Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Winarni
"Koagulasi terjadi karena adanya interaksi antara produk hidrolisa aluminum dengan kontaminan seperti partikel koloid. Berbagai spesies aluminum yang mungkin hadir pada kondisi tertentu perlu diperhatikan, mengingat bahwa mekanisme penurunan kekeruhan sangat tergantung pada spesies tersebut. PACl terdiri dari produk hidrolisa aluminum yang telah dibuat terlebih dahulu, dimana produk ini stabil pada pH di bawah 6 serta kurang sensitif dibandingkan dengan produk hidrolisa in situ yang dihasilkan dari alum. Keuntungan PACl dibandingkan alum diteliti sebagai fungsi dari pH dan dosis Al. Juga dibahas tentang kondisi spesifik dan spesies aluminum yang hadir dalam mekanisme koagulasi tertentu. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa PACl lebih efektif daripada alum pada rentang pH yang rendah dan pH tinggi, sedangkan penggunaan alum optimum pada kondisi netral.

Alum and PACl Coagulation. Coagulation occurs by interaction of aluminum hydrolysis products with the contaminant such as colloidal particles. It is necessary to consider the different aluminum species that may present during specific conditions, since the mechanism of turbidity removal is dependent upon them. PACl consists of preformed aluminum hydrolysis products, which are stable below pH 6 and less sensitive than in situ hydrolysis product, alum. The benefits of PACl relative to alum have been investigated as a function of pH and Al dosages. Specific conditions and aluminum species that exist during the certain mechanisms of coagulation are discussed. Results suggest that PACl is more effective than alum in lower pH range and high pH range, whereas alum is optimum in the neutral condition."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2003
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Ratri
"ABSTRAK
Mikroalga Chiorella pyrenoidosa merupakan salah satu mikroaiga yang digunakan sebagal bahan makanan tambahan (food supplement) maupun
campuran pakan ternak.
Penggunaan Chiorella pyrenoidosa sebagai bahap makanan terutama disebabkan karena kandungan proteinnya yang cukup tinggi yaitu 60 % berat kering sel.
Mikroalga Chiorella pyrenoidosa dapat dikembangbiakkafl di dalam medium Iimbah organik industri makanan seperti Iimbah call tahu, Iimbah tempe , Iimbah cair gula clan Iimbah cair kecap.Penggunaan Iimbah sebagal medium pertumbuhan adaah karena Iimbah tersebut masih mengandung berbagai protein clan mineral yang dierIukan untuk pertumbuhan mikroalga. Selain itu penggunaan Iimbah sebagal medium pertumbuhan merupakan satah satu cara pengolahan Iimbah secara biologis sehingga Iimbah tersebut tidak mencemari lagi saat dibuang ke Iingkungan.
Di dalam medium Iimbah call tahu Chiore/la pyrenoidosa membentuk sistem koloid berwarna hijau yang bermuatan negatif. Cara pemanenan yang biasa dilakukan adalah secara koagulasi dan flokulasi yaitu dengan menambahkan koagulan.
Dalam penelitian mi dilakukan penentuan kondisi optimum proses flokulasi dan koagulasi dengan rnenggunakan PAC ( Poly Aluminium Chloride) yang merupakan koagulan sntetik dan chitosan yang merupakan koagulan alam. Chitosan yang digunakan dibuat darl kulit udang dengan menggunakan metode yang diperoleh pada penelitian sebelumya. Dari 200 g Wit udang setelah mengatami proses deproteinasi dengan menggunakan NaOH 3,5 % (w/v) , demineralisasai dengan menggunakan HC I 1,25 M dan deasetilasi dengan menggunakan NaOH 60 % ( w/v) diperoleh chitosan sebanyak 53,26 g. Karakterisasi chitosan dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer IR.
