi oleh embriologi untuk menentukan penilaian morfologi dan parameter morfokinetik menggunakan Microscopcopy Time-Lapse. Uji chi-square digunakan untuk menganalisis variabel bivariat.
Hasil: Seratus dua puluh empat sampel didapatkan pada hari ke 5 pasien yang menjalani prosedur FIV. Sebanyak 50,8% memiliki kromosom aneuploid, dan 49,2% adalah euploid. Median karakteristik morfokinetik yaitu 3,86 kali lipat. Ditemukan bahwa tingkat ekspansi, time to pro-nuclear fading, dan time to the synchrony of the third cell cycle berhubungan secara signifikan dengan status euploid (p = =0,000; 0,041 dan 0,036).
Kesimpulan: Tingkat ekspansi terbukti secara bermakna memiliki pengaruh dalam memprediksi status ploidi embio.

Objective : Embryonic factors greatly influence IVF outcomes. One method to ensure the embryo does not have aneuploid chromosomes is Preimplantation Genetic Testing for Aneuploidy or Preimplantation Genetic Screening procedure, which involves undergoing a biopsy of the blastomeres in the 8-cell phase or the trophectoderm in the blastocyst phase. The procedure is invasive and can potentially harm the embryo.
Methods: This study is a cross-sectional that requires patients undergoing IVF followed by chromosome examination with NGS that was conducted at the IVF Center at Pondok Indah Hospital and Morula IVF Center at Bunda Hospital from December 2021 to December 2022. Each embryo that reaches the blastocyst stage on day 5 or 6 will be washed and put into a PCR tube for a week; then, embryologists annotate them to determine morphological assessment and morphokinetic parameters using Time-Lapse Microscopy. The chi-square test was used to analyse bivariate variables.
Results: One hundred twenty four samples were collected on day 5 of patients undergoing the IVF procedure. 50.8% of the samples were aneuploid chromosomes, and 49.2% were euploid. The morphokinetic characteristics median was 3.86 fold. It was found that expansion grade, time to pro-nuclear fading, and time to the synchrony of the third cell cycle were significantly associated with euploid status (p = =0.000; 0.041 and 0.036).
Conclusion: The expansion grade has been proven as the most influential component for accurately predicting the ploidy status of embryos.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library