Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Grace Widyarani
"ABSTRAK
Latar belakang: Stratifikasi risiko terhadap pembedahan sangat membantu dalam pengambilan keputusan klinis perioperatif, edukasi, evaluasi, dan audit klinis. Kraniotomi pada tumor otak sebagai tindakan pembedahan berisiko tinggi belum memiliki stratifikasi risiko yang akurat di RSUPNCM karena masih menggunakan ASA yang bersifat subjektif dan kurang informatif. P-POSSUM terbukti tepat dalam prediksi mortalitas pascabedah kraniotomi di India dan Inggris, namun belum diketahui ketepatannya di Indonesia, khususnya di RSUPNCM. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketepatan P-POSSUM dalam prediksi mortalitas pascabedah kraniotomi pada tumor otak di RSUPNCM. Metode: Disain penelitian adalah deskriptif analitik retrospektif terhadap seluruh pasien dewasa dengan tumor otak yang menjalani kraniotomi di RSUPNCM selama periode Januari 2015 - Desember 2016. Hasil: Sebanyak 196 subjek dilibatkan dalam analisis risiko mortalitas. Didapatkan rasio O:E 1,68 secara keseluruhan dengan rasio O:E 1,91 pada jangkauan risiko 0-5 dan 1,69 pada jangkauan risiko 11-20 . Hasil uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan perbedaan yang signifikan antara angka mortalitas prediksi dan aktual p=0,006 . Simpulan: P-POSSUM tidak tepat dalam prediksi mortalitas pascabedah kraniotomi di RSUPNCM. Diperlukan kajian dan penyesuaian lebih lanjut sebelum P-POSSUM dapat digunakan pada populasi bedah saraf di RSUPNCM.

ABSTRACT
Background Risk stratification in surgery helps in perioperative clinical decision making, education, evaluation, and clinical audit. Craniotomy on brain tumor as a high risk surgery does not have an accurate risk stratification in RSUPNCM because they still use ASA, which is subjective and not informative. P POSSUM had been proven to be accurate in predicting postoperative mortality after craniotomy in India and England, but it has not been studied in Indonesia, especially in RSUPNCM. Aim This study was done to gain knowledge about the accuracy of P POSSUM for predicting mortality after craniotomy in brain tumor in RSUPNCM. Methods This was a retrospective descriptive analytic study on adults with brain tumor scheduled to have elective craniotomy in RSUPNCM between January 2015 ndash December 2016. Result 196 subjects were analyzed in this study. Overall O E ratio was 1.68 with O E ratio of 1.91 in the risk range of 0 5 and 1.69 in the risk range of 11 20 . Hosmer Lemeshow test showed significant difference between predicted and actual mortality rate p 0.006 . Conclusion P POSSUM was not accurate for predicting mortality after craniotomy in RSUPNCM. Further studies and adjustments are needed before P POSSUM can be used in neurosurgery population in RSUPNCM."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Ayu Sinthia
"Latar belakang: Tumor otak merupakan penyakit neurologi yang memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi akibat progresivitas gejalanya. Keberadaan tumor otak dapat mendestruksi jaras aferen dan eferen visual dengan demikian beberapa tumor otak memiliki manifestasi neurooftalmologi yang khas. Pengolahan data mengenai kelainan neurooftalmologi akibat tumor otak belum dilakukan sehingga belum dapat ditarik kesimpulan mengenai sebaran kelainan neurooftalmologi pasien tumor otak dan hubungan antara manifestasi klinis neurooftalmologi dengan karakteristik tumor otak.
Metode penelitian: Penelitian menggunakan disain analitik observasional potong lintang untuk mengetahui pola manifestasi neurooftalmologi pasien tumor otak dan karakteristik tumor otak yang berhubungan pada pasien tumor otak yang menjalani pemeriksaan neurooftalmologi pra-operasi dari bulan Januari 2014 hingga Desember 2019. Data kategorik disajikan dalam frekuensi dan persentase. Data numerik sebaran normal disajikan sebagai rerata sedangkan data sebaran tidak normal disajikan sebagai median dan nilai maksimalminimal. Analisis hubungan dua variabel kategorik menggunakan uji chi square atau uji Fisher. Hubungan antar variabel bermakna apabila p <0,05.