Kondisi pertumbuhan yang optimal untuk Chiorella pyrenoidosa diperoleh pada konsentrasi Iimbah cair tahu 75% (v/v) yang dilengkapi dengan penerangan dan aerasi. Sedangkan kondisi optimal proses flokulasi dan koagulasi adalah pada pH 4 dan konsentrasi koagulan 50 ppm dengan menggunakan PAC serta pada pH 8 clan konsentrasi koagulan 50 ppm dengan menggunakan chitosan.
Di akhir percobaan dilakukan pengukuran beberapa parameter dalam limbah cair tahu (COD,BOD, pH. zat organik clan padatan tersuspensi) Hasil pengukuran menunjukkan terjadinya penurunan nilai parameter-parameter tersebut sesuai dengan standar baku mutu Iingkungan untuk limbah cair tahu, kecuali nilai pH pada penggunaan PAC sebagal koagulan.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1999
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayuningsih Dharma Setiabudy
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
616.157 RAH e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Fathul Karamah
"Membran mikrofiltrasi merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam pengolahan air bersih. Namun teknologi ini rentan terhadap pengotoran/fouling oleh partikel dalam air limbah yang berupa koloid yang mengakibatkan kinerja dan selektivitas dari membran dapat berkurang. Salah satu proses untuk mengurangi laju pengotoran dalam membran adalah proses koagulasi. Suhu dan pH merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi proses koagulasi. Variasi suhu yang dilakukan adalah suhu 30, 40 dan 50o C, sedangkan variasi pHnya adalah 5, 7 dan 9. Hasil menunjukkan bahwa kondisi optimum untuk tahapan koagulasi yang diperoleh adalah pada suhu 40oC dan pH = 5. Dengan bantuan tahapan koagulasi ini maka hasil yang diperoleh dalam proses pengolahan air menggunakan teknologi membran diantaranya fluks permeat tertinggi yang diperoleh mencapai 0,0238 m 3/m2. Jam dan persen rejeksi untuk TDS sebesar 56,52 % sedangkan persen rejeksi untuk COD sebesar 38,9 %.

Microfiltration membrane are widely used in wastewater treatment. However, it is subjected to fouling that is caused by colloid particles in the wastewater. This fouling can affect the performance and selectivity of membrane. To reduce the fouling rate on membrane, pretreatment process is usually used, such as coagulation. Temperature and pH are two factors that affect the coagulation process. Variation of temperature is conducted at 30, 40 and 50oC, while the variation of pH is at 5, 7 and 9. The result shows that the optimum condition for coagulation process is at 40oC and pH of 5. With this coagulation process, the result of water treatment process using membrane technology reaches the highest performances with value of permeate flux is 0,0238 m 3/m2.hour and the % Rejection for TDS is 56,52 % and also % Rejection for COD is 38,9%."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yusran
"Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas fotokoagulasi laser 810 nm durasi 20 ms dan 100 ms dalam mencegah progresivitas PDR.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar ganda. Sebanyak 28 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dibagi menjadi dua kelompok yang terdiri atas 14 subyek untuk menjalani fotokoagulasi laser 810 nm. Pada kelompok pertama mendapatkan laser dengan durasi 20 ms dan kelompok kedua dengan durasi 100 ms. Lesi derajat 3 dengan spot sized 200 μm diaplikasikan pada kedua kelompok. Penilaian progresivitas PDR dilakukan setelah 2 bulan pasca laser dengan menggunakan foto fundus 7 posisi. Fluence, power dan tajam penglihatan dibandingkan di antara kelompok.
Hasil: Sebanyak 25 pasien yang mengikuti follow up selama 2 bulan. Proporsi neovaskularisasi yang tidak progresif pada kelompok 20 ms dan 100 ms sebesar 76,9% dan 75,0% (p=1,000). Power yang dibutuhkan dua kali lebih tinggi pada kelompok 20 ms (1000 vs 500 mW; p=0,000). Rerata fluence pada kelompok durasi 20 ms lebih rendah dua kali dibandingkan kelompok durasi 100 ms (15,91 vs 6,36 J/cm2; p=0,000). Perbaikan visus pasca laser pada kelompok 20 ms dan 100 ms sebesar 23,1% dan 33,3 % (p=1,000).
