Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pither Palamba
"ABSTRAK
Kompleksitas masalah kebakaran di lahan gambut membatasi pemahaman kuantitatif perilaku penyebaran bara api ke dalam lapisan gambut dan peran parameter kunci seperti moisture content, densitas dan ketersediaan oksigen. Banyak penelitian tentang pembakaran membara pada lapisan gambut sudah dilakukan baik secara eksperimental, pemodelan maupun studi lapangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembakaran membara pada lahan gambut antara lain moisture content, densitas, porositas, kecepatan angin dan lain-lain. Penelitian ini meliputi serangkaian pengujian untuk mendapatkan gambaran yang dapat menjawab fenomena pembakaran membara pada lapisan gambut.
Beberapa peneletian yang fokus pada pengaruh moisture content belum memperhitungkan adanya tahapan evaporasi dan pengeringan (yang mendahului pirolisis dan pembakaran) pada smoldering front sehingga parameter hasil pengujian ditentukan berdasarkan initial moisture content sebelum pembakaran berlangsung. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pembakaran yang melibatkan tahapan-tahapan preheating, evaporation, drying, pyrolisis dan char oxidation pada lapisan gambut dengan moisture content yang meningkat seiring kedalaman sampel, yang menyerupai kondisi riil di lahan.
Penyiapan sampel dilakukan dengan mengeringkan sampel gambut yang masih basah (hasil sampling) pada temperature 105 ℃ masing-masing selama 4, 8, 12, 16, 20 dan 24 hours. Sampel hasil pengeringan tersebut dimasukkan ke dalam reaktor berukuran luas 10 cm × 10 cm dengan kedalaman 20 cm, pada lapisan masing-masing setebal 2.5 cm sehingga didapatkan sampel gambut dengan lapisan yang kering di permukaan (MC ~ 8.5 %) hingga lapisan yang masih basah (raw peat) di dasar reaktor. Pengukuran smoldering spread, evaporation rate, dan mass loss (yang termasuk evaporation rate) dilakukan dengan instrumen termokopel, soil moisture sensor dan weight balance secara real time.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa pembakaran membara pada lapisan gambut dapat mencapai hingga lapisan yang sangat basah jika tersedia kalor yang cukup untuk mengeringkan dan membakarnya. Laju penguapan/pengeringan, perambatan bara dan kedalaman terbakar tergantung dari tebal lapisan kering yang mampu terbakar sebagai heat generation yang sebagian akan ditransfer untuk proses pemanasan, penguapan, pyrolysis, dan pembakaran. Dalam hal ini, pembakaran membara tidak merambat/menyebar pada lapisan gambut dengan moisture content (yang tinggi) tetapi smoldering front akan selalu berbatasan dengan lapisan yang kering. Pembakaran akan berhenti jika kalor pembakaran sama atau kurang dari jumlah yang diserap untuk penguapan dan ini merupakan titik kritis terjadinya extinction (pemadaman).

ABSTRACT
A considerable amount of experiments regarding smoldering combustion of peat had been conducted through various methods of experiment, modeling and fields study, with factors affecting the smoldering combustion of peatlands, including moisture content, density, porosity, wind speed, etc. However, it can be seen that some researches that focus on the influence of moisture content did not consider the evaporation and drying stages of the smoldering front, thus the parameters of the test results were determined based on initial moisture content prior to combustion. This experiment was conducted in order to study the smoldering combustion of the peat layer which resembles the real conditions in the field, which involves the stages of preheating, evaporation, drying, pyrolysis, and char oxidation.
Sample with a stratified moisture content that is increasing with the depth was prepared by drying the raw peat sample (sampling results) at 105 ℃ for 4, 8, 12, 16, 20 and 24 hours. The preparations samples then placed into the reactor of 10 cm x 10 cm with a depth of 20 cm, with each layer of peat with different moisture content at 2.5 cm thick, thus obtaining a layered peat configuration with the dry peat layer on the surface (MC ~ 8.5 %) and the wet peat layer (raw peat) at the bottom of the reactor. Measurements of smoldering spread rate, evaporation rate, and mass loss (including evaporation) rate were gathered through instruments of thermocouple, soil moisture sensor and weight balance, respectively, in real time.