Hasil: Terdapat 70 subjek penelitian dengan sebagian besar berjenis kelamin perempuan 62,9% dan usia rata-rata 41,9+12,8 tahun. Terdapat 48 subjek tumor otak primer (68.6%) dengan jenis terbanyak meningioma (31,3%) dan adenoma hipofisis (29,2%). Diantara subjek tumor otak sekunder, keganasan payudara merupakan sumber metastasis terbanyak (36,4%). Jumlah lesi tumor otak mayoritas terdapat pada >1 lokasi dengan distribusi dominan unilateral. Lokasi tumor terbanyak di lobus frontal diikuti regio sela dan lobus oksipital. Seluruh subjek tumor otak penelitian ini memiliki manifestasi neurooftalmologi (100%) dengan kelainan bervariasi, tiga diantaranya persentase > 50%, yakni kelainan funduskopi (72,9%), gangguan visus (65,7%), gangguan gerak bola mata (51,4%). Manifestasi neurooftalmologi sebagian besar disertai manifestasi neurologis non-neurooftalmologi (68,6%). Karakteristik manifestasi neurooftalmologi predominan merupakan kombinasi beberapa kelainan (75,7%) dan distribusi pada dua mata (90,0%). Gangguan visus memiliki derajat keparahan berat– buta (Log MAR > 1.02) dan funduskopi papil atrofi (74,3%). Awitan manifestasi neurooftalmologi sebagian besar ≥3 bulan (62,7%). Pada penelitian ini, manifestasi neurooftalmologi dapat menjadi presentasi awal penyakit dengan persentase hampir separuh subjek (41.4%). Jenis tumor primer lebih menyebabkan gangguan lapang pandang dibandingkan tumor sekunder (p=0,002). Lokasi lesi memiliki hubungan signifikan dengan semua variabel manifestasi neurooftalmologi (p<0,05). Jumlah lokasi lesi >1 lokasi lebih menyebabkan kelainan funduskopi secara bermakna (p=0,043). Distribusi lesi tidak memiliki hubungan bermakna dengan semua variabel manifestasi neurooftalmologi. Tumor otak sekunder memiliki awitan lebih cepat (<3 bulan) untuk menyebabkan manifestasi (p=0,000). Adapun lokasi lesi tidak mempengaruhi karakteristik manifestasi neurooftalmologi pada semua variabel. Awitan dipengaruhi oleh jumlah lokasi tumor yaitu lokasi tumor tunggal menyebabkan awitan 3 bulan bermakna (p=0,028). Distribusi lesi bilateral lebih cepat menyebabkan manifestasi neurooftalmologi yaitu <3 bulan (p=0,002).
Kesimpulan: Angka kejadian manifestasi neurooftalmologi pada pasien tumor otak pada penelitian mencapai 100% dengan kelainan funduskopi sebagai temuan terbanyak. Terdapat beberapa karakteristik tumor yang berhubungan secara signifikan dengan temuan manifestasi neurooftalmologi.

Background: Brain tumor is neurological disease having high morbidity and mortality due to progression of its symptoms. Presence of brain tumors can destroy visual pathways, thus some brain tumors have spesific neuroophthalmic (NO) manifestations. Data processing regarding neuroophthalmic disorders in brain tumors has not been carried out so that conclusions cannot be drawn regarding neuroophthalmic manifestations in brain tumor patients and its relationship with brain tumor characteristics.
Method: This is a cross-sectional observational analytic study to determine the pattern of neuroophthalmic manifestations of brain tumor patients and the associated brain tumor characteristics in brain tumor patients who underwent preoperative neuroophthalmological examination from January 2014 to December 2019. Categorical data will be presented in frequency and percentage. Normal distribution numerical data will be presented as mean, while abnormal distribution will be presented as median and maximum-minimum values. Analysis of relationship between two categorical variables is using chi square test or Fisher's exact test. Relationship between variables was significant if p <0.05.
