Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Conny Riana Tjampakasari
"Ruang lingkup dan Metodologi : Penyebab utama kasus kandidosis adalah Candida albicans. Penanggulangan penyakit ini biasanya dikaitkan dengan pengobatan. Pada umumnya antimikotik yang sering digunakan untuk pengobatan adalah antimikotik golongan azol yaitu ketokonazol dan flukonazol.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ketokonazol dan flukonazol terhadap pertumbuhan Candida albicans. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Macrodilution/Tube Method. Pengujian terhadap ketokonazol dilakukan dengan konsentrasi antara 0,25 µg/ml sampai dengan konsentrasi terendah 128 µg/ml dengan waktu pemaparan 1 x 24 jam, 2 x 24 jam dan 3 x 24 jam dalam waktu pengamatan 24 dan 48 jam. Pengujian terhadap flukonazol dilakukan dengan konsentrasi antara 0,1 µg/ml sampai dengan konsentrasi 51,2 µg/ml dengan waktu pemaparan 1 x 24 jam, 2 x 24 jam dan 3 x 24 jam, dalam waktu pengamatan 24 dan > 48 jam.
Hasil dan Kesimpulan : Ketokonazol berpengaruh terhadap pertumbuhan Candida albicans dengan membunuh pada konsentrasi 32 µg/ml dengan waktu pemaparan 1 x 24 jam dan bersifat menghambat pertumbuhannya pada konsentrasi 8 ug/ml dengan waktu pemaparan 1 x 24 jam. Flukonazol berpengaruh terhadap pertumbuhan Candida albicans dengan membunuh pada konsentrasi 12,8 µg/ml dengan waktu pemaparan 2 x 24 jam dan konsentrasi 6,4 ug/ml dengan waktu pemaparan 3 x 24 jam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini ketokonazol bersifat menghambat dan membunuh pertumbuhan Candida albicans dan flukonazol bersifat membunuh pertumbuhannya."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Conny Riana Tjampakasari
"Masalah di dalam dunia kedokteran bertambah dengan meningkatnya berbagai penyakit yang disebabkan oleh jamur Candida, terutama oleh Candida albicans. Candida albicans dianggap sebagai spesies terpatogen dan menjadi penyebab utama kandidosis. Jamur ini tidak terdapat di alam bebas, tetapi dapat tumbuh sebagai saproba pada berbagai alat tubuh manusia, terutama yang mempunyai hubungan dengan dunia luar. Ketokonasol sebagai antimikotik pertama yang bekerja efektif secara oral menjadi pilihan untuk menguji sensitivitas Candida albicans. Tujuan penelitian ini adalah menguji sensitivitas Candida albicans terhadap ketokonasol dengan metode Minimum Inhibitory Concertation (MIC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 84,50% Candida alb/cans (60 dari 71 sampel) bersifat resisten terhadap ketokonasol. Diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi klinisi dalam hal pengobatan kandidosis."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Boy M. Bachtiar
"Pendahuluan
Salah satu bentuk kandidiasis mulut adalah kandidiasis atropik kronik atau denture stomatitis yang terutama disebabkan oleh jamur Candida albicans dan dipicu oleh pemakaian protesea lepasan di dalam mulut. Secara teoritis, mekanisme sistem pertahanan tubuh primer berperan dalam mencegah kolonisasi C. albicans pada permukaan mukosa mulut. Mekanisme ini meliputi deskuamasi epitel mukosa mulut, sIgA yang mengagregasi sel jamur dari pembersihannya dari dalam mulut, serta berbagai protein saliva yang bersifat kandidasidal, seperti lisozim, histatin, dan laktoferin2. Selain itu, granulosit dan makrofak merupakan sel-sel imunokompeten yang berperan dalam mekanisme respon inflamasi dan sebagai sel efektor pada tahap respon imun adoptif.
