Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Achmad Ramadhandy Yusmanda Putra
"Isu perubahan iklim perlu segera ditangani secara serius. Di antara instrumen-instrumen kebijakan yang ada, instrumen yang tergolong baru adalah instrumen ekonomi. Instrumen ekonomi berusaha menginternalisasi biaya lingkungan yang selama ini tidak diperhitungkan. Salah satu jenis instrumen ekonomi yang dinilai cukup efisien adalah pajak karbon. Efisiensinya dapat melebihi instrumen command and control dan cap-and-trade. Pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan terhadap segala kegiatan dan/atau barang yang menghasilkan dan melepaskan emisi karbon yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil ke atmosfer. Tujuan dari instrumen ini untuk memperbaiki kegagalan pasar akibat timbulnya eksternalitas negatif berupa perubahan iklim. Beberapa negara telah terlebih dahulu menerapkan pajak ini, di antaranya adalah Swedia dan India. Kedua negara ini dapat dijadikan pembelajaran bagi Indonesia yang juga berencana untuk menerapkan pajak ini. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengusulkan pengaturan mengenai pajak karbon, namun masih belum cukup mengakomodasi secara menyeluruh elemen-elemen pertimbangan yang penting dalam desain pajak karbon. Tidak semua senyawa emisi gas rumah kaca menurut Protokol Kyoto dan Amendemen Doha dikenai pajak karbon. Tarif pajak yang ditetapkan juga masih rendah dan belum ada jaminan penurunan emisi gas rumah kaca. Penggunaan pendapatan dari pajak karbon tidak hanya dialokasikan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim saja, namun terbuka untuk penggunaan lain. Ketentuan terkait pajak karbon sebaiknya diatur di dalam undang-undang tersendiri agar dapat mengakomodasi pengaturan yang lebih komprehensif.
......The issue of climate change needs to be taken seriously. Among the existing policy instruments, the relatively new instrument is the economic instrument. Economic instruments try to internalize environmental costs that have not been taken into account so far. One type of economic instrument that is considered quite efficient is the carbon tax. Its efficiency can surpass command and control and cap-and-trade instruments. The carbon tax is a tax imposed on all activities and or goods that produce and release carbon emissions resulting from burning fossil fuels into the atmosphere. The purpose is to correct market failures due to the emergence of negative externalities in climate change. Several countries have already implemented this tax, among them Sweden and India. These two countries can be used as lessons for Indonesia, which is also planning to implement this tax. The Draft Law (RUU) concerning the Fifth Amendment to Law Number 6 of 1983 concerning General Provisions and Tax Procedures are set to regulate the carbon tax, but it is still not sufficient to fully accommodate the elements of consideration that are important in the design of the carbon tax. Not all greenhouse gas emission compounds under the Kyoto Protocol and the Doha Amendment are subject to a carbon tax. The tax rate set is also still low and there is no guarantee of reducing greenhouse gas emissions. The use of revenue from carbon taxes is not allocated only for climate change mitigation and adaptation, which is open for another use. Provisions related to carbon tax should be regulated in a separate act to accommodate a more comprehensive arrangement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deasy Prasetyo Utami
"Tesis ini mengkaji kesesuaian Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dengan fokus pada Perjanjian Technical Barriers to Trade (TBT). CBAM adalah kebijakan UE yang mengenakan biaya karbon pada impor untuk menyelaraskan dengan Sistem Perdagangan Emisi (ETS) dan mencegah kebocoran karbon. Penelitian ini menyelidiki apakah CBAM melanggar ketentuan WTO, khususnya mengenai non-diskriminasi dan menyeimbangkan perdagangan dengan kebijakan lingkungan. Studi ini menguraikan ambisi iklim UE dan penerapan ETS, menyoroti tantangan kebocoran karbon yang mungkin menyebabkan industri pindah ke wilayah dengan peraturan lingkungan yang lemah. CBAM bertujuan untuk mengenakan biaya karbon pada impor barang tertentu, memastikan kesetaraan dengan produk dalam negeri berdasarkan ETS.
Analisis hukum berpusat pada tiga bidang Perjanjian TBT: non-diskriminasi terhadap barang impor (Pasal 2.1), perlunya pembatasan perdagangan (Pasal 2.2), dan penyelarasan dengan standar internasional (Pasal 2.4). Tesis ini berargumen bahwa meskipun CBAM berupaya mencegah kebocoran karbon dan mendorong perlindungan lingkungan, CBAM juga harus menghindari hambatan perdagangan yang tidak dapat dibenarkan. Penelitian ini juga mempertimbangkan perspektif mitra dagang UE, khususnya negara-negara berkembang, yang mungkin menganggap CBAM bersifat diskriminatif dan proteksionis. Potensi dampak terhadap perdagangan internasional dan tantangan kepatuhan bagi eksportir juga dibahas. Tesis ini menggarisbawahi perlunya menyeimbangkan tujuan lingkungan hidup dengan praktik perdagangan yang adil dan menyerukan kerja sama internasional untuk menyelaraskan mekanisme penetapan harga karbon.
Sebagai kesimpulan, tesis ini merekomendasikan untuk memastikan CBAM selaras dengan peraturan WTO sekaligus berkontribusi secara efektif terhadap tujuan iklim global. Ia menganjurkan dialog dan negosiasi yang berkelanjutan untuk mengatasi kekhawatiran negara-negara yang terkena dampak dan mengembangkan sistem penetapan harga karbon global yang adil dan efektif. Penelitian ini berkontribusi pada wacana yang lebih luas tentang pengintegrasian kebijakan lingkungan dengan peraturan perdagangan internasional.
......This thesis examines the compatibility of the European Union's Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) with World Trade Organization (WTO) rules, focusing on the Technical Barriers to Trade (TBT) Agreement. CBAM is an EU policy imposing carbon costs on imports to align with its Emissions Trading System (ETS) and prevent carbon leakage. The research investigates whether CBAM violates WTO provisions, particularly regarding non-discrimination and balancing trade with environmental policies. The study outlines the EU's climate ambitions and ETS implementation, highlighting carbon leakage challenges where industries might relocate to regions with lax environmental regulations. CBAM aims to impose carbon costs on imports of specific goods, ensuring parity with domestic products under ETS.
The legal analysis centers on three TBT Agreement areas: non-discrimination against imported goods (Article 2.1), the necessity of trade restrictions (Article 2.2), and alignment with international standards (Article 2.4). The thesis argues that while CBAM seeks to prevent carbon leakage and promote environmental protection, it must avoid creating unjustifiable trade barriers. The research also considers the perspectives of EU trading partners, especially developing countries, which may perceive CBAM as discriminatory and protectionist. The potential impacts on international trade and compliance challenges for exporters are discussed. The thesis underscores the need to balance environmental goals with fair trade practices and calls for international cooperation to harmonize carbon pricing mechanisms.
In conclusion, the thesis recommends ensuring CBAM aligns with WTO rules while effectively contributing to global climate goals. It advocates for ongoing dialogue and negotiation to address affected countries' concerns and develop a fair, effective global carbon pricing system. This research contributes to the broader discourse on integrating environmental policies with international trade regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library