Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shafira Salsabila
"Kemoterapi menjadi pengobatan yang sering digunakan bagi penderita kanker serviks karena memberi manfaat dalam penyembuhan dan pengendalian kanker. Namun terdapat efek samping dalam penggunaan kemoterapi. Sebagai alternatif obat kemoterapi, senyawa turunan asam risinoleat dan asam oleat dapat berperan dalam menghambat pertumbuhan sel kanker dan mengurangi efek samping yang ditimbulkan dibandingkan obat kemoterapi lainnya. Pada penelitian ini dilakukan konjugasi asam risinoleat dan asam oleat dengan senyawa antioksidan BHA dan BHT membentuk suatu produk ester. Kemudian dilakukan uji sitotoksisitas produk ester tersebut terhadap sel kanker serviks (sel HeLa) untuk mengetahui potensi aktivitas antikanker yang dimiliki. Sintesis produk ester menggunakan reaksi esterifikasi Steglich diawali dengan reaksi penggandengan (kopling) menggunakan reagen kopling Disikloheksilkarbodiimida (DCC) dan menggunakan 4-dimetilaminopiridin (DMAP) sebagai katalis basa. Hasil sintesis dilakukan pemisahan dengan kromatografi kolom untuk menghilangkan produk samping yang terbentuk. Uji sitotoksisitas dilakukan menggunakan metode pewarnaan MTT (3-[4,5-dimetil-2-thiazolyl)-2,5diphenyl-2H-tetrazoliumbromide) terhadap sel HeLa secara in vitro. Hasil uji sitotoksisitas berupa nilai IC50 dari masing-masing produk ester; asam risinoleat-BHA sebesar 330 μg/mL, asam risinoleat-BHT sebesar 630 μg/mL, asam oleat-BHA sebesar 1.440 μg/mL, dan asam oleat-BHT sebesar 2.294 μg/mL. Berdasarkan nilai IC50 tersebut dapat disimpulkan bahwa asam oleat-BHA dan asam risinoleat-BHA memiliki aktivitas antikanker yang lemah terhadap sel HeLa secara in vitro. Sementara asam risinoleat-BHT dan asam oleat-BHT tidak memiliki aktivitas antikanker terhadap sel HeLa secara in vitro.

Chemotherapy is a treatment often used for cervical cancer patients because it provides benefits in healing and controlling cancer. However, there are side effects of using chemotherapy. As an alternative to chemotherapy drugs, ricinoleic acid and oleic acid derivates can play a role in inhibiting the growth of cancer cells and reducing side effects compared to other chemotherapy drugs. In this study, the conjugation of ricinoleic acid and oleic acid with antioxidant compounds BHA and BHT to form an ester product. Then the cytotoxicity test of the ester product was carried out against cervical cancer cells (HeLa cells) to determine the potential for its anticancer activity. The synthesis of the ester product using the Steglich esterification reaction began with the coupling reaction using the coupling reagent Dicyclohexylcarbodiimide (DCC) and using 4-dimethylaminopyridine (DMAP) as the base catalyst. The results of the synthesis were separated by column chromatography to remove the formed by-products. Cytotoxicity test was performed using the MTT (3- (4,5-dimethyl-2-thiazolyl) - 2,5diphenyl-2H-tetrazoliumbromide) staining method against HeLa cells in vitro. The results of the cytotoxicity assay were the IC50 values of each ester product; ricinoleic acid-BHA was 330 μg / mL, ricinoleic acid-BHT was 630 μg / mL, oleic acid-BHA was 1,440 μg / mL, and oleic acid-BHT was 2,294 μg / mL. Based on the IC50 value, it can be concluded that oleic acid-BHA and ricinoleic acid-BHA have weak anticancer activity against HeLa cells. Meanwhile, ricinoleic acid-BHT and oleic acid-BHT did not have anticancer activity against HeLa cells."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Marliau
"Latar belakang: Modified Blalock-Taussig Shunt (MBTS) merupakan terapi paliatif untuk pasien dengan penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik, namun memerlukan tatalaksana antikoagulan pascaoperasi agresif untuk mencegah komplikasi oklusi shunt dan perdarahan yang berujung pada kematian. Penelitian ini menilai efektivitas pemeriksaan koagulasi alternatif yaitu Activated Clotting Time (ACT) yang lebih mudah dan cepat dihasilkan dibandingkan dengan Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) untuk regulasi antikoagulan yang lebih agresif untuk mencegah komplikasi pascaoperasi MBTS.