Masih terdapat ketidaksesuaian pendapat tentang potensi serotipe C. albicans, yaitu serotipe A dan serotipe B, dalam patogenesis denture stomatitis_ Sebagain peneliti mengatakan bahwa sifat invasif C. albicans pada mukosa mulut berbeda menurut serotipe tersebut. Peneliti yang lain menyatakan bahwa induksi antibodi yang protektif terhadap C. albicans lebih ditentukan oleh distribusi epitop tertentu yang merupakan bagian dari lipomanan, molekul yang terdapat pada permukaan sel blastarporta. Namun demikian para ahli sepakat, bahwa sifat patoigen oportunis jamur ini berkorelasi dengan defek imun yang terjadi pada inang, baik defek imun secara umum, maupun defek imun yang terjadi secara lokal."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Theodorus Hedwin Kadrianto
"Faktor serum yang bersifat antimikroba seperti komplemen dapat menghambat pertumbuhan C. albicans. Konsumsi xylitol dilaporkan mampu menekan pertumbuhan C. albicans.
Tujuan: Menganalisis efek xylitol 1%, 5%, 10% selama 3 hari atau 7 hari terhadap resistensi C. albicans dalam serum in vitro, dan menganalisis peran faktor serum dalam menghambat C. albicans dalam serum.
Metode: Deteksi C. albicans yang diambil dari lesi mulut pasien kandidiasis oral dilakukan dengan menggunakan media CHROMagar dan dikonfirmasi dengan uji pembentukan germ tube. Setelah melalui tahap pengenceran, C. albicans dipaparkan dengan larutan xylitol 0% (kontrol), 1%, 5%, dan 10% yang dilarutkan dalam media Sabouraud Dextrose Broth (SDB) selama 3 hari atau 7 hari. Tiap konsentrasi dan durasi kemudian dipaparkan dalam serum aktif (Fetal Bovine Serum/FBS) atau serum inaktif (FBS yang sudah dipanaskan pada suhu 65°C selama 30 menit untuk inaktivasi komplemen) pada suhu 37°C selama 2 jam. Jumlah koloni C. albicans pada Sabouraud Dextrose Agar (SDA) dihitung 2 hari kemudian. Prosedur yang sama dilakukan pada C. albicans strain ATCC 10231. Analisis data menggunakan uji one-way ANOVA dengan 0,05.
Hasil: Pada kultur C. albicans 3 hari, jumlah koloni dalam serum aktif secara bermakna lebih rendah daripada dalam serum inaktif, baik dengan maupun tanpa paparan xylitol (p = 0.032). Peningkatan konsentrasi xylitol meningkatkan jumlah koloni C. albicans klinis dalam serum aktif, walaupun secara statistik tidak bermakna (p = 0.689). Hanya paparan xylitol 10% selama 7 hari yang meningkatkan jumlah koloni C. albicans secara bermakna (p = 0.034). Faktor serum tidak mempengaruhi jumlah koloni C. albicans usia 7 hari. (p = 0.404).
Simpulan: Pemberian xylitol 1%, 5%, dan 10% selama 3 dan 7 hari tidak mempengaruhi efek inhibisi C. albicans oleh faktor serum. Efek inhibisi C. albicans oleh faktor serum hanya bermakna pada kultur usia 3 hari dan tidak terlihat pada kultur usia 7 hari.

Serum factor with antimicrobial effect like complement, could inhibit C. albicans growth. Xylitol is reported to inhibit the growth of C. albicans.
Objectives: Investigating the effect of 1%, 5%, 10% xylitol for 3 or 7 days on C. albicans resistance in serum in vitro, and investigating whether serum factor plays role in inhibiting the growth of C. albicans.
Methods: Identification of C. albicans taken from oral swab of candidiasis patient was conducted using CHROMagar, and confirmed by germ tube test. The cultures were serially diluted and inoculated in Sabouraud Dextrose Broth (SDB) contained 0% (control), 1%, 5%, or 10% xylitol and kept for 3 or 7 days. These inoculations were then exposed to either active or inactive serum (Fetal Bovine Serum heated in 65°C for 30 minutes to inactivate the complement) for 2 hours in 37°C. The Colony Forming Unit (CFU) of C. albicans in Sabouraud Dextrose Agar (SDA) were counted after 2 days. The same procedure was conducted for C. albicans ATCC 10231 strain. Data was analyzed using one-way ANOVA with 0.05.
