Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farida R. Wargadalem
Abstrak :
ABSTRAK
Disertasi ini menguraikan tentang terjadinya perebutan kekuasaan di Kesultanan Palembang. Dalam perebutan kekuasaan tersebut melibatkan dua saudara kandung (Sultan Badaruddin II dan Sultan Najamuddin II), juga melibatkan dua negara asing yaitu Inggris dan Belanda. Penelitian ini menggunakan pendekatan Narativisme untuk menjelaskan terjadinya konflik (internal dan eksternal) di Kesultanan tersebut. Kajian ini menemukan bahwa kehadiran Inggris pada April 1812 di Kesultanan Palembang, memunculkan permusuhan antara dua orang kakak beradik tersebut, sehingga Palembang jatuh ke tangan Inggris. Sejak itu permusuhan dua bersaudara terus berlangsung sampai keduanya wafat. Sesuai isi Traktat London (1814), dinyatakan Inggris harus keluar dari Palembang, sehingga Palembang kembali berada di bawah pengaruh pemerintah kolonial Belanda. Kehadiran Belanda di Kesultanan Palembang, menyebabkan Belanda membagi tiga kekuasaan yairu Belanda, Sultan Badaruddin II, dan adiknya Sultan Najamuddin II. Kembalinya pasukan Inggris dari Bengkulu, menyebabkan konflik di Palembang menjadi semakin rumit. Konflik yang terjadi tidak saja antara dua saudara kandung, tetapi juga antara Sultan Najamuddin II dan Belanda, serta Belanda dan Inggris. Perang, merupakan alternatif penting yang terjadi di Kesultanan Palembang. Dua kali peperangan (1819) dimenangkan oleh Palembang, namun pada peperangan ketiga (1821), Palembang harus mengakui keunggulan kekuatan militer Belanda. Sejak itu Kesultanan Palembang berada di bawah kendali pemerintah kolonial Belanda. Usaha Sultan Najamuddin III untuk melakukan perlawanan mengalami kegagalan, sehingga kesultanan itu dihapuskan (1825).
ABSTRACT
This dissertation describes about the occurrence of. The seizure involved two brothers (Sultan Badaruddin II dan Sultan Najamuddin II) and two foreign countries, those are England and Netherland. This research used Narrativism approach in order to explain the occurrence of conflict (external and internal) in that Sultanate. It was found that the attendance of British in April 1812 in Palembang Sultanate led to a hostility between the two brothers (Sultan Badaruddin II dan Sultan Najamuddin II). It made Palembang was under the power of British. The hostility between the two brothers continued until both of them passed away. Based on the London Treaty (1814), it was stated that British had to leave out Palembang so that Palembang was returned back to the power of Dutch colonial. The Dutch then divided Palembang Sultanate into three powers, the Dutch, Sultan Badaruddin II, and his brother Sultan Najamuddin II. However, the return of British from Bengkulu led to a more complicated conflict in Palembang. The conflict was not only between the two brothers, but also between Sultan Najamuddin II and the Dutch and between the Dutch and the British. Finally, the war was the only option for the conflict in Palembang Sultanate. The war happened three times, the first and second war (1819) were won by Palembang, however the Dutch military power conquered the power of Palembang Sultanate in the third war (1821). Since then, the Palembang Sultanate was under the control of the Dutch colonial government. It was Sultan Najamuddin III who continued fighting against the Dutch, however the struggle failed. Finally, Palembang Sultanate was completely removed (1825).
Depok: 2012
D1262
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Azhar Zhafira
Abstrak :
Konfrontasi adalah peristiwa konflik bersenjata yang melibatkan Indonesia dan Malaysia pada 1963-1966. Konflik antar negara (interstate conflict) adalah konflik antara dua negara atau lebih dengan adanya persengketaan bersenjata. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu bentuk konflik antar negara, yakni konflik antara Indonesia dan Malaysia. Konflik ini juga melibatkan beberapa negara lain, yakni Inggris, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Jepang, Uni Soviet, dan Tiongkok. Peristiwa Konfrontasi terjadi akibat rencana pembentukan Federasi Malaysia dengan menggabungkan Malaya, Singapura, Sabah, dan Sarawak yang kemudian mendapat penolakan dari Filipina dan Indonesia atas tuduhan usaha neo-kolonialisme oleh Inggris. Tulisan ini bertujuan untuk meninjau perkembangan literatur mengenai Konfrontasi Indonesia-Malaysia berdasarkan 23 literatur yang telah penulis kumpulkan. Terdapat tiga tema utama yang penulis temukan, yakni tinjauan historis Konfrontasi Indonesia Malaysia, keterlibatan aktor eksternal dalam Konfrontasi Indonesia Malaysia, dan penggunaan propaganda dalam Konfrontasi Indonesia Malaysia. Tinjauan kepustakaan ini bertujuan untuk memaparkan konsensus, perdebatan dan kesenjangan dalam litarut mengenai Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Melalui tulisan ini, penulis menemukan adanya tren penyebaran literatur pada negara-negara yang terlibat dalam Konfrontasi, terutama Inggris dan Australia. Penulis juga menggarisbawahi kesenjangan minimnya penggunaan kerangka teori dalam literatur-literatur mengenai Konfrontasi Indonesia-Malaysia. ......Konfrontasi was an armed conflict involving Indonesia and Malaysia in 1963-1966. Interstate conflict is a conflict between two or more countries with