Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Teddy Sudrajat
Abstrak :
Telah djlakukan penelitian niengenai beberapa parameter farmakokinetjk salisilat pada sukarelawan orang Indonesia yang sehat. Dalam ]enelitian liii dilakukan pengukuran kadar salisilat dalam plasma pada 5 orang sukarelawan sehat. KepaQ, setiap sukarelawan diberikan Aspirin dosi.s tunggai 0,5 g per oral, lalu pengambilan sampel darah vena dilakukan pada jam +1, +2 +k, dan +8 jam seteiah peniberian obat. Orang percobaan dlbori istirahat se]..ama 3 han, Setelah itu kepda setiap orang percobaan diberikan Aspirin dosis tung - gal 1 g per oral, lalu pengambilan sampel darab vena dilakukan pada jam +1, +2, +k, dan +8 jam setelah pembonianobat. Cara pemeniksaan ada]Ab metode Spec trophotometer dan Tninder (1954). Pninsipnya rnemakai sifat salisilat yang akan menibenikan warna ungu bila dibeni garam fern. Dari hasil :percobaan didapatkan korelasi positif yang berniakna (r 0,97) antara kadar salisilat dalam plasma dengan waktu paruhnya, Iecepatan elirninasi salisilat akan berkurang dengan maidn bertambahnya dosis, seperti terlihat dari konstanta kecepatan elimtnasinya yang makin keel.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1981
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novia Ayu Fajarningrum
Abstrak :
Sediaan enterik merupakan sediaan yang dapat melewati lambung kemudian obat akan hancur dan diabsorpsi di usus. Penelitian ini bertujuan untuk memodifikasi protein kedelai dengan ftalatasi kemudian suksinilasi dan memformulasikan sediaan tablet matriks enterik menggunakan protein kedelai ftalat suksinat (PKFtS) dimana asetosal digunakan sebagai model obat. Konsentrat protein kedelai (PK) diftalatasi dengan anhidrida ftalat dengan perbandingan 1:2 (PKFt), kemudian disuksinilasi dengan anhidrida suksinat dengan perbandingan 1:2,5 (PKFtS) pada pH 8,0-8,5. PKFtS diformulasikan sebagai eksipien matriks tablet enterik dimana dibuat 3 formulasi PKFtS (F1), PKFtS:HPMCP (Hidroksi Propil Metil Selulosa Ftalat) (F2), dan HPMCP (F3) sebagai pembanding. Tablet enterik yang dihasilkan dievaluasi dan dilihat pelepasan obatnya. Hasil penelitian menunjukkan F1 memiliki kemampuan mengembang 154,79 ± 1,69% dalam HCl pH 1,2 dan sebesar 242,16 ± 3,55% dalam dapar fosfat pH 6,8. Pengujian kadar dari F1, F2 dan F3 berturut-turut adalah 101,66 ± 1,63%, 101,44 ± 1,84%, dan 97,91 ± 1,49%. Pelepasan asetosal dari tablet matriks enterik F1, F2, dan F3 terdisolusi sebanyak 22,62 ± 2,44%, 16,65 ± 1,39% dan 1,10 ± 0,15% pada HCl pH 1,2 dan 60,78 ± 2,39%, 44,21 ± 2,22% dan 19,88 ± 1,49% pada dapar fosfat pH 6,8. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa PKFtS yang dibuat pada penelitian ini belum dapat digunakan sebagai matriks tunggal pada sediaan lepas tunda. ...... Enteric solid dosage forms are intended to pass through the stomach intact to disintegrate and release their drug content fot absorption along the intestines. The aim of this study was to modified soybean protein with phthalated then succinylated and to formulate matrix enteric dosage form using soybean protein phthalate succinate (SPPS) with acetylsalicylic acid as model drug. Soybean protein (SP) was phthalated using phthalic anhydride 1:2 (SPP), then succinylated using succinic anhydride 1:2,5 (SPPS) in pH 8,0-8,5. SPPS were formulated as matrix in enteric tablet, there 3 formulations SPPS (F1), SPPS:HPMCP (Hydroxy Propyl Methyl Celullose Phthalate) (F2), and HPMCP (F3) as comparator. Enteric dosage forms were