Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 87 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raymond Surya
"Latar belakang: Setiap tahun, lebih dari 135.000 orang di bawah usia 45 tahun didiagnosis kanker. Deteksi dan penatalaksanaan yang baik pada pasien kanker membuat angka harapan hidup meningkat. Kemajuan teknologi di bidang preservasi fungsi reproduksi menjawab permasalahan fungsi reproduksi pada pasien kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pengetahuan, sikap, dan perilaku dokter yang melayani pasien kanker mengenai preservasi fungsi reproduksi.
Metode: Studi deskriptif dengan metode potong lintang dilaksanakan di RSUD tipe D di Jakarta dan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sejak 1 November 2017 hingga 31 Agustus 2019. Penelitian ini melibatkan dokter yang melayani pasien kanker. Kami mengeksklusi jika kuesioner tidak lengkap atau tidak dikembalikan kepada peneliti. Penelitian ini dimulai dari translasi, validasi kuesioner, hingga pengambilan subjek penelitian. Data ditampilkan secara deskriptif. Penelitian ini sudah lolos kaji etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan nomor 926/UN2.F1/ETIK/2017.
Hasil: Sebagian besar dokter umum, spesialis, dan subspesialis yang berpartisipasi dalam penelitian ialah 26-30 tahun (65,4%), 31-35 tahun (70,4%), dan 31-40 tahun (53%). Dokter umum paling mengetahui fertilisasi in vitro dengan preservasi beku embrio (12,1%). Dokter spesialis paling mengetahui preservasi beku sperma (25,4%). Sementara itu, dokter subspesialis paling mengetahui fertilisasi in vitro dengan preservasi beku embrio, preservasi beku sperma, dan penanganan sebelum tatalaksana kanker (pre-treatment) dengan agonis GNRH (seperti suntikan depot leuprolide) dengan presentase 13%. Preservasi kesuburan sebagai prioritas penting pada pasien kanker yang baru didiagnosis paling banyak menunjukkan sikap positif dari dokter umum (72,0%), dokter spesialis (73,3%), dan dokter subspesialis (100%). Dokter umum paling banyak memiliki perilaku untuk merujuk pasien yang memiliki pertanyaan tentang kesuburan ke spesialis fertilitas (44,4%). Dokter spesialis (54,9%) maupun dokter subspesialis (67%) paling banyak menunjukkan perilaku untuk mediskusikan kemungkinan dampak kondisi pasien dan/ atau penanganan terhadap kesuburan mereka di masa mendatang.
Kesimpulan: Preservasi fungsi reproduksi yang paling diketahui dokter umum berbeda dengan dokter spesialis maupun subspesialis. Sikap positif baik pada dokter umum, spesialis, dan subspesialis sama. Perilaku pada dokter umum berbeda dengan dokter spesialis dan subspesialis.

Introduction: More than 135,000 people under 45 years old diagnosed cancer annually. Good detection and management of cancer patients increases the quality of life. Technology advancement in fertility preservation is the answer for cancer patients. This study aims to determine knowledge, attitude, and practice of practitioners providing health cancer patients about fertility preservation.
Methods: Descriptive study with cross-sectional study was conducted in type D government hospital and Dr. Cipto Mangunkusumo hospital in Jakarta between 1st November 2017 and 31st August 2019. This study involved practitioners providing cancer patients. We excluded whether incomplete questionnaire or not submitted to author. Data were described descriptively. It has been verified by ethical committee of Medical Faculty Universitas Indonesia under 926/UN2.F1/ETIK/2017.
Results: Most of general practitioners, specialists, and subspecialists participated in this study were 26-30 years old (65.4%), 31-35 years old (70.4%), and 31-40 years old (53%); respectively. General practitioners knew in vitro fertilization (IVF) with embryo cryopreservation (12.1%) at most. Specialists knew most widely sperm cryopreservation (24.5%). Meanwhile, subspecialists knew IVF with embryo cryopreservation, sperm cryopreservation, and cancer pre-pretreatment with GnRH agonist (such as leuprolide injection) with percentage of 13%. Positive attitude of fertility preservation as important priority on cancer patients was showed among general practitioners (72.0%), specialists (73.3%), and subspecialists (100%). General practitioners mostly referred patients to fertility specialist (44.4%). In the meantime, specialists (54.9%) and subspecialists (67%) discussed the possibility of patient condition and/ or treatment to fertility in future at most.