The results from the experiment suggested that the evaporation rate, smoldering propagation, and depth of burn depended on the thickness of the burnable dry peat layer, or equivalent to the available amount of heat, which will be partially absorbed for heating and evaporation, pyrolysis and combustion processes. Therefore, smoldering combustion can not propagate on the moist peat layer, because it will always start with evaporation and drying process. The smoldering front will always be bordered by dry peat layer up to the point where the heat generated is equal or less than the amount needed for evaporation, which is the critical point of extinction"
2018
D2533
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aziz Fahmirriza Rusydi
"ABSTRAK
Dalam proses pembakaran pada alat Fluidized Bed Combustion, bahan bakar merupakan salah satu komponen yang paling penting. Bahan bakar yang digunakan pada saat fenomena self sustained combustion sangat berpengaruh pada proses pembakaran serta fluidisisasi saat fenomena self sustained combustion berlangsung. Dengan dilakukan pengujian dari variasi campuran bahan bakar tempurung kelapa dan sekam padi saat self sustained combustion, fenomena self sustained combustion dapat berlangsung lebih lama. Adapun variasi campuran bahan bakar yang digunakan adalah 100% Tempurung Kelapa, 50% Tempurung Kelapa 50% Sekam Padi, 25% Tempurung Kelapa 75% Sekam Padi dan 100% Sekam Padi. Campuran bahan bakar 50% tempurung kelapa dan 50% sekam padi memiliki durasi self sustained combustion yang paling lama. Campuran bahan bakar 50% tempurung kelapa dan 50% sekam padi mampu menjaga kondisi pembakaran sendiri (self sustained condition) selama 139 menit. Campuran ini menghasilkan temperatur yang paling stabil, serta fluidisasi yang paling baik. Adapun feeding rate yang digunakan ialah 250gr/2menit pada setiap pengujian.

ABSTRACT
Fuel is one of the most important components in the combustion process of Fluidized Bed Combustion system. The fuel used at the time of working condition (self sustained combustion) is very influential on the combustion process and fluidization process. With the testing of fuel mixture variations at the time of working condition (self sustained combustion), can take longer time of working condition (self sustained combustion). The fuel mixture variations are 100 % Coconut Shell , 50 % Coconut Shell 50 % Rice Husk , 25 % Coconut Shell 75 % Rice Husk and 100 % Rice Husk. The mixture of fuel 50% Coconut Shell and 50 % Rice Husk produce the longest time of working condition (self sustained combustion). The mixture of fuel 50% Coconut Shell and 50 % Rice Husk can maintain the working condition (self sustained combustion) for 139 minutes. This mixture produces the most stable temperature , as well as most good fluidization . The feeding rate used is 250gr / 2minutes on each test."
2015
S58154
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Mariana Tesa Ayudia Putri
"Kebutuhan akan listrik di Indonesia semakin meningkat, sementara bahan bakar fosil, yang selama ini menjadi sumber energi utama semakin menipis setiap tahunnya. Sumber energi pengganti yang lebih ramah lingkungan serta efisien sangat diperlukan. Fuel cell dapat mengkonversi energi kimia menjadi listrik, panas, dan air. Urea yang terdapat dalam urin merupakan salah satu komponen yang bisa digunakan sebagai bahan bakar fuel cell. Pada urea terdapat ikatan nitrogen-hidrogen yang mudah diputuskan dan menghasilkan dua molekul gas hidrogen. Apabila gas hidrogen tersebut dilepaskan maka akan menghasilkan listrik. Pada penelitian ini boron-doped diamond BDD termodifikasi dengan Nikel-Kobalt digunakan sebagai elektroda untuk produksi energi listrik dalam fuel cell. Modifikasi BDD dilakukan dengan teknik elektrodeposisi menggunakan 40 mM larutan Ni NO3 2 dan CoCl2 dengan perbandingan 4:1. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa densitas daya sebesar 0,1429 mW cm-1 dapat diperoleh selama satu jam pengukuran dalam suhu ruang. Hasil tersebut didapatkan ketika digunakan urea 0,33 mol L-1 dan KOH mol L-1 pada ruang anoda dan H2O2 2 mol L-1 dalam H2SO4 2 mol L-1 pada ruang katoda. Dengan menggunakan kondisi yang sama, pengujian urin sebagai pengganti urea pada ruang anoda menghasilkan daya sebesar 0,0003 mW cm-1.