Kesimpulan: Durasi 20 ms memiliki kemampuan mencegah progresivitas neovaskularisasi yang sama dibandingkan dengan durasi 100 ms. Fluence yang dibutuhkan lebih rendah pada durasi 20 ms.

Aim: The aim of this study was to compare the effectiveness of laser photocoagulation 810-nm with 20 ms and 100 ms duration to prevent the progression of proliferative diabetic retinopathy.
Method: This study was prospective double blind randomized clinical trial. Twenty-eight participants who met the inclusion criteria divided into two groups to undergo laser photocoagulation by using 810 nm lasers. One group consisted of fourteen subjects received 100 ms duration and the other received 20 ms duration. Grade 3 burns with a 200 μm spot sized were placed with both modalities. The progression of PDR was evaluated in two months follow up by using seven fields fundus photographs. Fluence, power and visual acuity were compared in this study.
Result: Twenty five subjects completed the two months follow up. Nonprogressive PDR in 100 ms group was 75.0% and in 20 ms was 76.9% (p=1.000). The median power in 20 ms group increased twice than 100 ms group (1000 vs. 500 mW; p=0.000). The median fluence in 20 ms group reduced to one-half of 100 ms group (6.36 vs. 15.91 J/cm2; p=0,000). Improvement of visual acuity in 20 ms and 100 ms was comparable (23,1% vs. 33,3%; p=1,000).
Conclusion: The 20 ms duration showed similar result in preventing the progression of PDR compared to 100 ms duration. The fluence was lower in 20 ms group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Faresa Hilda
"Tujuan tesis ini adalah mengetahui pengaruh laser fotokoagulasi panretinal 532 nm durasi 20 ms dosis tunggal, 100 ms dosis tunggal dan 100 ms-3 sesi terhadap ketebalan makula sentral (KMS). Desain penelitian adalah uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Tiga puluh tiga mata yang memenuhi kriteria inklusi dirandomisasi untuk mendapatkan laser 20 ms dosis tunggal atau 100 ms dosis tunggal atau 100 ms-3 sesi. Keluaran primer adalah KMS yang diukur menggunakan time-domain Optical Coherence Tomography pada baseline, 4 minggu dan 8 minggu pasca laser. Analisis hasil didapatkan rerata ( + SE) KMS baseline kelompok 100 ms, 20 ms dan 100 ms-3 sesi berturut-turut adalah 212,18 + 12,18 μm; 199,18 + 12,18 μm; 215,36 + 12,18 μm. Empat minggu pasca laser, KMS berturut-turut meningkat menjadi 232,09 + 18,63 μm; 206,27 + 18,63 μm; 254,09 + 18,63 μm. Delapan minggu pasca laser, KMS meningkat pada kelompok 100 ms dan 20 ms (237,90 + 17,47 μm; 208,27 + 17,47 μm), namun menurun pada kelompok 100 ms-3sesi (252,36 + 17,47 μm).