Conclusion: The knowledge of fertility preservation is different among general practitioners, specialists, and subspecialists. Positive attitudes among them were similar. Practice between general practitioners and specialists also subspecialists was different.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Herlia Nur Istindiah
"Cancer detection medium such as serum & biopsy often make patient uncooperative due to lack of safety, convenience & economic. This condition causes cancer to be detected at late stadium & causes death. This paper discusses the role of saliva as cancer detection medium of choice. Some tumor markers have been identified in saliva such as c-erbB-2, CA 15-3, p53 & CA 125. Each corresponds to certain type of cancer. These tumor markers are protein, thus the use of saliva to detect cancer can utilize protein analysis technique such as ELISA. ELISA can be used for early detection & monitoring of the effectiveness of breast cancer treatment by showing the expression of c-erbB-2 & CA 15-3 in saliva. Saliva has high potential as cancer detection medium & cancer treatment monitor, especially breast cancer. Further various researches are needed for different tumor marker with other protein analysis technique."
Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2003
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nancy Liona Agusdin
"Kanker serviks merupakan salah satu kanker tersering yang dialami, wanita di dunia. Diperkirakan terdapat 440.000 kasus baru setiap tahunnya dan sekitar 80% terjadi di negara berkembang. Negara - negara di Asia Tenggara, Asia Selatan, sub-Sahara Afrika, dan Amerika Latin, tercatat sebagai negara dengan prevalensi kanker serviks yang tinggi. Contohnya di India, kasus baru kanker serviks setiap tahunnya adalah 90.000, sementara di Zimbabwe antara tahun 1990-1992 insiders kanker serviks mencapai 47.6 per 100.000. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada tahun 1998 dilaporkan 39,5% penderita kanker adalah kanker serviks. Di negara industri maju kanker serviks relatif lebih jarang, dibandingkan dengan kejadian kanker -payudara, paru-paru, kolon, rektum, dan prostat.
Perbedaan yang sangat jelas antara negara berkembang dengan negara maju ini adalah karena adanya skrining kanker serviks yang telah dilaksanakan secara luas di negara maju tersebut. Sekitar 50% wanita di negara maju telah menjalani tes pap paling sedikit 1 kali dalam periode 5 tahun, namun di negara berkembang hanya 5% wanita. Di beberapa negara seperti Amerika, Kanada, dan hampir seluruh negara di Eropa, 85% wanitanya telah menjalani Tes pap paling sedikit satu kali. Shining kanker serviks telah menurunkan insidens kanker serviks yang invasif. Penurunan insidens ini sangat berkaitan dengan jumlah populasi yang menjalani skrining dan jangka waktu antara dua skrining (skrining interval). Pada populasi dengan cakupan skrining yang luas, insidens kanker serviks turutl sampai 70-90%, sementara pada populasi yang tidak menjalani skrining, insidens kanker serviks terus berada pada kondisi awal seperti saat skrining belum diberlakukan di negara maju. Indonesia yang merupakan negara berkembang, telah diterapkan tes pap sebagai shining kanker serviks namun seperti yang juga dialami oleh negara berkembang lainnya penerapan tes pap sebagai skrining kanker serviks masih mendapat berbagai kendala, antara lain luasnya wilayah, dan juga masih kurangnya tenaga ahli sitologi.
Alternatif yang lebih sederhana serta mampu laksana dengan cakupan yang luas sehingga diharapkan temuan Iasi prakanker serviks lebih banyak adalah dengan tes IVA (WA). Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan yang sensitif, namun spesifisitasnya rendah. Spesifisitas yang rendah berarti bahwa positif palsu tes WA masih tinggi. Sebuah penelitian mendapati bahwa 40% pasien yang dirujuk untuk kolposkopi karena hasil WA positif, temyata hasil kolposkopinya normal. Ini berarti masih banyak pasien dengan hasil WA positif yang kemudian harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut dimana sebenarnya pasien tersebut tidak perlu menjalani pemeriksaan tersebut atau tidak perlu mengeluarkan biaya lebih apabila spesifisitas tes WA ditingkatkan. Upaya untuk meningkatkan spesifisitas WA dalam skrining Iasi prakanker adalah dengan melakukan penapisan dua tahap. Penapisan tahap kedua setelah didapatkan hasil WA yang positif, dapat menggunakan berbagai Cara, seperti dengan tes pap, dengan Servikografi, maupun dengan tes DNA HPV Dengan penapisan dua tahap ini, diharapkan spesifisitas WA dapat lebih baik.
Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa Tes pap dapat dijadikan pemeriksaan tahap kedua dalam upaya meningkatkan-spesifisitas tes WA dalam skrining Iasi prakanker serviks. Saat ini telah dikembangkan metode tes pap yang baru yang dikenal dengan Thin prep pap test. Latar belakang dikembangkannya metode ini adalah karena tes pap konvensional memiliki negatif palsu berkisar antara 6-55% dan meningkat jika pembuatan slide atau sediaan tidak baik. Dengan menggunakan Thin Prep kualitas spesimen yang dihasilkan lebih balk jika dibandingkan dengan preparat tes pap konvensional. Prep meningkatkan kualitas spesimen dengan cam mengurangi darah, mukus, inflamasi, dan artifak lainnya yang dapat menggangu pembacaan sediaan. Karena kualitas spesimen yang dihasilkan lebih balk, maka Thin Prep lebih efektf juga dalam mendeteksi lesi intraepitelial skuamosa derajat rendah dan juga lesi-lesi yang lebih beat pada berbagai populasi pasien dibandingkan dengan Tes pap konvensional. Thin prep pap test meningkatkan deteksi Iasi prakanker 65% pada populasi skrining dan 6% pada populasi risiko tinggi jika dibandingkan dengan Tes pap konvensional.
Tes WA dengan kelebihannya yang mudah untuk dilakukan , murah, dan mempunyai sensitivitas yang tinggi, namun memiliki positif palsu yang tinggi, apabila dikombinasikan dengan tes pap dimana sensitivitas dan spesifisitasnya cukup baik maka diharapkan sistem skrining dua tahap ini dapat diberlakukan sebagai sistem skrining kanker serviks di Indonesia.
Rumusan Masalah: Apakah tes pap digabungkan dengan tes WA positif dapat meningkatkan spesifisitas dan menurunkan positif palsu tes WA ?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Finekri A. Abidin
"Kanker serviks merupakan penyebab kematian utama kanker pada wanita di negaranegara berkembang. Setiap tahun diperkirakan terdapat 400.000 kasus kanker serviks baru diseluruh dunia dan 80% Ilya ada di negara-negara berkembang dan minimal 200.000 wanita meninggal karena penyakit tersebut. Di Indonesia sampai saat ini insiden kanker belum diketahui, tetapi diperkirakan kejadian kanker kira-kira 90-100 penderita baru per 100.000 penduduk pertahun atau sekitar 180.000 kasus baru per tahun dan kanker ginekologik merupakan jumlah terbanyak, sedangkan dari kanker ginekologik tersebut adalah kanker serviks yang paling banyak dijumpai pada wanita. Di RSCM Bari tahun 1986 sampai 1990 ditemukan 1821 penderita kanker serviks dari 2360 kasus kanker ginekologik atau 77%.
Di bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM lebih dari 60% kasus kanker serviks sudah berada dalam stadium lanjut dengan angka ketahanan hidup sangat rendah. Diketahui bahwa pengobatan pada tahap pra kanker seperti displasia dan karsinoma in situ memberi kesembuhan 100%, sedangkan pada kanker serviks stadium I angka ketahanan hidup 5 tahunnya adalah 70-80 %, sedangkan stadium II dan 111 masing-rnasing adafah 50-60 % dan 30-40 %2 Dengan penapisan massal sitologi serviks dijumpai penurunan angka kejadian dan angka kematian akibat kanker serviks.
Di negara maju telah berhasil menekan jumlah kasus kanker serviks baik jumlah rnaupun stadiumnya. Pencapaian tersebut berkat adanya program skrining dengan pap smir. Sknining di negara maju sudah dilakukan pada 50% wanita dewasa, sedangkan di negara berkembang hanya 5%. Padahal kematian penderita kanker serviks yang berusia 60 tahun ke alas disebabkan tidak pemahnya penderita melakukan skrining pada 3 tahun terakhir. Di Indonesia penerapan skrining dengan pap smir masih tersangkut dengan banyak kendala, antara lain luasnya wilayah negara, kurangnya sarana laboratorium dan tenaga ahli patologi anatomi dan ahli ginekologi, serta biaya transportasi yang cukup mahal.
