Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Amir Syamsuddin
Abstrak :
Perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya memuat syarat-syarat baku yang menyimpang dari kesepakatan para pihak. Secara teoretis yuridis perjanjian baku ini tidak mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, namun perjanjian ini dapat diterima dan dibenarkan karena dibutuhkan masyarakat. Masyarakat modem yang futuritif dan pragmatis memandang perjanjian baku sebagai jalan keluar dari sistem perdagangan yang murah dan cepat. Mereka akan lebih bisa menerima keberadaan perjanjian tersebut dan tidak menganggap perjanjian tersebut rnerupakan suatu yang merugikan kepentingan mereka.
Aspek perlindungan konsumen adalah usaha yang dilakukan untuk rnelindungi konsumen dari kerugian yang diderita akibat pemakaian barang dan jasa, termasuk pencantuman klausula baku. Aspek perlindungan konsumen itu biasanya menyangkut hal-hal yang sensitif dan rawan apabila terjadi secara masal. Dalam praktek sehari-hari, banyak terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan para pemakai barang dan jasa seperti barang yang cacat, penipuan iklan, penghapusan tanggung jawab pengusaha, atau jasa yang tidak dilaksanakan semestinya seperti keterlambatan, pembatalan dan penundaan. Sementara ganti kerugian atas hal-hal tersebut sama sekali tidak ada.
Sejalan dengan semakin berkembangnya perjanjian baku maka berkembang pula kebutuhan masyarakat akan adanya hukum di bidang perlindungan konsumen. Kita telah memiliki UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun undang-undang yang telah berlaku sejak 3 tahun lalu itu sama sekali belum menunjukkan keefektifannya. Hal ini menjadi pertanda bahwa hukurn yang ternyata hanya bagus dalam segi formalnya saja, tetapi secara materiel tidaklah dapat diharapkan. Masyarakat masih belum banyak memaharni keberadaan undang-undang ini sehingga mereka masih saja seperti dulu, tidak mau mefnpersulit diri untuk melakukan konflik secara terbuka kepada pengusaha atau produsen atau pelaku usaha. Salah satu akibatnya adalah karena mekanisme penyelesaian sengketa masih hares melalui pengadilan yang selama ini dikenal tidak adil dan berburuk citra. Gawatnya, masyarakat lebih mernilih diam dan rnenganggap rusaknya suatu barang, kadaluarsa suatu produk atau keterlambatan jasa pelayanan merupakan hal biases di dunia bisnis dan perdagangan. Tidak ada upaya mereka untuk mengadu atau menuntut ganti kerugian atas hal-hal tersebut.
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T17652
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Diah Lestari Pitaloka
Abstrak :
Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatur penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui pengadilan atau melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bergantung pada pilihan pihak-pihak yang bersengketa. BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen yang dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan murah. Terdapat tiga cara penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK, yaitu dengan cara konsiliasi, mediasi dan arbitrase. Ketiga-tiganya merupakan lembaga dalam alternatif penyelesaian sengketa yang intinya adalah dialog, musyawarah serta usaha pengakomodasian terhadap kepentingan para pihak.
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah yang dapat diidentitikasi dalam peraturan perundang-undangan mengenai penyelesaian sengketa konsumen, dengan objek penelitian BPSK Kota Bandung. Sebagai badan yang masih tergolong baru, BPSK mempunyai banyak kendala dalam implementasinya. Pertama dari segi peraturan perundangan-undangan yaitu terjadi ketidakkonsistenan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan belum adanya beberapa peraturan pelaksana yang mendukung, kedua dari segi prosedural dimana terdapat beberapa kelemahan pengaturan mengenai prosedur beracara di BPSK yang juga didukung oleh belum dibakukannya formulir-formulir standar untuk beracara di BPSK, ketiga dari segi kelembagaan BPSK yaitu mengenai pembiayaan dan sosialisasi keberadaan BPSK yang sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah daerah.
Berbagai permasalahan yang melingkupi BPSK diharapkan dapat diatasi dengan segera, baik dengan cara melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun dengan menerbitkan beberapa ketentuan pelaksana dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen, karena BPSK diharapkan dapat menjadi ujung tombak dari upaya perlindungan konsumen di Indonesia.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16295
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library