Metode: Desain penelitian adalah retrospektif longitudinal. Semua pasien yang menjalani MBTS di periode Januari 2017 hingga Mei 2018 dibagi menjadi dua kelompok, yang menggunakan ACT setiap jam dan kelompok APTT yang diperiksa setiap empat jam. Kedua kelompok dievaluasi selama perawatan pascaoperasi adanya kejadian oklusi shunt, perdarahan, operasi ulangan, dan kematian
Hasil: Total subjek adalah 174 pasien yang menjalani MBTS, sebanyak 59 pasien dilakukan regulasi heparin pascaoperasi dengan ACT dan 115 pasien dilakukan pemeriksaan APTT. Angka kejadian operasi ulangan lebih rendah signifikasn pada kelompok ACT dibandingkan APTT sebesar 6,77% (p= 0,023).Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok pada kejadian oklusi (p=0,341; OR 0,571 IK95% 0,178-1,834), perdarahan pascaoperasi (p= 0,547; OR 0,563 IK95% 0,149-2,128), dan kematian (p=0,953; OR 0,975 IK95% 0,369-2,554). Kelompok ACT menunjukkan kecenderungan protektif terhadap kejadian-kejadian morbiditas pascaoperasi MBTS.
Simpulan: Regulasi dosis heparin menggunakan pemeriksaan ACT nenurunkan kejadian operasi ulangan dan menunjukkan hasil protektif terhadap morbiditas pascaoperasi MBTS lainnya sehingga dapat dipertimbangkan penggunaannya.

Background: Modified Blalock-Taussig Shunt (MBTS) is a palliative treatment for cyanotic congenital heart disease (CHD) which needs postoperative anticoagulant treatment to prevent shunt occlusion and postoperative bleeding. This study was to find out the effectivity of alternative coagulation test of Activated Clotting time (ACT) which is faster and easier to produce compared to Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) for a more aggressive anticoagulant regulation to prevent postoperative complcations.
Methods: The study design is retrospective longitudinal study. All patients that underwent MBTS from January 2017 to Mei 2018 is deviden into 2 groups, first using ACT to regulate heparin and the second group using APTT. Both groups are studied for the incidence of shunt occlusion, bleeding, redo operation, and death.
Results: Total subjects who underwent MBTS were 174 patients. Postoperative heparin is regulated using ACT in 59 patients and APTT in 115 patients. There are less shunt occlusion in ACT group (6,78%) compared to APTT (11,03%) but statistically insignificant (p = 0,341). Bleeding is less in ACT group (5,08%) compared to APTT (8,69%) but statistically insignificant (p= 0,547). Mortality is lower in ACT group (11,86%) compared to APTT (12,17%) but statistically insignificant (p = 0,953). Redo operation is significantly lower in ACT group (6,77%) compared to APTT (20%) with p = 0,023. Although statistically insignificant, ACT group showed clinically significant lower shunt occlusion, bleeding, and mortality.