Untuk itu dibutuhkan alternatif skrining yang lebih sederhana, marnpu laksana, murah dan cakupan Iuas serta dapat dilakukan tenaga kesehatan lain seperti bidan sehingga diharapkan temuan lesi prakanker serviks secara dini lebih banyak, hal tersebut ada pada pemeriksaan dengan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA). IVA dapat dilakukan pada pelayanan kesehatan yang sederhana. Sayangnya walaupun pemeriksaan ini sensitif tetapi spesifisitasnya rendah hanya 64,1% ,sehingga menyebabkan wanita tanpa adanya lesi prakanker akan mendapat terapi yang tak perlu. Upaya untuk mempertahankan keungguln yang ada pada WA ini dalam deteksi dini Iesi prakanker adalah melakukan penapisan dengan 2 tahap secara serial, dengan menggabungkan pemeriksaan WA dengan hasil positif dilanjutkan pemeriksaan Servikografi, sehingga didapatkan spesifitas yang tinggi. Dan penelitian di Afrika Selatan, didapat penapisan dua tahap tersebut lebih efektif dari pada hanya dilakukan satu tahap pemeriksaan. Penggabungan kedua pemeriksaan ini dapat mengurangi pengeluaran biaya secara keseluruhan dalam penapisan kanker servik di daerah-daerah terpencil.
Rumusan masalah: Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah yang akan diteliti melalui penelitian ini adalah : Belum diketahuinya sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan Servikografi pada wanita dengan WA positif sebagai usaha penapisan dua tahap dala.in deteksi dini lesi prakanker di Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Syarif
"Kanker serviks masih merupakan permasalahan kesehatan perempuan di dunia, terutama dinegara berkembang. WHO melaporkan terdapat sekitar 500.000 kasus baru setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri, kanker serviks merupakan jenis kanker yang paling sering pada perempuan. Lebih dari separuh penderita kanker serviks datang sudah dalam stadium lanjut, yang memerlukan fasilitas khusus untuk pengobatan. Disamping mahal, pengobatan terhadap kanker stadium lanjut juga memberikan basil yang tidak memuaskan dengan harapan hidup 5 tahun yang kurang dari 35%.' Meningkatnya stadium kanker memperburuk ketahanan hidup lima tahun penderitanya. Mengingat beratnya akibat yang ditimbulkan oleh kanker serviks dipandang dari segi harapan hidup, angka kesembuhan, lamanya penderitaan, serta tingginya biaya pengobatan, maka perlu program penapisan yang efektif dalam deteksi dini kanker serviks memang sangat diperlukan.
Penapisan kanker serviks di negara maju sudah dilakukan pada 50% perempuan dewasa, sedangkan di negara berkembang hanya 5%.' Padahal kematian penderita kanker serviks yang berusia 60 tahun ke atas disebabkan tidak pemahnya penderita melakukan penapis pada 3 tahun terakhir. Di Indonesia penerapan penapis dengan pap smir masih tersangkut dengan banyak kendala, antara lain luasnya wilayah negara, kurangnya sarana laboratorium dan tenaga ahli patologi anatomi/sitologi serta biaya yang cukup mahal yang masih harus ditanggung sendiri oleh mereka yang ingin melakukan penapis dengan metode pap smir. Hal yang sama juga dialami oleh negara-negara lain yang sedang berkembang.