armed disputes. Konfrontasi Indonesia-Malaysia is a form of conflict between countries, namely the conflict between Indonesia and Malaysia. This conflict also involved several other countries, namely England, the United States, Australia, New Zealand, Japan, the Soviet Union and China. Konfrontasi occurred as a result of plans to form a Malaysian Federation by combining Malaya, Singapore, Sabah and Sarawak which received rejection from the Philippines and Indonesia due to accusations of Britain’s neo-colonialism. This article aims to review the development of literature regarding the Indonesia-Malaysia Confrontation based on 23 pieces of literature that the author has collected. There are three main themes that the author found, namely a historical overview of the Indonesia-Malaysia Confrontation, the involvement of external actors in the Indonesia-Malaysia Confrontation, and the use of propaganda in the Indonesia-Malaysia Confrontation. This literature review aims to explain the consensus, debate and gaps in the literature regarding Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Through this article, the author finds a trend in the distribution of literature in countries involved in the Konfrontasi, especially England and Australia. The author also highlights the gap in the minimal use of theoretical frameworks in the literature about Konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hutchinson, John
London: Sage Publications, 2005
327 HUT n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Brianna Ruth Audrey
Abstrak :
Konflik bersenjata adalah salah satu titik perubahan terpenting yang dapat ditemukan sepanjang sejarah umat manusia. Berbeda dengan konflik bersenjata di masa lalu yang bersifat simetris antar-negara, konflik bersenjata modern kini memiliki karakter yang lebih asimetris, mengikutsertakan aktor internasional non-negara, dan condong terhadap isu identitas. Terlepas dari transisi bentuk konflik tersebut, properti budaya selalu hadir dalam perang besar sehingga menandakan bahwa benda-benda bersejarah ini memiliki peran penting dalam konflik. Publikasi Konvensi Den Haag UNESCO 1954 juga mengkatalisasi rezim perlindungan properti budaya internasional yang kini terus menjadi bagian dari wacana perang modern. Dengan menganalisis 77 dokumen yang diakui Scopus menggunakan software VosViewer, paparan ini mengelompokkan empat tema inti yang ditemukan dalam perkembangan kajian Properti Budaya dalam Konflik Bersenjata menggunakan metode taksonomi. Tema-tema inti tersebut adalah (1) definisi properti budaya lintas budaya; (2) peran dan makna properti budaya dalam konflik bersenjata; (3) norma properti budaya dan etika perang lintas zaman, dan (4) tanggapan aktor internasional. Studi ini menunjukkan bahwa properti budaya sungguh memiliki nilai dan peran berlapis dalam konflik bersenjata, dan bahwa perlindungannya sangat penting di hadapan hak asasi manusia. Sayangnya, perbincangan tentang properti budaya dari masa kolonial, serta tulisan-tulisan dari negara jajahan dan source countries, masih tertutup oleh akademisi Barat. Terlepas dari semua terobosan signifikan dalam hukum properti budaya internasional, masih terdapat banyak hal yang dapat dikembangkan oleh rezim ini dalam menanggapi konflik bersenjata modern dan aktor-aktornya yang relevan. Penting bagi wacana ini untuk berkembang secara mandiri di luar kasus-kasus konflik bersenjata empiris. ......Armed conflicts are one of society’s most defining points that can be found throughout history. Different with conflicts in the past that were more symmetric in nature and fought between nations, modern armed conflicts are now more asymmetric manner with the addition of non-state international actors and issues regarding identity. Despite this change, cultural property seems to always be present in big wars, hence signalling that these historical objects play an essential role in conflicts. The publication of UNESCO's 1954 Convention of Den Haag also catalysed the international cultural property protection regime that is now constantly part of the modern warfare discourse. By analysing 77 documents acknowledged by Scopus using a software called VosViewer, this exposé taxonomically identifies the four core themes found in the development of the Cultural Property in Armed Conflict study, namely: (1) the definition of cultural property crossculture; (2) the role and value of cultural property in armed conflicts; (3) cultural property norms and warfare ethics cross-periods, and (4) responses from international actors. This study shows that cultural property truly has multi-layered values and roles in armed conflicts, and that its protection is essential in the eyes of human rights. Unfortunately, conversations regarding cultural properties from the colonial eras, as well as writings from colonies and source countries, are still overshadowed by Western academicians. Despite all the significant breakthroughs in international cultural property law, there are still many ways that this regime can be further developed in responding to modern armed conflicts and their relevant actors. It is vital for this discourse to develop independently outside of the empirical armed conflict cases.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library