Conclusion: No significant difference between ACT and APTT in shunt occlusion, bleeding, and mortality, but redo operation is significantly lower in ACT group. ACT might be considered as alternative test for easier and faster method to regulate postoperative MBTS heparin dose.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marissa Angelina
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi efek kemopreventif ekstrak etanol daun Brucea javanica Merrill yang diberikan secara oral pada tikus yang menderita kanker paru yang diinduksi dengan 7,12-dimetilbenz[a]antrasen (DMBA). Selain itu, diilakukan juga penetapan parameter spesifik dan non spesifik terhadap ekstrak, Pada evaluasi kemopreventif ekstrak menggunakan parameter histologi jaringan kanker pada paru-paru. Hewan uji dibagi kedalam 5 kelompok. Kelompok I (kontrol normal) diberi minyak jagnng 1 ml, kelompok II (kontrol DMBA), kelompok lll, IV, dan V merupakan kelompok yang diinduksi dengan DMBA dan diberi sampel peroral dengan dosis masing-masing 250, 500, dan 750 mglkg bb yang diberikan setiap hari schwa 2 minggu sebelum induksi DMBA. Kemudian dilanjutkan selama 5 minggu. Setiap minggu dilakukan penimba:ngan bobot badan dan pa1pasi hewan uji untuk :mengetahui munculnya tumor. Pengamatan dilakukan selama 16 minggu. Dari basil penetapan parameter spesifik diperoleh data bahwa rendemen ekstraksi dengan menggunakan pelarut etanoi 70% adalah 28%, kadar senyawa yang terlarut dalam air dan etanol berturut-turut 11,49 dan 9,41%. Profil KLT, flourosensi pada sinar uv 366 nm memperHhatkan bahwa ekstrak mengandung flavonoid. Hasil dari penetapan parameter non spesifik diperoleh data susut pengeringan 18,95%, kadar air 15,06%, kadar abu total 16,12%, dan kadar abu tidak 1arut asarn 11,14%. ldentifikasi kandungan k.imia diketahui bahwa ekstrak mengandung senyawa flavonoid~ tanin) dan glikosida. Penetapan kadar flavonoid diperoleh kadar total flavanoid 9,901 %. Pengamatan histologi paiu-paru menunjukkan bahwa kelompok I harnpir sebagian besar paru dalam keadaan normal, kelompok II semua menunjukkan tez:Jadinya proliferasi dan keganasan se1 kanker. Kelompok lll, IV dan V menunjuk.kan bahwa kondisi paru yang diinduksi DMBA telah terjadi perbaikan dengan terlibat adanya penebalan sel alveolus. Dari basil pengolahan menggunakan statistik terjadi perbedaan yang bermakna antar kelompok kontrol DMBA dan kelompok dosis dengan nilai P9>,00. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak memberikan efek kemopreventif pada hewan uji yang diinduki dengan DMBA. Dimana efek yang terbaik diberikan pada ekstrak dosis 250 mg/kg bb.

ABSTRACT
The objective of this study was to evaluate chemo preventive effect of ethanol extract of Brucea javanica Merrill leaves which given orally to lung cancer rats (induced by 7,12· dimethylbenz[a]anthracene (DMBA), and also determine several specific and non-specific parameters. Chemo preventive evaluation was using histology of lung cancer. The animal test was divided into 5 groups. Group I (normal control) was given 1 mL of from oil, group II ( DMBA control), group III, IV, and V were induced by DMBA and given l mL extract orally every day 250, 500, and 750 mg/kg bw~ respectively. Extract was given for two weeks before induction and continued for 5 weeks , The observation having done for all of the experiment days for 16 weeks, For every weeks having done the weighing of each rats) and also palpasion to know the appearance of tumors. The specific extract parameters were the rendement of extraction is 28%, the values of water extractive and ethanol-extractive are 11.49 and 9.41%. respectively. TLC profile of the sample used 366 nm UV light showed that extract contains flavonoid. The result of determination of the non specific parameters of the extract are; loss on drying is 18.95%, the water content is 15.06% , the total ashes is 16.12%, and the level of ashes not dissolved in acid is 11.14%. The identification of chemical) compound shows that the extract contained flavonoid, tannin, and glycoside. The level of total flavonoid is 9.901%. From the result of lung histology are known almost of rats in group I the lung is in the normal condition. Group II showed proliferation and cancer cells. Group Ill, IV and V show performed repairment in the alveoli cell. The statistical data analyses shows significant differences between group II with group Ill, IV, and V (P=O.OO). The conclusion of thls study showed that the extract demosntrated chemopreventive activity to rats which induced by DMBA. The best effect is showed by group Ill (dose 250 mg/kg bw)."
2010
T32827
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sianipar, Erlia Anggrainy
"Latar Belakang: Penurunan sensitivitas hingga resistensi terhadap tamoksifen sering terjadi dalam pengobatan kanker payudara jangka panjang. Salah satu penyebab utamanya adalah peningkatan ekspresi transporter efluks P-glikoprotein (P-gp) dan Breast Cancer Resistance Protein (BCRP). Kurkumin diketahui sebagai penghambat P-gp dan BCRP. Pemberian kurkumin pada sel yang telah menurun sensitivitasnya terhadap tamoksifen diharapkan mampu meningkatkan sensitivitas sel kanker payudara terhadap tamoksifen melalui penghambatan kedua transporter tersebut.