The purpose of this study was to determine the effect of panretinal laser photocoagulation 532 nm of 20 ms duration single session (SS), 100 ms SS and 100 ms (3 session) toward central macular thickness (CMT). The study design was a double-blind, randomized controlled clinical trial. Thirty-three subjects who met inclusion criteria were randomized to receive 20 ms SS laser or 100 ms SS or 100 ms (3 session). Primary output was CMT, measured by time-domain Optical Coherence Tomography at baseline, 4 weeks and 8 weeks post-laser. Results showed mean ( + SE) CMT at baseline from 100 ms SS group, 20 ms SS and 100 ms-3 session were 212.18 + 12.18 μm; 199.18 + 12.18 μm; 215.36 + 12.18 μm respectively. Four weeks after laser, CMT was increased to 232.09 + 18.63 μm; 206.27 + 18.63 μm; 254.09 + 18.63 μm respectively. Eight weeks post laser, CMT was increased in 100 ms SS and 20 ms SS (237.90 + 17.47 μm; 208.27 + 17.47 μm), but decreased 100 ms-3session group (252.36 + 17.47 μm).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maylina Chandra Puspita
"Krisis air bersih yang terjadi akibat pencemaran air mendorong dilakukannya suatu upaya pengolahan air untuk mendapatkan air bersih, salah satunya adalah dengan proses filtrasi. Namun, adanya fouling factor dan ketidakstabilan dari fluks menyebabkan kemampuan membran untuk menyeleksi zat yang melewatinya menjadi berkurang, sehingga kualitas hasil filtrasi menjadi tidak stabil dan cenderung menurun. Untuk mengatasi masalah tersebut, air perlu dipretreatment dengan proses koagulasi sebelum memasuki membran. Pada penelitian kali ini, tiga jenis koagulan yaitu aluminium sulfat, polialuminium klorida, dan polialuminium silikat klorida dengan variasi dosis, yaitu 10, 30, 50, dan 70 ppm diuji dan dibandingkan untuk mendapatkan jenis dan dosis koagulan yang paling efektif untuk meningkatkan kualitas air berdasarkan parameter total dissolved solid, kekeruhan, dan pH. Efektifitas koagulasi dan kinerja membran filtrasi meningkat dengan penambahan koagulan polialuminium silikat klorida dengan dosis 50 ppm. Efektifitas koagulasi pada koagulan ini berdasarkan penurunan total dissolved solid sebesar 49.16 % dan kekeruhan sebesar 64.29%. Hasil akhir dari pengolahan air dengan koagulan polialuminium silikat klorida 50 ppm yang dipadu dengan proses ozonasi dan filtrasi menghasilkan air dengan pH 6.95, total dissolved solid sebesar 8.06 ppm dengan penurunan total sebesar 87.90% dan kekeruhan sebesar 0 FAU dengan penurunan total sebesar 100%.

Clean water crisis caused by water pollution prompted a water treatment efforts to get clean water, one of them by filtration process. However, the presence of fouling factor and flux instability cause a membrane's ability to select the substances that pass through it become less, so the quality of filtration result becomes unstable and tends to decline. To overcome these problems, the water need to be pretreated by coagulation process before entering the membrane. In this research, three types of coagulant are aluminum sulphate, polyaluminium chloride, and polyaluminium silicate chloride with varied dose of 10, 30, 50, and 70 ppm were tested and compared to getting the type and dose of coagulant that is most effective to improve the water quality based on total dissolved solid, turbidity and pH parameters. Coagulation effectivity and membrane filtration performance increase with the addition of polyaluminium silicate chloride coagulant at a dose of 50 ppm. Coagulation effectivity of this coagulant based on reduction of total dissolved solid of 49.16% and turbidity of 64.29%. The final result of water treatment with polyaluminium silicate chloride coagulant at 50 ppm combined with ozonation and filtration process produce water with a pH of 6.95, total dissolved solid of 8.06 ppm with total reduction of 87.90% and the turbidity of 0 FAU with total reduction of 100%."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S62936
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vivi Rizka Yandri
"Tujuan: Mengetahui pengaruh fotokoagulasi laser terhadap kadar Hypoxia-inducible Factor-1α (HIF-1α) vitreus dan kadar Intercellular Adhesive Molecule-1 (ICAM-1) vitreus pada Retinopati Diabetik Proliferatif.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis acak terbuka. Desain penelitian adalah uji klinis acak terbuka. Dua puluh dua mata dirandomisasi menjadi 2 kelompok, yaitu yang mendapatkan fotokoagulasi laser panretinal 1-2 minggu pre-vitrektomi dan kontrol. Kadar HIF-1α dan ICAM-1 dihitung menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Central macula thickness (CMT) diukur saat baseline, pre-vitrektomi, follow-up 2, 4, dan 12 minggu paska vitrektomi.