Karena itu dibutuhkan altematif penapis yang lebih sederhana, mampu laksana, murah sehingga memungkinkan tercapainya cakupan yang Iebih luas serta dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan selain dokter seperti bidan atau perawat. Dengan demikian dapat diharapkan Iebih banyak kasus ditemukan masih dalam tahap lesi prakanker serviks. Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) merupakan salah satu metode penapisan yang teiah cukup banyak diteliti dan menunjukkan akurasi pemeriksaan yang cukup baik untuk mendeteksi lesi prakanker serviks. IVA dapat dilakukan pada pelayanan kesehatan yang sederhana. Sayangnya walaupun pemeriksaan ini cukup sensitif namun temyata angka positif palsunya cukup tinggi yang berdampak pada nilai spesifrsitas serta nilai duga positifnya. Hal ini dapat menyebabkan cukup banyak kasus dengan WA positif yang sebenamya normal namun harus dikirirn untuk pemeriksaan lanjutan seperti kolposkopi atau mendapatkan terapi. Salah satu upaya menurunkan angka kejadian positifpalsu ini adalah melakukan penapisan dengan 2 tahap secara serial. Dengan metode ini dilakukan suatu pemeriksaan lain yang lebih spesifik sebagai penapis lanjutan apabila ditemukan kasus dengan WA positif. Salah satu metode pemeriksaan yang sudah direkomendasikan pada banyak penelitian sebagai triase pada metode penapisan dengan pap smir adalah tes HPV (Human Papiloma Virus) dengan metode Hybrid Capture H (HC II). Tes HPV dianjurkan sebagai prosedur tingkat kedua bagi kasus dengan basil pap smir borderline atau abnormal. Penggunaan tes ini dikaitkan bahwa perkembangan yang ada menunjukkan HPV saat ini merupakan penyebab utama kanker serviks. Karena efektifitas tes HPV sebagai penapis pada kasus dengan WA positif belum diketahui, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui data mengenai hal tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah : Belum diketahuinya akurasi tes HPV dengan Hybrid Capture II sebagai penapis pada kasus WA positif dalam upaya deteksi dini lesi prakanker serviks di Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21407
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaenal Hakiki Fiantoro
"Latar Belakang/Tujuan. Angka kematian dan kejadian metastasis kanker payudara cukup tinggi. Faktor metabolik termasuk resistensi insulin mempunyai peranan terhadap progresivitas kanker payudara namun terdapat hanya sedikit penelitian yang menilai hubungan resistensi insulin dengan kejadian metastasis kanker payudara. Terdapat hubungan yang erat antara beberapa variabel dalam kelompok pasca-menopause terhadap kejadian metastasis, pemberian terapi hormonal aromatase inhibitor dan kemoterapi terhadap nilai HOMA-IR. Mengetahui hubungan resistensi insulin yang dinilai menggunakan nilai homeostatic model assessment for insulin resistance (HOMA-IR) dengan kejadian metastasis kanker payudara.
Metode. Studi potong lintang yang meneliti 150 pasien kanker payudara di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Rumah Sakit Siloam Mochtar Riady Comprehensive Cancer Centre (MRCCC) Jakarta dalam rentang waktu agustus 2019-april 2020. Terdapat 150 subjek penelitian, nilai titik potong HOMA-IR ditentukan dengan kurva receiver operating curve (ROC). Dilakukan analisis subgrup kelompok pasca menopause terhadap metastasis, terapi hormonal dan kemoterapi terhadap HOMA-IR.
Hasil. Tidak didapatkan nilai titik potong optimal HOMA-IR terhadap kejadian metastasis (Area under curve (AUC) 0,50, P : >0,05, interval kepercayaan (IK) 95% : 0,406-0,593). Tidak terdapat hubungan bermakna variabel pasca-menopause dengan kejadian metastasis dan kemoterapi terhadap nilai HOMA-IR. Terdapat hubungan bermakna pemberian terapi hormonal aromatase inhibitor terhadap peningkatan nilai HOMA-IR, P : <0,01
Simpulan. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara resistensi insulin dengan kejadian metastasis pada pasien kanker payudara.

Background/Purpose. Mortality and incidence rate of metastatic breast cancer is quite high.
Metabolic factors including insulin resistance have a role in the progression of breast cancer,
but there are only a few studies that assess the relationship of insulin resistance with the incidence of breast cancer metastases. There is a close relationship between variables in the postmenopausal group for the occurrence of metastases, administration of hormonal aromatase inhibitors and chemotherapy to the value of HOMA-IR. Knowing the relationship of insulin resistance which was assessed using the value of
the homeostatic model assessment for insulin resistance (HOMA-IR) with the incidence of metastatic breast cancer.