Metode: Sel MCF-7 dipaparkan tamoksifen 1 µM selama 10 pasasi (sel MCF-7(T)), kemudian dianalisis perubahan sensitivitas sel terhadap tamoksifen melalui viabilitas sel dan ekspresi mRNA P-gp dan BCRP. Pada sel MCF-7(T), kurkumin diberikan dalam dosis 5, 10, dan 20 µM dengan atau tanpa tamoksifen selama 5 hari dan dianalisis viabilitas sel dan ekspresi mRNA P-gp dan BCRP pada hari ke-2 dan 5. Sebagai kontrol positif, verapamil 50 µM digunakan sebagai penghambat P-gp, ritonavir 15 µM dan nelfinavir 15 µM sebagai penghambat BCRP.
Hasil: Setelah diberikan tamoksifen 1 µM selama 10 pasasi (44 hari), sel MCF-7(T) menurun sensitivitasnya terhadap tamoksifen yang dibuktikan dengan terjadinya pergeseran CC50 sebesar 32,08 kali, peningkatan viabilitas sel sebesar 106,4%, dan peningkatan ekspresi mRNA P-gp dan BCRP sebesar 10,82 kali dan 4,04 kali. Pemberian kurkumin dengan atau tanpa tamoksifen selama 5 hari dapat menurunkan viabilitas sel dan ekspresi mRNA P-gp dan BCRP (p < 0,05).
Kesimpulan: Kurkumin meningkatkan sensitivitas sel MCF-7(T) terhadap tamoksifen yang ditandai dengan penurunan viabilitas sel dan ekspresi mRNA P-gp dan BCRP. Peningkatan sensitivitas tersebut diduga terjadi melalui penghambatan ekspresi mRNA P-gp dan BCRP oleh kurkumin.

Background: Decrease of sensitivity or resistance to tamoxifen occurs after long-term treatment in breast cancer. One of the major factor in tamoxifen resistance is overexpression of efflux transporter P-glycoprotein (P-gp) and Breast Cancer Resistance Protein (BCRP). Curcumin has been known as inhibitor of P-gp and BCRP. The addition of curcumin to tamoxifen resistant cells is expected to increase the sensitivity of breast cancer cells to tamoxifen.
Methods: MCF-7 breast cancer cell line was exposed with tamoxifen 1 µM for 10 passage (MCF-7(T)), then cell viability and mRNA expression of P-gp and BCRP were analyzed. To the MCF-7(T) cells, curcumin of 5, 10, dan 20 µM with or without tamoxifen was given for 5 days and cell viability and mRNA expression of P-gp and BCRP were analyzed on day 2 and 5. As positive control, verapamil 50 µM was used as P-gp inhibitor, ritonavir 15 µM and nelfinavir 15 µM were used as BCRP inhibitor.
Results: The administration of tamoxifen 1 µM for 10 passage (44 days), caused a decreased of MCF-7(T) cells sensitivity to the drug, with 32,08 times reduction in CC50 towards tamoxifen, increased of cell viability of 106,4%, and increased mRNA expression of P-gp and BCRP mRNA of 10,82 and 4,04 fold, respectively. The administration of curcumin with or without tamoxifen for 5 days reduced cell viability and the mRNA expression of P-gp mRNA and BCRP (p < 0,05).