evaluated and the drug release profile were studied. Result of study showed that F1 had swelling index 154,79 ± 1,69% in medium HCl pH 1,2 and 242,16 ± 3,55% in medium buffer phosphate pH 6,8. Assay of F1, F2, and F3 were 101,66 ± 1,63%, 101,44 ± 1,84%, and 97,97 ± 1,49%. Drug release profil of acetylsalicylic acid from matrix enteric tablet F1, F2 and F3 were dissoluted with 22,62 ± 2,44%, 16,65 ± 1,39% and 1,10 ± 0,15% in medium HCl pH 1,2 then 60,78 ± 2,39%, 44,21 ± 2,22% and 19,88 ± 1,49% in medium buffer phosphate pH 6,8. Based on the research result, it can be concluded that SPPS that made in this study hasn't yet applicated as matrix in delay release.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S59408
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifanny Adelia Dewinasjah
Abstrak :
Osteoporosis adalah penyakit yang ditandai dengan adanya penurunan massa tulang yang parah sehingga meningkatkan risiko terjadinya retak atau patah tulang. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian aspirin dosis tinggi (300 mg) terbukti dapat menurunkan kadar Sphingosine-1-Phosphate (S1P) dalam plasma. Kadar rendah S1P dalam darah dapat mengaktifkan S1PR1 yang dapat mengarahkan prekursor osteoklas kembali ke darah sehingga proses osteoklastogenesis dapat terhambat. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian aspirin dengan kombinasi kalsium secara in vivo. Penelitian ini menggunakan tikus putih betina Sprague-Dawley yang dibagi menjadi 8 kelompok, yaitu sham dan kontrol negatif yang diberikan 1ml CMC Na 0,5%, kontrol positif diberikan tamoksifen sitrat 3,6 mg/200 g BB/hari, kelompok aspirin diberikan aspirin 5,4 mg/200 g BB/hari, kelompok kalsium diberikan kalsium sitrat 15 mg/200 g BB/hari, serta 3 kelompok variasi dosis aspirin dalam kombinasi dengan kalsium sitrat yaitu D1 aspirin 1,8 mg/200 g BB/hari, D2 aspirin 5,4 mg/200 g BB/hari, D3 aspirin 16,2 mg/200 g BB/hari dimana ketiga variasi dosis tersebut dikombinasikan dengan dosis kalsium sitrat 15 mg/200 g BB/hari secara peroral. Semua tikus dilakukan ovariektomi, kecuali kelompok sham dilakukan pembedahan tanpa pengambilan ovarium. Tikus dipelihara 4 minggu pasca operasi, lalu diberi perlakuan selama 28 hari. Parameter pertama yang diukur adalah berat tulang tibia dengan rata-rata kelompok sham 321,90 ± 10,39 mg, kontrol negatif 272,300 ± 54,18 mg, kontrol positif 312,50 ± 40,86 mg, aspirin 336,67 mg, kalsium 335, 90 ± 60,66 mg, D1 346,27 ± 83,90 mg, D2 377,00 ± 36,10 mg, dan D3 336,67 ± 4,5 mg. Parameter kedua yang diukur adalah kadar kalsium dengan rata-rata kelompok kelompok sham 111,08 ± 4,74 mg, kontrol negatif 89,30 ± 23,94 mg, kontrol positif 109,69 ± 20,25 mg, aspirin 123,01 ± 17,98 mg, kalsium 124,53 ± 32,11 mg, D1 120,19 ± 3,63 mg, D2 149,22 ± 17,13 mg, dan D3 121,60 ± 5,21 mg. Berdasarkan penelitian, pengaruh pemberian dosis kombinasi aspirin 5,4 mg/200 g BB/hari dan dosis kalsium 15 mg/200 g BB/hari pada tikus dapat meningkatkan berat dan kadar kalsium tulang tibia secara efektif. ......Osteoporosis is a disease characterized by a severe decrease in bone mass that increases the risk of fractures. Previous studies have shown that high-dose aspirin (300 mg) has been shown to reduce plasma levels of Sphingosine-1-Phosphate (S1P). Low levels of S1P in the blood can activate S1PR1 which can direct osteoclast precursors back to the blood so that the process of osteoclastogenesis can be inhibited. This study was conducted to evaluate the effect of aspirin and calcium combination in vivo. This study used female Sprague-Dawley rats which were divided into 8 groups, namely sham and negative control which were given 1ml CMC Na 0.5%, positive control was given tamoxifen citrate 3.6 mg/200 g BW/day, aspirin group was given aspirin. 