Method. A cross-sectional study examining 150 breast cancer patients at Cipto Mangunkusumo General Hospital and Siloam Hospital Mochtar Riady Comprehensive Cancer Center Jakarta in August 2019-April 2020. There are 150 subjects research, the HOMA-IR cutoff value is determined by the receiver operating curve (ROC) curve. Postmenopausal subgroups were analyzed for metastases, hormonal therapy and chemotherapy for HOMA-IR.
Results. There was no optimal HOMA-IR cut off value for metastatic events (Area under curve (AUC) 0.50,
P:> 0.05, 95% confidence interval (IK): 0.406-0.593). There was no significant relationship between postmenopausal variables with the incidence of metastasis and chemotherapy on the value of HOMA-IR. There was a significant
relationship between the administration of hormonal aromatase inhibitor therapy to the increase of HOMA-IR value, P: <0.01
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinuhaji, Immanuel
"ABSTRAK
Latar belakang. Karsinoma serviks merupakan tumor ganas tersering di Indonesia dan kedua di dunia. Human papilloma virus (HPV) dianggap sebagai faktor etiologik. Diperlukan waktu lama dari mulai terinfeksi menjadi karsinoma serviks sekitar 10-20 tahun. Insiden karsinoma serviks usia muda meningkat diduga karena perubahan perilaku seksual. Proses integrasi virus dirangsang oleh terbukanya genom virus pada regio open reading frame E1/E2 sehingga terjadi gangguan fungsi E2 menyebabkan ekspresi onkoprotein E6 dan E7 berlebih sehingga terjadi inaktifasi p53 dan pRb menyebabkan faktor transkripsi E2F terlepas, dan sel masuk ke fase S. Inaktifasi pRb atau aktifasi E2F menyebabkan ekspresi p16INK4A berlebih. Deteksi antibodi p16INK4A menunjukkan positifitas yang selektif pada sel yang terinfeksi HPV risiko tinggi.
Tujuan: Untuk mengetahui apakah karsinoma serviks pada usia muda berhubungan dengan infeksi HPV yang dapat dilihat dengan peningkatan ekspresi p16INK4A.
Bahan dan cara. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif, menggunakan studi analitik deskriptif potong lintang, dengan mengumpulkan kasus-kasus Karsinoma sel skuamosa berusia muda (≤ 30 tahun), dan pembanding usia tua (45-55 tahun) masing-masing 30 kasus. Dilakukan pulasan imunohistokimia p16INK4A terhadap semua kasus.
Hasil. Indeks ekspresi p16INK4A pada kedua kelompok menunjukkan hasil sedang-kuat pada sebagian besar kasus. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara ekspresi p16INK4A kelompok usia muda dan ekspresi p16INK4A usia tua (uji Mann-Whitney p=0,591).
Kesimpulan.Tidak terdapat perbedaan bermakna antara ekspresi p16INK4A pada usia tua dan muda.

ABSTRACT
Background. Cervical carcinoma is the most common malignant tumor in Indonesia and the second in the world. Human papilloma virus is considered as etiologic factor. It takes a long time from HPV exposure to cervical carcinoma about 10-15 years. The incidence of cervical carcinoma in young age increases due to changes in sexual behavior. The integration process is stimulated by the opening of the virus genome in the region of the viral E1/E2 open reading frame resulting impaired function of E2 led to E6 and E7 oncoprotein overexpression, inactivation of p53 and pRb, detachement transcription factor E2F, and cell entry into S-phase. pRb inactivation or E2F activation cause p16INK4A overexpression. The detection of p16INK4A showed selective positifitas in cells infected with high-risk HPV.
Objective: To determine whether the carcinoma of the cervix at a young age associated with HPV infection that can be seen by the increased expression of p16INK4A.
Materials and method. This is cross-sectional descriptive analytic study, with the collected cases of squamous cell carcinoma young age (≤ 30 years), compare with old age (45-55 years) 30 cases respectively. The immunohistochemical staining was conducted againts p16INK4A protein.
Results. There were no statistical significant between the expression of p16INK4A in young age groups and old age (Mann-Whitney test p=0.591).