Conclusion: Curcumin increased MCF-7(T) sensitivity to tamoxifen, characterized by decreased of cell viability and mRNA expression of P-gp and BCRP. Increased of sensitivity was estimated at least in part through inhibition of P-gp and BCRP mRNA expression by curcumin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Teguh Rahayu
"ABSTRAK
Tamoksifen merupakan obat pilihan utama pengobatan kanker payudara pada wanita dengan reseptor estrogen positif ER , namun pada penggunaan jangka panjang selama 5-10 tahun berisiko menyebabkan secondary cancer berupa kanker endometrium. Penelitian ini bertujuan mendapatkan metode analisis yang sensitif, spesifik dan selektif yang mampu mengukur konsentrasi tamoksifen dan 4-hidroksitamoksifen di dalam plasma sebagai upaya memprediksi terjadinya secondary cancer dan mengetahui pengaruh pemberian fraksi aktif terhadap konsentrasi tamoksifen dan 4-hidroksitamoksifen menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Ultra Tinggi-tandem Spektrometri Massa sesuai kriteria EMEA. Myrmecodia erinacea Becc. diekstraksi secara maserasi dengan etanol 80 untuk memperoleh ekstrak etanol 80 lalu difraksinasi dengan n-heksana, etil asetat dan butanol untuk mendapatkan fraksi aktif dan dilakukan identifikasi senyawa kimia. Dilakukan uji sitotoksik dan toksisitas akut terhadap fraksi aktif, lalu uji aktivitas kemopreventif menggunakan 30 tikus betina yang terbagi menjadi 6 kelompok perlakuan, yaitu diberikan tamoksifen 20 mg/kb bb KP , aqua destilata KKN , minyak jagung KN dan kelompok uji yang diberikan fraksi uji yang setara dengan kuersetin dosis 100, 200 dan 400 mg/kb bb. Tamoksifen 20 mg/kg bb diberikan pada seluruh kelompok kecuali KN dan KKN , setelah 30 menit diberikan fraksi uji pada kelompok perlakuan, selama 20 hari. Metode analisis yang dikembangkan sensitif, spesifik dan selektif pada LLOQ 2,0 ng/mL, rentang kurva kalibrasi 2,0-200,0 ng/mL,volume injek 1 L dengan waktu retensi tamoksifen, 4-hidroksitamoksifen dan propranolol HCl pada 1,59; 1,14; dan 1,09 menit. Fraksi aktif terpilih adalah etilasetat memiliki rendamen 45,86 dengan kadar total fenol dan flavonoid 0,34 dan 0,02 dan mengandung apigenin, kaemferol, kuersetin dan rutin dengan kadar kuersetin 5,75 . Fraksi aktif memiliki IC50 802,42 ppm dan LD50 > 5000 mg/kb bb sehingga aman digunakan. Semua dosis fraksi aktif dapat menurunkan konsentrasi tamoksifen dan 4-hidroksitamoksifen dalam plasma. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi tandem Spektrometri Masa dapat mengukur konsentrasi tamoksifen dan 4-hidroksitamoksifen dalam plasma, penurunan itu diduga karena fraksi aktif yang diberikan menghambat proses metabolisme tamoksifen dengan demikian maka fraksi aktif berpotensi sebagai sebagai kemopreventif.

ABSTRACT
Tamoxyfen is the first choice of drug treatment for breast cancer in women with estrogen receptor positive ER , however in the long term use of 5 10 years they are exposed to risk of secondary cancer in the form of endometrial cancer. A sensitive, specific and selective analysis method is required to measure the concentrations of tamoxyfen and 4 hydroksitamoxyfen in plasma as an attempt to predict the occurrence of secondary cancer and its effect after administration of active fraction against concentrations of tamoksifen and 4 hidroksitamoksifen using Liquid chromatography tandem mass spectrometry was developed in accordance with EMEA criteria. Myrmecodia erinacea Becc. was extracted in 80 ethanol by maceration to obtain 80 ethanol extracts and then fractination was perfomed with n heksan, ethyl acetate and butanol to obtain the active fraction afterward the chemical compounds were identified. Acute toxicity and cytotoxic test were performed against active fraction, then activity as chemoprevention of ant nest plant M. erinacea Becc. was performed on 30 female rats, divided into 6 treatments, which were given tamoxyfen 20 mg kb bb Positive control , aqua distillata Normal Control , and corn oil Negative Control . The test group was given a test fraction equivalent to 100, 200 and 400 mg kb bb doses of quercetin. Tamoxyfen 20 mg kg bw was administered in the whole group except negative control and normal control , then 30 minutes later the test fraction was given to the treatment group according to the dose, and was carried out for 20 days. Sensitive, specific and selective analysis method was developed on the calibration curve range 2.0 ndash 200.0 ng mL. The chosen active fraction was etilasetat with yield of 45.867 , which had the highest value of total phenol and its flavonoida of 0.34 and 0.02 thus containing apigenin, quercetin, kaemferol and rutine with levels of quercetin 5.75 . Active fraction containing IC50 was 802.84 ppm and LD50 5000 mg kg bw so it is safe to be used. All doses of the active fraction could lower concentrations of tamoxyfen and 4 hydroxytamoxifen in plasma. Liquid chromatography tandem Mass Spectrometry can measure concentrations of tamoxifen and 4 hydroxytamoxifen in plasma. The decline was allegedly because the active fraction inhibited metabolism of tamoxiifen, therefore active fraction had potential as as chemopreventive."