Results: After 3 days cultured in media with or without xylitol, the CFU of C. albicans exposed to active serum were significantly lower than those exposed to inactive serum (p = 0.032). Increased concentration of xylitol lead to increased resistance of C. albicans in active serum, though it was not significant statistically (p = 0.689). Only 7 days exposure of 10% xylitol resulted in significantly higher growth of C. albicans (p = 0.034), but no significant difference on C. albicans CFU between in active or inactive serum (p = 0.404).
Conclusion: Exposure of 1%, 5%, or 10% xylitol for 3 or 7 days has no significant effect on C. albicans resistance in serum. The inhibition effect of serum factor to C. albicans growth was significant after 3 days, but not effective anymore after 7 days.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Hidayat
"Pola makan modern kaya karbohidrat merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya kandidiasis oral. Namun belum jelas diketahui apakah pertumbuhan C. albicans akan meningkat bila terjadi glukosa dalam medium pertumbuhan. Tujuan: Menganalisis efek penambahan glukosa 1%, 5%, 10% terhadap pertumbuhan C. albicans in vitro. Metode: Isolat C. albicans klinik dari usapan mukosa mulut pasien kandidiasis oral dideteksi pada CHROMagar dan serum. Sebagai pembanding, C. albicans strain ATCC 10231 juga dideteksi dengan cara yang sama. C. albicans yang tumbuh dibiak dalam SDA selama 2 hari, kemudian dikumpulkan dan dibiakkan kembali dalam SDB yang telah ditambah glukosa 1%, 5%, dan 10% selama 3 atau 7 hari pada suhu ruang. Sebagai kontrol adalah C. albicans yang ditumbuhkan dalam SDB tanpa penambahan glukosa. Pertumbuhan C. albicans diukur dengan menghitung CFU/ml C. albicans dalam cawan petri. Uji statistik menggunaka ANOVA dengan a 0.05. Hasil: Setelah 3 hari, pertumbuhan C. albicans isolat klinik 1%, 5%, dan 10% berturut-turut adalah 181.5, 582, dan 811 CFU/ml; sedangkan C. albicans ATCC 10231 adalah 21.5, 177.5, 375.5 CFU/ml. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol yaitu 970 (isolat klinik) dan 957 (ATCC) CFU/ml. Setelah 7 hari diperoleh pertumbuhan C. albicans isolat klinik adalah 2350, 9650, dan 9650 CFU/ml; sedangkan C. albicans ATCC 10231 adalah 5000, 5450, 3550 CFU/ml. Pertumbuhan kelompok kontrol 7 hari adalah 5000 (klinik) dan 5150 (ATCC) CFU/ml. Analisis ANOVA menunjukkan bahwa setelah 3 hari penambahan glukosa 1% menurunkan pertumbuhan C. albicans secara bermakna baik pada isolat klinik maupun strain ATCC 10231 (p < 0,05). Pada kelompok 7 hari penambahan glukosa 5% dan 10% meningkatkan pertumbuhan C. albicans isolat klinik secara bermakna (p < 0,05). Simpulan: Glukosa 5% dan 10% dapat meningkatkan pertumbuhan C. albicans in vitro. Penambahan glukosa 1% dapat menghambat pertumbuhan C. albicans pada durasi 3 hari.