Results: There were 70 subjects who met the inclusion criteria, most of them were female 62.9% with an average age of 41.9+12.8 years. There were 48 subjects with primary brain tumors (68.6%) with predominance of meningioma (31.3%) and pituitary adenomas (29.2%). Among the secondary brain tumor subjects, breast malignancy was most common metastases source (36.4%). Majority of brain tumor lesions in this study were in >1 location with dominant unilateral distribution. Most common tumor locations were in frontal lobe, sella region and occipital lobe. All brain tumor subjects in this study had neuroophthalmic manifestations (100%), mostly having percentage >50%, i.e. fundoscopic abnormalities (72.9%), visual disturbances (65.7%) and eye movement disorders (51.4%). Visual field disturbances have the smallest percentage (42.6%). Neuroophthalmic manifestations in this study were mostly accompanied by non-neuroophthalmic neurological manifestations (68.6%). Characteristic of the predominant neuroophthalmic manifestation were combination of several abnormalities (75.7%) and two eyes distribution (90.0%). Most of the visual disturbances were severe-blind (Log MAR > 1.02) and atrophic papillary funduscopy (74.3%). Onset of neuroophthalmic manifestations was mostly >3 months (62.7%). Neuroophthalmic manifestation could be the initial presentation of disease in almost half of the subjects (41.4%). Primary tumor caused more visual field disturbances significantly (p=0.002). Location of the lesion had significant relationship with all variables of neuroophthalmic manifestation (p<0.05). Tumor with more than 1 location caused more funduscopic abnormalities (p=0.043). Distribution of lesions did not have a significant relationship with all the neuroophthalmic variables. Secondary brain tumor had a faster onset (<3 months) to cause significant neuroophthalmic manifestations (p=0.000). Location of the lesion did not affect the neuroophthalmic characteristics in all variables. The onset of the neuroophthalmic manifestation was influenced by the number of tumor locations, which is a single tumor causing faster onset (p=0.028). The distribution of bilateral lesions was causing the neuroophthalmic manifestation faste (p=0.002).
Conclusion: The incidence of neuroophthalmic manifestations in brain tumor patients in this study reached 100% with fundoscopic abnormalities as the most common finding. There are several tumor characteristics that significantly associated with the neuroophthalmic manifestations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Jans Juliana Raouli
"ABSTRAK
Latar Belakang. Pasien tumor otak sangat berpotensi mengalami distres karena tumor otak menimbulkan disabilitas, menurunkan kualitas hidup bahkan menyebabkan kematian. Kerentanan dalam mengalami distres dipengaruhi kemampuan koping pasien. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya distres dan gambaran strategi koping pada pasien tumor otak sebelum mendapatkan terapi.Metode. Desain penelitian analitik observasional dengan rancangan studi potong lintang cross sectional , subyek penelitian pasien tumor otak yang belum mendapatkan terapi, berjumlah 140 orang. Pengambilan sampel menggunakan teknik non probability sampling berupa consecutive sampling. Instrumen penelitian menggunakan self report questionnaire: Distress Thermometer DT dan instrumen Coping Orientation to the Problem Experienced COPE yang telah diadaptasi di Indonesia. DT terdiri dari penilaian subyektif mengenai distres dan domain distres. Instrumen COPE termasuk Religious Coping Scale, terdiri dari 61 pernyataan dengan skala likert 1 sampai 4. Data dianalisis menggunakan SPSS versi 20. Tingkat kemaknaan yang digunakan untuk uji statistik adalah p< 0,05. Hasil. Proporsi distres pada pasien tumor otak sebelum mendapatkan terapi sebesar 68,6 . Domain distres banyak dilaporkan adalah masalah fisik 95,7 , masalah emosional 88,3 , dan masalah praktis 77,9 . Domain terkait gejala khas tumor otak yaitu nyeri kepala 78,6 , kelemahan di kaki atau lengan 54,3 dan pandangan/penglihatan ganda 50,7 . Subyek yang mengalami distres memiliki rerata active coping dan religious focused coping lebih rendah serta rerata emotion focused coping dan avoidance coping lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengalami distres. Korelasi emotion focused coping dan avoidance coping dengan distres r=0,3 dan 0,2 ; p< 0,05 . Korelasi religious focused coping dengan distres r=-0,2 ; p< 0,05 Simpulan. Proporsi distres pasien tumor otak 68,6 . Domain distres antara lain masalah fisik 95,7 , masalah emosional 88,3 , dan masalah praktis 77,9 . Emotion focused coping memiliki korelasi positif sedang dan avoidance coping memiliki korelasi positif lemah dengan distres. Religious focused coping memiliki korelasi negatif lemah dengan distres. Kata Kunci: tumor otak, distres, strategi koping

ABSTRACT
Background. Brain tumor patients are potentially prone to distress because of the disability directly caused by the tumor. Vulnerability to distress affected by patients rsquo coping skills. The purpose of this study is to determine the factors associated with the occurrence of distress and coping strategies overview on brain tumor patients before therapy.Method. The study design was observational analytic with cross sectional design. The subjects were brain tumor patients who have not received treatment, amounted to 140 people. Sampling was done using non probability sampling in the form of consecutive sampling. The research instruments used were self report questionnaire Distress Thermometer DT and Coping Orientation to Problems Experienced COPE , which has been adapted to Indonesia. DT consisted of a subjective assessment of the distress and distress domains. COPE instrument, including the Religious Coping Scale, consisting of 61 statements with Likert scale of 1 to 4. Data were analyzed using SPSS version 20. The level of significance used for the statistical tests was p"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mamay Kusumawaty
"Insiden tumor otak tertinggi dilaporkan di Asia sebanyak 156,217 kasus atau 52.6%. Tumor otak adalah jenis kanker yang langka namun mematikan dengan tingkat kelangsungan hidup yang rendah. Pasien dengan tumor otak dengan keluhan gangguan penglihatan, kesulitan berbicara serta gangguan neurologis akan mengalami masalah disfungsi kognitif, neuropsikiatri dan fungsional. Hal ini tidak hanya berdampak kepada pasien, namun juga pada keluarga. Kejadian kanker pada
anggota keluarga meningkatkan beban caregiver yang merawat.