The need for electricity in Indonesia is increasing while fossil fuels, which have been the main source of energy, are depleting every year. Therefore it is necessary to find another energy sources that are more environmentally friendly and efficient. Fuel cells can convert chemical energy into electricity, heat, and water. Urea contained in urine is one component that can be used as fuel fuel cell. In urea there is an easy to devide nitrogen hydrogen bond, which produces two molecules of hydrogen gas. When the hydrogen gas is released it will generate electricity. In this study, nickel cobalt modified BDD was employed as an electrode to produce electrical energy in the fuel cell. The modification was performed by electrodeposition using 40 mM Ni NO3 2 and CoCl2 solutions in a ratio of 4 1. The power density of 0.1429 mW cm 1 in one hour measurement at a room temperature. The results were obtained when 0.33 mol L 1 urea in 2 mol L 1 KOH was used as a fuel in in the anode chamber, while 2 mol L 1 H2O2 in 2 mol L 1 H2SO4 was used in the cathode chamber. Replacing of urea with urine in the anodic chamber produces a power of 0.0003 mW cm 1.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taopik Hidayat
"Teknologi boiler sampai saat ini telah mengalami perkembangan yang pesat. Dimulai dengan teknologi grate firing atau stoker, pulverized, sampai dengan teknologi circulating fluidized bed CFB yang mempunyai efisiensi pembakaran lebih baik. Walaupun telah ditemukan lebih dari satu abad, stoker masih digunakan untuk produksi uap dan pembangkit listrik. PLTU batubara skala 7MW, 15 MW masih dibutuhkan untuk wilayah yang terisolasi, pulau atau beban yang tersebar seperti di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dan wilayah Timur lainnya. Pada skala tersebut umumnya menggunakan teknologi pembakaran stoker. Pada studi ini, akan dikaji karakteristik pembakaran batubara dalam sebuah tungku fixed bed yang mensimulasikan grate stoker. Karakteristik pembakaran yang didapatkan pada tungku fixed bed akan dijadikan dasar lamanya batubara berada di dalam tungku vibrating grate simulator. Profil temperatur, komposisi gas buang dan efisiensi pembakaran akan dianalisis baik pada fixed dan vibrating grate .Hasil menunjukan bahwa getaran yang terjadi pada vibrating grate sangat berpengaruh terhadap kinerja pembakaran. Sebagai validasi maka digunakan laju devolatilisasi sebagai pembanding dengan penelitian yang sudah ada. Efisiensi pembakaran meningkat menjadi 98 untuk batubara lignit dan 97.2 untuk batubara sub bituminus. Laju pembakaran overall juga meningkat menjadi 0.72 g/s untuk batubara sub bituminus dan 0.68 g/s untuk batubara lignit. Burning time menjadi lebih singkat menjadi 20 menit yang sebelumnya pada fix grate yaitu 38 menit untuk sub bituminus dan 30 menit untuk lignit.