High carbohydrate intake is one predisposing factor of oral andidiasis. Whether glucose addition in medium will increase the growth of Candida albicans is still unclear. Objective: Investigating the effect of 1%, 5%, 10% glucose addition on the growth of C.albicans in vitro. Methods: C. albicans sample was from oral swab of a male oral candidiasis patient. Detection of C. albicans used CHROMagar and confirmed by germ tube test. C. albicans colonies were inoculated in Sabouraud Dextrose Agar (SDA). As a comparison, C. albicans ATCC 10231 was also detected inthe same way. After 2 days the cultures were serially diluted and inoculated in Sabouraud Dextrose Broth (SDB) without glucose (control), 1%, 5%, or 10% additional glucose, kept for 3 or 7 days in room temperature, then inoculated in SDA. The Colony Forming Unit (CFU) were counted after 2 days. ANOVA with a 0.05 was used. Results: After 3 days, additional 1%, 5%, 10% glucose in media with clinical strain of C. albicans resulted in 181.5, 582, 811 CFU/ml respectively while in media with C. albicans ATCC were 21.5, 177.5, 375.5 CFU/ml. The growth of controls C. albicans were 970 (clinical strain) and 957 CFU/ml (ATCC). After 7 days, the growth of clinical strain of C. albicans with additional glucose 1%, 5%, 10% were 2350, 9650, 9650 CFU/ml respectively while the growth of C. albicans ATCC were 5000, 5450, 3550 CFU/ml. The growth of 7 days controls were 5000 (clinical strain) and 5150 (ATCC) CFU/ml. Statisticaly, additional 1% glucose for 3 days lead to significant decreased of growth of both clinical strain and ATCC 10231 C. albicans (p < 0,05). Additional 5% and 10% glucose for 7 days increased the growth of C.albicans significantly (p < 0,05). Conclusion: Additional 5% and 10% glucose for 7 days increase the growth of C. albicans in vitro. While additional 1% glucose for 3 days decrease the growth of C. albicans."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Gigi Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Peggy
"Latar Belakang: Candida albicans merupakan jamur flora normal dalam rongga mulut yang bila mengalami pertumbuhan berlebih menyebabkan kandidiasis mulut. Salah satu faktor pemicunya adalah malnutrisi yang sering terjadi pada masyarakat golongan ekonomi rendah. Daya beli masyarakat yang rendah membuat kandidiasis mulut sering terabaikan, karena obat-obatan anti jamur yang tersedia di pasaran relatif mahal. Oleh karena itu, diperlukan alternatif pengobatan yang terjangkau. Salah satunya adalah kitosan yang berasal dari limbah cangkang udang yang jumlahnya berlimpah di Indonesia. Dari hasil penelitian yang terdahulu, terbukti bahwa bermacam-macam kitosan dengan berbagai konsentrasi mempunyai sifat anti jamur yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan: untuk mengetahui efek anti jamur dari kitosan produksi dalam negeri dengan berbagai konsentrasi terhadap Candida albicans ATCC 10231 dalam medium kultur.
Metode: Dibuat larutan suspensi Candida albicans ATCC 10231 dengan pengenceran dalam PBS sampai 106 CFU/mL. Larutan tersebut selanjutnya dipaparkan pada dua kelompok, yaitu kelompok kontrol (berisi larutan SDB) dan kelompok perlakuan (berisi larutan kitosan dengan konsentrasi 0,1%, 0,25%, 0,5%, dan 1% dalam SDB). Dikocok selama 3 jam pada suhu 370C dan 6 jam pada suhu ruang, lalu ditanam pada SDA. Setelah diinkubasi selama 3 hari pada suhu 370C, dilakukan penghitungan jumlah koloni.
Hasil: Peningkatan konsentrasi kitosan diikuti dengan penurunan jumlah koloni C. albicans (p < 0,05).
Kesimpulan: Kitosan pada penelitian ini dengan konsentrasi 1% dan 0,5% mempunyai efek anti jamur yang baik karena tidak menunjukkan adanya pertumbuhan koloni C. albicans.

Result of Candida albicans overgrowth is oral candidiasis. Predisposing factor of Candida albicans overgrowth is malnutrition caused by poverty. Low economical power make people ignore oral candidiasis because the price of current antifungal medicines available are expensive. In this case, alternative antifungal material is needed. Chitosan is a new antifungal material made from crustacean shell waste which is excessive in Indonesia. Some researchers had been done and it was concluded that different concentration of chitosan has different antifungal effect. In this experiment, we tested the antifungal effect of local made chitosan on Candida albicans. Purpose: To find out the antifungal effect of local made chitosan with different concentrations on Candida albicans (ATCC 10231).
Method: Candida albicans ATCC 10231 suspension made with serial dilution method using PBS as a solvent until 106 concentration reached. Candida albicans suspension were added to chitosan solution with 1%, 0.5%, 0.25%, and 0.1% concentration and control group (SDB) and planted on SDA disk. Shook for 3 hours in 37oC and 6 hours in room temperature and incubated for 3 days in incubator and Candida albicans colonies formed.
Results: The increase in the concentration of chitosan was followed by the decrease of Candida albicans colonies formed (p < 0,05).