5.4 mg/200 g BW/day, the calcium group was given calcium citrate 15 mg/200 g BW/day, as well as 3 groups with variations in the dose of aspirin in combination with calcium citrate, namely D1 aspirin 1.8 mg/200 g BW/day, D2 aspirin 5.4 mg/200 g BW/day, D3 aspirin 16.2 mg/200 g BW/day where the three variations of the dose were combined with a dose of calcium citrate 15 mg/200 g BW/day. All rats were ovariectomized, except for the sham group which underwent surgery without removing the ovaries. After 4 weeks of ovariectomy, rats were treated for 28 days orally. The first parameter that was measured was the mass of the tibia bone with the average for bone mass in each group are 321.90 ± 10.39 mg for sham group, 272.300 ± 54.18 mg for negative control, 312.50 ± 40.86 mg for positive control, 336.67 mg for aspirin group, 335, 90 ± 60.66 mg for calcium group, 346.27 ± 83.90 mg for D1, 377.00 ± 36.10 mg for D2, and 336.67 ± 4.5 mg for D3. The second parameter measured was calcium levels with the average for calcium levels in each group are 111.08 ± 4.74 mg for sham group, 89.30 ± 23.94 mg for negative control, 109.69 ± 20.25 mg for positive control, 123.01 ± 17.98 mg for aspirin group, 124.53 ± 32.11 mg for calcium group, 120.19 ± 3.63 mg for D1, 149.22 ± 17.13 mg for D2, and 121.60 ± 5.21 mg for D3. Based on the research, the effect of a combination dose of aspirin 5.4 mg/200 g BW/day and calcium dose 15 mg/200 g BW/day in rats can increase the weight and calcium levels of the tibia bone effectively.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Franciscus Ari
Abstrak :
ABSTRAK
Efek samping gastroduodenal sering terjadi pada pengunaan aspirin jangka panjang, bahkan pada dosis yang sangat rendah (10 mg/hari). Saat ini angka kejadian kerusakan mukosa gastroduodenal akibat penggunaan aspirin dosis rendah jangka panjang di Indonesia belum diketahui. Tujuan: Mengetahui prevalensi dan gambaran endoskopi kerusakan mukosa gastroduodenal pada pengguna aspirin dosis rendah jangka panjang pada pasien yang berobat di RSCM, serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada pasien poliklinik dan ruang perawatan RSCM usia ≥ 18 tahun yang mengkonsumsi aspirin dosis rendah (75-325 mg) lebih dari 28 hari. Didapatkan 95 subjek penelitian melalui metode konsekutif dalam periode Desember 2015 ? April 2016. Temuan endoskopi berupa erosi mukosa dan ulkus peptikum dimasukkan ke dalam kelompok kerusakan mukosa. Hasil: Kerusakan mukosa gastroduodenal ditemukan pada pada 49 subjek (51,6% (95% IK 41,6-61,7%)), dengan gambaran erosi mukosa pada 38 subjek (40% (95% IK 30,2-49,9%)) dan ulkus peptikum pada 11 subjek (11,6% (95% IK 5,2-18,0%)). Hanya 44,9% pasien dengan kerusakan mukosa gastroduodenal memiliki keluhan dispepsia. Kombinasi antitrombotik meningkatkan risiko terjadinya kerusakan mukosa (OR 3,3 (95% IK 1,3 ? 8,5)). Sedangkan penggunaan obat golongan proton pump inhibitors (PPI) menurunkan risiko (OR 0,2 (95% IK 0,04 ? 0,60)). Kesimpulan: Kerusakan mukosa gastroduodenal terjadi pada lebih dari separuh pasien yang menggunakan aspirin dosis rendah jangka panjang. Kombinasi aintitrombotik meningkatkan risiko kerusakan mukosa. Sedangkan penggunaan PPI efektif dalam menurunkan risiko tersebut.
