Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
H.S. Suhaedi
"Runtuhnya struktur politik kesultanan Banten telah membawa dampak sosioligis berupa pergeseran dimensi stratifikasi sosial masyarakat Banten. Jawara, yang menempati posisi terendah dalarn sejarah stratifikasi sosial masyarakat, telah mengalami mobilitas sosial menjadi strata atas dalam hirarki sosial masyarakat Banten saat ini.
Permasalahan penelitian ini, yaitu bagaimana mobilitas sosial jawara dapat terjadi dan apakah yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan mobilitas sosialnya. Mobilitas sosial mengacu kepada perubahan status baik yang berkaitan dengan individu maupun kelompok. Aspek-aspek historis untuk itu menjadi permasalahan panting untuk dapat menjelaskan bagaimana sebuah perubahan terjadi. Untuk mengelaborasinya, dan dalam upaya mendapatkan sebuah pemahaman dan gambaran yang bersifat holistik terhadap obyek kajian, lebih tepat apabila dilakukan dengan pendekatan historis yang meliputi situasi sosial, politik, kebudayaan, ekonomi, dan aspek-aspek lainnya yang dipandang menjadi indikator yang turut mempengaruhi mobilitas sosial jawara.
Metode penelitian adalah studi kasus dengan paradigma kualitatif. Sumber data primer dari individu yang merepresientasikan sebagai tokoh jawara atau individu yang merepresentasikan dirinya dalam kelompok, organisasi, atau masyarakat. Adapun pola mobilitas sosial yang dikaji meliputi mobilitas sosial vertikal dan mobilitas sosial horizontal serta aspek-aspek yang mempengaruhinya.
Berdasarkan hasil analisis menunjukan bahwa; pertama, aneksasi kesultanan oleh pemerintahan kolonial Belanda selain telah meruntuhkan struktur politik tradisional juga memberikan pengaruh terhadap melemahnya status sosial bangsawan dalam struktur sosial masyarakat. Perubahan tersebut mempengaruhi Penguasaan terhadap sumber-sumber kekuasaan tidak lagi didasarkan kepada status sosial kebangsawanan seseorang.
Kedua, pada awal abad ke 19, sebagian terbesar masyarakat pedesaan di Banten telah mengalami dampak sistem komersialisasi, kapitalisasi sistem agraria, proses birokratisasi, edukasi, dan inovasi-inovasi Iain yang diterapkan oleh pemerintahan kolonial. Rakyat beserta para pemimpinnya terancam kepentingan dan kedudukannya sehingga mempengaruhi keresahan sosial dan munculnya sikap anti kolonial. Kebijakan-kebijakan pemerintahan kolonial mengakibatkan masyarakat kehilangan hak-hak atas tanah dan pekenjaannya. Kondisi tersebut diperparah dengan kebijakan pajak yang sangat tinggi dan sangat memeberatkan masyarakat kecil secara umum. Dalam kondisi tersebut jawara dipandang sebagai tokoh yang dapat memberikan perlindungan dan perimbangan kekuatan (balance of power) terhadap praktek kolonialisasi.
Ketiga, untuk memperluas kekuasaannya, pasca berakhirnya kolonialisasi jawara melakukan metamorfosa tubuh dengan melakukan peran-peran sosial politik. Jawara menjadi centeng atau keamanan tradisional pada sentra-sentra ekonomi atau masyarakat. Padajabatan pemerintahan menjadi jaro atau kepala desa.
Keempat, kekerasan menjadi salah satu strategi untuk rneningkatkan mobilitas sosial jawara. Kehormatan yang diterima jawara dari masyarakat adaiah kehormaian yang bercampur dengan rasa ketakutan. Karena begitu dominannya rasa takut yang luar biasa sehingga kekuasaannya cenderung diikuti.
Kelima, motif dari tindakan sosial-politik jawara memiliki orientasi kuat terhadap penguasaan sumber-sumber ekonomi.
Keenam, dalam mengembangkan mobilitas sosialnya, jawara melakukan pola mobilitas vertikal dan horizontal. Secara vertikal, jawara melakukan mobilitas intragenerasi yang berkaitan dengan pengalaman hidupnya sebagai seorang jawara. dan secara horizontal, jawara mengembangkan mobilitas dengan meningkatkan peran-peran sosial-politiknya.
Ketujuh, mobilitas sosial jawara selain didukung oleh faktor-faktor budaya, juga didukung oleh struktur politik orde baru. Struktur politik orde baru memberikan peluang akses politik dan ekonomi jawara. Partai politik menjadi instumen untuk memperluas otoritas kekuasaan jawara.