Conclusion: Candida albicans colonies were not grown on chitosan with 1% and 0.5% concentration."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Yoshua
"Latar Belakang: Candida albicans merupakan jamur flora normal dalam rongga mulut yang bila mengalami pertumbuhan berlebih menyebabkan kandidiasis mulut. Salah satu faktor pemicunya adalah malnutrisi yang sering terjadi pada masyarakat golongan ekonomi rendah. Daya beli masyarakat yang rendah membuat kandidiasis mulut sering terabaikan, karena obat-obatan anti jamur yang tersedia di pasaran relatif mahal. Oleh karena itu, diperlukan alternatif pengobatan yang terjangkau. Salah satunya adalah kitosan yang berasal dari limbah cangkang udang yang jumlahnya berlimpah di Indonesia. Dari hasil penelitian yang terdahulu, terbukti bahwa bermacam-macam kitosan dengan berbagai derajat deasetilasi mempunyai sifat anti jamur yang berbeda-beda.
Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan: untuk mengetahui efek anti jamur dari kitosan produksi dalam negeri dengan berbagai derajat deasetilasi terhadap Candida albicans ATCC 10231 dalam medium kultur.
Metode: Dibuat larutan suspensi Candida albicans ATCC 10231 dengan pengenceran dalam PBS sampai 106 CFU/mL. Larutan tersebut selanjutnya dipaparkan pada dua kelompok, yaitu kelompok kontrol (berisi larutan SDB) dan kelompok perlakuan (berisi larutan kitosan A (derajat deasetilasi 80,45%), kitosan B dan kitosan C (derajat deasetilasi 72- 82%)). Dikocok selama 3 jam pada suhu 370C dan 6 jam pada suhu ruang, lalu ditanam pada SDA. Setelah diinkubasi selama 3 hari pada suhu 370C, dilakukan penghitungan jumlah koloni.
Hasil: Peningkatan derajat deasetilasi kitosan diikuti dengan penurunan jumlah koloni C. albic ans (p < 0,05).
Kesimpulan: Kitosan A dengan derajat deasetilasi lebih tinggi mempunyai efek anti jamur yang lebih baik daripada kitosan C.

Background: Candida albicans is a fungal microorganism in oral cavity. The result of Candida albicans overgrowth is oral candidiasis. Predisposing factor of Candida albicans overgrowth is malnutrition caused by poverty. Low economical power make people ignore oral candidiasis because the price of current antifungal medicines available are expensive. In this case, alternative antifungal material is needed. Chitosan is a new antifungal material made from crustacean shell waste which is excessive in Indonesia. Some researchers had been done and it was concluded that different concentration of chitosan has different antifungal effect. In this experiment, we tested the antifungal effect of local made chitosan on Candida albicans.
Purpose: To find out the antifungal effect of local made chitosan with different degree of deacetylation on Candida albicans (ATCC 10231). Method: Candida albicans ATCC 10231 suspension made with serial dilution method using PBS as a solvent until 106 concentration reached. Candida albicans suspension were added to chitosan solution (chitosan A (degree of deacetylation 80.45%), chitosan B, and chitosan C (degree of deacetylation 72- 82%)) and control group (SDB) and planted on SDA disk. Shook for 3 hours in 37oC and 6 hours in room temperature and incubated for 3 days in incubator and Candida albicans colonies formed.
Results: The increase in the degree of deacetylation of chitosan was followed by the decrease of Candida albicans colonies formed (p < 0,05).