Hasil: Analisis hasil didapatkan rerata kadar HIF-1α vitreus (dalam ng/mL) pada kelompok kontrol dan fotokoagulasi laser masing-masing 0,152±0,015 dan 0,164±0,033 sedangkan kadar ICAM-1 vitreus(dalam ng/mL) adalah 17,840±14,140 dan 27,027±10,452. Tidak terdapat perbedaan bermakna rerata kadar HIF-1α dan ICAM-1 vitreus serta CMT di setiap waktu follow up antara kedua kelompok. Terdapat korelasi antara kadar HIF-1α dan HbA1c (r=0,463, p=0,03). Pengukuran CMT pre-vitrektomi dan kadar HIF-1α vitreus pada penelitian ini mempunyai korelasi positif pada kedua kelompok (r = 0,447 dan r = 0,32).
Simpulan: Fotokoagulasi laser 1-2 minggu pre-vitrektomi tidak menyebabkan kadar HIF-1α dan ICAM-1 yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan laser. Kadar HIF-1α vitreus berkorelasi dengan tebalnya CMT, sedangkan kadar ICAM-1 vitreus tampak tidak berhubungan. Kontrol glikemik yang lebih buruk pada kelompok fotokoagulasi laser mempengaruhi hasil dari kadar HIF-1α maupun ICAM-1 vitreus.

Purpose: to determine the effect of pre-treatment of laser panretinal photocoagulation (PRP) before vitrectomy to Hypoxia-inducible Factor-1α (HIF-1α) and Intercellular Adhesive Molecule-1 (ICAM-1) in the vitreous fluid of patients with diabetic retinopathy proliferative.
Methods: This is post-test only randomized clinical trial open label study. Twenty two eyes were recruited, and 11 eyes had pre-treatment of PRP pre-vitrectomy and other 11 eyes were served as control. HIF-1α and ICAM-1 were measured by enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). At the beginning of PRP and just before vitrectomy (1-2 week after PRP), and at the time of follow-up of 2,4, and 12 week after vitrectomy, central macular thickness (CMT) was measured.
Results: Mean of HIF-1α(ng/mL) were 0,152±0,015 and 0,164±0,033in control and photocoagulation group, respectively. Mean of ICAM-1(ng/mL) were 17,840±14,140 and 27,027±10,452. There were no statistically significant differences in the comparison of both HIF-1α and ICAM-1 in each group and CMT at each time of follow up. The positive correlation between ICAM-1 in the vitreous body and HbA1c was clinically significant (r=0,463, p=0,03). The positive correlation between both level of HIF-Iα the vitreous body of both groups and CMT was found (r = 0,447 dan r = 0,32).
Conclusion: Laser photocoagulation 1-2 weeks before vitrectomy did not cause lower concentration of vitreous level of HIF-1α dan ICAM-1. Glycemic control status that worse in laser photocoagulation group could influence the level of HIF-1α and ICAM-1 vitreus.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifah Maani
"DIC ialah suatu keadaan yang timbul karena terjadinya pembekuan di dalam pembuluh darah secara luas, yang menghasilkan deposit fibrin di dalam mikrosirkulasi sehingga mengakibatkan skernik dan kerusakan organ. DIC bukan merupakan penyakit tersendiri tetapi merupakan komplikasi dan berbagai penyakit atau keadaan yang dapat mencetuskan pernbekuan darah. Pada DIC akut manifestasi kiinis yang paling sering dijumpai adalah perdarahan mulai dari yang ringan sampai berat, sehingga memerlukan penanganan yang cepat dan tepat. Untuk dapat menangani DIC dengan baik seorang klinikus perlu memahami patofisiologi DIC serta mengenali kelainan laboratorium yang sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis. DIC terjadi karena adanya aktivasi sistem pembekuan darah baik melalui jalur intrinsik, ekstrinsik atau langsung ke F X, protrombin atau fibrinogen. Proses pembekuan darah akan diikuti dengan proses fibrinolisis sehingga aktivitas trombin dan plasmin meningkat. Pada DIC akut terjadi keadaan dekompensasi karena kecepatan produksi trombosit dan faktor-faktor pembekuan tidak dapat mengimbangi konsumsi yang meningkat sehingga akan ditemui penurunan jumlah trombosit dan kadar fibrinogen, pemanjangan TT, PT dan APTT, DP terutama fragmen D dimer positif seta tes parakoagulasi positif. Pada DIC kronis biasanya terjadi keadaan terkompensasi atau overkompensasi sehingga hasil pemeriksaan laboratorium bervariasi, dapat sedikit menurun, normal atau meningkat. Diagnosis DIC ditegakkan berdasarkan keaadaan klinis dan kelainan laboratorium. Prinsip pengobatan DIC adalah memperbaiki keadaan umum,
mengobati atau menghilangkan penyakit dasar. Bila perlu diberikan trombosit dan faktor pembekuan hepanin dan antifibrinolitik.