ABSTRACT
Background: Long-term aspirin therapy can induces gastroduodenal mucosal injury, even in a very low dose (10 mg daily). The frequency of gastroduodenal injuries among long-term low-dose aspirin users in Indonesia is currently unknown.Aim: To determine the gastroduodenal mucosal injury prevalence, endoscopic findings, and influencing factors among long-term low-dose aspirin users in RSCM. Methods: This study was a cross-sectional study conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Subjects were ≥ 18 years old patients that have been using low-dose aspirin (75-325 mg) for at least the preceding 28 days. Ninety five subjects were recruited consecutively in the period of December 2015 ? April 2016. Endoscopic findings such as erosions and ulcers were assessed as mucosal injuries. Results: Mucosal injury was found in 49 subjects [51.6% (95% CI 41.6?61.7%)]; mucosal erosion in 38 subjects [40% (95% CI 30.2?49.9%)] and ulcers in 11 subjects [11.6% (95% CI 5.2?18.0%)]. Only 44.9% patients with mucosal injury had dyspepsia symptoms. Double antiplatelet therapy increases the risk of mucosal injury [OR 3.3 (95% CI 1.3?8.5)]. However, proton pump inhibitor (PPI) decreases the risk [OR 0,2 (95% IK 0,04 ? 0,60)]. Conclusions: Gastroduodenal mucosal injury was found in more than half of long-term low-dose aspirin users. Double antiplatelet therapy increases the risk of mucosal injury, while PPI effectively reduced the risk.;
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Robby Effendy Thio
Abstrak :
Pendahuluan: Saat ini, pengobatan antiplatelet tunggal menggunakan aspirin atau clopidogrel direkomendasikan untuk pasien penyakit arteri perifer (PAD) pasca-revaskularisasi. Namun, penelitian terbaru menyarankan bahwa kombinasi rivaroxaban dan aspirin lebih menguntungkan. Kami melakukan tinjauan sistematis untuk menentukan efikasi dan keamanan kombinasi rivaroxaban dan aspirin dibandingkan dengan aspirin saja. Metode: Kami melakukan tinjauan sistematis berdasarkan Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-Analysis (PRISMA). Pencarian dilakukan di Cochrane, PubMed, Scopus, EBSCOHost, dan Google Scholar menggunakan kata kunci. Kriteria inklusi dan eksklusi diterapkan. Studi yang dipilih dinilai menggunakan Cochrane risk of bias tool versi 2 untuk inklusi. Studi yang terpilih diekstraksi untuk karakteristik dan hasil. Hasil dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Kami menggunakan model efek tetap atau acak untuk menentukan rasio tergabung yang sesuai. Interval kepercayaan 95% dan nilai p kurang dari 0,05 digunakan sebagai indikator signifikansi statistik. Hasil: Dua studi terkontrol acak multicenter dimasukkan setelah pencarian dan penilaian dengan risiko bias rendah. Kedua studi menunjukkan hasil efektivitas primer yang lebih baik dalam kelompok kombinasi dan perbaikan risiko perdarahan mayor. Analisis kuantitatif menemukan tingkat komplikasi PAD yang lebih rendah (OR=0,79; 95% CI=0,66–0,95) termasuk infark miokard, stroke, kematian kardiovaskular, dan iskemia tungkai akut. Kelompok kombinasi memberikan hasil keamanan primer (OR=1,32; 95% CI=1,06–1,67) dan sekunder (OR=1,47; 95% CI=1,19–1,84) yang lebih rendah. Kesimpulan: Kombinasi rivaroxaban dan aspirin memberikan hasil klinis yang lebih baik pada pasien PAD pasca-revaskularisasi. Namun, kombinasi ini harus digunakan dengan hati-hati karena dapat meningkatkan risiko perdarahan pada populasi tersebut. ......Introduction: Currently, single antiplatelet treatments using aspirin or clopidogrel were recommended for post-revascularization peripheral artery disease (PAD) patients. However, recent study suggested that combination of rivaroxaban and aspirin was more favorable. We conducted a systematic review to determine efficacy and safety of rivaroxaban and aspirin combination compared to aspirin alone. Method: We conducted a systematic review based on the Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-Analysis (PRISMA) statement. Searching was conducted on Cochrane, PubMed, Scopus, EBSCOHost, and Google Scholar using keywords. Inclusion and exclusion criteria were applied. Selected studies were appraised using Cochrane risk of bias tool v.2 for inclusion. Included studies were extracted for characteristics and outcomes. Outcomes were analyzed qualitatively and quantitatively. We used fixed- or