Perawat memiliki peran penting dalam pemberian asuhan kepaerawatan tidak hanya pada pasien, namun juga pada keluarga sebagai caregiver. Dalam melaksanakan perannya sebagai caregiver akan banyak mengalami masalah fisik, psikologis, sosial dan ekonomi. Salah satu pendekatan teori keperawatan yang sesuai untuk diterapkan pada kondisi ini adalah teori Chronic Sorrow yang membahas fenomena spesifik tentang masalah-masalah yang timbul dari penyakit kronis mencakup proses berduka, kehilangan, faktor pencetus dan metode manajemennya. Residen mengaplikasikan Evidence-Based Practice Nursing (EBPN) psikoedukasi yang bertujuan menurunkan burden caregiver pasien dengan tumor otak. Psikoedukasi dalam pengelolaan lima kasus kelolaan berpengaruh signifikan dalam menurunkan burden caregiver yang dinilai dengan menggunakan instrumen Zarit Burden
Interview (ZBI).

The highest incidence of brain cancer was reported in Asia with 156,217 cases or 52.6%. Brain cancer is a rare but deadly type of cancer with a low survival rate. This not only impacts the patient, but also the family. The incidence of cancer in family members increases the burden on caregivers. Nurses have an important role in providing nursing care not only to patients, but also to families. One of the emergence theory approaches that is suitable to be applied to this condition is the theory of chronic grief which discusses the specific phenomenon of problems arising from chronic illness including the process of depression, loss, precipitating factors and methods of management. Residents apply Psychoeducation intervention as Evidence-Based Practice Nursing (EBPN) which aims to reduce the caregiver burden of patients with brain tumors. The result of five managed cases is provides that psychoeducation has significant effect on reducing the burden of caregivers assessed using the Zarit Burden Interview (ZBI) instrument."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Idha Nurfallah
"Tumor merupakan benjolan yang dapat terbentuk di bagian tubuh mana pun, disebabkan oleh pertumbuhan sel di dalam dan sekitar jaringan yang tidak normal dan tidak terkendali. Pasien tumor otak akan merasakan emosi seperti syok, agitasi, kemarahan, kesedihan, dan penarikan diri. Penarikan diri muncul karena ketakutan terhadap kemungkinan akibat yang terjadi, seperti perubahan citra tubuh atau kematian sehingga terjasi distress pada pasien tumor otak. Distress adalah pengalaman tidak menyenangkan multifaktorial yang berasal dari berbagai faktor, termasuk aspek psikologis (seperti kognitif, perilaku, dan emosional), aspek sosial, spiritual, dan fisik yang dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk mengatasi kanker secara efektif, gejala fisik dan pengobatannya. Salah satu cara untuk menurunkan distress adalah dengan aromaterapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas aromaterapi terhadap nilai distress pada pasien tumor otak. Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuasi eksperimen (quasi experimental) dengan rancangan non- randomized pre-test-post-test with control. Besar sampel pada penelitian ini menggunakan porpusif random sampling yang berjumlah 15 responden kelompok intervensi dan 15 responden kelompok kontrol. Analisa data diperoleh nilai p value = 0.000 (p<0,05) yang artinya terdapat perbedaan yang signifikan nilai distress pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Pemberian aromaterapi terbukti efektif menurunkan nilai distress pada pasien tumor otak di bandingkan dengan kelompok kontrol yang mendapatkan sesuai standar RS. Peningkatan pemberian terapi komplamenter seperti aromaterapi dapat menurunkan distress pada pasien tumor otak.