Until now, boiler technology has grown fast. Start with grate firing, pulverized combustion, and circulating fluidized bed CFB which have better burning efficiency. Altough had founded for one century, stoker still used for steam production and electric generation. Coal Power Plant 7 MW, 15 MW still needed for far an isolated region, that spread in Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, and another east of Indonesia. In this study, coal combustion charachteristic will be discussed in fixed bed furnace that simulate grate stoker fired. Combustion Carachteristic that will develop from fixed bed will be one of decision for how long a coal will be loaded in vibrating grate simulator. Temperature profile, flue gas composition and burning efficiency will be analyzed in fix and vibrating grate. The result show that vibration had great effect to combustion on vibrating grate. Devolatilization rate will be used for validate this research with another research that had been develop. Burning efficiency is raise to 98 for lignite and 97.2 for sub bituminous. Overall burning rate also increase to 0.72 g s for sub bituminous and 0.68 g s for lignite. Burning time drop to 20 minute were for fix grate is 38 minute for sub bituminous and 30 minute for lignite.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
T47650
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Rohmaeni
"Saat ini kebutuhan manusia akan energi semakin meningkat. Energi berbahan bakar
fosil masih menjadi sumber utama energi untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Namun, karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui, energi fosil tersebut lama
kelamaan akan habis. Oleh karena itu diperlukan energi alternatif yang dapat
diperbaharui dan juga ramah lingkungan. Energi alternatif tersebut salah satunya
adalah energi surya. Energi surya dapat dikonversi menjadi energi listrik dengan
menggunakan perangkat Dye-Sensitized Solar Cell (DSSC). Pada penelitian ini
akan dibuat perangkat DSSC dengan menggunakan ekstrak antosianin dari kol
merah sebagai dye sensitizer, TiO2 nanorod sebagai semikonduktor, larutan
elektrolit (I-/I3-), serta platina sebagai elektroda pembanding. TiO2 nanorod yang
digunakan untuk menyusun rangkaian DSSC disiapkan dengan cara hidrotermal
dan dengan tiga variasi suhu kalsinasi diantaranya tanpa perlakuan kalsinasi,
dikalsinasi pada suhu 450oC, dan dikalsinasi pada suhu 900oC. Waktu perendaman
deposisi pasta TiO2 dalam dyes dilakukan selama 36 jam. Seluruh rangkaian DSSC
yang disusun ditentukan efesiensinya secara fotoelektrokimia, dengan
menggunakan evaluasi berdasar I – V dan didapatkan nilai efesiensi DSSC TiO2
nanorod tanpa kalsinasi, dikalsinasi pada suhu 450oC, dan dikalsinasi pada suhu
900oC berturut-turut sebesar 1,125%, 0,399%, dan 0,306%. Nilai efesiensi tertinggi
didapatkan pada rangkaian DSSC TiO2 nanorod tanpa kalsinasi yaitu sebesar
1,125%

Human need for energy is increasing over time. Fossil fuel energy is still the main
source of energy. However, due to its non-renewable nature, this fossil energy will
run out. Therefore we need alternative energy that can be renewed as well as
environmentally friendly. One of the alternative energy is solar energy. Solar
energy can be converted into electrical energy using a Dye-Sensitized Solar Cell
(DSSC) device. In this research, a DSSC device will be constructed using
anthocyanin extract from red cabbage as a dye sensitizer, TiO2 nanorod as a
semiconductor, I- / I3- redox couple as electrolyte solution, and Pt as a counter
electrode. TiO2 nanorod used to assemble the DSSC device was prepared by
hydrothermal method, followed by heat treatment into three variations of the
calcination temperature, these were without calcination treatment, calcined at a
temperature of 450oC, and calcined at a temperature of 900oC. The immersion time
of TiO2 paste deposition in dyes solution for the deposition was carried out for 36
hours. The three constructed DSSCs series were tested for their efficiency using
photoelectrochemical system, by evaluating their resulted the I-V curves and the
efficiency values of the DSSC TiO2 nanorod without calcination, calcined at a
temperature of 450oC, and calcined at 900oC were 1.125%, 0.399%, and 0.306%
respectively. The highest efficiency value was obtained in the DSSC TiO2 nanorod
without calcination with efficiency of 1.125%."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library