random-effect model to determine pooled ratio per appropriate. A 95% confidence interval and p-value of 0.05 and below were used as indicators of statistical significance. Results: Two multicentered, randomized controlled studies were included after searching and appraisal with low risk of bias. Both studies showed greater primary effectivity outcome in combination group and improvements of major bleeding risk. Quantitative analysis found lower PAD complications rate (OR=0.79; 95% CI=0.66–0.95) which including myocardial infarct, stroke, cardiovascular death, and acute limb ischemia. Combination group provided lesser primary (OR=1.32; 95% CI=1.06–1.67) and secondary (OR=1.47; 95% CI=1.19–1.84) safety outcome. Conclusion: Combination of rivaroxaban and aspirin provided better clinical outcome in postrevascularization PAD patients. However, this combination should be used carefully as this yield larger risk of bleeding in the population.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Begawan Bestari
Abstrak :
Dual antiplatelet therapy (DAPT) is the mainstay of secondary prevention treatment for acute coronary syndrome (ACS) and ischemic stroke, especially after coronary intervention. DAPT consists of aspirin and P2Y12 receptor inhibitor (e.g. clopidogrel), and the use of DAPT has been increased over time. The most serious and common adverse effect is gastrointestinal bleeding. Guidelines in managing such condition are available among Gastroenterologist Societies and Cardiologist Societies. Most guidelines are consistent with each other to continue the use of aspirin while withholding P2Y12. However, European Society of Cardiologist (ESC) guideline in 2017 recommends P2Y12 receptor inhibitor as the preferred antiplatelet for patient with upper gastrointestinal bleeding. This review will look on the guidelines and other supporting evidence for the justification on the antiplatelet of choice.
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2019
610 UI-IJIM 51:3 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Priyono
Abstrak :
Selama beber^pa tahun terakhir, surfaktan banyak digunakan dan telah diformulasi dalam sediaan farmasi dan kosmetika. Beberapa surfaktan telah dipelajari pengaruhnya terhadap peningkatan stabilitas suatu bahan obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh solubilisasi surfaktanterhadap stabilitas aspirin dalam dapar fosfat pH 7,4. Surfaktan yang digunakan adalah Polisorbat 20, Polisorbat 60 dan Polisorbat 80. Jumlah yang digunakan sebesar 50 mg polisorbat 20, 25 mg polisorbat 60 dan 15 mg polisorbat 80. Stabilitas aspirin dilakukan dengan menyimpan pada temperatur 40° C, 50° C dan 60° C selama lima jam. Pengukuran kadar aspirin yang tertinggal dilakukan setiap satu jam dan dianalisis secara spektrofotometri simultan dengan metode Tinker dan Me bay pada panjang gelombang 275 nm dalam dapar klorida pH 2,4. Hasil menunjukkan bahwa solubilisasi polisorbat tidak meningkatkan stabilitas aspirin dalam dapar fosfat ph 7,4. Nilai konstanta kecepatan peruraian aspirin tanpa penambahan surfaktan lebih kecil daripada aspirin dengan penambahan surfaktan. ...... For the last few years, surfactant has already been used and formulatied in pharmaceutical preparation and cosmetics. There areseveral studies of the effect of several kinds of surfactants to increase the drug stability. This experiment is aimed to know the solubilization effect of surfactant to the stability of aspirin in pH 7.4 in buffer phosphat. The surfactants used for this experiment are Polysorbat 20, Polysorbat 60 and Polysorbat 80 in the amount of 50 mg of polysorbat 20, 25 mg of polysorbat 60 and 15 mg polisorbat 80. The stability test of aspirin was performed by keeping at 40°C, 50° C and 60° C for five hours. The measurement of the remained aspirin content was done every one hour and analyzed by simultaneous spectrophotometer using Tinker and Mc Bay method at the wave length of 275 nm in pH 2.4 of buffer chlorida. The results shows that the solubilization of polysorbat does not increase the stability of aspirin in pH 7.4 of buffer phosphat. The value of the decomposition rate constant for aspirin without the addition of surfactant proved to be lower than the added one.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1996
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Qurota Ayun