Tumor are a lump that can form in any part of the body, caused by abnormal and
uncontrolled cell growth in and around tissue.Brain tumor patients will feel emotions
such as shock, agitation, anger, sadness, and withdrawal. Withdrawal arises due to fear
of possible consequences that occur, such as body image changes or death resulting in
distress in brain tumor patients. DistressIt is a multifactorial unpleasant experience that stems from a variety of factors, including psychological aspects (such as cognitive, behavioral, and emotional), social, spiritual, and physical aspects that can interfere with a person's ability to effectively manage cancer, its physical symptoms and treatment. One way to reduce distress is with aromatherapy. This study aims to determine the effectiveness of aromatherapy on distress values in brain tumor patients. This study uses a quasi-experimental research design with a non-randomized pre-test-post-test with control design. The sample size in this study used random sampling which amounted to 15 participants in the intervention group and 15 respondents in the control group. Data
analysis obtained a value of p value = 0.000 (p<0.05) which means that there is a difference in
significant distress values in the intervention group and control group. The
administration of aromatherapy was proven to be effective in reducing the distress value
in brain tumor patients compared to the control group that received according to hospital
standards. Increased delivery of complementary therapiessuch as aromatherapy can
reduce distress in brain tumor patients
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dibyo Harjo Susanto
"Pendahuluan Tumor Otak merupakan pertumbuhan jaringan otak yang tidak wajar atau abnormal dan berkembang tidak terkontrol. Prevalensi tumor otak di dunia maupun di Indonesia setiap tahun cenderung meningkat yang diikuti dengan peningkatan angka kematian pada pasien tumor otak. Kraniotomi dan general anestesi menjadi peristiwa paling traumatis dalam kehidupan seseorang. Kecemasan preoperatif merupakan reaksi yang ditunjukkan oleh sebagian pasien yang dijadwalkan untuk menjalani prosedur pembedahan yang ditandai dengan perubahan fisiologis maupun psikologis. Peningkatan kecemasan preoperatif berdampak negatif pada proses perioperatif. Kecemasan preoperatif menjadi satu masalah dengan berbagai faktor yang mendasarinya. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kecemasan pada pasien tumor otak sebelum tindakan kraniotomi elektif. Metode Penelitian ini merupakan deskriptif analitik dengan desain cross sectional yang melibatkan 100 responden di ruang rawat inap RSCM Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara usia (p = 0,019), pekerjaan (p = 0,015), persepsi terhadap penyakit (p = 0,001), pengetahaun tentang pembedahan (p = 0,001), perasaan takut (p = 0,001), dukungan sosial (p = 0,001), pengalaman spiritual (p = 0,043), dan riwayat pembedahan sebeluimnya (p = 0,004) terhadap kecemasan pada pasien tumor otak sebelum kraniotomi elektif. Adapun faktor dominan yang berpengaruh atau berhubungan dengan kecemasan pada pasien tumor otak sebelum kraniotomi elektif yaitu usia (OR = 17,73) dan persepsi terhadap penyakit (OR = 9,53). Kesimpulan kecemasan sebelum kraniotomi elektif paad pasien tumor otak berhubungan dengan usia, pekerjaan, persepsi terhadap penyakit, pengetahuan tentang pembedahan, perasaan takut, dukungan soisal, pengalaman spiritual dan riwayat pembedahan sebelumnya. Faktor yang paling berhubungan adalah usia dan persepsi terhadap penyakit.

Introduction Brain tumors are abnormal or unnatural growth of brain tissue that develops uncontrollably. The prevalence of brain tumors in the world and in Indonesia tends to increase every year, followed by an increase in mortality in brain tumor patients. Craniotomy and general anesthesia are the most traumatic events in a person's life. Preoperative anxiety is a reaction shown by some patients who are scheduled to undergo a surgical procedure characterized by physiological and psychological changes. Increased preoperative anxiety has a negative impact on the perioperative process. Preoperative anxiety is a problem with various underlying factors. Purpose This study aims to determine the factors associated with anxiety in brain tumor patients before elective craniotomy. Metohod This research method is descriptive analytical with a cross-sectional design involving 100 respondents in the inpatient room of RSCM Jakarta. Result The results showed a significant relationship between age (p = 0.019), occupation (p = 0.015), perception of illness (p = 0.001), knowledge of surgery (p = 0.001), fear (p = 0.001), social support (p = 0.001), spiritual experience (p = 0.043), and previous surgical history (p = 0.004) on anxiety in brain tumor patients before elective craniotomy. The dominant factors that influence or are associated with anxiety in brain tumor patients before elective craniotomy are age (OR = 17.73) and perception of illness (OR = 9.53). Conclusions anxiety before elective craniotomy paad in brain tumor patients is related to age, occupation, perception of disease, knowledge of surgery, feelings of fear, social support, spiritual experience and previous surgical history. The most related factors are age and perception of disease."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library