Dalam, makalah ini dikemukakan lima kasus DIC pada penderita DHF derajat III dan IV dengan berbagai tingkat perdarahan dan petekia sampai hematemesis-melena. Diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis dan laboratori Kelainan laboratorium jelas menunjukkan penurunan Jumlah trombosit dan kadar fibrinogen, Pemanjangan PT, APTT dan TT serta fragmen D dimer positif di dalam darah. Pada sediaan hapus ditemukan sel burr dan limfosit atipik pada sebagian besar kasus. Dan kelima kasus, dua meninggal kemungkinan karena perdarah yang tidak dapat diatasi.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manalu, Erida
"ABSTRAK
Pemeriksaan koagulasi rutin PT dan APTT sangat dipengaruhi oleh variabel pra analitik yaitu perbandingan darah dengan antikoagulan sitrat 0,109 M adalah 9:1. Kurangnya volume darah dalam tabung menyebabkan rasio berubah sehingga terjadi pengenceran sampel disebut underfilling. Underfilling pada tabung sitrat 0.109 M menyebabkan nilai PT dan APTT memanjang. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan underfilling menyebabkan pemanjangan PT dan APTT, melihat adakah perbedaan rerata PT dan APTT antar berbagai volume dalam tabung, sekaligus menentukan volume minimal spesimen dalam tabung sitrat yang direkomendasikan untuk pemeriksaan PT dan APTT. Desain penelitian potong lintang dengan 38 subjek sehat dan 38 pasien dengan warfarin. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa underfilling menyebabkan pemanjangan PT dan APTT. Terdapat perbedaan rerata PT dan APTT pada berbagai volume spesimen, dan volume minimal spesimen dalam tabung sitrat yang direkomendasikan untuk pemeriksaan PT dan APTT adalah 90 untuk subjek sehat dan 100 untuk pasien dengan warfarin.Kata kunci: pra analitik; pemeriksaan koagulasi; underfilling; pemanjangan PT dan APTT; volume minimal spesimen

ABSTRACT
The routine coagulation measurement PT and APTT are highly influenced by pre analytical variables, one of which is the ratio of 9 1 between blood and citrate 0.109 M as anticoagulant. Lesser than minimum amount of blood volume in sample tube causes sample dilution known as underfilling. Underfilling of citrate 0.109 M tube results in prolonged PT and APTT. This study aims to prove that underfilling leads to prolonged PT and APTT by comparing mean PT and APTT value between sample tubes with different volume of blood. Furthermore, the recommended minimal volume of specimen in citrated tube would be sought. The study design was cross sectional with 38 healthy subjects and 38 patients on warfarin. This study indeed found that underfilling causes prolonged PT and APTT. There were significant mean difference of each PT and APTT for various specimen volumes. The recommended minimum specimen volume in citrate tube for PT and APTT measurement was 90 for healthy subject and 100 for patients on warfarin.Keywords pra analytic, coagulation measurement, underfilling, prolonged PT APTT, minimum specimen volume."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>