Abstrak :
Latar belakang: Penyakit Crohn adalah sebuah penyakit kronis inflamasi usus (IBD) yang dapat mengenai di beberapa bagian usus. Penyakit ini semakin meningkat insidensinya di negara berkembang, seperti Asia, karena terdapat perubahan pola gaya hidup. Di Indonesia, insidensi penyakit ini didapatkan 0,33 per 100.000 kasus. Penyakit ini disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu genetik, respons imun usus, dan mikroba, yang dipengaruhi oleh paparan lingkungan. Faktor-faktor inilah yang menentukan pengobatan penyakit Crohn. Pengobatan lini pertama penyakit ini adalah 5-ASA, antibiotik, dan kortikosteroid. Akan tetapi, karena berbagai efek samping yang ditimbulkan, banyak pasien beralih ke pengobatan alternatif, seperti konsumsi megavitamin atau suplementasi herbal. Salah satunya adalah kulit buah delima yang mengandung asam elagat yang diketahui mempunya efek sebagai anti-inflamasi. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk menilai efektivitas ekstrak etanol kulit buah delima sebagai anti-inflamasi terhadap jaringan kolon atau usus halus mencit yang diinduksi DSS melalui pengukuran caspase-3. Metode: Penelitian ini menggunakan bahan biologis tersimpan dengan desain eksperimental in vivo pada mencit yang diinduksi DSS 2%. Setiap kelompok (kelompok tanpa perlakuan, kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif dengan aspirin, kelompok kontrol positif dengan asam elagat, serta kelompok ekstrak kulit buah delima dosis 240 mg/KgBB/hari dan 480 mg/KgBB/hari) akan dinilai caspase-3 dengan menggunakan image-J yang kemudian akan dibandingkan setiap kelompoknya untuk menilai keefektifan ekstrak kulit buah delima sebagai anti-inflamasi. Hasil: Berdasarkan analisis post hoc Tukey, didapatkan perbedaan bermakna pada N terhadap KN, KP-1, KP-2, KD-1, dan KD-2 (p<0,05). KD-1 dan KD-2 memiliki rerata skor histologis yang lebih tinggi dibandingkan KN (p>0,05) serta lebih rendah dibandingkan KP-1 dan KP-2 (p>0,05). Simpulan: Pemberian ekstrak kulit buah delima memiliki kecenderungan meningkatkan ekspresi protein caspase-3 pada sel epitel usus halus mencit yang diinduksi oleh DSS 2%. ......Background: Crohn's disease is a chronic inflammatory bowel disease (IBD) that can affect several parts of the intestine. This disease has an increasing incidence in developing countries, such as Asia, due to changes in lifestyle patterns. In Indonesia, the incidence of this disease is 0.33 per 100,000 cases. This disease is caused by three main factors, namely genetics, intestinal immune response, and microbes, which are influenced by environmental exposure. These factors determine the treatment of Crohn's disease. The first line of treatment for this disease is 5-ASA, antibiotics, and corticosteroids. However, because of the various side effects that have been caused, many patients turn to alternative treatments, such as taking a megavitamin therapy or herbal supplementation. One of them is pomegranate peel which contains elagic acid compounds which is known to have anti-inflammatory effects. Objective: This study was conducted to measure the effectiveness of the ethanol extract of pomegranate peel as an anti-inflammatory against DSS-induced mice small intestine tissue through caspase-3 measurement. Method: This study used stored biological material with in vivo experimental design on mice induced by 2% DSS. Each group (the untreated group, the negative control group, the positive control group with aspirin, the positive control group with ellagic acid, and the pomegranate peel extract group at a dose of 240 mg / KgBW / day and 480 mg / KgBB / day) will be measured caspase-3 using image-J that will be compared each group to measure the effectiveness of the pomegranate peel extract as an anti-inflammatory. Result: Based on Tukey's post hoc analysis, there were significant differences in N against KN, KP-1, KP-2, KD-1, and KD-2 (p <0.05). KD-1 and KD-2 had a higher mean histological score than KN (p> 0.05) and lower than KP-1 and KP-2 (p> 0.05) Conclusion: The administration of pomegranate peel extract has a tendency to increase the expression of caspase-3 protein in mice small intestinal epithelial cells induced by 2% DSS.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univeritas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library