Conclusion: Candida albicans colonies formed on chitosan A with higher degree of deacetylation were fewer than Candida albicans colonies formed on chitosan C."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Iednita Cahyadahrena
"Latar Belakang: Early childhood caries (ECC) merupakan penyakit kronik infeksius yang sering terjadi pada anak usia prasekolah, ditandai dengan adanya satu atau lebih gigi yang rusak atau hilang atau ditambal akibat karies. ECC disebabkan oleh mikroorganisme kariogenik seperti S. mutans serotype e dan Candida albicans. Faktor laju alir saliva pada dorsal lidah dapat memengaruhi perkembangan ECC. Tujuan: Menganalisis kuantitas antigen S. mutans serotype e dan antigen Candida albicans yang diisolasi dari dorsal lidah serta kaitannya dengan laju alir saliva anak ECC dan caries free. Metode: S. mutans serotype e dan Candida albicans dari dorsal lidah sampel ECC dan caries free diuji menggunakan indirect ELISA untuk memperoleh antigen dan dibaca dengan panjang gelombang 450 nm, kemudian nilai optical density kedua antigen tersebut dikorelasikan dengan laju alir saliva anak ECC dan caries free. Hasil: Tidak terdapat perbedaan (p>0,05) kuantitas antigen S. mutans serotype e dan Candida albicans pada anak ECC dan caries free. Terdapat kecenderungan hubungan positif antara kuantitas antigen S. mutans serotype e dan Candida albicans pada anak ECC dan caries free. Kuantitas antigen S. mutans serotype e dan Candida albicans paling tinggi ditemukan pada laju alir saliva normal anak ECC. Kesimpulan: Kuantitas antigen Streptococcus mutans serotype e lebih banyak ditemukan pada dorsal lidah anak ECC dibandingkan dengan antigen Candida albicans. Pada laju alir saliva normal anak ECC dan caries free terjadi peningkatan kuantitas antigen S. mutans serotype e dan Candida albicans.

Background: Early childhood caries (ECC) is a chronic infectious disease that often occurs in preschool children, characterized by the presence of one or more teeth that are damaged or missing or restored due to caries. ECC is caused by cariogenic microorganisms such as S. mutans serotype e and Candida albicans. Salivary flow rate in the dorsal tongue can influence the development of ECC. Objective: To analyze the quantities of S. mutans serotype e and Candida albicans antigens isolated from the dorsal tongue and their relation to the salivary flow rate in ECC and caries free children. Method: S. mutans serotype e and Candida albicans from the dorsal tongue of children with ECC and caries free children were tested using indirect ELISA to obtain the antigens and they were being read with wavelengths of 450 nm, then the optical density values of the two antigens were correlated with the salivary flow rate of ECC and caries free children. Result: There was no significance (p> 0.05) quantity of S. mutans serotype e and Candida albicans antigens in ECC and caries free. There is a tendency for a positive correlation between quantity of S. mutans serotype e and Candida albicans antigens in ECC and caries free children. The highest quantity of S. mutans serotype e and Candida albicans antigens was found in the normal salivary flow rate of ECC children. Conclusion: Quantity of Streptococcus mutans serotype e antigens were higher than Candida albicans in the dorsal tongue of ECC children. At the normal salivary flow rate of ECC and caries free children, there was an increase quantity of S. mutans serotype e and Candida albicans antigens."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Atika
"Infeksi sistemik yang disebabkan oleh spesies kandida memiliki tingkat mortilitas tinggi. Spesies yang sering menginfeksi diantaranya adalah Candida albicans, Candida parapsilosis, Candida glabrata, Candida tropicalis, dan Candida krusei. Saat ini, telah banyak ditemukan beberapa kasus resistensi dalam pengobatan infeksi kandida. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan alternatif pengobatan baru. Bahan alam dikenal sebagai alternatif pengobatan yang potensial karena efek toksik rendah dan sumbernya yang melimpah. Minyak atsiri Pala (Myristica fragrans Houtt.).merupakan salah satu bahan alam yang telah diketahui memiliki aktivitas antikandida Namun, mekanisme penghambatannya belum ditemukan. Dalam ulasan ini, kami mencoba mengkaji mekanisme penghambatan minyak atsiri Pala terhadap Candida sp. berdasarkan kandungan kimianya dan dibandingkan dengan obat antikandida yang sudah ada. Selain itu, juga akan dibahas beberapa metodologi yang dapat digunakan untuk pengujiannya berdasarkan studi literatur. Dari hasil ulasan ini, didapatkan beberapa kandungan kimia minyak atsiri Pala yang memiliki potensi penghambatan terhadap Candida sp. yaitu, α-pinene, β-pinene, terpinen-4-ol, dan limonene. Komponen kimia yang terkandung dalam minyak atsiri Pala (Myristica fragrans Houtt.) menunjukan bahwa minyak atsiri ini berpotensi sebagai antikandida dengan multitarget. Namun, untuk memgonfirmasi potensi tersebut diperlukan studi lebih lanjut menggunakan beberapa metode diantaranya kuantifikasi biomassa sel dengan pengujian kristal violet, pengujian akivitas mitikondria dengan MTT, identifikasi potensi penghambatan dengan Time Addition Assay, observasi kerusakan permukaan sel menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM), kuantifikasi gen menggunakan qPCR, identifikasi protein responsif, dan pengujian efek inhibisi di bawah tekanan osmotik.