Conclusion. Expression p16INK4A in young and old age there was no statistical significant difference."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T33122
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Maouriden, Henning T
Basle: F.Hoffman-La, {tt}
616.994 MOU d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Widya Lestari
"ABSTRAK
Latar belakang: Enhancer of Zeste homolog 2 (EZH2) merupakan kelompok protein grup polycomb yang berperan penting dalam regulasi epigenetik dan berkaitan erat dengan tumorigenesis. EZH2 ekspresinya meningkat pada kanker payudara. Peningkatan ekspresi EZH2 dapat memprediksi peningkatan risiko keganasan. Columnar cell lesion (CCL) merupakan lesi proliferatif, sering ditemukan seiring dengan meningkatnya deteksi dini kanker payudara dengan mammografi. Lesi ini terbagi atas columnar cell change (CCC), columnar cell hyperplasia (CCH), flat epithelial atypia (FEA). CCL menjadi penting setelah dikaitkan dengan risiko menjadi karsinoma payudara, serta hubungannya dengan lesi jinak dan lesi ganas payudara lainnya. Penanda prediktif CCL dibutuhkan untuk memilah CCL yang berpotensi menjadi ganas, sehingga dapat digunakan untuk deteksi dini kanker payudara kelak. Bahan dan cara: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang, deskriptif dan analitik. Sampel terdiri atas masing-masing 25 kasus CCL tanpa karsinoma dan CCL dengan karsinoma. Dilakukan pulasan EZH2 secara imunohistokimia dan penilaian dilakukan menggunakan H score dengan modifikasi oleh dua pengamat secara independen. Hasil: Hasil penilaian dua pengamat menyimpulkan nilai tidak ada perbedaan bermakna antar pengamat (p 0,655). Median H score EZH2 pada CCL tanpa karsinoma lebih tinggi secara bermakna (p 0,002) dibandingkan EZH2 dengan karsinoma, dinyatakan tinggi bila H score ≥ 100,16 (dengan sensitivitas 40,00). Kecenderungan sebaran median H score EZH2 didapatkan lebih tinggi pada FEA dengan nilai H score 119,03, diikuti CCH sebesar 103,63 dan CCC sebesar 100,07. Median H score EZH2 pada FEA tanpa karsinoma lebih tinggi (218,26) daripada CCL dengan karsinoma (101,53). Kesimpulan: Ekspresi EZH2 pada CCL tanpa karsinoma lebih tinggi dibandingkan CCL dengan karsinoma, terdapat kecenderungan ekspresi EZH2 yang lebih tinggi pada FEA dibandingkan CCH dan CCC pada semua kasus dan masing-masing kedua kelompok. Ekspresi EZH2 pada FEA tanpa karsinoma lebih tinggi dibandingkan FEA dengan karsinoma. EZH2 diduga berperan dalam karsinogenesis CCL yaitu terutama pada tahap transformasi.

ABSTRACT
Background: Enhancer of Zeste homolog 2 (EZH2) is a group of polycomb which has an important role in epigenetic regulation and is related to tumorigenesis. The expression of EZH2 is increasing in breast cancer. Overexpression of EZH2 can predict the risk of malignant. Columnar cell lesion (CCL) is a proliferatif lesion, and it is increasingly found with the increasing breast screening by mammography. This lesion divided consisted of columnar cell change (CCC), columnar cell hyperplasia (CCH), flat epithelial atypia (FEA). CCL become important related to the risk for carcinoma, and the relation with others benign lesion and maligna lesion. The predictive sign of CCL needed to assess CCL transformation become malignancy. Methods: This was cross sectional study. The sampling consisted of 25 CCL cases without carcinoma and 25 CCL cases with carcinoma. EZH2 immunostainning was assesed using H score by two independent observers. Result: The H score between two observers showed high concordance (p 0,655). Median EZH2 H score in CCL without carcinoma is significantly higher (p 0,002) than CCL with carcinoma, is high if H score ≥ 100,16 (with sensitivity 40,00). Inclination distribution of median H score EZH2 resulted higher in FEA with H score 119,03, followed by CCH 103,63 and CCC 100,07. Median EZH2 H score in FEA without carcinoma (218,26) higher than CCL with carcinoma (101,53). Conclusion: The expression of EZH2 in CCL without carcinoma is higher than CCL with carcinoma, and it shows higher tendency of EZH2 expression in FEA compared by CCH and CCC in all cases and in each group. The expression of EZH2 in FEA without carcinoma is higher than FEA with carcinoma. Hence EZH2 is predicted has a role in malignant transformation and the carcinogenesis of CCL."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>