Kesimpulan teoritik, mobilitas jawara mengalami proses yang cukup komplek dan tidak cukup menggunakan satu pendekatan teori. Oleh karena itu teori kekuasaan Lenski yang menempatkan power (kekuasaan) sebagai dimensi utama dalam mempengaruhi stratifikasi sosial perlu dimodifikasi dengan teori Weber tentang posisi ekonomi, status sosial dan partai yang turut menentukan stratifikasi sosial. Persebaran kekuasaan melalui partai politik sangat strategis dan efektif memperluas pengakuan terhadap kepemimpinan jawara dan secara langsung mempengaruhi dimensi privilise dan prestise jawara. Penguasaan terhadap sumber-sumber ekonomi akibat kekuasaan yang dimilikinya, bagi jawara menumbuhkan sifaf-sifat altruisme yang tidak hanya memiliki hubungan yang bersifat parsial dengan dimensi privilise. Adanya sikap jawara untuk bekerjasama atau adanya perhatian terhadap kepentingan yang bersifat kemasyarakatan, bagi jawara memiliki hubungan langsung dengan kepentingan prestise dan memiliki dimensi politis yang cukup kental untuk memperkuat otoritas kekuasaannya. Sikap altruisme jawara tidak hanya muncul satu arah yang berhubungan dengan dimensi privilise sebagaimana dijelaskan Lenski.
Kekerasan jawara telah melahirkan generasi penakut terhadap masyarakat Banten secara keseluruhan. Untuk itu dipandang perlu bagi semua pihak, terutama pemerintah daerah memberikan perhatian kepada kualitas pendidikan yang berorientasi kepada pemahaman sivil society bagi jawara. Mengingat para jawara banyak yang bergerak di bidang usaha jasa, pemerintah daerah perlu mengadakan pembinaan secara intensif manejemen usaha profesional dan modern. Pemerintah daerah dipandang perlu membuat peraturan daerah Komisi Tranparansi dan Partisipasi (KTP). Perlu juga membuat peraturan daerah tentang visi yang berkaitan dengan capaian target pembangunan Banten ke depan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21469
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raka Prima Santosa
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai kelanjutan perlawanan penduduk Banten terhadap pemerintah kolonial Belanda setelah pemberontakan komunis 1926. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Pemberontakan Komunis 1926 telah membuat pemerintah kolonial Belanda melakukan pengetatan keamanan di Banten. Selama periode penelitian ini tidak terjadi pemberontakan atau kerusuhan seperti yang terjadi selama abad ke-18 dan 19. Perlawanan penduduk Banten terhadap pemerintah kolonial yang pada masa sebelumnya disimbolkan dengan kerusuhan dan pemberontakan, berganti dengan aksi-aksi jawara yang meresahkan keamanan dan ketertiban bagi pemerintah Belanda. Penyebaran sentimen negatif dari kyai kepada santri dan penduduk Banten menyebabkan hambatan interaksi antara pemerintah kolonial dan penduduk Banten. Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa bentuk perlawanan penduduk Banten yang sebelumnya dilakukan dengan kerusuhan dan pemberontakan, selama masa ini tergantikan oleh penyebaran sentimen ideologis kyai dan aksi-aksi jawara yang didukung oleh penduduk Banten.

ABSTRACT
This thesis discusses about the continuation of the resistance of the Banten people to Dutch colonial government after the communist uprising 1926. The methodology used in this study is the historical method, consists of heuristic, criticism, interpretation, and historiography. Communist uprising in 1926 has made the Dutch colonial government to tighten security in Banten. During the period of this study there is no uprising or riot as happened during the 18th and 19th century. The resistance of the Banten people against colonial government which in the past symbolized by unrest and uprising, changed to the spread of negative sentiment by kyai to their santris and Banten people and cause barriers interaction between the colonial government and Banten people. And also by the actions of jawara by disturbing Dutch governments security and order. From this research, it can be concluded that the shape of Banten resistance previously done by riots and rebellion, during this time is replaced by the deployment of ideological sentiment by kyai and jawara actions supported by Banten people."
2017
S68144
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tb Dony Nurpatria
"Sewaktu agresi militernya yang pertama pasukan Belanda tidak menyerang Banten namun pada tanggal 23 Desember 1948 Banten tidak luput dan serangan pasukan Belanda. Hanya dalam waktu kurang dan seminggu semua kota-kota besar di Karesidenan Banten telah dikuasai pasukan Belanda. Dikuasainya kota-kota itu memaksa para pamong praja dan tentara yang anti Belanda untuk pergi dari kota dan pergi mengungsi kepedalaman. Tempat yang telah disepakati antara pihak militer dengan sipil adalah suatu daerah di Pandeglang Selatan yaitu di Kawedanaan Cibaliung dan Munjul. Dari tempat itulah semua strategi diatur dan disusun baik oleh pihak sipil maupun pihak militer. Kerjasama antara kedua belah pihak berjalan sangat erat, pihak militer beserta seluruh unsur perjuangan melakukan pertempuran digaris depan dengan cara bergerilya sedangkan pihak sipil atau pamong praja yang banyak terdiri dari ulama berusaha untuk menenangkan hati rakyat dan menumbuhkan semangat juang rakyat dan tentara dan juga menyediakan perbekalan bagi kelangsungan perjuangan. Selama kurang lebih satu tahun pertempuran berkecamuk diseluruh Banten dengan Pandeglang Selatan sebagai pusat komando gerilyanya. Pada akhirnya gencatan dilakukan antara pihak RI dengan Belanda sesuai dengan persetujuan Konfrensi Meja Bundar."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S12201
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Dwi Jaya Karya, 1995
959.8 BAN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library