Systemic infections caused by candida species have a high mortality rate. Species that often infect them are Candida albicans, Candida parapsilosis, Candida glabrata, Candida tropicalis, and Candida krusei. At present, there have been many cases of resistance found in the treatment of candida infections. To overcome this problem, we needed new alternative treatments. Natural products already known as potential alternative treatment because of their low toxic effect and exist abundantly. Nutmeg essential oil (Myristica fragrans Houtt.) is one of the natural ingredients that has known to have anticandida activity. However, the mechanism of inhibition has not found. In this review, we try to examine the inhibition mechanism of Nutmeg essential oil against Candida sp. based on its chemical content and compare with commercial anticandida. Also, several methodologies that can use for testing are based on literature studies as well. From the results of this review, it has found that some of the chemical content of nutmeg essential oil has the potential as anticandida. There are α-pinene, β-pinene, terpinen-4-ol, and limonene. The chemical components contained in Nutmeg essential oil (Myristica fragrans Houtt.) show that this essential oil has the potential to be a multitarget anticandida. However, to confirm this potential, further studies are needed. There are several methods can be used including quantification of cell biomass with crystal violet assay, testing of mitochondrial activity with MTT assay, identification of inhibitory potential with Time Addition Assay, observation of cell surface damage using Scanning Electron Microscopy (SEM), quantification of genes using qPCR, identification of responsive proteins, and testing inhibitory effect under osmotic pressure.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riri Febrina
"Manifestasi kandidiasis oral berhubungan dengan pembentukan biofilm pada permukaan mukosa. Candida albicans merupakan jamur penyebab utama kandidiasis oral. Propolis dilaporkan berpengaruh terhadap pembentukan biofilm C.albicans. Tujuan: Menilai efektifitas permen dengan kandungan propolis terhadap pembentukan biofilm C.albicans dibandingkan dengan permen madu. Metode: C. albicans dipaparkan dengan larutan permen X, permen propolis madu, dan permen madu 50% pada 96-well plate yang sudah dicoating saliva dan serum. Untuk menganalisis pembentukan biofilm C. albicans dilakukan uji dengan MTT assay. Data dianalisis dengan uji one-way ANOVA. Hasil: Terdapat peningkatan yang signifikan pada perlakuan dengan permen X baik dengan coating saliva (p=0.000) maupun serum (p=0.000). Tidak terdapat perubahan yang signifikan pada pembentukan biofilm C. albicans yang ditambahkan permen propolis madu dengan coating saliva (p=0.187) maupun serum (p=0.386) serta permen madu dengan coating saliva (p=0.062) maupun serum (p=0.396). Simpulan: Pemberian larutan permen X bermakna dalam meningkatkan pembentukan biofilm C.albicans. Pemberian larutan permen propolis madu dan permen madu tidak mempengaruhi pembentukan biofilm C.albicans.

Manifestations of oral candidiasis related with biofilm formation on mucosal sufaces. Candida albicans is the main microbial culprit in oral candidiasis. Propolis is reported to have an effect on biofilm formation of C.albicans. Objective: To evaluate effect of candy that contains propolis on in-vitro biofilm formation of C.albicans compared with honey candy. Methods: C. albicans was exposed with 50% X candy solutions, propolis honey candy solutions, and honey in 96-well plate that had been coated with saliva and serum. To analyze formation of C. albicans biofilm MTT assay was used. Data was analyzed with one-way ANOVA. Result: There were significant increases on biofilm formation of C.albicans with X candy treatment either coated with saliva (p=0.000) or serum (p=0.000). There were no significant differences of C. albicans biofilm formation with addition of propolis honey candy either coated with saliva (p=0.187) or serum (p=0.386) and honey candy either coated with saliva (p=0.062) or serum (p=0.396). Conclusion: Treatment with propolis honey candy and honey candy solutions has no significant effect for biofilm formation of C.albicans. Effect of treatment with X candy solution was significant in increasing C.albicans biofilm formation."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
S45583
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>