2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Tjoa
"

Kanker kolorektal (KKR) merupakan kanker terbanyak ke-3 dengan mortalitas terbesar ke-2 di dunia. Penelitian menunjukkan KKR dapat terjadi melalui jalur inflamasi/colitis associated cancer (CAC). Zat antiinflamasi, seperti aspirin untuk mencegah CAC telah digunakan. Namun, efek samping yang timbul mendorong pencarian zat antiinflamasi alternatif, salah satunya adalah minyak ikan dengan kandungan omega-3. Penelitian Kusmardi, menunjukkan minyak ikan hasil limbah memiliki kandungan omega-3 yang cukup tinggi sebagai antiinflamasi. Penelitian menggunakan materi biologi tersimpan dari 30 ekor mencit Swiss Webster jantan yang dibagi menjadi 6 kelompok yang terdiri atas 1 kelompok normal/N dan 5 kelompok induksi KKR dengan AOM/DSS: kontrol positif/KP (aspirin), kontrol negatif/KN (salin fisiologis), dosis satu/D1 (minyak ikan 6mg/kgBB), dosis dua/D2 (minyak ikan 3mg/kgBB), dan kontrol pelarut/Kpel (minyak jagung). Mencit diterminasi setelah minggu ke-6 dan jaringan kolon diwarnai dengan imunohistokimia anti IL-6. Sepuluh lapang pandang untuk masing-masing spesimen diambil menggunakan mikroskop cahaya (400x) dan dianalisis menggunakan ImageJ® untuk mendapatkan persentase ekspresi IL-6. Data dianalisis secara statistik menggunakan SPSS 24.0. Ekspresi IL-6 tidak berdistribusi normal (p<0,05). Uji Kruskal-Wallis menunjukkan hasil signifikan (p<0,05). Uji Mann-Whitney menunjukkan hasil signifikan antara KN dengan KP, N, dan D1 (p<0,05). Tidak ada perbedaan signifikan antara KP dengan kelompok N (p=0,15). Efek terapi minyak ikan 6mg/kgBB serupa dengan aspirin (p=0,69). Sementara itu, kelompok D2 (p=0,016) dan Kpel (p=0,008) berbeda signifikan dengan kelompok D1. Minyak ikan produk limbah dalam dosis 6mg/kgBB dapat menurunkan ekspresi IL-6 pada jaringan kolon mencit yang diinduksi KKR.


Colorectal cancer (CRC) is the world’s third most and second deadliest cancer. Studies show that CRC can result from inflammation, known as colitis-associated cancer (CAC). Anti-inflammation substances, such as aspirin are being used as CAC chemoprevention. However, its adverse effects lead to the searching for alternative anti-inflammation agents. One of them is omega-3 containing fish oil. Kusmardi and Tedjo studied that omega-3 level of industrial waste fish oil can be used as anti-inflammation agent. This experimental preclinical study was done using preserve mice colon tissue. Thirty male Swiss Webster mice are grouped into six different treatments consist of  one normal group/N and five AOM/DSS induced CRC group: positive control/PC (aspirin), negative control/NC (physiological saline), higher dose/D1 (fish oil 6mg/kgBW), lower dose/D2 (fish oil 3mg/kgBW), dan solvent control/SC (corn oil). Termination was done following six weeks of treatment and colon tissue was stained using anti IL-6. Ten colon’s histological images were taken by microscope (400x) and analysed for the IL-6 expression by ImageJ®. Statistical analysis was done using SPSS 24.0. Data are not normally distributed (p<0,05). Kruskal-Wallis test is significant (p<0,05) in addition to Mann-Whitney test shows N, PC, and D1 group has significant difference compare to NC group (p=0,008). No difference between PC and N group (p=0.15). Fish oil in 6mg/kgBW dosage is comparable to aspirin (p=0.69). In addition, lower dose (p=0,016) dan and solvent control (p=0,008) differs significantly to D1. Industrial waste fish oil in dosage of 6mg/kgBW can lower IL-6 expression in mice colon tissue induced CRC.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library